🥺😔 🥺🥺🥺🥺🥺🥺🥺😔 mana nih Readers-nya?
"Bi, ambilkan handuk kecil!" ucap Revin sambil bergegas ke lemari dan mengambil piyama Lisa.Dengan segera Ema mengantar handuk yang diminta. "Ini, Tuan. Nyonya kenapa?""Entahlah, dia berkeringat dingin."Revin membuka pakaian luar Lisa beserta pakaian dalamnya yang sudah basah, lalu mengusap tubuhnya yang berkeringat dengan handuk dan dengan cepat memakaikan piyama bersih ke tubuh Lisa karena Lisa tampak mengerut kedinginan. Pelayan Ema hanya berdiri mengamati.Revin merasakan kamar itu sumpek. Dia mendesah melihat Lisa yang kembali meringkuk menghadap tembok."Bi, bukakan pintu kamarku," ucap Revin lalu menggendong Lisa. Saat menggendongnya, Revin bisa merasakan sendiri bahwa berat tubuh Lisa memang jauh lebih ringan dari sebelumnya. Dalam gendongan Revin, Lisa tampak memeluk perutnya.Pelayan Ema segera mendahului Revin ke lantai atas dan membuka pintu kamar Revin. Revin pun masuk ke dalam kamar sambil membawa Lisa. Dia kemudian meletakkan Lisa di atas ranjang besarnya. Lisa langsu
Lisa beringsut dan menciut di sudut tembok. "Jangan tendang aku," gumamnya tak jelas."Apa yang kau katakan?" tanya Revin karena tak mendengar apa yang dia katakan. Lisa tak menjawab."Sekarang naik ke ranjang!" titah Revin dengan gigi merapat, tetapi Lisa semakin menyusut."Apa telingamu tuli?""Aku mau ke kamarku," lirih Lisa dengan suara serak.Revin bertolak pinggang melihat Lisa sudah berjongkok sekarang di sudut kamar itu. Dia merasa tingkah Lisa aneh."Kau kenapa tiba-tiba jongkok begitu?" tanyanya heran. Lisa kembali tidak menjawab. Bokongnya sudah menyentuh lantai, dan wajahnya menunduk, bertumpu pada lututnya yang ditekuk."Makin lama kau makin aneh," ucap Revin kembali saat dia terus mengamati Lisa yang masih terus bertengger di sudut."Hei!" hardiknya dengan suara tinggi karena Lisa tetap diam.Tak sabar, Revin melangkah menghampirinya, dan menggunakan sebelah kakinya untuk menyenggol tubuh Lisa. "Hei! Kau ngapain sebenarnya?" tanyanya jengkel sambil terus menyenggol Lisa d
Revin sudah rapi tetapi Lisa masih terus menatapnya."Kenapa?" tanya Revin dingin. "Masih belum puas?""Tidak," jawab Lisa cepat. "Um, aku ingin tahu...apa kakak yang mengganti pakaianku tadi malam?""Ya."Wajah Lisa merona. Dia merasa senang karena Revin masih memiliki kepedulian padanya. "Terima kasih, Kak," ucapnya dengan tulus. "Sepertinya gara-gara memakai baju kakak, aku menjadi tidak mual dan muntah pagi ini.""Memangnya ada yang seperti itu?" tanya Revin merasa konyol walaupun dia memang juga mendapati Lisa tidak mual muntah seperti biasanya."Tentu saja!" jawab Lisa. "Buktinya aku tidak pusing sekarang, apalagi mual muntah. Sepertinya bayi kita senang dengan aroma papanya!" ucap Lisa dengan tatapan takjub sambil memegang perutnya. Hawa ruangan seketika berubah menjadi dingin ketika Lisa melihat mimik wajah Revin tampak tidak suka. Lisa pun tersadar bahwa ia telah salah berbicara. Lisa tadi terbawa emosi bahagia. Dia juga beristirahat dengan cukup baik tadi malam. Hal ini membu
Keesokan paginya, Revin dan Lisa sarapan bersama. Pelayan Ema mendekat sambil membawa satu cangkir teh jahe."Coba minum ini, Nyonya, biar mual muntahnya reda," ucap Ema yang tanpa sengaja menarik perhatian Revin"Terima kasih, Bi," ucap Lisa sambil menyeruput teh jahe."Memangnya kau muntah tadi pagi?""Iya, Kak," jawab Lisa tak fokus. Saat ini pikiran Lisa dipenuhi oleh ancaman Hendra. Dia tidak berhasil menghubungi Damian tadi malam. Entah di mana adiknya itu berada."Sepertinya masalahnya ada di kamar sempitmu itu. Kamar itu pengap. Sepanjang malam kau tidur di situ pastilah paginya mual muntah. Lebih baik kau pindah ke kamarku," ucap Revin.Suasana hening. Melihat wajah Lisa yang tampak berpikir membuat Revin jengkel. Apa susahnya Lisa menjawab iya? Bukankah itu keinginannya juga?"Kau perlu ingat, aku sama sekali tidak merasa senang kau tidur di kamarku. Alasan aku menawarkanmu, itu karena sama seperti yang pernah kukatakan padamu bahwa aku hanya bertindak sesuai surat perjanjian
"Siapa yang meneleponmu?" tanya Revin dengan nada menyelidik."Itu...nenekku," jawab Lisa apa adanya lalu duduk di kursi makan."Kok lama?" tanya Revin lagi.Lisa diam. Perasaan tidak ada satu menit dia bertelepon. "Nenek marah padaku karena Damian belum pulang ke rumah.""Kenapa jadi kau yang dimarahi?" tanya Revin ringan sambil terus memakan jeruk.Lisa menghela napas, kenapa tadi dia harus mendetail memberi tahu Revin bahwa neneknya marah padanya? Malah jadi aneh."Um waktu itu, Damian meminta uang padaku. Katanya dia sangat memerlukannya. Awalnya aku tidak mau, tapi dia terus membujukku dan memelas. Aku tidak tega jadi aku memberikannya. Tahu-tahu sekarang Damian tidak pulang-pulang, aku jadi dimarahi nenek.""Adikmu tidak memberitahumu keperluannya apa?"Lisa menggeleng. "Tidak. Dia hanya bilang sangat butuh.""Adikmu itu umur berapa?""Dia masih 17 tahun. Masih SMA.""Oh, pantaslah kau dimarahi.""Kenapa pantas, Kak?" tanya Lisa keberatan."Kau bodoh memberinya uang tanpa tahu tu
Saat Revin akan membuka suara, Damian sudah melepas pelukannya."Aneh," gumam Revin dalam hati. Dia mengatupkan mulut, mengusir rasa kesal yang tidak masuk akal di dalam dirinya. Dia merasa kesal saat melihat Damian memeluk Lisa padahal Damian adalah adik kandung Lisa. Revin tidak tahu jika Damian berbeda ibu dengan Lisa."Damian, apa kamu sudah kembali ke rumah?" tanya Lisa langsung dengan wajah serius."Aku belum pulang ke rumah. Begitu membaca pesan darimu, aku langsung kemari. Aku begitu mengkhawatirkanmu.""Pesan apa?" tanya Revin tiba-tiba. Dia penasaran melihat Damian tampak terburu-buru dan cemas ingin bertemu Lisa. Memangnya pesan apa yang dikirim oleh Lisa?Damian langsung menjawab, "Pesan supaya aku segera pulang ke rumah, kalau aku tidak pulang maka Hendra akan menen...""Damian," sela pelan Lisa tiba-tiba dengan kening mengerut. Seketika Damian bungkam."Maka Hendra akan apa?" tanya Revin masih ingin tahu."Maka Hendra akan menen....tukan hukuman berat untukku," ucap Damia
"Apa yang kau lakukan!" teriak Damian dengan amarah. Dia langsung merengkuh Lisa ke dadanya.Hendra menahan amarah begitu melihat putranya ada di sana. "Ternyata kau di sini, Damian! Papa dan mamamu sudah mencarimu ke mana-mana, tapi kau malah menghilang. Apa yang sebenarnya membuatmu pergi dari rumah?" tanya Hendra dengan wajah serius."Aku hanya ingin mandiri," jawab Damian berbohong. "Jangan sakiti kakakku. Dia perempuan. Bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu pada perempuan?" tanya Damian dengan kening mengerut.Hendra mengernyitkan dahi mendengar cara Damian bicara. Dia tidak memanggilnya papa tetapi menyebutnya dengan kata kau. "Kakakmu, kalau tidak diberi pelajaran, dia tidak akan pernah sadar akan perbuatannya. Bahkan diberi pelajaran pun, dia tetap tidak sadar. Jadi, jangan sampai kau bertingkah laku seperti kakakmu ini, kalau tidak, aku juga tidak akan segan-segan menghajarmu," ucap Hendra memperingati."Hajar saja, aku juga tidak takut. Lagian apa yang kulakukan tidak
Menjelang malam, Revin masuk ke dalam rumah dan mencium aroma lezat masakan. Dia menoleh dan mendapati Lisa yang memakai apron berwarna coklat tua sedang meletakkan hasil masakannya di atas meja makan untuk makan malam nanti. Pandangan mereka bertemu saat Lisa mengangkat wajahnya, tetapi itu hanya sekilas karena Lisa langsung mengalihkan wajahnya.Seperti biasa, Lisa hanya diam tidak berkata apa-apa untuk menyambut kepulangan suaminya. Dia langsung melengos memasuki dapur. Tetapi kali ini Revin merasa tidak nyaman melihat sikap Lisa tadi. Mungkin karena tadi pagi dia mengecup kening Lisa jadi dia merasa bahwa Lisa bersikap seperti itu karena sudah besar kepala. Padahal dari kemarin-kemarin Lisa memang sudah seperti itu, diam selalu lantaran Revin juga selalu menanggapinya dengan sikap ketus, dingin, dan bahkan sarkastik ketika ia menyambutnya.Revin segera menepis rasa tidak nyaman itu dan mulai menaiki tangga.Setelah mandi, Revin bersiap turun ke lantai bawah untuk makan malam, tetap
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak