Happy Reading! ^^
Begitu memasuki kamar Revin, Lisa mengedarkan pandangannya pada ruang luas yang bernuansa maskulin itu."Kau bisa memasukkan pakaianmu di ruang pakaian. Sudut kiri ada lemari kosong," ucap Revin tiba-tiba."Oh iya, Kak.""Apa kau ingin mandi duluan? Aku bisa pakai kamar mandi lain.""Kakak saja yang duluan mandi aku ingin beristirahat sebentar," jawab Lisa."Baiklah kalau begitu." Revin pun berlalu memasuki kamar mandi. Lisa memilih duduk di sofa panjang."Ini maksudnya apa aku akan tidur sekamar dengan Kak Revin?" Lisa bertanya dalam hati dengan perasaan tidak nyaman. Bukankah Revin jijik padanya? Satu-satunya alasan Revin mau memperlakukannya agak lebih baik itu tidak lain karena surat perjanjian yang ia tandatangani. Sebelum menandatangani surat itu, Revin juga sudah menandaskan padanya bahwa perasaannya akan tetap sama terhadap Lisa yaitu jijik dan benci. Dan Lisa harus mengingat itu. Terkadang situasi tertentu membuat Lisa lupa akan hal itu, akibatnya hinaanlah yang dia dapatkan
"Permisi Nyonya, makan malam sudah siap," ucap seorang pelayan setelah memasuki ruang keluarga yang suasananya tampak tegang. Pelayan itu segera meninggalkan ruangan itu setelah pamit."Ayo kita makan malam. Mama sudah memasakkan makanan yang kau suka," ucap Renata menatap putranya lembut."Makasih, Ma," sambut Revin sambil tersenyum. Maka mereka berempat pergi ke ruang makan. Di meja makan Lisa dengan telaten meladeni suaminya.Renata melirik putranya. Tidak semua menu yang ada di meja disukai oleh Revin, ada menu yang tidak disukainya tapi disukai oleh ayahnya, dan Lisa tahu memilih mana masakan yang disukai oleh Revin, juga menyisihkan apa yang tidak disukainya."Um, enak banget. Rindu juga masakan Mama," ucap Revin sambil makan dengan lahap, membuat Renata mengulas senyum puas."Apa istrimu bisa memasak seperti ini?""Dia bisa," jawab Revin ringan."Oh baguslah. Istri harus bisa memasak, kalau tidak, bagaimana bisa mengurus suami dan anak dengan baik?" ucap Renata.Lisa menghela na
Revin mengatupkan mulutnya saat dia keluar dari kamar. Dia tidak mengira bahwa yang diminta oleh Lisa adalah agar dia tidak menikah dengan Cherrine. Tadinya dia berpikir bahwa Lisa mencoba meminta bagian dari harta Revin.Tetapi walaupun ternyata Lisa hanya meminta hal yang menurutnya tidak begitu penting, tetap saja Revin tidak suka jika Lisa mencoba melunjak dengan mengatur-atur siapa perempuan yang akan dinikahinya.Revin kemudian menuruni tangga untuk menemui orang tuanya. Rasanya kurang leluasa berbicara dengan kedua orang tuanya saat ada Lisa."Revin, apa besok kau akan ikut pemeriksaan tes HIV? Apa kau merasa tidak sehat sampai berencana ikut melakukan pemeriksaan itu?" tanya Renata khawatir saat Revin menghampiri mereka.Revin mendesah. "Aku dan Lisa tidak memiliki penyakit itu. Yang kutahu dia rajin melakukan pemeriksaan diri. Itu sebabnya aku bebas menggaulinya selama ini. Papa dan Mama saja yang konyol. Aku tidak cereboh separah itu. Tapi supaya kalian puas, kami akan tetap
"Supaya ini tidak lengket, harus ditaburi tepung dulu, Ma," ucap Lisa saat mereka sedang menyiapkan bahan masakan."Oh begitu? Saya biasanya merendamnya sedikit lebih lama.""Merendamnya juga bisa, tapi seperti ini akan lebih menghemat waktu," ucap Lisa sambil menggerakkan tangannya dengan cepat menaburi tepung."Oh benar juga," gumam Renata.Akhirnya sarapan lezat tersaji di meja makan. Makanan itu dihiasi dengan cantik oleh Lisa."Ini terlihat spesial. Kau seperti koki, Lisa," ucap Renata apa adanya tanpa niat memuji."Mama bisa saja." Lisa tersenyum lembut."Kata Revin kau mengalami morning sickness. Apa tadi pagi kau muntah-muntah?" tanya Renata ingin tahu."Eh?" Mata Lisa sedikit melebar menyadari sesuatu. "Aku tidak muntah tadi pagi, Ma. Mungkin karena..." Lisa tidak melanjutkan. Dia malu mengatakan, mungkin karena Revin memeluknya dengan hangat saat dia tidur. Itu adalah alasan yang konyol bagi Revin. Dan Revin jijik dengan alasan seperti itu."Karena apa? Baguslah kalau kau tid
"Kenapa Erwin harus mengalami nasib yang sama denganku? Kami sama-sama mendapat istri yang tidak beres."Ben menutup matanya saat mengingat hubungannya dengan Kamila."Sudah berapa kali kukatakan! Kuruskan badanmu itu yang sudah seperti ba**bi!" bentak Kamila pada Ben."Iya, aku akan mencoba diet, tapi aku tidak bisa berkonsentrasi kerja kalau lagi lapar, Mila," lirih Ben dengan suara rendah."Alasan! Dasar rakus! Kau membuatku muak!"Hampir setiap hari mereka bertengkar.Saat itu, Ben masih miskin, masih proses meniti masa depan. Lalu Kamila, istri Ben, berselingkuh dengan pria lain yang tampan dan kaya. Begitu perselingkuhannnya ketahuan, bukannya memohon maaf, Kamila malah terang-terangan mengatakan bahwa Ben tidak bisa memuaskannya!"Tiga tahun kita menikah, tapi aku tak juga kunjung hamil! Kau tau kenapa? Itu karena kau impoten!" teriak Kamila dengan air mata berlinang. Seolah Kamila yang paling tersiksa dalam hubungan ini.Sebagai pria, harga diri Ben hancur berkeping-keping.Ben
Revin mengatupkan mulutnya saat mematikan panggilan. Dia menoleh pada Lisa dan menatapnya tajam."Nick Sialan itu suka berkunjung ke kafemu," ucapnya dengan nada menuduh."Tidak, aku sudah lama tidak bertemu dengannya, Kak," sangkal Lisa cepat. "Tadi siapa yang menelepon? Dan kita akan datang ke mana?" Wajah Lisa penuh tanda tanya bercampur khawatir."Mamamu yang gila itu yang menelepon. Dia mengundang kita makan siang di rumahnya, dan aku menerimanya. Apa kau senang?" tanya Revin dengan nada jijik. Tentu saja ia menyebut Nafa sebagai orang gila. Belum tahu pasti siapa yang mengangkat teleponnya sudah memaki-maki sembarangan.Tetapi tiba-tiba Revin sedikit menyipit saat menyadari sesuatu dalam pikirannya.'Wanita itu tadi memakiku sebagai pelacur sialan. Kalau dia memang benar menebakku sebagai Nick, bukankah harusnya ia menyebutku sebagai gigolo sialan?' Menurut Revin ini agak ganjil, tapi tidak mungkin juga Nafa memaki putri yang sangat ia sayangi seperti itu. Revin kembali menatap
Revin membuka suaranya. "Biar kau tahu, aku tidak mencintai putrimu sama sekali.""Aku tahu. Tapi putriku mencintaimu. Berikanlah dia kesempatan dan buka hatimu sedikit untuknya. Kalian akan memiliki bayi, dan saat kau melihat langsung darah dagingmu nanti kau akan merasa takjub," ucap Hendra membujuk."Aku masih tidak tahu apa janin itu darah dagingku atau bukan.""Lho, bukankah Lisa sudah melakukan tes DNA?" tanya Hendra terkejut. Hendra berpikir bahwa tidak ada keributan berarti masalah tes DNA berjalan dengan baik."Belum. Kandungannya lemah. Dokter melarang untuk melakukan tes DNA. Mungkin di bulan keempat atau kelima baru bisa melakukannya," jelas Revin apa adanya.Setelah makan siang dan berbincang sebentar di ruang keluarga, Revin dan Lisa pun pamit pulang. Saat mereka beranjak dari sofa, Hendra dan Nafa ikut berdiri."Kenapa terburu-buru? Bagaimana kalau kalian menginap malam ini? Bukankah besok hari Minggu?" ucap Hendra sambil merangkul lembut putrinya. Tubuh Lisa yang kurus
Di tengah malam, Revin menjadi cacing kepanasan. Bagaimana tidak kepanasan? AC ruangan dimatikan. Dia duduk dan membuka kausnya, memampangkan dada berototnya yang seksi."Hah! Gerah!" keluh Revin. Kaus itu digunakannya untuk mengelap seluruh keringat di tubuhnya. Setelah sedikit tenang, matanya menoleh pada Lisa yang sedang meringkuk menghadapnya. Dia menjamah punggung tangan Lisa yang terasa sejuk."Dia masih terasa dingin. Apa ini tidak berbahaya? Sepertinya sejak hamil dia menjadi tidak sehat," ucap Revin dalam hati dengan kening mengerut.Tanpa sadar Revin mengenang masa pertemanannya dengan Lisa. Lisa begitu ceria, manja dan energik. Tubuhnya seksi dan sangat pintar membangkitkan gairahnya. Lisa adalah tempat yang sangat pas untuknya melepas segala penat yang membuatnya stres."Sayangnya ternyata kau adalah wanita penipu yang licik. Kau memanfaatkan rasa percayaku dengan cara yang kotor, menodai pertemanan kita. Aku benar-benar membencimu kalau mengingat bagaimana dirimu sudah mem
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak