Happy Reading! ^^
"Kenapa Erwin harus mengalami nasib yang sama denganku? Kami sama-sama mendapat istri yang tidak beres."Ben menutup matanya saat mengingat hubungannya dengan Kamila."Sudah berapa kali kukatakan! Kuruskan badanmu itu yang sudah seperti ba**bi!" bentak Kamila pada Ben."Iya, aku akan mencoba diet, tapi aku tidak bisa berkonsentrasi kerja kalau lagi lapar, Mila," lirih Ben dengan suara rendah."Alasan! Dasar rakus! Kau membuatku muak!"Hampir setiap hari mereka bertengkar.Saat itu, Ben masih miskin, masih proses meniti masa depan. Lalu Kamila, istri Ben, berselingkuh dengan pria lain yang tampan dan kaya. Begitu perselingkuhannnya ketahuan, bukannya memohon maaf, Kamila malah terang-terangan mengatakan bahwa Ben tidak bisa memuaskannya!"Tiga tahun kita menikah, tapi aku tak juga kunjung hamil! Kau tau kenapa? Itu karena kau impoten!" teriak Kamila dengan air mata berlinang. Seolah Kamila yang paling tersiksa dalam hubungan ini.Sebagai pria, harga diri Ben hancur berkeping-keping.Ben
Revin mengatupkan mulutnya saat mematikan panggilan. Dia menoleh pada Lisa dan menatapnya tajam."Nick Sialan itu suka berkunjung ke kafemu," ucapnya dengan nada menuduh."Tidak, aku sudah lama tidak bertemu dengannya, Kak," sangkal Lisa cepat. "Tadi siapa yang menelepon? Dan kita akan datang ke mana?" Wajah Lisa penuh tanda tanya bercampur khawatir."Mamamu yang gila itu yang menelepon. Dia mengundang kita makan siang di rumahnya, dan aku menerimanya. Apa kau senang?" tanya Revin dengan nada jijik. Tentu saja ia menyebut Nafa sebagai orang gila. Belum tahu pasti siapa yang mengangkat teleponnya sudah memaki-maki sembarangan.Tetapi tiba-tiba Revin sedikit menyipit saat menyadari sesuatu dalam pikirannya.'Wanita itu tadi memakiku sebagai pelacur sialan. Kalau dia memang benar menebakku sebagai Nick, bukankah harusnya ia menyebutku sebagai gigolo sialan?' Menurut Revin ini agak ganjil, tapi tidak mungkin juga Nafa memaki putri yang sangat ia sayangi seperti itu. Revin kembali menatap
Revin membuka suaranya. "Biar kau tahu, aku tidak mencintai putrimu sama sekali.""Aku tahu. Tapi putriku mencintaimu. Berikanlah dia kesempatan dan buka hatimu sedikit untuknya. Kalian akan memiliki bayi, dan saat kau melihat langsung darah dagingmu nanti kau akan merasa takjub," ucap Hendra membujuk."Aku masih tidak tahu apa janin itu darah dagingku atau bukan.""Lho, bukankah Lisa sudah melakukan tes DNA?" tanya Hendra terkejut. Hendra berpikir bahwa tidak ada keributan berarti masalah tes DNA berjalan dengan baik."Belum. Kandungannya lemah. Dokter melarang untuk melakukan tes DNA. Mungkin di bulan keempat atau kelima baru bisa melakukannya," jelas Revin apa adanya.Setelah makan siang dan berbincang sebentar di ruang keluarga, Revin dan Lisa pun pamit pulang. Saat mereka beranjak dari sofa, Hendra dan Nafa ikut berdiri."Kenapa terburu-buru? Bagaimana kalau kalian menginap malam ini? Bukankah besok hari Minggu?" ucap Hendra sambil merangkul lembut putrinya. Tubuh Lisa yang kurus
Di tengah malam, Revin menjadi cacing kepanasan. Bagaimana tidak kepanasan? AC ruangan dimatikan. Dia duduk dan membuka kausnya, memampangkan dada berototnya yang seksi."Hah! Gerah!" keluh Revin. Kaus itu digunakannya untuk mengelap seluruh keringat di tubuhnya. Setelah sedikit tenang, matanya menoleh pada Lisa yang sedang meringkuk menghadapnya. Dia menjamah punggung tangan Lisa yang terasa sejuk."Dia masih terasa dingin. Apa ini tidak berbahaya? Sepertinya sejak hamil dia menjadi tidak sehat," ucap Revin dalam hati dengan kening mengerut.Tanpa sadar Revin mengenang masa pertemanannya dengan Lisa. Lisa begitu ceria, manja dan energik. Tubuhnya seksi dan sangat pintar membangkitkan gairahnya. Lisa adalah tempat yang sangat pas untuknya melepas segala penat yang membuatnya stres."Sayangnya ternyata kau adalah wanita penipu yang licik. Kau memanfaatkan rasa percayaku dengan cara yang kotor, menodai pertemanan kita. Aku benar-benar membencimu kalau mengingat bagaimana dirimu sudah mem
Lisa bangun dan mendapati Revin bertelanjang dada tanpa memakai selimut. "Pasti Kak Revin kepanasan tadi malam," ucap Lisa dengan rasa bersalah. Dia memakaikan selimut yang saat ini ia pakai ke tubuh Revin, lalu beranjak ke toilet.Saat menyikat gigi, perhatian Lisa teralihkan pada bekas cupang di lehernya. "Apa ini? Seperti bekas....dicium?" ucapnya dalam hati. Lisa menggelengkan kepala atas pikirannya yang ngawur.Setelah menyelesaikan sikat giginya, dia kembali memeriksa lehernya. Ternyata bukan hanya satu, tapi ada beberapa. Semakin diperiksa ke bawah semakin banyak. Di dada lebih banyak! "Apa ini?" Wajah Lisa memerah. "Mana mungkin ini ulah Kak Revin?" gumamnya dalam hati."Ini bekas apa sebenarnya? Tidak ada rasa gatal." Lisa menyentuh bekas-bekas itu. Malah ada bekas yang terasa sedikit perih. Kening Lisa mengerut bingung."Apa ini efek samping obat?" Lisa menggeleng. "Tidak, kenapa cuma di sebelah sini saja ruamnya?"Setelahnya Lisa memakai baju yang lumayan menutupi tubuhnya y
"Kau bertanya seolah kau tidak tahu!" Revin tampak kesal."Sudah kuduga dia mencoba untuk mengejekku," ucap Revin dalam hati."Aku sungguh tidak tahu. Aku takut ini efek samping dari obat yang diberikan dokter padaku, tetapi ternyata tidak. Aku merasa lega," ucap Lisa dengan wajah polos. Dia benar-benar merasa lega. Tadi dia sempat sangat khawatir, dan berencana akan berkonsultasi pada Dokter Sinta dan Dokter Inggrid. Tetapi sekarang itu tidak perlu lagi."Berhentilah berbicara omong kosong. Tadi malam jelas-jelas kau yang merayuku. Sekarang tidak ada yang perlu dibahas lagi." Revin langsung masuk ke ruang pakaian meninggalkan Lisa.Lisa mematung dengan kening mengerut, penuh tanda tanya. "Merayunya? Mana mungkin aku berani melakukan itu? Kenapa aku sama sekali tidak ingat apa-apa?""Waktu itu juga, saat Kak Revin menuduhku bertelepon diam-diam karena cekikikan tengah malam. Aku juga tidak bisa mengingat soal cekikikan itu." Lisa memegang pelipisnya yang berdenyut. "Kenapa aku tambah a
Ben terkekeh pelan. Dia merasa lucu melihat ekspresi Alex dan Revin saat menatapnya dengan kejelian tingkat tinggi."Benar, kau benar-benar Ben!" seru Alex saat dia mulai yakin bahwa yang berdiri di hadapannya saat ini memang benar Ben. "Bagaimana bisa kau berubah sedrastis ini?" ucapnya kemudian sambil mendekat ke arah Ben dan menggenggam dua sisi bahunya."Tidak drastis, Kak. Butuh waktu tiga tahun lho," jawab Ben dengan senyuman lebar.Alex menatap wajahnya lekat-lekat. "Kau terlihat sangat tampan, Ben." Alex terpukau. Ben tertawa kecil"Benarkah kau om-ku?" tanya Revin masih meragu. Dia ikut maju selangkah mendekati Ben.Ben menoleh. "Tentu saja aku om-mu!" ucapnya sambil mengacak rambut Revin.Revin menepis tangan Ben. "Berikan kartu identitasmu biar aku percaya!"Alex menggeleng mendengar ucapan Revin. "Masa kau tidak bisa mengenali om-mu sendiri, Revin?""Beda, Pa! Dia sama sekali tidak mirip dengan Om Ben Gendut!" tegas Revin."Apanya yang tidak mirip? Hanya lemaknya sekarang s
Ben menatap lekat-lekat perempuan muda yang meletakkan cangkir teh dengan hati-hati di hadapan mereka masing-masing.'Perempuan ini, bagaimana bisa dia ada di sini? Apa dia mengenaliku?' Ben bertanya-tanya dalam hati."Tentu saja kan, Ben!" ucap Alex sambil menepuk pundak Ben, membuat Ben terkesiap."Apa?" sahut Ben dengan wajah agak terperangah."Kau melamun?" tebak Alex. "Belum ada sepuluh menit di rumah, kau sudah melamun. Ck, ck, ck!" Alex menggeleng."Tidak, tadi apa yang barusan Kakak katakan?" tanya Ben."Tadi kita membahas soal kue. Bukankah kau menjaga pola makan?""Iya, tapi tidak masalah jika memakannya dengan ukuran segini." Ben menatap cake di hadapannya."Baguslah kalau begitu," sahut Renata lega."Silakan diminum, Om," ucap Lisa tiba-tiba saat ia meletakkan satu cangkir berisi teh di hadapan Ben. Lisa tersenyum lembut pada Ben membuat bulu kuduk Ben meremang. Ben diam tidak menyahuti Lisa, tapi matanya menatap lekat pada perempuan itu, membuat Revin yang sedari tadi memp
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak