Revin menyipitkan matanya tak suka. "Aku tidak memikirkan hal itu untuk saat ini. Aku hanya ingin berfokus pada kesembuhannya," tegasnya.Ben menghela napas berat. "Aku sudah mengakui perbuatanku pada Hendra seperti yang diinginkan Lisa. Mungkin Lisa akan memaafkanku setelah masalah Nafa beres. Kau tidak perlu mencampuri, biar aku yang membereskan kesalahan kami. Jadi, berikan rekaman itu.""Itu memang sudah seharusnya kau lakukan sesegera mungkin. Tapi kenapa kau sangat bodoh, Om?" ucap Revin tiba-tiba dengan rasa kesal yang sedari tadi bergelayut di dadanya."Apa maksudmu?""Jawab pertanyaanku, kapan kau akhirnya tahu bahwa ternyata Lisa adalah korban? Bagaimana bisa kau baru tahu kelalaianmu yang parah itu setelah tiga tahun berlalu?"Ben terdiam. Pertanyaan Revin membuatnya tertohok. Dia sudah lama tahu bahwa Lisa adalah korban! Beberapa bulan setelah kejadian, Lisa sebenarnya datang memberanikan diri menemuinya ke kantor. Seharusnya itu bukanlah hal yang mudah bagi Lisa untuk bisa
"Ada apa dengan wajah Mama?" tanya Damian dengan mata melebar saat masuk ke dalam kamar Nafa.Nafa menoleh dan segera mematikan panggilannya. Ia meraba pelan pipinya yang membiru dan bengkak dengan canggung. "Tidak ada. Ada apa, Damian?" Nafa langsung menghampiri putra satu-satunya itu."Aku tanya wajah Mama kenapa? Apa Hendra yang melakukannya?""Bukan."Kening Damian mengerut heran. "Apa yang terjadi?"Mata Nafa tampak berkaca-kaca. "Ini tidak akan terjadi seandainya kau menahan ucapanmu yang berbahaya itu pada Revin, Damian. Kau membuat Mamamu sendiri tersudut hingga Mama akhirnya menjumpai orang yang berbahaya, padahal Mama sangat sayang padamu."Deg! Jantung Damian berdetak lebih cepat. "Apa maksud Mama? Apa Revin yang membuat Mama seperti ini?""Bukan. Sudahlah tidak usah membahasnya lagi. Kepala Mama pusing." Nafa berbalik meninggalkan Damian dengan sedikit tertatih dan duduk di sofa kamar itu."Ma! Katakan, siapa yang sudah memukul Mama! Bukan Hendra ataupun Revin, lalu siapa?
Dua minggu telah berlalu sejak tim dokter menangani Lisa. Beberapa jenis obat yang biasa dikonsumsi telah dihentikan oleh tim dokter. Dokter mengatakan obat itu cukup keras hingga mengganggu syaraf otak dan membuat Lisa koma. Tim itu menggantinya dengan jenis obat lain. Sayangnya hingga saat ini Lisa masih belum mendapatkan kesadarannya, dan dengan demikian tim dokter juga tidak bisa berbuat banyak."Revin, kapan kau akan kembali ke kantor? Dua minggu lebih kau tidak masuk kantor. Bahkan kau hanya pulang sekali ke rumah sejak Lisa masuk ke rumah sakit, itu pun hanya sebentar," keluh Alex melalui panggilan telepon. Ia merasa heran melihat putranya yang menurutnya kurang masuk akal. Para karyawan menjadi agak kewalahan karena Revin mengerjakan pekerjaan kantornya di rumah sakit. Itu cukup merepotkan.Rumah Sakit Citra Kasih adalah rumah sakit besar dan menyediakan beberapa kamar sewa di lantai paling atas khusus untuk keluarga pasien yang memutuskan untuk menginap. Revin memilih mengin
"Hmmpt! Kau pikir dengan suara lebih tinggi, ucapanmu jadi benar? Dari dulu Mama sudah meragukan Lili sebagai cucu kandungku."Kening Hendra mengerut. 'Pantas saja mamaku selalu bersikap ketus pada Lisa? Padahal sewaktu Lisa masih kecil mamaku sangat menyayanginya. Entah angin apa yang membuatnya berubah? Aku pikir karena Lisa mulai menjadi anak nakal tapi ternyata bukan hanya karena itu saja. Apa jangan-jangan...? Ukh....' Hendra merapatkan giginya."Apa yang sebenarnya membuat Mama meragukan Lisa? Apa jangan-jangan Nafa mengatakan yang tidak-tidak?""Mama sebenarnya tidak ingin membahas ini karena Mama dan Nafa sudah memutuskan untuk merahasiakan ini. Tapi karena kau tiba-tiba mengatakan hal yang tidak masuk akal, maka Mama akan memberitahumu. Saat Lisa masih kecil, Nafa secara diam-diam melakukan tes DNA pada Lisa dan hasilnya ternyata Lisa bukan anak kandungmu. Mama sudah lihat sendiri hasil tesnya. Nafa menunjukkannya pada Mama.""Apa?" Hendra terkejut bukan main mendengarnya. "It
"Aku...aku tidak mau menandatangani surat itu," ucap Nafa dengan mulut bergetar."Ma?" Damian mengerutkan kening. Begini saja Damian sudah bersyukur karena Hendra hanya menceraikan ibunya dan mengusir mereka berdua. Bahkan Damian merasa ini seperti mimpi. Seorang Hendra apa mungkin bertindak hanya dengan cara seperti ini? Tapi sekarang kenapa mamanya malah mencoba membuat persoalan?Mata Hendra menyipit tak senang. Dia mendengkus. "Tidak masalah. Hasil tes DNA antara aku dan Damian akan memperlancar perceraian kita," ucap Hendra sambil mengambil surat dari kantongnya. Setelah sekilas memperlihatkannya dia lalu kembali mengantonginyaMulut Nafa terbuka. Jadi Hendra bahkan sudah melakukan tes pada Damian, itu sebabnya suaminya itu tanpa ragu mengatakan bahwa Damian adalah anak haram.Nafa menepis pelan tangan Damian yang memeganginya lalu dengan cepat dia melangkah ke arah Hendra dan berlutut memegangi kaki suaminya itu dengan air mata berlinang. "Pa, ampuni Mama, Pa. Mama khilaf. Papa b
"Apa yang barusan kau katakan?" ucap Renata dengan tubuh kaku. Ia menatap Ben dengan tatapan tak percaya. Bahkan sampai sekarang dia masih sulit menerima fakta bahwa Ben pernah memiliki anak dari menantu perempuannya. Tapi apa yang dijelaskan Ben saat ini jauh lebih mengejutkan."Aku tidak perlu mengulangnya," ucap Ben dengan wajah merah. Ini cukup memalukan saat ia mengakui kesalahan fatalnya di hadapan kakaknya sendiri. Berbeda terhadap Revin, terhadap Renata dan Alex, ia menjelaskan semuanya."Kau tahu saat itu Lisa adalah korban tapi kau malah bersikap tidak peduli?" tanya Alex lebih memperjelas."Aku tahunya beberapa bulan setelah kejadian. Tapi jahatnya aku, aku tidak mau tahu saat itu. Sekarang aku menyesali perbuatanku ini."Renata beranjak dari kursinya. "Aku sungguh tidak mengerti! Jadi Lisa adalah korban di sini? Kalian bukan sama-sama saling mau, tapi Lisa dijebak, dijual oleh Nafa! Dan kau, setelah tahu Lisa adalah korban, kau malah bersikap masa bodoh?" tanya Renata deng
Tubuh Nafa mendadak tegang, tapi matanya berkobar dengan kemarahan. "Gara-gara kau aku kehilangan suami yang baik, yang tulus mencintai aku. Tapi kau seenaknya saja bicara seperti itu. Pokoknya kau harus mengembalikan semua uangku! Kembalikan sekarang juga!" teriaknya kembali, sementara orang-orang terus menontoni mereka."Kau ini, kenapa sulit se..." Kata-kata Dani terhenti saat mobil polisi berhenti di sana, dan dua polisi keluar dari mobil itu. Kedua polisi itu memang ingin menangkap Nafa. Mereka sudah membawa surat penangkapan.Melihat kedua polisi itu berjalan ke arahnya, Nafa pun menjadi panik. Beberapa malam ini dia terus diganggu mimpi buruk ditangkap oleh polisi. Itu sebabnya tanpa pikir panjang dia melepaskan diri dari Dani dan berlari mendadak ke tengah jalan."Awas, Ma!" seru Damian saat melihat sebuah motor melaju cepat. Posisinya yang terhalang Dani jelas tidak memungkinkan untuk menolong. Hal itu membuat wajah Damian memucat, tapi Dani yang lebih dekat ke jalan langsung
"Nyonya Salwa?" sapa Revin dengan hormat.Salwa menoleh menatap Revin bersamaan dengan Hendra. Salwa mengamati wajah Revin. Sepertinya ia mengenalinya. "Kamu...?""Saya Erwin, Nek," ucap Revin. Melihat dari jarak dekat membuat Revin merasa pasti bahwa wanita tua ini adalah Salwa. Itu sebabnya ia langsung memanggilnya dengan sebutan nenek.Mata Salwa melebar. Dia pun langsung mengenalinya. "Eh iya, kau Erwin ternyata. Kau sudah besar sekarang ya." Salwa mencoba bersikap ramah walau hatinya sedang gundah gulana. Terakhir bertemu dengan Erwin adalah saat Erwin yang sudah remaja datang mengunjunginya untuk bertemu Lili.Revin tersenyum kecil. "Iya Nek. Nenek ternyata kenal dengan ayah mertua saya, ya?" tanyanya mengorek. Sebenarnya dia penasaran apa hubungan Nenek Salwa dengan Hendra. Kenapa mereka berjalan bersama untuk menjenguk Lisa?"Ayah mertuamu? Maksudmu Hendra?" tanya Salwa cukup terkejut."Iya, Nek," lugas Revin.Salwa sekilas menatap Hendra. "Dia putra saya," ucap Salwa membuat R
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak