Terima kasih atas dukungan kakak sekalian pada novel Terlambat Mencintai Lisa. ^^ Dukung terus karya ini dengan memberi Vote, komentar dan ulasan bintang Lima. Happy Reading! ^^ ❤️(◠‿◕)
Lisa adalah perawan pertama dan terakhir yang Ben pernah beli. Sebelumnya dia hanya menyewa wanita panggilan dengan syarat wanita itu harus sehat. Dan setelahnya Ben tidak pernah lagi menyewa wanita panggilan ataupun membeli gadis karena Ben semakin tenggelam akan kesibukan pekerjaannya. Lagi pula ia juga berada dalam keadaan tertekan karena mendengar kabar bahwa mantan istrinya sedang hamil anak yang kedua, sementara dirinya masih saja menduda, kesepian dalam kesendirian. Inilah yang membuatnya semakin tidak tertarik bahkan untuk sekedar bersenang-senang.Ben mengetuk kamar Revin pelan.Tok tok tok... Suara ketukan terdengar samar pada pendengaran Lisa. Sekali lagi Ben mengetuk pelan, Lisa pun tersadar dan membuka matanya."Siapa yang mengetuk? Jika Kak Revin, pasti langsung masuk," ucap Lisa dalam hati."Tunggu sebentar," sahut Lisa turun dari ranjang dan membuka pintu. Lisa cukup terkejut karena Ben-lah yang ternyata mengetuk pintu kamar. Lisa mendadak merasa tegang saat mendapati B
Ben adalah sosok yang baik, hangat dan penuh perhatian. Tetapi itu berlaku hanya pada keluarganya saja. Tidak pada orang lain! Ben cukup dingin pada orang lain, dan sikap dinginnya semakin parah setelah Kamila ketahuan berselingkuh. Kalau begitu, karena Ben tahu bahwa Lisa sebenarnya tidak dianggap bagian dari keluarga ini, lalu apa alasannya Ben bersikap peduli padanya?Revin jelas tidak suka saat Ben menawarkan Lisa hadiah. Apa dasarnya Ben bersikap baik pada Lisa? Dari awal Revin mendapati Ben bersitatap dengan Lisa, Revin sudah merasa tidak nyaman dan curiga karena ia tidak pernah sekalipun melihat Ben menatap wanita lekat-lekat seperti itu. Alasan Ben yang mengatakan padanya bahwa dia hanya menilai Lisa akibat mendengar cerita negatif Renata dan Alex sama sekali tidak membuat Revin percaya."Kau mau hadiah apa?" tanya Revin merangkul Lisa."Hadiah?" Lisa mendongak menatap Revin. Dia merasa tak percaya atas apa yang ia dengar barusan, seperti saat Revin menyuapinya teh madu tadi. T
'Walaupun tidak Kakak akui tapi dari tingkah laku Kakak sendiri bukankah jelas menunjukkan bahwa Kakak telah berselingkuh dengan Cherrine selama ini?' Ingin sekali Lisa menjawab seperti itu tetapi Lisa takut Revin marah. Lagian yang terpenting saat ini bukan itu, tetapi memastikan apakah Revin benar-benar menolak Cherrine atau tidak? Dan, apakah suaminya itu sungguh-sungguh telah mengatakan bahwa Cherrine adalah anaconda? Jika benar demikian, Lisa merasa lega.'Tetapi kalau Kak Revin sudah sadar bahwa Cherrine perempuan jahat kenapa mereka masih berkomunikasi? Manakah yang benar di sini?' Pikiran Lisa mendadak rumit. Itu terlihat dari keningnya yang mengerut."Jangan berpikir macam-macam," ucap Revin dengan nada dingin melihat ekspresi Lisa yang seperti itu. Tetapi tangannya kemudian naik dan mencubit pipi kiri Lisa dengan rasa gemas, membuat Lisa terkejut dan tersadar dari pikirannya yang sedari tadi tenggelam.Revin menatap Alex. "Pa, daripada membahas hal yang tidak penting seperti
Mata Revin menyipit melihat Lisa seketika menyembunyikan ponselnya."Aku tahu kau barusan video call. Siapa itu? Kenapa kau langsung menyembunyikan ponselmu?" tanyanya dengan nada curiga. Tadi Revin sempat melihat Lisa tersenyum lembut saat video call."I..ini.."Revin langsung merampas ponsel Lisa tanpa menunggu jawaban. Tebakan Revin, itu adalah pria, mungkin saja Nick. Itu sebabnya keningnya langsung mengerut curiga.Lisa tampak gugup saat Revin memeriksa ponselnya dengan raut serius dan mata tajam."Dokter Sinta?" ucapnya membaca riwayat panggilan video. Revin mengangkat satu alis sambil menatap Lisa dengan tanda tanya. Dia agak heran, kenapa Lisa sampai segugup itu hanya karena ia mendapatinya sedang melakukan panggilan video dengan seorang dokter?"Dokter Sinta, apa dia dokter kandunganmu?" tanya Revin menebak."I-iya, Kak," jawab Lisa berbohong karena Dokter Sinta adalah psikiater.Sedari tadi Lisa tidak membalas pesan terakhir Dokter Sinta, dokter itu menjadi agak khawatir, itu
Lisa terpekik saat tiba-tiba tubuhnya terangkat dan sudah berada di pangkuan Revin. Ia terkejut akan posisinya dan langsung mendongak menatap Revin."Yang mau memukulmu siapa?" tanya Revin."Tadi Kakak bilang mau memukulku," lirih Lisa.Revin mendengkus pelan. "Sikapmu tadi seolah aku sudah terbiasa memukulmu. Jawab aku, apa aku pernah memukulmu? Tidak pernah, kan? Kalaupun kau salah mendengar, seharusnya jangan bersikap berlebihan."Lisa diam. Revin tidak ingat pernah menampar Lisa di malam pernikahan mereka. Saat itu Revin mabuk, tetapi Lisa mengingatnya."Kau makan cukup baik tadi. Kau harus makan seperti itu seterusnya supaya janinmu sehat."Lisa mengangguk. Dia merasa nyaman berada di pangkuan Revin seperti bayi. Mata Revin melirik pada bibir Lisa yang sedikit terbuka."Kau juga harus ingat bahwa tidak ada kucing yang menolak ikan asin." Setelah berkata seperti itu, Revin mengecup bibir Lisa, mata Lisa melebar merasakan kecupan singkat itu."Kau dingin, aku akan menghangatkanmu. K
Ben segera tersadar dan matanya beralih pada Revin yang sedang menatapnya tajam."Suaramu keras sekali, Revin. Ada apa?" tanya Alex agak kesal karena terkejut. Renata dan Lisa juga menatap Revin dengan wajah bingung."Tanyakan saja pada Om Ben," jawab Revin dengan nada dingin."Bukankah tadi kalian baik-baik saja? Ada apa tiba-tiba, Ben?" Alex menatap Ben dengan wajah heran.Ben tahu apa yang membuat Revin marah, tapi tadi itu dia juga tidak sadar melakukannya. Lalu dengan nada tenang dia berkata, "Erwin, kau sepertinya salah paham.""Salah paham atau tidak, yang pasti aku tidak suka kalau Om menatap istriku seperti itu, apa pun alasannya!" lugas Revin."Apa?" Renata terkejut masih bercampur dengan rasa bingung. Begitu pula Alex dan Lisa.Ben mendesah pelan. Dia sendiri bingung kenapa tanpa sadar ia terus-terusan menatap Lisa hingga lagi-lagi tertangkap oleh Revin. "Apa mungkin aku tertarik pada Lisa?" ucapnya dalam hati. "Hah...Mana mungkin?" tolaknya dengan cepat.Alex membuka suara.
"Aku tidak akan ikut campur, Pa. Asalkan Liliana itu adalah perempuan yang baik."Hati Lisa sangat berat tapi dia tulus mengucapkannya. Perempuan baik akan menjadi ibu yang tepat untuk bayinya nanti.'Kalau dipikir-pikir justru bagus jika mereka menjodohkan Kak Revin sekarang. Jadi aku bisa sempat menilai sifat calon ibu untuk bayiku nanti.' Lisa mencoba menghibur hatinya sendiri.Di lantai atas saat Lisa hendak memasuki kamar, Ben menahannya."Lisa!" serunya pelan.Lisa menoleh. "Ada apa, Om?" tanya Lisa sedikit tak tenang."Ada yang ingin kubicarakan padamu," ucap Ben."Maaf, Om kan tahu sendiri, Kak Revin melarang kita mengobrol berdua. Lebih baik bicara saat ada Kak Revin.""Tidak, jika Om bicara saat ada dia, dia akan berpikir kalau Om tidak percaya padanya. Om hanya ingin tahu apakah yang dikatakan Erwin itu benar atau tidak, cerita tentangmu.""Untuk apa Om tahu? Apa dengan bercerita Om akan lebih percaya padaku daripada Kak Revin?"Ben diam."Tidak, kan?" ucap Lisa lagi."Meman
Ben telah kehilangan satu kesempatan untuk memiliki seorang anak yang selama ini ia impikan dan itu semua karena dia adalah seorang bajingan! Pemikiran itu yang membuat Ben merasa tertusuk."Lisa...," ucapnya tapi tidak tahu harus berkata apa. Ben lalu mengatupkan mulutnya dengan wajah penyesalan."Apa Om percaya yang kukatakan?" tanya Lisa melihat Ben sepertinya memang bersimpati padanya."Aku percaya padamu," jawab Ben masih dengan raut yang sama. Meyakini fakta bahwa Lisa pernah mengandung anaknya, Ben memutuskan untuk tidak memasang jarak. Mulai di sini, dia tidak lagi menggunakan kata om untuk menyebut dirinya sendiri."Walaupun aku tidak memiliki bukti?" tanya Lisa dengan mata melebar."Iya, walaupun begitu.""Kenapa?" Lisa merasa tak percaya akan apa yang ia dengar. Bahkan saat Damian berkata bahwa ia percaya padanya dan membuatnya langsung tersentuh, tetap saja Lisa tidak bisa percaya sepenuhnya. Lisa berpikir mungkin saja Damian berbicara manis dengan tujuan untuk mendapatkan
Lisa tetap diam. Hatinya menjadi semakin resah. Sebaliknya daripada menjawab Revin, Lisa mengalihkan pandangannya pada Damian. Dia seolah menunggu kode, tetapi Damian hanya diam tidak berkata apa-apa.Akhirnya dia beralih menatap Revin. Dengan gugup dan malu dia berkata, "Kau bilang, kau... mengetahui fakta tentangku. A-apa kau juga tahu bahwa dulu sewaktu masa sekolah, aku...aku...pernah mengalami..." Lisa diam tidak mampu melanjutkan kata-katanya. Baginya ini sangat menyedihkan dan memalukan. Tapi tiba-tiba Revin memeluknya membuat Lisa terkejut dan melebarkan mata."Tidak usah kau jelaskan, Sayang! Aku tahu semua hal buruk yang menimpamu. Pria itu sudah mendapatkan ganjarannya di penjara. Begitu pula dengan Nafa, mantan ibu tirimu. Sampai sekarang dia masih berada di sana."Mendengar itu, air mata Lisa tiba-tiba jatuh tanpa bisa ia kendalikan. Tubuhnya bergetar dan dia mulai menangis. Dia sudah tahu tentang nasib pria itu dan nasib Nafa dari Damian, tapi saat pria ini yang mengataka
Revin terdiam mendengar ucapan Damian yang dari sejak lima tahun lalu sebenarnya selalu ia pikirkan. Apakah Lisa memang membencinya? Apakah itu adalah fakta? Sampai sekarang Revin tidak tahu jawabannya. Dan itu benar-benar berhasil membuatnya merasa gelisah dan dihantui. Tapi dia selalu mengingat saat terakhir ia berbicara pada Lisa waktu itu di mana Lisa masih memberikan perhatian pada luka di sudut bibirnya. Jika Lisa memang membencinya, mana mungkin ia masih memperhatikan hal kecil seperti itu sementara dirinya sendiri sudah di ambang maut. Entahlah! Revin tidak bisa menerkanya."Aku akan membuatnya mencintaiku," jawab Revin singkat pada Damian.Damian kembali mendengkus. "Rasa percaya dirimu terlalu tinggi."Revin mengerutkan kening. "Batu pun akan berlubang jika terus terkena tetesan air. Asalkan aku bertekun berbuat sebaik mungkin untuknya, aku akan mendapatkan hasilnya. Tapi itu bisa terjadi kalau kalian semua setuju untuk tidak ikut campur dalam hubungan kami."Damian menghela
"Mereka tidak terlibat," jawab Damian jujur.Revin sedikit lega mendengarnya ternyata orang tuanya masih memiliki hati nurani. Dia lalu bersedekap. "Kau menyembunyikan istriku selama lima tahun, aku bisa saja menjebloskanmu ke dalam penjara, Damian."Damian menatap Revin. "Laporkan saja, tapi Lisa akan semakin membencimu jika kau melakukan itu.""Dia kehilangan ingatan. Dia lupa padaku, jadi dia tidak memiliki rasa benci," tanggap Revin.Damian mendengkus. "Aku bisa membuatnya membencimu.""Apa pun itu akibatnya. Aku tetap bisa melaporkanmu kalau aku berkehendak," tegas Revin dengan kening mengerut tidak suka akan ancaman Damian.Damian geram mendengarnya. "Lima tahun lalu, Lisa mengalami mati suri. Harusnya kau berterima kasih padaku. Kalau bukan karena aku, Lisa pasti sudah dikubur hidup-hidup. Akulah satu-satunya yang menyadari bahwa Lisa masih hidup karena aku terus memperhatikannya dengan seksama dan langsung membawanya ke rumah sakit untuk memastikan penglihatanku!"Mereka semua
Di ruang rawat, mata Revin terus tertuju pada Lisa. Dan tangannya tak pernah lepas menggenggam tangan Lisa. Sesekali ia mengusap kepala Lisa pelan dengan rasa sayang."Lisa, aku mencintaimu," ucapnya dengan wajah sendu. Hingga detik ini ia masih tidak menyangka bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati memberinya kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya pada Lisa."Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang Kau berikan padaku ini, Tuhan," ucap Revin di dalam hati dengan penuh rasa syukur.Pikirannya terus berputar merancang masa depan apa yang akan ia jalani bersama Lisa dan putri mereka satu-satunya."Itu sangat bagus jika Lisa benar-benar lupa," gumam Revin. "Aku berharap dia bisa lupa untuk selamanya. Bukankah sangat bagus jika Lisa lupa akan hal yang menyakitkan dalam hidupnya? Aku hanya tinggal membuat kenangan yang baru untuk kami. Kenangan-kenangan baru yang indah yang pantas untuk dikenang."Walaupun hilangnya sebagian ingatan Lisa sama dengan melupakan hubungan mereka, bagi R
Revin sungguh terpesona saat melihat Lisa keluar dari area toilet. Melihat Lisa secara langsung seperti ini, membuat keyakinan Revin mencapai seratus persen bahwa wanita yang berfoto dengan Lalisa memang adalah Lisa, istrinya. Lisa benar-benar masih hidup! Rasanya seperti mimpi bagi Revin. Tapi dia sadar betul bahwa ini adalah kenyataan! Kenyataan yang sungguh menakjubkan! Lisa terlihat sangat cantik, sama saat pertama kali ia mengenalnya di masa kuliah dulu. Jika dibandingkan dengan masa itu, Lisa sama sekali tidak ada perubahan.Namun, Revin tentu masih sangat mengingat tubuh kurus Lisa dengan perut membuncit dan penyakitan. Saat itu Lisa terlihat sangat menyedihkan. Tapi kini sosok Lisa yang seperti itu sudah tidak ada. Memikirkan hal ini, jelas sekali menunjukkan bahwa Lisa menjalani hidupnya dengan sangat baik selama lima tahun ini."Ternyata Lisa telah mengambil keputusan yang tepat untuk bersembunyi dariku dan Lalisa," ucap Revin dalam hati dengan patah semangat. Sejujurnya dia
"Ini adalah hari bahagia Damian, aku harus semangat, setidaknya untuk hari ini," ucap Lisa di dalam hati.Ia menatap penampilannya di depan cermin toilet. Cermin itu ukurannya memanjang sehingga beberapa wanita bisa bercermin di cermin yang sama secara bersamaan. Saat ia sibuk memperbaiki penampilannya Lisa pun segera menyadari sesuatu. Di dalam cermin, dia melihat pantulan seorang gadis kecil yang sedang menatapnya dengan intens di belakang. Lisa otomatis berbalik dan menatap si gadis kecil. Dia pun langsung terpesona melihat boneka cantik itu."Hai, kenapa sendirian?" sapa Lisa dengan senyuman lembut."Aku tidak sendiri. Papaku ada di luar menunggu." Lalisa langsung melangkah menghampiri Lisa, mendongak menatapnya dengan mata berbinar."Oh begitu.... Siapa namamu?" tanya Lisa sambil merundukkan punggungnya."Namaku Lalisa. Nama Kakak siapa?""Wah! Nama kita hampir sama. Nama Kakak, Lisa.""Mamaku namanya Lisa juga!" ucap Lalisa."Oh ya?""Iya, tapi sudah meninggal," sambung Lalisa ce
"Entahlah!" jawab Lisa dengan rasa ragu. "Apa aku menulis seperti itu di buku harianku? Aku ingin melihat buku harianku itu.""Kau tidak percaya padaku? Aku berkata jujur.""Pokoknya aku ingin melihatnya. Mana tahu aku bisa mengingat masa beberapa tahunku yang hilang.""Buku hariannya tidak ada padaku. Aku tidak tahu sekarang ada di mana. Mereka yang menyimpannya."Lisa menghela napas. "Apa papa sedih saat aku meninggal?" tanya Lisa penasaran"Tepatnya dia dihantui rasa bersalah. Soalnya apa yang dituduhkan mamaku soalmu sudah terbukti tidak benar. Dia mengira bahwa ia sudah tidak memiliki kesempatan untuk menebus kesalahannya padamu. Mungkin itu juga yang membuatnya terkena stroke saat itu juga."Lisa diam merenungkan ucapan Damian. Papanya menyesal? Jika itu benar, bukankah itu bagus! Bukankah itu hal yang diinginkan Lisa selama ini bahwa papanya akhirnya menyadari kebenaran bahwa ia tidak bersalah?"Harusnya kalau kau melihat papaku menyesal, kau tidak perlu membawaku pergi, Damian.
Damian menolak panggilan itu, tetapi saat dia kembali membuka suara, ponselnya berbunyi kembali."Dari siapa? Angkat saja dulu," ucap Lisa, tapi Damian malah mengaktifkan mode pesawat agar telepon tidak dapat masuk."Yang mau kukatakan lebih penting. Jujur, Lisa. Aku sangat terkejut karena kemarin kau tiba-tiba datang kemari tanpa pemberitahuan.""Kalau kuberitahu, kau pasti tidak mengizinkan. Kau terlalu mengkhawatirkanku, padahal aku baik-baik saja sekarang."Damian menghela napas. Lisa datang ke ibukota, cepat atau lambat rahasia yang ia simpan pasti akan terbongkar. Semalaman Damian memikirkan hal ini. Dan kesimpulan yang ia tarik adalah lebih baik jika dia duluan yang mengungkapkan. Walaupun tentu saja tidak semua langsung ia beritahu. Beberapa hal akan dia tahan dulu. Dia takut mental Lisa malah terganggu kembali jika ia memberitahu semuanya sekaligus. "Berjanjilah kau tidak akan marah. Ada rahasia yang ingin kuberitahu." "Baiklah, apa itu?" jawab Lisa cepat. Lisa yakin sepenuhn
"Bu! Apa Lisa sudah kembali? Aku tidak melihatnya di sana," seru Damian dengan wajah pucat dan napas tidak beraturan begitu sampai ke dalam rumah."Tenanglah, Nak. Dia sudah kembali. Mungkin dia sedang mandi sekarang," jawab ibu tiri Damian dengan suara tenang.Seketika hati Damian melega. Dia pun pergi ke lantai atas untuk menunggui Lisa. Tidak berapa lama Lisa pun muncul. Secara fisik dia sehat. Berat badannya pun normal. Lisa terlihat sangat cantik dan awet muda dengan rambut hitam lurus sebahu. Dia tidak lagi mengecat rambutnya. Dan walaupun usianya sudah 26 tahun, ia terlihat seperti berusia 20 tahun."Lisa!" seru Damian menghampiri Lisa, dan langsung memeluknya."Kenapa pergi ke kuburan sendirian?" tanyanya tak paham setelah melepas pelukannya.Lisa tersenyum. "Kau mengkhawatirkanku?""Kau tahu akulah manusia yang terus mengkhawatirkanmu," lugas Damian dengan bibir cemberut."Kau kan banyak urusan karena akan wisuda, jadi aku memutuskan pergi sendiri. Aku sudah lama sekali tidak