"Paman Iwan, bawa aku menemui Kakek dan Nenek dulu," balas Lastri. Dia menggenggam tangan Gibran tanpa ragu dan memutuskan pergi ke paviliun tengah untuk menemui kakeknya."Baik, Nona. Saya akan segera mengantar Anda menemui Tuan Heru." Iwan terkejut sejenak, lalu wajahnya berseri-seri. Dia segera menyuruh seseorang berlari ke bagian belakang kediaman untuk memberi tahu kabar tersebut.Namun, raut wajah Yani langsung berubah. Dia buru-buru berkata, "Nona Lastri, Nyonya masih menunggu Anda! Anda seharusnya ...."Lastri menyela dengan tegas, "Bibi Yani, Ibu lebih muda dari Kakek. Hari ini aku kembali ke kediaman, tentu saja harus menghormati yang lebih tua dulu."Usai berkata demikian, dengan arahan Iwan, Lastri menggenggam tangan Gibran dan berjalan bersama Guntur menuju paviliun tengah, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.Kepala Keluarga Sudrajat, Heru Sudrajat, pernah menjadi guru kaisar saat ini. Setelah kaisar naik takhta, dia diberi gelar kehormatan sebagai "Guru Kaisar". Itu me
"Kakek, Nenek, aku memberi salam pada kalian berdua." Lastri berlutut di depan Heru dan Utari. Dia menunduk sekali, lalu mengangkatnya kembali. Wajahnya sudah penuh dengan air mata.Gibran yang berdiri di samping kakaknya, bingung kenapa kakaknya begitu emosional. Dia melihat ada satu alas duduk kosong di samping kakaknya dan langsung ikut berlutut di sana."Kakek, Nenek, jangan marah pada Kak Lastri. Ini semua salah Gibran." Sambil berkata begitu, Gibran juga menundukkan kepala dengan penuh hormat.Heru, Utari, Dimas, Ajeng, dan Guntur kehabisan kata-kata. Puspa baru berusia 10 tahun dan merupakan gadis kecil yang ceria. Melihat Gibran yang biasanya terlihat dewasa tiba-tiba bertingkah seperti ini, dia tidak bisa menahan tawa."Hahaha. Gibran, itu tempat duduk untuk Kak Guntur!" seru Puspa.Guntur tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia mengangkat Gibran dari tempat duduk itu dan berlutut di tempatnya sendiri.Guntur berujar, "Aku, Guntur, memberi salam kepada Kakek dan Nenek. Moho
Semua orang menoleh ke arah suara itu. Terlihat Ririn masuk dengan langkah cepat. Wajahnya penuh amarah. Dia mengenakan gaun panjang berwarna merah dengan sulaman benang emas berbentuk bunga botan.Itu memperlihatkan lekuk tubuhnya yang anggun. Meskipun dia sudah menjadi ibu dari dua anak, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda penuaan. Jadi ketika berdiri di samping putrinya, orang akan mengira mereka adalah kakak beradik."Lastri, kamu mau membuatku kesal ya?" seru Ririn yang sangat emosi. Bahkan sebelum dia tiba, suara tegurannya sudah terdengar.Ajeng yang melihat sikapnya hanya bisa mengelus wajahnya sendiri sambil berbisik dengan nada cemburu, "Dia sama sekali nggak perlu banyak pikiran. Memang benar, orang yang nggak terlalu banyak khawatir lebih lambat tua."Dimas menoleh dan memelotot pada istrinya. Sudah saat seperti ini, dia masih sempat-sempatnya membahas itu!Dimas berdiri dan berniat untuk menengahi, tetapi sebelum dia sempat bersuara, keponakannya sudah berbi
Ajeng yang hendak melanjutkan ucapannya langsung terdiam dan tergagap. Dia buru-buru berdiri, lalu coba menjelaskan kepada Utari, "Ibu, aku nggak bermaksud seperti itu. Aku bukan menolak memberi salam kepadamu, sungguh. Hanya saja, Kak Ririn terlalu berlebihan!"Namun sebelum Utari sempat membuka mulut, Ririn sudah mendahului berbicara dengan nada menyindir, "Jadi karena keluargamu nggak mendapatkan keuntungan dari kami, sekarang kamu merasa dirugikan? Jangan-jangan, kamu iri karena suamiku sudah tiada?""Rinin, mulutmu busuk banget!" seru Ajeng yang murka. Dia tidak lagi peduli soal menjaga harga diri dan langsung ingin menerjang ke arah Ririn."Istriku, apa yang ingin kamu lakukan?" Dimas buru-buru menghentikan istrinya. Dia memeluknya erat agar dia tidak benar-benar menyerang.Wajah Ririn berubah muram. Matanya memancarkan amarah ketika berucap, "Ajeng, namaku Ririn, bukan Rinin!"Awalnya ini hanya kunjungan biasa setelah pernikahan, tetapi kini berubah menjadi arena pertengkaran du
Raut wajah Ririn terus berubah-ubah, sementara matanya menunjukkan kepanikan. Saat hendak berbicara, dia melihat Heru berdiri dari kursinya dengan langkah terhuyung, lalu berjalan cepat ke arah peti berisi buku-buku itu.Heru mulai membuka satu per satu buku dan gulungan lukisan di dalam peti itu, memeriksanya dengan saksama, lalu mengembalikannya ke tempat semula.Ekspresinya yang awalnya serius makin lama menjadi makin muram, hingga akhirnya penuh kemarahan. Setelah selesai memeriksa, dia tidak lagi melanjutkan.Heru berbalik dan menatap Lastri, lalu berucap, "Lastri, kamu bilang semua ini adalah bagian dari mahar sepupumu?""Benar, Kakek. Peti-peti ini adalah bagian dari mahar Sekar." Lastri kemudian menjelaskan dengan singkat kejadian yang terjadi sehari sebelumnya di Kediaman Adipati, termasuk bagaimana dia menemukan barang-barang itu.Setelah selesai, Lastri menambahkan, "Kakek, bukan berarti aku nggak berbakti, tapi masalah ini terlalu penting untuk diabaikan. Aku nggak punya pi
Ririn jatuh terduduk di lantai dengan wajah pucat pasi. Utari menarik napas panjang sebelum berujar dengan tegas, "Dimas, suruh seseorang lapor petugas. Katakan bahwa kediaman kita kerampokan!"Dilaporkan ke petugas? Otak Ririn yang semula kacau langsung tersadar. Dia buru-buru merangkak dan memeluk kaki Utari, lalu memohon dengan panik, "Ibu, aku bersalah! Tolong jangan laporkan ini ke pemerintah!"Ririn tahu benar bahwa Utari adalah orang yang selalu menepati ucapannya. Jika benar-benar dilaporkan, reputasinya akan hancur total.Setelah menjadi Nyonya Kediaman Sudrajat selama bertahun-tahun, Ririn selalu menjaga citranya di hadapan orang luar. Namun jika kasus ini tersebar luas, dia akan kehilangan harga diri. Apabila reputasinya rusak, siapa lagi yang mau bergaul dengannya di masa depan?"Hmph! Kediaman Sudrajat dirampok, apa kami nggak berhak melapor?" Utari tetap tak goyah. Dengan ekspresi marah, dia membentak, "Kenapa masih bengong? Cepat pergi laporkan!""Nggak boleh!" Ririn mul
"Kamu benar-benar nggak mau nikah ke Keluarga Naswara? Kalau memang begitu, membatalkan pernikahan pun nggak masalah. Kelak, pasti ada pemuda baik untukmu," ujar Utari dengan suara yang jauh lebih lembut dibanding sebelumnya."Tapi, dengan pertukaran yang kamu lakukan untuk masuk ke Kediaman Adipati, gimana mereka akan memandangmu sekarang? Kehidupanmu di sana akan penuh kesulitan di masa depan!" tambah Utari.Mendengar nada perhatian dan kehangatan yang jarang dia dengar dari sang nenek, Lastri tertegun. Dalam sekejap, dia menyadari sesuatu yang selama ini tak dia sadari.Utari sebenarnya tidak pernah membenci mereka. Hanya saja, selama ini mereka tidak pernah memberi Utari kesempatan untuk menyayangi mereka.Air matanya tak dapat tertahan lagi. Itu segera mengalir deras di wajahnya. Lastri berucap, "Nenek, aku ... aku nggak mau menikah ke Keluarga Naswara. Aku takut akan mempermalukan kalian semua.""Sekarang ini, kamu pikir nggak memalukan?" Suara Utari terdengar tegas, tetapi ada k
"Pertanyaan Bibi banyak sekali. Aku sampai nggak tahu harus menjawab yang mana." Setelah bercanda, Lastri menambahkan, "Sekolah pribadi Pangeran Prabu memang bagus, tapi nggak ada teman yang cocok dengan Gibran."Lastri meneruskan, "Selain itu, aku mau Gibran lebih dekat dengan saudaranya. Aku juga berniat kirim Gibran ke Akademi Wiratama supaya dia bisa belajar bersama Fajar."Ajeng segera memikirkan solusi, tetapi ekspresinya tetap tenang. Dia tersenyum sembari membalas, "Itu benar. Saudara memang harus lebih dekat. Kamu tenang saja. Nanti aku akan minta Fajar untuk menjaga Gibran.""Terima kasih, Bibi," ucap Lastri."Jangan sungkan," timpal Ajeng.Ketika Gibran belajar di sekolah pribadi Pangeran Prabu, Ririn terus membanggakan hal itu di depan Ajeng. Ajeng ingin melihat setelah Gibran tidak belajar di sana lagi, bagaimana Ririn akan membicarakan hal ini di depannya.Begitu memikirkan ekspresi Ririn, Ajeng langsung tersenyum dan tidak meneruskan pembicaraan dengan Lastri."Cepat tem
Setelah mendengar omongan Lastri, semua orang di kamar itu tersentak kaget ketika melihat ekspresinya yang serius. Mereka sadar bahwa Lastri yang berdiri di depan mereka sudah bukan gadis kecil yang mudah diperdaya oleh mereka seperti dulu. Lastri sudah menikah dan memiliki dukungan Keluarga Adipati.Akan tetapi, Sekar merasa enggan. Dia berseru dengan marah, "Kamu mengancam kami? Kak Lastri, kami ini kerabatmu. Bibi sangat baik pada kami. Kenapa kamu nggak bisa membantu kami?"Lastri menyeringai. Dia menyindir, "Kalau ikuti logikamu, sekarang aku nggak seharusnya berada di sini, tapi di Kediaman Keluarga Sudrajat."Sekar hendak berbicara lagi, "Kamu ....""Cukup!" bentak Gendis sambil memelototi Sekar. Lalu, dia menoleh pada Lastri dan berkata, "Lastri benar, tapi sekarang pamanmu sudah ditangkap. Kita harusnya bersatu hati pada saat sekarang. Lastri, kamu nggak boleh berpangku tangan!"Lastri menundukkan tatapannya. Dia berujar, "Aku hanyalah menantu baru. Sekalipun aku mau bantu, ak
Lastri menatap Gendis. Gendis tampak sedih, tetapi ada kelicikan dalam tatapan matanya. Lastri pun menyeringai sinis dalam hati. Mengapa dia begitu buta sebelumnya sehingga merasa Gendis benar-benar menyayanginya?Lastri tidak mengekspresikan apa pun. Dia buru-buru berlari ke depan dan memegangi Gendis. Dia bertanya, "Nenek, ada apa dengan Nenek? Kenapa Bibi Liana malah menangis? Di mana ibuku?"Liana tiba-tiba maju ke depan Lastri dan berseru, "Lastri! Cepat selamatkan pamanmu! Cepat suruh Guntur selamatkan pamanmu."Lastri terdiam. Gendis langsung menegur, "Diam! Kamu pikir pengadilan milik Keluarga Adipati? Mana bisa menyelamatkan orang dengan semudah itu?"Meskipun Gendis juga berpikir begitu, kalimat itu tidak bisa diungkapkan! Lalu, Gendis berkata pada Lastri, "Lastri, tadi ada sekelompok tentara yang datang dan menangkap pamanmu. Guntur memiliki kemampuan, kamu suruh dia bantu cari tahu apa kesalahan pamanmu. Biar kita bisa pikirkan solusinya!"Lastri menyanggupi, "Nenek, jangan
Yani berlari ke dalam paviliun tengah. Pada saat ini, Gendis duduk di kursi utama dengan memakai gaun brokat ungu tua dan ikat kepala ungu tua. Wajahnya yang berbentuk persegi tampak serius dan tegas, sangat berwibawa.Melihat Yani masuk sendirian, Gendis mengernyit sambil bertanya, "Kenapa hanya kamu? Di mana Lastri?"Yani menjawab, "Nyonya Gendis, Nona Lastri sudah pergi.""Sudah pergi? Siapa yang menyuruhnya pergi?" bentak Gendis sambil memukul meja. "Nona Lastri langsung pergi karena pintu depan nggak dibuka. Pelayannya yang tampak asing bilang dia akan beri tahu Nyonya Rahayu bahwa Keluarga Surbakti menghina Nona Lastri."Istri Hadi, Liana, berseru dengan panik, "Apa? Kenapa kamu biarkan dia pergi? Kalau dia pergi, bagaimana dengan acara ulang tahunku?"Gendis memelototi Ririn dan menegurnya, "Lihat anakmu itu, sekarang sudah bersikap congkak di depanku. Saat dia ambil mahar Sekar kala itu, kamu bilang kamu akan menebusnya, jadi aku nggak bilang apa-apa. Sekarang suruh dia pulang
Wajah Guntur menjadi masam. Dia bertanya, "Kenapa kamu bilang begitu? Apa ada orang yang mengatakan sesuatu pada Lastri?"Dalam dua hari ini, Guntur sibuk di kantor dan selalu pulang tengah malam. Guntur bahkan tidur di ruang kerja paviliun depan agar tidak mengganggu Lastri. Akan tetapi, sejak dimarahi olehnya waktu itu, tidak ada orang yang berani mendatangi Guntur lagi.Mungkinkah ada orang yang memiliki niat lain karena dia tidur di paviliun depan sehingga membuat Lastri marah?Melihat Guntur salah paham, Jaka bergegas berucap, "Bukan, ini karena Nyonya Lastri sendiri."Jaka menceritakan apa yang dilakukan Lastri kepada Hadi. Lalu, dia berkata, "Aku pun bisa memikirkan ide seperti Nyonya Lastri ini. Kelak kalau Hadi tahu ... tsk tsk tsk. Ide ini sungguh licik ... nggak, ini ide bagus!"Jaka langsung mengubah perkataannya karena melihat ekspresi Guntur yang makin agresif. Guntur memelototinya dan memberi perintah, "Cepat pulang. Suruh Paman Ismu kirimkan dua pelayan yang pandai bela
Keesokan hari, Guntur menyuruh Jaka untuk mematuhi perintah Lastri. Lastri bertemu dengan Jaka di paviliun depan. Lastri memerintahkan Jaka untuk menyelidiki Keluarga Surbakti."Hadi bekerja sebagai staf biasa di Kementerian Pembangunan. Aku mau kamu selidiki tentang penyalahgunaan jabatannya tanpa terkecuali. Harus lengkap dengan saksi mata dan barang bukti," perintah Lastri.Jaka terkesiap. Dia menoleh pada Lastri dengan kaget. Lalu, Lastri mengangkat alis seraya bertanya, "Apa ada masalah?""Nggak!" seru Jaka. Dia menekan kekagetan di dalam hatinya dan berkata dengan hormat, "Hamba akan menyelidikinya secepat mungkin."Lastri mengangguk. Setelah itu, dia membubarkan Jaka. Jaka melaksanakan tugas dengan sangat sungguh-sungguh karena telah mendapat perintah dari Guntur dan tahu betapa pentingnya Lastri bagi Guntur.Belum sampai tiga hari, Jaka sudah menyerahkan hasil penyelidikan tentang semua masalah Keluarga Surbakti kepada Lastri. Saat Lastri membacanya, Jaka menerangkan, "Nyonya
"Suruh dia masuk," seru Guntur. Lalu, Guntur berkata lagi, "Lain kali kalau Lastri mencariku, langsung lapor." Pengawal itu menyanggupi, "Baik!"Sudah satu jam Frida menunggu di luar halaman. Awalnya, Frida mengira Guntur sengaja mengabaikannya karena marah kepada Lastri. Begitu melihat dua penasihat itu keluar dari ruang kerja, Frida sadar dirinya datang di saat yang tidak tepat.Di dalam ruang kerja, Guntur mengangkat alis saat melihat Frida. Dia bertanya, "Ada masalah apa?"Frida berpikir dalam hati, Lastri menyuruhnya meminjam Jaka dari Guntur, tetapi Guntur harus membicarakan urusan penting semacam itu secara langsung dengan Lastri. Oleh karena itu, Frida berkata dengan hormat, "Nyonya Lastri mencari Tuan."Guntur mengangkat alis saat bertanya, "Ada apa?"Frida menjawab, "Hamba nggak tahu."Guntur terdiam sejenak. Dia berucap, "Baik, aku segera ke sana."Frida pun lega. Dia memberi hormat dan mundur keluar. Sementara itu, perasaan hati Guntur sedikit kompleks. Mungkinkah Lastri t
Lastri tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi di kediaman Keluarga Naswara. Pada saat ini, Lastri memegang undangan yang dikirim oleh Keluarga Surbakti dan terdiam.Nisa yang pengertian menjelaskan, "Undangan ini diantarkan oleh kepala pelayan. Nyonya nggak tahu.""Untung Ibu nggak tahu. Kalau nggak, aku akan malu," kata Lastri dengan jengkel. Dia membuang undangan itu ke samping. "Dasar nggak tahu diri. Bisa-bisanya undang Nyonya Adipati ke acara ulang tahun istri pejabat kecil?"Isi undangan itu adalah mengundang Rahayu ke perayaan ulang tahun bibi Lastri di kediaman Keluarga Surbakti. Untung saja, undangan itu dicegat oleh kepala pelayan. Jika diantar ke paviliun tengah, entah bagaimana Rahayu akan memikirkannya. Mungkin Rahayu akan mengira dia congkak."Nyonya, jangan marah. Undangan ini sudah dikirim ke sini. Apa Nyonya mau pergi?" tanya Nisa."Iya. Aku nggak hanya mau pulang, tapi juga memberi mereka hadiah besar!" jawab Lastri sambil menggertakkan gigi.Jika tidak membuat Ke
Lastri meminta maaf, "Suamiku, maaf. Aku terlalu menyulitkanmu."Lastri terlalu cemas. Lastri frustrasi karena apa yang terjadi pada kehidupan sebelumnya. Sekarang ini sudah kehidupan baru. Dia sudah menikah dengan Guntur dan menempuh jalan hidup yang berbeda total dengan di kehidupan sebelumnya.Lastri akan memisahkan Keluarga Sudrajat dengan Keluarga Surbakti. Jika Guntur dan Sekar ingin membahayakannya, serta membahayakan Keluarga Sudrajat, tidak akan begitu mudah seperti di kehidupan sebelumnya.Lastri dan Guntur tidak lagi berbicara. Sepulangnya ke Kediaman Adipati, Guntur langsung pergi ke akademi di paviliun depan.Barulah Lastri sadar bahwa Guntur sepertinya marah. Akan tetapi, dia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya meminta Guntur menyelidiki Resnu demi kepentingan Keluarga Adipati dan Keluarga Sudrajat, bukan demi kepentingan pribadi!Lastri merasa heran. Dia tiba-tiba menanyai Frida yang berdiri di samping, "Apa aku salah bicara?"Setelah beberapa hari melayani Lastri, Frida
Guntur bertanya, "Istriku, apa ada yang salah?"Lastri menggelengkan kepala, lalu dia bertumpu pada lengan Guntur untuk naik ke kereta kuda.Sekar keluar bersama Sari dan Lastri, tetapi Sari meninggalkannya, Lastri juga tidak menghiraukannya. Sekar berdiri sendirian di depan pintu masuk Satu Rasa. Sekar panik sehingga berteriak pada Lastri, "Kakak, tunggu aku. Aku ikut!"Lastri masuk ke dalam kereta kuda tanpa menoleh ke belakang. Tebersit rasa benci dalam mata Sekar. Dia tetap berjalan ke depan dan berseru, "Kakak ...."Guntur menoleh ke belakang dan menegur dengan suara dingin, "Kalau ingatanmu nggak bagus, aku nggak keberatan untuk mengingatkanmu tentang omongan di kediaman Keluarga Sudrajat. Aku nggak punya prinsip nggak memukul wanita."Wajah Sekar menjadi pucat. Dia berhenti di tempat, melihat kereta kuda Keluarga Adipati Moestopo menghilang dari pandangannya.Di dalam kereta kuda, Guntur menanyai Lastri yang jelas sedang jengkel, "Istriku, kamu jengkel karena dia?"Lastri mengge