Dengan perasaan tidak karuan setelah membayar tarif taksi Caroline melangkah memasuki rumah keluarganya.Pikirannya berkelana pada Nicholas, sebenarnya siapa yang menyerang lelaki itu? Apakah lelaki itu terluka, dan apakah bisa lolos? Ouhhh, entah kenapa pikiran Caroline terus dipenuhi oleh Pria itu.Hatinya merasa tidak karuan, harusnya tadi dia tak meninggalkan pria itu dan tetap di sisinya—membantu.BukTepat saat kakinya baru selangkah melawati batas pintu masuk, sebuah tas mendarat kasar di kakinya."Pergi kamu!" Bibi Wade muncul sambil berteriak, tak lupa tangan gempalnya menujuk Caroline dengan mata melotot menyeramkan.Sedangkan Caroline yang merasa tak percaya dirinya diusir dari rumahnya sendiri hanya bergeming di tempatnya.Apa salahnya? Caroline tertawa kecil, menganggap bibi Wade tengah bercanda."Kenapa tertawa, kau memang wanita gila. Sebaiknya kau pergi dari rumah ini dan jangan kembali!" bentaknya dengan urat-urat yang tampak menonjol di lehernya. Bernafsu sekali me
Nicholas membuka pintu mobil sebelah kemudi dan tampak lah Caroline tak sadarkan diri di sana. Lelaki itu kemudian menyelipkan kedua tangannya di antara paha dan pundak Caroline, dan dalam sekali angkatan Caroline sudah berada di gendongannya.Lelaki itu kemudian melangkah memasuki mansionnya. Di tengah jalan menaiki tangga, wanita di gendongannya itu menggeliat."Engg," Caroline mengerang dalam tidurnya, keningnya tampak berkerut dalam."Tuan anda sudah pulang." Sapaan dari seorang wanita terdengar telinganya.Nicholas menoleh dan mendapati Relis menghampirinya, wanita berusia dua puluh tahun itu merupakan anak dari pelayan yang sudah lama mengabdi padanya. Relis hanya menggantikan ibunya untuk sementara karena ibunya tengah sakit."Nona ini?"Tanpa menjawab kebingungan dari pelayannya itu, Nicholas terus melangkahkan kakinya menuju kamar pribadinya. Memasuki kamar, Lelaki itu langsung mendekati ranjang dan merebahkan Caroline disana. Namun di sedetik kemudian wanita itu malah mengel
Keesokan paginya, Caroline menggeliat dengan mata mengerjap menyesuaikan cahaya di penglihatannya, dan terkejut saat sadar ia tidak tidur sendirian karena merasakan tangan menimpa perutnya.Seingat Caroline, semalam dirinya tidur di sofa—Ahh ia ingat, Nicholas yang memindahkannya ke ranjang lelaki itu sendiri.Caroline kemudian bergerak pelan menghadap Nicholas yang masih terlelap. Wanita itu meluruskan pandangannya pada lelaki yang tertidur di sampingnya itu dan dengan gerakan pelan Caroline mengulurkan telunjuknya menyentuh pertengahan di dahi lelaki itu dan terus turun melewati garis hidung mancungnya, sampai akhirnya berakhir di bibir merah nan sexynya dan dengan senyum nakal Caroline menekan-nekan area itu membuat sang empu sedikit terganggu.Tapi sedetik kemudian, satu ingatan menghantam Caroline, tangannya berhenti berulah di bibir Nicholas. Saat ingatan akan semalam muncul di kepalanya. Pipinya bahkan langsung bereaksi menimbulkan hawa panas disertai munculnya rona merah di sa
Satu minggu kemudian. "Good morning everybody!" Teriak Caroline ceria, tampilannya di pagi hari ini tampak sempurna dengan celana andalannya yaitu jeans. Well, dia lebih suka celana daripada rok atau dengan kata lain semacam dress dia lebih suka berpenampilan casual."Morning Aunty." Sahut Reo—anak laki-laki dari sahabatnya, Nasya."Oh hai Kak, sudah pulang." Caroline sedetik terkejut saat mendapati penghuni baru yang merupakan pemilik dari rumah yang ia tumpangi ini."Hmm.. Kau masih sama sejak sebulan yang lalu, cantik." ucap Justin—Ayah dari Reo dan suami dari Nasya. Lelaki baru pulang dari luar kota."Well, aku memang cantik." sahut Caroline dengan tawa percaya dirinya, "Kau bahkan dulu mengejar-ngejarku sebelum akhirnya bersatu dengan si lemot itu.""CAR, aku bisa mendengar ya!" Bersama itu sahutan lain mengintrupi, membuat Caroline semakin tergelak, sedangkan Justin hanya menggeleng-geleng saja."Tidak mengejar-ngejar juga." sahutnya datar."Car, tutup mulutmu atau aku akan me
Caroline menatap melongo pada pemandangan yang terhampar di hadapannya.“You’re crazy!“ Caroline membuka suaranya setelah keheningan tercipta selama kurang lebih satu menit, tatapannya terlempar pada sosok tinggi tegap di sampingnya.Wanita itu memicing saat sebuah tebakan yang entah benar atau salah mampir di kepalanya.“Ayo.“ Nicholas menggenggam tangan Caroline dan mengajaknya menghampiri sebuah benda terbang yang memanjakan mata dengan desainnya.“Hai, kau mau membawaku ke mana Nicholas? Jangan macam-macam ya!” peringat Caroline dangan langkah terseok karena berusaha mengikuti langkah lebar Nicholas yang menyeretnya.Caroline menghela nafas lalu membuangnya kasar, langkahnya berhenti dengan sengaja. "C'mon Caroline, kita tidak punya banyak waktu." desis Nicholas tepat beberapa meter di depann
Napoli, Italia. 05.10 PM. Landasan Helipad pribadi di Mansion Dexon telah tiba.Nicholas terlihat menggendong Caroline yang tertidur di gendongannya setelah beberapa saat lalu turun dari pesawat.Di tengah perayunan sepasang tangan kokoh itu, Caroline mulai menggeliat dan sedetik setelahnya kedua kelopak mata itu menyerjap dan terbuka menampilkan sepasang bola mata biru khas orang eropa."Sudah sampai?" tanya Caroline membuka suara dan di balas anggulan Nicholas."Turunkan aku, Nic." pinta Caroline sambil menguap."Tidur lagi saja." suruh Nicholas.Mungkin karena mengantuk, Caroline akhirnya kembali tertidur dengan kepala yang terus merapat pada dada bidang Nicholas membuat lelaki itu tersenyum tipis transfaram melihat Caroline yang terus menempel padanya.Mereka memasuki sebuah Mansion, dan di sambut seorang pria tampan berambut putih bernama Lucas Dixon—sepupunya. "Dude, kau sudah datang," sambutnya."Menurutmu. " sahut Nicholas bernada dingin khasnya. "Dimana Latte?" tanyanya."Ka
Party Mask. Napoli, Italia. "Sudah siap?" suara khas seorang pria berusia Kisaran empat puluh tahunan terdengar."Sudah ayah. Ayo aku tidak sabar ingin melihatnya," seorang wanita berambut merah menyahut dari samping. "Nicholas Matthew, senang bisa bertemu dengan mu lagi, aku sangat merindukanmu."***Dengan menggandeng tangan Nicholas, Caroline memasuki gedung pencakar langit yang akan menggelar pesta topeng.Di tengah perjalanan Caroline tiba-tiba terpeleset karena heelsnya terlalu tinggi, tapi tidak sampai jatuh dan mempermalukan diri."You oke?" Nicholas menghentikan langkahnya karena melihat wanita yang di samping kanannya ini terlihat kesulitan berjalan.Caroline mengangguk sambil meringis. "It's oke. Hanya haknya ketinggian." kata Caroline sembari menatap wajah Nicholas yang susah terpasang sebuah topeng. Tapi tanggapan Nicholas malah seperti mengajaknya berdebat."Apa katamu?" Kata Caroline meminta Pria yang di gandengnya itu mengulang ucapannya."Jangan sampai mempermalukan!
Wanita yang tidak lain adalah Charlotte Ryson, terlihat mengerutkan alisnya tak mengerti dengan pandangan yang tak lepas dari wanita yang beberapa menit lalu bertabrakan dengannya.Tangannya menyentuh dadanya yang tiba-tiba berdetak tidak karuan, Charlotte seperti mengenal wanita itu, tapi di mana? dirinya tak pernah sekali pun bertemu wanita itu.Dan..."Yea dia adikmu..." Ingatan itu samar-samar mendatangi otaknya, perkataan ibunya... Apa ini kebetulan? Melamun tanpa ujung yang jelas dalam tebakan di kepalanya, Charlotte akhirnya membuyarkan apa yang membuat kepalanya sakit kala dering telepon menarik perhatiannya.Dret Segera Charlotte menggeser ikon hijau."Halo morgan, jadi bagai—" Suara Charlotte terlebih dulu menyapa seseorang di seberang telepon."Aku belum bertemu dengan mereka," Kata-kata Charlotte terpotong dengan ucapan cepet seorang lelaki bernama Morgan di seberang telepon. "Terus?""Tapi sepertinya Allin kembali berulah, dia..." Charlotte menghela nafas setelah men