Kediaman Mentari tampak sepi, tak ada apa pun yang menandakan ada kehidupan di dalam. Adalah Rani yang merupakan teman baik Mentari. Gadis berambut lurus yang dibiarkannya tergerai itu berdiri di depan pintu, setelah berkali-kali mengetuk pintu, tetapi tak kunjung ada jawaban, gadis itu berinisiatif untuk melakukan panggilan telepon. Rencananya, hari ini dia akan mengajak sahabatnya itu untuk pergi rekreasi. Kemarin, Mentari curhat padanya, mengenai perubahan sikap Adiaz yang sangat drastis sekali.
Kemarin.“Ran, kamu sibuk gak? Ada banyak yang ingin aku ceritakan ....” Mentari bertanya melalui sambungan telepon.Rani tertawa, “Sibuk apanya? Aku biasa aja, kok, ada apa, Tari? Tumben sekali pake ada kata curhat segala. Atau, kamu mau aku ke rumahmu sekarang?”“Gak usahlah, nanti kamu cape. Ran ... aku bingung. Sikap Adiaz ke aku berubah drastis––" Mentari mulai menangis. “Dia jadi kasar sama aku. Kami jadi sering bertengkar. Aku pernah nemuin lipstik di dalam mobilnya. Selain itu, aku juga pernah lihat isi chat nya dengan perempuan seksi. Perempuan itu sampai mengirim foto telanjang ke Adiaz. Aku pikir, awalnya mungkin cuma perempuan iseng saja. Tapi ternyata, perempuan itu sering menghubungi Adiaz panggilan mereka terlihat akrab."Rani mengerutkan kening. Dia tahu, kalau sudah begini, pasti pokok bahasannya akan menjadi perselingkuhan Adiaz dengan wanita lain. Namun, Rani tidak ingin membuat kecewa sahabatnya, dia akan mencari tahu dulu kebenarannya. “Kamu tahu siapa perempuan itu? Kok, bisa-bisanya kirim foto telanjang?"Mentari menggeleng meskipun ia tahu kalau Rani tak akan melihatnya, “Aku gak tau dia siapa. Tapi, kenapa Adiaz tega, ya? Aku kecewa. Masa dia benar-benar selingkuh? Sama perempuan murahan yang kirim foto telanjang! Adiaz sekarang terlihat asing, Ran. Sering curi-curi kesempatan menelepon seseorang, ponselnya gak pernah lepas dari tangan, bahkan masuk kamar mandi pun ponselnya ikut, Ran! Aneh gak, sih?” ucap Mentari menggebu-gebu.“Astaga! Besok aku ke rumah kamu, deh. Kita pergi rekreasi gimana? Biar kamu bisa tenang sedikit."“Aku galau, Ran."“Makanya itu, biar gak galau besok kita cari tempat enak untuk membicarakan semua ini. Kamu sudah pernah coba bicara baik-baik sama Adiaz?"“Sudah. Tapi, dia selalu mengelak. Aku tahu dia bohong, hati aku tau," ucapnya terhenti oleh tangisan. Air mata Mentari membasahi lututnya, karena dia duduk dengan posisi memeluk kakinya sendiri. Perasaannya sangat terluka. Dia benar-benar tidak rela.“Tenang dulu, Mentari. Aku akan bantu mencari informasi.” Janji Rani.“Iya, terima kasih. Dia pernah bilang, kalau itu hanya perempuan iseng saja, ah, iya, Adiaz juga bilang kalau itu hanya seorang wanita malam.”“Hah? Wanita malam? Adiaz berhubungan dengan wanita malam? Tapi, Kamu tenang dulu, ya, Tari. Jangan berpikiran yang aneh-aneh dulu, besok aku ke sana. Okey?"“Baiklah, aku tunggu besok, ya."Meski Mentari telah membagi gundahnya, tetap saja yang merasakan sakitnya hanya dia sendiri. Semua kepedihan itu begitu menyiksa dirinya. Cinta yang begitu diagungkannya, lelaki yang sangat didewakannya, bahkan sampai berani sesumbar pada Tuhan, bahwa dia tidak akan meminta apa-apa lagi. Iya, dia lupa meminta pada Tuhan, untuk menjadikan Adiaz hanya miliknya.Lama tidak mendapatkan jawaban, tetapi nada panggil terdengar oleh Rani, ia pun nekat masuk dan ternyata pintunya tidak terkunci. Betapa terkejutnya ia, saat melihat Mentari yang tergeletak di lantai. Rani begitu panik, lalu berlari ke luar rumah, untuk meminta pertolongan.Mentari dibawa ke rumah sakit. Dokter yang menanganinya, meminta Rani untuk menunggu di luar.Beberapa waktu kemudian, dokter keluar dari ruangan, Rani bergegas menghampiri. “Bagaimana keadaannya, Dok?” tanya Rani cemas.“Untuk saat ini, fisiknya baik-baik saja, hanya mungkin pasien sedang mengalami sesuatu yang membuatnya begitu terguncang? "“Ehm, ya, dia–dia–apakah sudah boleh ditemui?" tanya Rani sedikit ragu.“Silakan.”“Terima kasih, Dokter.”Rani masuk ke dalam ruangan, tempat di mana Mentari di rawat. Ternyata, sahabatnya itu sudah siuman dan kini tengah menangis tersedu.“Heh! Kamu nangis terus. Dokter bilang kamu banyak pikiran, tuh. Jangan dipikiri. Bikin sakit hati aja, 'kan?"“Hiks ... hiks ... gimana lagi, aku udah terlanjur cinta banget sama Adiaz. Tadi malam, selingkuhannya chat aku," ucapnya tersedu.Mentari lalu menceritakan semuanya pada Rani. Hal itu jelas membuat Rani naik darah. Namun, sepertinya Mentari belum makan, terbukti dari suara perutnya yang tertangkap pendengaran Rani, ia pun meminta Mentari untuk beristirahat dan ia sendiri pamit sebentar dengan alasan mengambil obat.Mentari kemudian terpaku pada ponsel milik Rani yang tertinggal. Timbul niatnya untuk menghubungi Adiaz. Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Mentari masih mencintai Adiaz dengan sepenuh hati. Dia benar-benar berharap, bahwa semua kejadian ini hanyalah mimpi. Dia menginginkan Adiaz yang dulu kembali. Dia ingin hari-hari bahagia bersama lelaki yang teramat dicintainya itu terulang lagi.Mentari mulai mengetikkan nomor Adiaz di ponsel Rani.Sementara itu, dering dari ponsel Adiaz, terdengar oleh Angela. Adiaz masih tertidur, karena semalam mereka berpesta merayakan kenaikan jabatan Adiaz.Di layar ponsel hanya tertera angka, itu artinya Adiaz tidak menyimpan nomor si pemanggil. Angela perlahan mengambil ponsel itu dan berniat menerima panggilannya.“Halo? Dengan siapa?" tanya Angela dengan nada suara dibuat selembut mungkin.Deg!Detak jantung Mentari seakan terhenti. Dunianya seketika menjadi gelap. Dadanya terasa sesak. Lagi-lagi ia menumpahkan air matanya.“Di mana Adiaz!?" teriak Mentari marah.“Siapa, ya? Oh, jangan-jangan kamu cewek bodoh yang selalu bergantung pada Adiaz, ya? Aduh ... udah, deh, Lu gak usah repot-repot cari Adiaz lagi. Dia udah bahagia sama gue. Ngapain, sih, kok, gak tau malu banget jadi perempuan! Laki udah jijik masih aja dicariin!"Tangisan Mentari semakin keras. Suaranya menjadi serak. “Kamu yang harusnya malu! Ngerebut pasangan orang lain, modal kasih badan gitu aja. Dasar perempuan murahan!"Angela tertawa terbahak-bahak, “Heh!? Salahin diri lu sendiri. Coba tanya sama diri lu, kenapa dia lari ke gue. Lu sadar gak, sih? Lu tuh cuma perempuan bodoh dan lemah, membosankan! Buktinya, Adiaz lebih memilih gue karena gak puas sama hubungan kalian!" Angela tertawa lagi. Mengejek semua rasa sakit hati Mentari.“Bagi dia, lu bukan siapa-siapa lagi. Lu itu cuma perempuan lemah, menjijikkan. Lu pasti gak tau kan? Kalau Adiaz udah naik jabatan. Dia beliin gue banyak perhiasan mahal. Sedangkan lu? Dia kasih apa? Gak ada? Hahaha itu artinya, dia udah gak peduli sama sekali!” Angela semakin mengibarkan bendera kemenangannya.Mentari mencengkeram ujung ranjang dengan kuat. Dia benar-benar emosi. Kemudian ia tertawa mengejek Angela, “Kamu tahu kenapa dia kasih hadiah?"Angela diam mendengarkan.“Itu karena dia bayar kamu. Kamu sadar gak? Dia itu gak anggap kamu sebagai wanita yang pantas untuk dijadikan pasangan. Dia cuma datang ke kamu waktu dia ada masalah sama aku, ‘kan? Itu artinya, kamu itu cuma pelampiasan. Bangga? Perhiasan itu, anggap aja bayaran kamu, karena udah memuaskan nafsu dia, karena udah jadi penyaluran dia, pelampiasan dia. Itu bukan hadiah, itu bayaran! Ingat BA-YA-RAN!” Mentari mengeja kalimat itu, “Lagi pula, apa yang bisa dibanggakan dari seorang wanita murahan yang suka merebut pasangan orang lain? Demi sesuap nasi? Hahahaha ... kamu menyedihkan banget, ya, aku jadi kasihan! Lagi pula, kamu bangga banget, ya, seakan-akan dapat laki-laki baik. Kali ini dia mungkin mencampakkan aku, tunggu saja, besok bisa jadi giliran kamu. Mungkin sekarang, kamu lagi merasa di atas, ‘kan? Merasa hebat? Seakan-akan aku yang sudah bertahun-tahun menjalin hubungan sama dia, gak ada apa-apanya. Bukan, bukan aku yang gak pantas. Tapi dia. Dia yang gak pantas buat aku. Aku sama sekali gak rugi kehilangan laki-laki gak setia."Tut!Sambungan telepon dimatikan oleh Angela, dia kepanasan mendengar semua kata-kata Mentari, sementara Mentari menekan dadanya kuat-kuat. Kalimat terakhir yang diucapkannya barusan adalah satu kebohongan besar.Amarah MentariAngela membanting vas bunga yang ada di kamar. Pecahannya sampai mengenai tangannya sendiri. Ia meringis kesakitan, dadanya terasa panas karena kalah oleh Mentari. Memang benar, bahwa Angela hanyalah wanita tidak tahu malu, yang suka merebut pria orang lain. Namun, gadis itu baru pertama kali ini, merasakan gejolak emosi yang sangat dahsyat. Biasanya, Angela dengan santai meladeni istri-istri pria yang dia goda. Itu karena mereka semua menangis saat berhadapan dengan Angela, berbeda dengan Mentari yang tegas dan lantang. Suara lemparan vas tadi, membuat Adiaz terbangun. Ia kaget dengan tangan kanan Angela yang terluka. Dengan cepat Adiaz pergi keluar kamar untuk mencari obat. Setelah tangan Angela diobati, Adiaz dan Angela duduk di sofa, “Kamu kenapa bisa luka seperti ini, sih? Kamu sengaja banting vas bunga itu, ‘kan?" tanya Adiaz. Angela enggan menjawab, tetapi tiba-tiba dia mendapat ide. Dia akan mengadukan semua perlakuan Mentari padany
Drama Sang PelakorMelihat Adiaz yang mendekat ke arah Mentari, Angela segera berlari keluar. Dia menahan semua rasa malu, hal itu bukankah yang pertama kali ia alami. Sudah banyak kejadian serupa sebelumnya. Itu bukan apa-apa bagi Angela, tetapi kali ini perkataan Mentari begitu menusuk hatinya.Langkah Adiaz terhenti. Dia lebih memilih untuk mengejar Angela yang keluar dari ruangan. Adiaz menarik tangan perempuan itu. Memintanya untuk bersabar sementara menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin. “Kamu tenang dulu. Jangan marah-marah, Sayang." Angela melepaskan tangan Adiaz. “Tenang kamu bilang? Setelah semua hinaan yang dia kasih ke aku? Kamu mikir gak, sih?" Dia mulai menangis, memperlihatkan wajah penuh emosional. “Kamu juga, kenapa pergi ke rumah sakit? Kamu khawatir sama dia? Kamu sebenarnya niat pisah enggak, sih, sama cewek sialan itu? Mana janji-janji Kamu sama aku Adiaz!?" Angela berteriak sangat kencang. Hal itu menjadikan mereka tontonan orang-or
Bab 8 Luka Hati MentariMentari termenung setelah kepergian Adiaz dan Angela. Hatinya terasa kosong. Pikirannya kalut. Seandainya, dia tidak tutup mata sejak awal, mungkin semua masalah ini tidak akan terjadi. Mentari terlalu mencintai Adiaz, walaupun dia tahu kesalahan Adiaz, wanita itu masih tetap bertahan, seakan tidak terjadi apa pun, seakan tidak ada yang salah. Hal itu menyebabkan banyak luka di hati Mentari. Rani menghampirinya, “Kamu baik-baik aja, ‘kan? Mau makan lagi?" tanya Rani khawatir. Diam. Sama sekali tidak ada jawaban. Mentari masih melamun, menatap kosong ke depan. Semuanya seakan hanya mimpi buruk. Ia berharap bisa tidur panjang, lalu bangun ketika semuanya sudah baik-baik saja. Rani mendekap erat tubuh Mentari. Merasakan bajunya basah karena air mata gadis itu. “Sudah ... gak apa-apa. Kamu mau disakiti terus sama laki-laki bejat seperti itu? Sudah, jangan dipikirkan. Dia gak pantas buat kamu. Percaya sama aku, Mentari, Tuhan jauhkan kal
Di tempat lain, Angela sedang sibuk berbelanja. Dia berniat untuk menghabiskan semua uang dari Adiaz. Membeli banyak pakaian branded. Dia juga pergi ke salon untuk perawatan. Wanita itu benar-benar tidak peduli dengan keadaan Mentari yang semakin memburuk. “Bodo amat sama perempuan bodoh itu. Yang penting aku bisa beli barang-barang mahal. Hahaha. Sekarang aku punya bank pribadi." Angela berbicara sendiri. Kedua tangannya penuh dengan kantong belanjaan, perempuan itu tertawa senang, “Cukup untuk hari ini. Besok, kita shopping lagi. Tenang Angela ... sekarang kamu memiliki pohon uang yang akan selamanya menjadi milikmu, hahaha ....” Angela berbicara sendiri seraya melangkahkan kakinya keluar dari mal. Tiba-tiba, seseorang menghampirinya. Orang itu menatap Angela dengan tajam. Lalu ia menyeretnya ke belakang mal.“Sini, lu!" Rani menarik dengan kasar tangan Angela. Belanjaan Angela jatuh berserakan, kakinya tersandung.Angela meringis kesakitan. Dia ingin melepaskan cengkeraman ta
Jadi, lu … anak itu?" Rani tertawa sarkas. “Iya, gue anak itu. Lu gak puas apa, udah ngebunuh orang, bikin orang menderita. Punya otak gak, sih? Kenapa sampai segitunya cari uang? Kamu gak menyesal atas perbuatan kamu? Kenapa masih melakukan hal yang sama berulang kali? Mau berapa anak yang lu hancurkan hidupnya, mau berapa anak yang lu buat mereka kehilangan sosok ayah, pemberi nafkah, demi memberikan kesenangan ke orang gak tau diri seperti kamu?" Rani benar-benar sudah gelap mata. Dia mengambil sebuah batu yang besarnya satu kepalan tangan. Lalu menghantam kepala Angela dengan kuat. Darah mengucur deras. Angela meringis kesakitan. Dia berteriak minta tolong, tetapi percuma, tidak ada orang di sana. Dia mulai kehilangan kesadaran, dan mendengar sedikit apa yang diucapkan oleh Rani. ”Gue gak yakin kehidupan lu bakal baik-baik aja setelah ini. Lihat aja! Gue dan Mentari bakal buat kehidupan lu gak tenang. Elu memang berhasil dan merasa menang sekarang, tapi itu gak akan tahan
“Jangan ambil! Buang! Buang aja hapenya. Aku udah muak! Aku gak mau liat dia lagi!" teriak Mentari histeris. Vas bunga yang terbuat dari keramik, dilemparkan oleh Mentari ke arah Rani. Beruntung lemparannya meleset, mengenai ujung tembok. Rani kesal, “Kamu udah gila, ya!? Kalau bikin sakit hati, ya, jangan diliat. Kamu bodoh apa gimana?" Rani membuang ponsel Mentari ke tong sampah. “Udah, mulai sekarang, kamu gak usah hubungi dia lagi. Jangan mau tau keadaan atau apa pun yang dia lakuin. Jangan menyiksa diri! Kamu juga tahu kalau dia itu perempuan yang gak tau malu. Gak akan punya efek jera sebelum kena karma!" Rani berteriak penuh amarah. Mentari menangis, kemudian Rani menghampiri dan memeluknya. “Aku gak bisa Ran, delapan tahun bukan waktu yang sebentar!" “Aku paham perasaan kamu, tapi masa kamu mau kaya gini terus selamanya? Enggak kan? Udah besok aku antar kamu suatu tempat." “Ke mana?" “Besok juga kamu tahu. Sekarang kamu makan dulu. Kamu gak mau, ‘kan, dia bisa sebaha
Sayang, ini Ibu, Nak. Ayo kita pulang. Ayah dan Ibu datang untuk menjemputmu. Buka pintunya ... keluarlah, Mentari." Tidak ada jawaban. Berkali-kali membujuk, tetapi hasilnya nihil. Mentari diam seribu bahasa, duduk dengan memeluk kakinya sendiri dengan erat. Pikirannya kosong, matanya tak lepas memandangi layar ponsel yang tak pernah jauh dari tangannya. Entah sudah berpuluh bahkan beratus pesan ia kirimkan pada Adiaz, meskipun hasilnya hanya ceklis satu dan tak pernah menjadi dua apalagi biru. Meskipun Rani telah mengganti ponsel Mentari dan hanya memasukkan nomor-nomor tertentu saja, tetapi nomor Adiaz sudah terekam kuat dalam ingatan Mentari. Beribu kali pun nomor itu dihapus, Mentari selalu dapat mengingatnya. Tanpa ia ketahui, Adiaz pun kini telah mengganti nomor ponselnya.Tidak peduli seberapa dalam luka yang Adiaz buat di hatinya, gadis itu tetap setia menunggu kabar dari lelaki yang kini sudah melupakannya. Nafsu makannya hampir tak pernah ada jika saja Rani tidak memaksa
Mona merasa kasihan. Dia menarik suami dan anaknya pergi dari situ. Tidak mau membuat Mentari bertambah hancur. “Lho, Mama kenapa, sih? Tadi padahal semangat sekali, mau kasih dia pelajaran. Kita harus bawa dia ke kantor polisi, sekarang juga. Biar dia kapok." Mona membekap paksa mulut suaminya. “Sstt, Pa. Coba lihat tangannya, perhatikan baik-baik." Dua … tiga … lima … goresan luka, yang sengaja dibuat di pergelangan tangan Mentari. “Maaf … aku janji tidak akan membuatmu marah lagi. Aku janji akan pura-pura tidak tahu kamu bermain di belakangku. Aku janji .…" ceracau Mentari tak karuan membuat Mona semakin merasa iba. “Pa. Sudahlah, kita pergi saja dari sini." “Kenapa, Ma? Anak kita berdarah, lho––“ Belum selesai suaminya berkata, tangannya sudah ditarik paksa.Saat Mona dan suaminya sudah tidak ada, Mentari masuk kamar dan menangis. Terkadang ingatannya sadar terkadang juga tak dapat terkontrol. Hari itu … dia akan bunuh diri. Dalam keadaan hancur dan sakit ….Bukannya ini
[Aku sudah di Acclamare Coffee, kamu di mana, Yank?]Satu pesan masuk tepat saat mobil yang dikendarai Mentari memasuki kawasan tempat di mana mereka membuat janji untuk bertemu.“Tujuh menit lagi aku sampai.” Mentari mengirimkan balasan. Tempat tujuan sudah di depan mata, perempuan itu merasakan debaran di hatinya semakin tak dapat lagi terkontrol. Ia lebih memilih berdiam diri di dalam mobil seraya meredam gejolak perasaannya yang semakin tak karuan. Lima menit sudah berlalu dari waktu tujuh menit yang ia janjikan dan kini hanya tersisa dua menit saja.Dengan langkah pelan Mentari memasuki kafe. Di salah satu sudut meja, netranya menangkap satu sosok yang dulu pernah sangat merajai hatinya, mengukir mimpi, melalui hari-hari dengannya selama delapan tahun!Sampai akhirnya sesuatu yang sampai detik ini tak pernah ia mengerti pun terjadi, Adiaz berubah menjadi seorang yang asing bagi Mentari, lalu dia menghilang bak ditelan bumi.Hari ini, setelah enam tahun berlalu. Sosok itu
Setelah enam tahun ....Laki-laki itu menatap nanar sebuah foto seorang wanita cantik yang sedang tertawa bahagia memeluk erat dua anak perempuan kembar. Hatinya berdenyut sakit, seandainya ia bisa mengulang waktu, tak akan dulu ia tergoda wanita malam dan meninggalkan kekasih yang telah lama membersamainya.Dia adalah Adiaz. Kehidupannya kini telah berangsur membaik. Pada dasarnya ia memang seorang yang ulet dan pekerja keras. Setelah mengalami kehancuran hidupnya bersama Angela, ia bertekad untuk memperbaiki hidup, ia kembali meniti kariernya dari bawah dengan cara membuka usaha di bidang properti dan kini usahanya sudah menunjukkan perkembangan yang cukup memuaskan. ‘Maafkan aku, Mentari. Tapi sungguh aku dulu tidak bermaksud untuk meninggalkanmu. Hanya saja, aku terlanjur salah dan jauh melangkah. Bagimu, aku menghilang, aku lari dan melupakanmu. Tak apa jika kau menilai aku seperti itu. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, sebenarnya ... aku sedang melindungimu, karena rasa cin
Tanpa terasa enam bulan sudah Mentari menyandang gelar sebagai Nyonya Maheswara. Maheswara memperlakukan Mentari seperti seorang Ratu. Apa pun yang dia minta, selalu dipenuhi oleh Maheswara. Mentari juga tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan rumah, “ Aku gak mau istriku kecapean, aku menikahimu untuk menjadi istri bukan untuk menjadi tukang bersih-bersih.” Itu jawaban Maheswara saat Mentari bersikukuh ingin membersihkan ruang kerja suaminya dengan alasan bosan tidak mengerjakan apa-apa. Kehidupannya kini jauh lebih bahagia daripada saat bersama dengan Adiaz. Hati Mentari sudah sepenuhnya terisi dan menerima Maheswara. Semua kisah masa lalu bersama Adiaz telah benar-benar ia ikhlaskan meski tak pernah ia melupakannya.‘Aku kehilangan seseorang sampai mengalami yang namanya depresi. Aku sempat terpuruk dan jatuh sejatuh-jatuhnya. Harga diriku sebagai perempuan yang punya komitmen, diinjak sampai tak tersisa oleh wanita murahan itu, tetapi kalau tahu akhirnya Tuhan akan memberik
[Hmm ... pokoknya, kalau kamu sudah menikah dengan saya, tidak ada namanya kerja apalagi lembur, itu tugas dan kewajiban saya. Tugasmu cukup membuat saya merasa tidak ada orang lain di dunia ini selain kita berdua.]Mentari terbelalak heran ketika membaca pesan itu. “Rasanya aku belum memberikan jawaban, tapi, kok, bicaranya seperti itu? Ah, sudahlah. Dia, ‘kan Bos, jadi bebas bicara apa saja,” Mentari terkekeh sendiri.Mentari tidak mengetikkan lagi pesan balasan, dan segera berfokus pada komputer di hadapannya. Tepat ketika jarum pendek di jam dinding mencapai angka 20:30 WIB, pekerjaannya sudah selesai. Dia meregangkan badannya yang pegal. Lalu kini dia harus menelepon Rani untuk minta dijemput. Tut!.Sambungan telepon diterima. “Halo, Ran, jadi jemput aku, ‘kan?” [Tari, aku minta maaf karena sudah janji. Tapi, benar-benar gak bisa. Adikku masuk rumah sakit.] “Rino masuk rumah sakit? Kenapa, Ran?”[Penyakit lamanya kambuh, mungkin dia kecapean. Ini lagi nunggu hasi
Ketika tiba di kantor, entah mengapa atmosfer yang terasa berbeda dari sebelumnya. Semua orang tidak lagi menyapa seperti biasa, mereka menatap Mentari lalu tersenyum sungkan, tetapi ada juga yang setelahnya terlihat kasak kusuk seperti sedang bergosip, Mentari merasa heran juga dibuatnya. Belum genap lima menit Mentari duduk di kursinya, Eva membisikan sesuatu. “Ada pesan dari Pak Bos, katanya beliau meminta laporan keuangan hari ini,” ucap Eva membuat Mentari mengerutkan kening. “Hari ini? Bukannya masih ada waktu dua hari lagi, sesuai jadwal biasanya?” Mentari dibuat bingung oleh permintaan Maheswara yang menurutnya sangat absurd sekali. “Iya, Mbak, tadi pesannya seperti itu.” “Oke deh, Mbak Eva. Terima kasih, ya, eh, ngomong-ngomong sepagi ini beliau sudah datang?” “Sudah, malah sebelum karyawan datang beliau sudah ada di kantor, gitu kabar yang aku dengar dari Pak Satpam tadi.”“Ehm, tumben. Ya sudah, aku mau kerjakan dulu sesuai yang beliau minta, thankyou, ya, Mbak.“Kare
Apanya yang mendadak? Saya kan ajak kamu pergi nanti malam, sekarang masih pagi. Seharusnya, masih ada waktu untuk dandan, kan? Walaupun tidak perlu juga tidak apa-apa,” ucapnya santai. Mentari mengusap wajahnya gusar. Lelaki ini terkenal dingin, tetapi tidak terhadap Mentari.“Maksud saya, Pak, kenapa Bapak mendadak ajak saya jalan-jalan?” “Nanti juga kamu akan tahu apa alasannya. Saya ada banyak pekerjaan, kamu juga urus saja semua tugas-tugas kamu. Jangan membicarakan masalah pribadi di jam kerja, ya." Mentari mengerutkan kening, ‘Jangan membicarakan masalah pribadi di jam kerja’. “Bukankah dia yang memintaku menemuinya?"Ah, dasar aneh.” Mentari menggerutu dalam hati. “Ya, sudah, kamu boleh kembali ke mejamu,” ucapnya sedikit salah tingkah. Lagi-lagi pria itu tersipu malu. Dia mengusir Mentari karena malu tidak tahu harus bereaksi seperti apa sebenarnya. Wajahnya merona, telinganya juga merah. “Mentari, kamu bisa bikin aku gila dalam sehari. Dan itu cuma karena kita mengob
Malam itu semakin larut, hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, dan Adiaz tidak dapat menemukan satu orang pun yang sedang berjalan kaki. Termasuk gadis yang tadi dia serang dengan banyak pertanyaan. “Mentari? Sayang kamu di mana? Jangan sembunyi seperti itu, dong. Aku, ‘kan belum selesai bicara, Sayang?" Perlahan berjalan hingga sampai ke tengah jembatan dan melihat pantulan dirinya sendiri di dalam air. “Oh, jadi ini laki-laki jahat dan kurang ajar yang sudah menyakiti kamu? Iya, ‘kan? Kenapa dia mirip sama aku?" Kemudian lanjut tertawa-tawa sampai perutnya sakit. “Asal kamu tahu Mentari, aku sengaja tidak menghubungi kamu sekarang ini. Pasti kamu berharap kabar dari aku, ‘kan? Sayangnya, aku terlalu cinta sama kamu. Aku gak mau kamu terjerat masalah yang menimpaku karena kita kembali berhubungan …." Sudah habis minuman di botol yang dia pegang, Adiaz segera membantingnya ke batu, hingga pecah berkeping-keping. Setelah itu, dia beranjak pergi untuk kembali ke kos ny
Oke, kita ke depan temui drivernya dan bayar sesuai tarif, kamu pulang sama saya.”“Tapi, Pak–““Mentari ... saya tidak suka penolakan.”Akhirnya Mentari menuruti keinginan bosnya, malam itu ia pulang diantar oleh Maheswara, alasan mengambil dan mengembalikan jas rupanya sudah tidak akan berlaku lagi untuk ke depannya.Angin malam yang dingin membuat Mentari sedikit menggigil, Maheswara yang menyadari itu, akhirnya memutuskan untuk memberikan jaket yang ada di mobilnya. “Saya sudah pinjam jas Bapak." “Pakai saja, daripada kamu kedinginan." “Terima kasih, banyak, Pak." Setelah Mentari mengenakan jaket dari Maheswara, gadis itu terdiam begitu pun Maheswara. Keheningan itu terjadi sampai mobil berhenti di gang rumah Mentari. Mentari turun dan meminta Maheswara untuk menunggu, ia akan mengambil jas yang kemarin.“Alhamdulillah sudah kering, aku setrika dulu sebentar, deh.” Mentari berbicara sendiri. Setelah rapi, ia membawanya dengan menggunakan hangers.“Ini, Pak. Terima kasih ban
Inikah Cinta?Tiba jam makan siang. Seperti biasanya, karyawan akan sibuk untuk mengantre di kantin kantor. Tidak terkecuali dengan Mentari. “Hei, nanti malam mau party enggak guys? Paman aku baru buka klub di sini, loh. Katanya kalau aku bawa teman-teman ke sana, dikasih gratis deh." Tania, cewek seksi yang hobby clubing berkata dengan penuh semangat. Sekelompok staf wanita dan pria terlibat percakapan, sedangkan Mentari hanya terdiam menikmati makan siangnya. “Wah, Lumayan nih, gue lagi butuh hiburan. Kemarin kalah slot judi, sialan banget," sahut Puri–si tukang judi online. “Gimana guys? Kalian mau ikut gak? Setuju, ‘kan buat pergi ke sana?" tanya Tania lagi. Semuanya menjawab, “Setuju." Secara bersama-sama, kecuali Mentari. Wanita yang duduk persis di samping Mentari bertanya, “Nanti malam, kamu mau ikut juga?" Mentari menggeleng, “Enggak dulu deh, aku harus lembur." Ucapannya tidak sengaja terdengar oleh Maheswara yang kebetulan sedang melintas. “Oh. Ya udah deh, kalau k