Jadi, lu … anak itu?" Rani tertawa sarkas. “Iya, gue anak itu. Lu gak puas apa, udah ngebunuh orang, bikin orang menderita. Punya otak gak, sih? Kenapa sampai segitunya cari uang? Kamu gak menyesal atas perbuatan kamu? Kenapa masih melakukan hal yang sama berulang kali? Mau berapa anak yang lu hancurkan hidupnya, mau berapa anak yang lu buat mereka kehilangan sosok ayah, pemberi nafkah, demi memberikan kesenangan ke orang gak tau diri seperti kamu?" Rani benar-benar sudah gelap mata. Dia mengambil sebuah batu yang besarnya satu kepalan tangan. Lalu menghantam kepala Angela dengan kuat. Darah mengucur deras. Angela meringis kesakitan. Dia berteriak minta tolong, tetapi percuma, tidak ada orang di sana. Dia mulai kehilangan kesadaran, dan mendengar sedikit apa yang diucapkan oleh Rani. ”Gue gak yakin kehidupan lu bakal baik-baik aja setelah ini. Lihat aja! Gue dan Mentari bakal buat kehidupan lu gak tenang. Elu memang berhasil dan merasa menang sekarang, tapi itu gak akan tahan
“Jangan ambil! Buang! Buang aja hapenya. Aku udah muak! Aku gak mau liat dia lagi!" teriak Mentari histeris. Vas bunga yang terbuat dari keramik, dilemparkan oleh Mentari ke arah Rani. Beruntung lemparannya meleset, mengenai ujung tembok. Rani kesal, “Kamu udah gila, ya!? Kalau bikin sakit hati, ya, jangan diliat. Kamu bodoh apa gimana?" Rani membuang ponsel Mentari ke tong sampah. “Udah, mulai sekarang, kamu gak usah hubungi dia lagi. Jangan mau tau keadaan atau apa pun yang dia lakuin. Jangan menyiksa diri! Kamu juga tahu kalau dia itu perempuan yang gak tau malu. Gak akan punya efek jera sebelum kena karma!" Rani berteriak penuh amarah. Mentari menangis, kemudian Rani menghampiri dan memeluknya. “Aku gak bisa Ran, delapan tahun bukan waktu yang sebentar!" “Aku paham perasaan kamu, tapi masa kamu mau kaya gini terus selamanya? Enggak kan? Udah besok aku antar kamu suatu tempat." “Ke mana?" “Besok juga kamu tahu. Sekarang kamu makan dulu. Kamu gak mau, ‘kan, dia bisa sebaha
Sayang, ini Ibu, Nak. Ayo kita pulang. Ayah dan Ibu datang untuk menjemputmu. Buka pintunya ... keluarlah, Mentari." Tidak ada jawaban. Berkali-kali membujuk, tetapi hasilnya nihil. Mentari diam seribu bahasa, duduk dengan memeluk kakinya sendiri dengan erat. Pikirannya kosong, matanya tak lepas memandangi layar ponsel yang tak pernah jauh dari tangannya. Entah sudah berpuluh bahkan beratus pesan ia kirimkan pada Adiaz, meskipun hasilnya hanya ceklis satu dan tak pernah menjadi dua apalagi biru. Meskipun Rani telah mengganti ponsel Mentari dan hanya memasukkan nomor-nomor tertentu saja, tetapi nomor Adiaz sudah terekam kuat dalam ingatan Mentari. Beribu kali pun nomor itu dihapus, Mentari selalu dapat mengingatnya. Tanpa ia ketahui, Adiaz pun kini telah mengganti nomor ponselnya.Tidak peduli seberapa dalam luka yang Adiaz buat di hatinya, gadis itu tetap setia menunggu kabar dari lelaki yang kini sudah melupakannya. Nafsu makannya hampir tak pernah ada jika saja Rani tidak memaksa
Mona merasa kasihan. Dia menarik suami dan anaknya pergi dari situ. Tidak mau membuat Mentari bertambah hancur. “Lho, Mama kenapa, sih? Tadi padahal semangat sekali, mau kasih dia pelajaran. Kita harus bawa dia ke kantor polisi, sekarang juga. Biar dia kapok." Mona membekap paksa mulut suaminya. “Sstt, Pa. Coba lihat tangannya, perhatikan baik-baik." Dua … tiga … lima … goresan luka, yang sengaja dibuat di pergelangan tangan Mentari. “Maaf … aku janji tidak akan membuatmu marah lagi. Aku janji akan pura-pura tidak tahu kamu bermain di belakangku. Aku janji .…" ceracau Mentari tak karuan membuat Mona semakin merasa iba. “Pa. Sudahlah, kita pergi saja dari sini." “Kenapa, Ma? Anak kita berdarah, lho––“ Belum selesai suaminya berkata, tangannya sudah ditarik paksa.Saat Mona dan suaminya sudah tidak ada, Mentari masuk kamar dan menangis. Terkadang ingatannya sadar terkadang juga tak dapat terkontrol. Hari itu … dia akan bunuh diri. Dalam keadaan hancur dan sakit ….Bukannya ini
Johan––laki-laki tua itu mampu membuat Angela terbuai, ternyata Johan adalah seorang bandar besar.Menjelang pagi, mereka baru menyudahi semuanya. Angela pun pulang dengan perasaan bahagia. Wanita itu menang banyak malam tadi, selain mendapatkan uang yang lumayan jumlahnya ia juga puas mengonsumsi barang haram yang selama ini ia kenalkan pada Adiaz. Bedanya, biasanya ia menikmati barang haram itu harus dengan mengeluarkan uang yang nominalnya tidak sedikit, tetapi kali ini ia bisa sepuasnya tanpa harus mengeluarkan uang sepeser pun. Satu lagi yang membuat Angela merasa di atas angin, Johan sangat puas dengan pelayanan yang ia berikan dan berjanji akan selalu mendatanginya. Sebagai bentuk keseriusan, Johan membekali Angela satu buah kartu debit miliknya untuk dipergunakan Angela sepuasnya. “Aaahh ... akhirnya, dewa keberuntungan berpihak padaku.” Angela berkata sendiri seraya menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur.“Eh, tunggu ... tadi Johan bilang akan sesering mungkin mengunjung
Tiba di kafe, Mentari mengirimkan pesan pada Adiaz, menanyakan keberadaannya. Namun, sama sekali tidak ada balasan walaupun terkirim. Ternyata, Angela senang menikmati kebodohan Mentari. Tidak berputus asa, Mentari menunggu di salah satu sudut kafe. Sudah dua jam berlalu, tidak ada tanda-tanda kemunculan Adiaz. Sampai akhirnya, waktu sudah semakin beranjak naik, saat ini waktu sudah hampir tengah malam.“Maaf, Kak. Kami sudah mau tutup.”“Lho? kenapa cepat sekali tutupnya? Bisa kasih saya waktu sebentar? Calon suami saya sebentar lagi tiba." “Maaf, Kak. Gak bisa. Ini sudah waktunya kafe kami tutup, Kak." “Tapi … saya sedang menunggu tunangan saya datang ke sini!" Mentari menunjukkan foto Adiaz.Pelayan kafe saling memberikan tatapan penuh tanda tanya. “Maaf, Kak. Kami sama sekali tidak melihat. Yang lain juga begitu." Terpaksa Mentari keluar dari kafe dengan hati hampa. Halusinasinya, mengenai pertemuan indah yang akan dia dapatkan, malah berubah menjadi luka hati yang dalam
Adiaz segera pamit untuk pergi ke toilet. Dia tidak nyaman melihat pemandangan itu. Baginya, cukuplah Mentari wanita yang bersamanya. Wanita-wanita seperti yang di dalam itu sama sekali bukan seleranya. Lelaki itu tidak pergi ke toilet, ia hanya berpindah tempat untuk sesaat ke salah satu sudut ruangan yang tak begitu ramai. Sedikit lebih tenang, setidaknya ia bisa menghindari muncikari tadi yang sudah dipastikan akan menawarkan ‘dagangannya' secara paksa. Gadis-gadis tadi akan dengan sangat agresif melayani luar dalam para lelaki yang mencari ‘kesenangan' di tempat ini. “Ehm, sendiri? Boleh kutemani?” Tiba-tiba seorang wanita dengan penampilan sama dengan tiga gadis yang Adiaz hindari, sudah berdiri di depannya. Adiaz tak menjawab, ia hanya melirik sebentar lalu kembali membuang muka. “Aku tidak butuh teman, apalagi wanita sepertimu,” jawab Adiaz ketus. “Hahaha ... kamu yakin?” Wanita itu tertawa kecil. Adiaz menatap jijik ke arah wanita yang sedang mengepulkan asap rokoknya.
Angela BerulahSetelah melewati beberapa jam di dalam ruang IGD, dokter akhirnya keluar. Dia membuka masker yang berlapis-lapis.“Bagaimana keadaan teman saya, Dokter? Apa dia baik-baik saja?" tanya Rani khawatir. Dokter tampak terdiam. Sepertinya sulit untuk mengatakan kebenarannya. “Maafkan saya. Karena hal ini akan menjadi berita buruk." “Apa maksud, Anda? Tolong jangan biarkan saya merasa–“ kata-kata Rani seperti nyangkut di tenggorokan karena tersedak tangisan. “Sekarang, keadaan pasien sangat kritis. Dia mengalami koma." Mendengar hal itu, Rani terduduk lemas. Mencoba untuk mencerna perkataan dokter. Benarkah Mentari koma? “Tapi, apakah dia bisa siuman lagi, Dokter?" Dokter itu menggeleng pelan. “Belum diketahui secara pasti. Tapi, dia masih memiliki kemungkinan untuk hidup." Rani bangkit dari posisinya. Dia mencengkeram tangan dokter sangat kuat. Lalu berkata dengan emosi, “Anda seorang dokter bukan? Kalau begitu, selamatkan dia! Jika tidak …." Ran
[Aku sudah di Acclamare Coffee, kamu di mana, Yank?]Satu pesan masuk tepat saat mobil yang dikendarai Mentari memasuki kawasan tempat di mana mereka membuat janji untuk bertemu.“Tujuh menit lagi aku sampai.” Mentari mengirimkan balasan. Tempat tujuan sudah di depan mata, perempuan itu merasakan debaran di hatinya semakin tak dapat lagi terkontrol. Ia lebih memilih berdiam diri di dalam mobil seraya meredam gejolak perasaannya yang semakin tak karuan. Lima menit sudah berlalu dari waktu tujuh menit yang ia janjikan dan kini hanya tersisa dua menit saja.Dengan langkah pelan Mentari memasuki kafe. Di salah satu sudut meja, netranya menangkap satu sosok yang dulu pernah sangat merajai hatinya, mengukir mimpi, melalui hari-hari dengannya selama delapan tahun!Sampai akhirnya sesuatu yang sampai detik ini tak pernah ia mengerti pun terjadi, Adiaz berubah menjadi seorang yang asing bagi Mentari, lalu dia menghilang bak ditelan bumi.Hari ini, setelah enam tahun berlalu. Sosok itu
Setelah enam tahun ....Laki-laki itu menatap nanar sebuah foto seorang wanita cantik yang sedang tertawa bahagia memeluk erat dua anak perempuan kembar. Hatinya berdenyut sakit, seandainya ia bisa mengulang waktu, tak akan dulu ia tergoda wanita malam dan meninggalkan kekasih yang telah lama membersamainya.Dia adalah Adiaz. Kehidupannya kini telah berangsur membaik. Pada dasarnya ia memang seorang yang ulet dan pekerja keras. Setelah mengalami kehancuran hidupnya bersama Angela, ia bertekad untuk memperbaiki hidup, ia kembali meniti kariernya dari bawah dengan cara membuka usaha di bidang properti dan kini usahanya sudah menunjukkan perkembangan yang cukup memuaskan. ‘Maafkan aku, Mentari. Tapi sungguh aku dulu tidak bermaksud untuk meninggalkanmu. Hanya saja, aku terlanjur salah dan jauh melangkah. Bagimu, aku menghilang, aku lari dan melupakanmu. Tak apa jika kau menilai aku seperti itu. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, sebenarnya ... aku sedang melindungimu, karena rasa cin
Tanpa terasa enam bulan sudah Mentari menyandang gelar sebagai Nyonya Maheswara. Maheswara memperlakukan Mentari seperti seorang Ratu. Apa pun yang dia minta, selalu dipenuhi oleh Maheswara. Mentari juga tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan rumah, “ Aku gak mau istriku kecapean, aku menikahimu untuk menjadi istri bukan untuk menjadi tukang bersih-bersih.” Itu jawaban Maheswara saat Mentari bersikukuh ingin membersihkan ruang kerja suaminya dengan alasan bosan tidak mengerjakan apa-apa. Kehidupannya kini jauh lebih bahagia daripada saat bersama dengan Adiaz. Hati Mentari sudah sepenuhnya terisi dan menerima Maheswara. Semua kisah masa lalu bersama Adiaz telah benar-benar ia ikhlaskan meski tak pernah ia melupakannya.‘Aku kehilangan seseorang sampai mengalami yang namanya depresi. Aku sempat terpuruk dan jatuh sejatuh-jatuhnya. Harga diriku sebagai perempuan yang punya komitmen, diinjak sampai tak tersisa oleh wanita murahan itu, tetapi kalau tahu akhirnya Tuhan akan memberik
[Hmm ... pokoknya, kalau kamu sudah menikah dengan saya, tidak ada namanya kerja apalagi lembur, itu tugas dan kewajiban saya. Tugasmu cukup membuat saya merasa tidak ada orang lain di dunia ini selain kita berdua.]Mentari terbelalak heran ketika membaca pesan itu. “Rasanya aku belum memberikan jawaban, tapi, kok, bicaranya seperti itu? Ah, sudahlah. Dia, ‘kan Bos, jadi bebas bicara apa saja,” Mentari terkekeh sendiri.Mentari tidak mengetikkan lagi pesan balasan, dan segera berfokus pada komputer di hadapannya. Tepat ketika jarum pendek di jam dinding mencapai angka 20:30 WIB, pekerjaannya sudah selesai. Dia meregangkan badannya yang pegal. Lalu kini dia harus menelepon Rani untuk minta dijemput. Tut!.Sambungan telepon diterima. “Halo, Ran, jadi jemput aku, ‘kan?” [Tari, aku minta maaf karena sudah janji. Tapi, benar-benar gak bisa. Adikku masuk rumah sakit.] “Rino masuk rumah sakit? Kenapa, Ran?”[Penyakit lamanya kambuh, mungkin dia kecapean. Ini lagi nunggu hasi
Ketika tiba di kantor, entah mengapa atmosfer yang terasa berbeda dari sebelumnya. Semua orang tidak lagi menyapa seperti biasa, mereka menatap Mentari lalu tersenyum sungkan, tetapi ada juga yang setelahnya terlihat kasak kusuk seperti sedang bergosip, Mentari merasa heran juga dibuatnya. Belum genap lima menit Mentari duduk di kursinya, Eva membisikan sesuatu. “Ada pesan dari Pak Bos, katanya beliau meminta laporan keuangan hari ini,” ucap Eva membuat Mentari mengerutkan kening. “Hari ini? Bukannya masih ada waktu dua hari lagi, sesuai jadwal biasanya?” Mentari dibuat bingung oleh permintaan Maheswara yang menurutnya sangat absurd sekali. “Iya, Mbak, tadi pesannya seperti itu.” “Oke deh, Mbak Eva. Terima kasih, ya, eh, ngomong-ngomong sepagi ini beliau sudah datang?” “Sudah, malah sebelum karyawan datang beliau sudah ada di kantor, gitu kabar yang aku dengar dari Pak Satpam tadi.”“Ehm, tumben. Ya sudah, aku mau kerjakan dulu sesuai yang beliau minta, thankyou, ya, Mbak.“Kare
Apanya yang mendadak? Saya kan ajak kamu pergi nanti malam, sekarang masih pagi. Seharusnya, masih ada waktu untuk dandan, kan? Walaupun tidak perlu juga tidak apa-apa,” ucapnya santai. Mentari mengusap wajahnya gusar. Lelaki ini terkenal dingin, tetapi tidak terhadap Mentari.“Maksud saya, Pak, kenapa Bapak mendadak ajak saya jalan-jalan?” “Nanti juga kamu akan tahu apa alasannya. Saya ada banyak pekerjaan, kamu juga urus saja semua tugas-tugas kamu. Jangan membicarakan masalah pribadi di jam kerja, ya." Mentari mengerutkan kening, ‘Jangan membicarakan masalah pribadi di jam kerja’. “Bukankah dia yang memintaku menemuinya?"Ah, dasar aneh.” Mentari menggerutu dalam hati. “Ya, sudah, kamu boleh kembali ke mejamu,” ucapnya sedikit salah tingkah. Lagi-lagi pria itu tersipu malu. Dia mengusir Mentari karena malu tidak tahu harus bereaksi seperti apa sebenarnya. Wajahnya merona, telinganya juga merah. “Mentari, kamu bisa bikin aku gila dalam sehari. Dan itu cuma karena kita mengob
Malam itu semakin larut, hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, dan Adiaz tidak dapat menemukan satu orang pun yang sedang berjalan kaki. Termasuk gadis yang tadi dia serang dengan banyak pertanyaan. “Mentari? Sayang kamu di mana? Jangan sembunyi seperti itu, dong. Aku, ‘kan belum selesai bicara, Sayang?" Perlahan berjalan hingga sampai ke tengah jembatan dan melihat pantulan dirinya sendiri di dalam air. “Oh, jadi ini laki-laki jahat dan kurang ajar yang sudah menyakiti kamu? Iya, ‘kan? Kenapa dia mirip sama aku?" Kemudian lanjut tertawa-tawa sampai perutnya sakit. “Asal kamu tahu Mentari, aku sengaja tidak menghubungi kamu sekarang ini. Pasti kamu berharap kabar dari aku, ‘kan? Sayangnya, aku terlalu cinta sama kamu. Aku gak mau kamu terjerat masalah yang menimpaku karena kita kembali berhubungan …." Sudah habis minuman di botol yang dia pegang, Adiaz segera membantingnya ke batu, hingga pecah berkeping-keping. Setelah itu, dia beranjak pergi untuk kembali ke kos ny
Oke, kita ke depan temui drivernya dan bayar sesuai tarif, kamu pulang sama saya.”“Tapi, Pak–““Mentari ... saya tidak suka penolakan.”Akhirnya Mentari menuruti keinginan bosnya, malam itu ia pulang diantar oleh Maheswara, alasan mengambil dan mengembalikan jas rupanya sudah tidak akan berlaku lagi untuk ke depannya.Angin malam yang dingin membuat Mentari sedikit menggigil, Maheswara yang menyadari itu, akhirnya memutuskan untuk memberikan jaket yang ada di mobilnya. “Saya sudah pinjam jas Bapak." “Pakai saja, daripada kamu kedinginan." “Terima kasih, banyak, Pak." Setelah Mentari mengenakan jaket dari Maheswara, gadis itu terdiam begitu pun Maheswara. Keheningan itu terjadi sampai mobil berhenti di gang rumah Mentari. Mentari turun dan meminta Maheswara untuk menunggu, ia akan mengambil jas yang kemarin.“Alhamdulillah sudah kering, aku setrika dulu sebentar, deh.” Mentari berbicara sendiri. Setelah rapi, ia membawanya dengan menggunakan hangers.“Ini, Pak. Terima kasih ban
Inikah Cinta?Tiba jam makan siang. Seperti biasanya, karyawan akan sibuk untuk mengantre di kantin kantor. Tidak terkecuali dengan Mentari. “Hei, nanti malam mau party enggak guys? Paman aku baru buka klub di sini, loh. Katanya kalau aku bawa teman-teman ke sana, dikasih gratis deh." Tania, cewek seksi yang hobby clubing berkata dengan penuh semangat. Sekelompok staf wanita dan pria terlibat percakapan, sedangkan Mentari hanya terdiam menikmati makan siangnya. “Wah, Lumayan nih, gue lagi butuh hiburan. Kemarin kalah slot judi, sialan banget," sahut Puri–si tukang judi online. “Gimana guys? Kalian mau ikut gak? Setuju, ‘kan buat pergi ke sana?" tanya Tania lagi. Semuanya menjawab, “Setuju." Secara bersama-sama, kecuali Mentari. Wanita yang duduk persis di samping Mentari bertanya, “Nanti malam, kamu mau ikut juga?" Mentari menggeleng, “Enggak dulu deh, aku harus lembur." Ucapannya tidak sengaja terdengar oleh Maheswara yang kebetulan sedang melintas. “Oh. Ya udah deh, kalau k