Berjam-jam berlalu dari waktu pulang Adiaz. Mentari sampai terkantuk-kantuk menunggunya. Akhir-akhir ini, dia memang sering sekali lembur. Jarang makan di rumah. Kadang pulang sebentar lalu pergi lagi dengan alasan bertemu klien. Pulang hanya untuk mengambil keperluan seperti berkas-berkas penting yang harus dibawa. Seperti siang tadi, Mentari melihat wajah kekasihnya tampak kusut, bajunya pun acak-acakan, bagian bawah mata Adiaz menghitam seperti panda, efek karena dirinya selalu lembur demi kemajuan perusahaan, alasannya.
“Sepertinya malam ini aku gak pulang. Kamu makan saja, gak usah nunggu aku. Kerjaan sedang numpuk banget aku keteteran dan harus lembur lagi," ucapnya sambil memakai jas dan memasukkan berkas ke dalam tas.“Oke, tapi kamu jangan sampe lupa makan, ya, ingat kesehatan. Aku gak mau kamu sampe sakit. Kalo kamu sakit, yang nyakitin aku siapa?" kelakar Mentari sukses membuat Adiaz terkekeh kecil seraya mengacak rambut wanitanya. Bagi Mentari, tak masalah jika ia ditinggalkan sendiri di rumah. Namun, yang Mentari khawatirkan sebenarnya adalah kesehatan Adiaz.Adiaz mendekat ke arah Mentari, meraihnya ke dalam pelukan lalu membingkai wajah perempuan itu seraya memberikan kecupan hangat, “Aku harus dapat promosi naik jabatan. Supaya bisa menabung untuk pernikahan kita nanti," ucapnya sukses membuat hati Mentari meleleh dan tanpa ia sadari senyum mengembang di bibirnya.Adiaz semakin mendekapnya erat, mengecup singkat pucuk kepala, lalu dia pergi ke kantor dengan sedan hitamnya.“Ah, Adiaz. Kamu tak pernah berhenti untuk membuatku tersenyum bahagia seperti ini." Mentari menggumam.Ya, itu beberapa jam yang lalu. Kini Mentari termenung sendirian di ruang makan. Asap yang tadi mengepul dari makanan, kini sudah tidak ada. Meski Adiaz sudah berkata bahwa tidak perlu menunggunya, Mentari tetap saja menunggu sampai ia bosan. Lalu entah mengapa tiba-tiba ia memikirkan sesuatu.‘Memangnya, Adiaz yang seperti itu, tidak digoda oleh perempuan lain? Ya, siapa yang bisa menolak pesona seorang Adiaz? Dia tampan, baik hati, pekerja keras dan mapan.' Hatinya berbicara.“Ah, sudahlah. Aku pusing kalau memikirkan itu. Bukannya Adiaz hanya mencintai aku saja?" gumamnya seraya merapikan meja makan kemudian beranjak dari sana.Dia melangkah naik ke lantai atas, kediaman Adiaz. Di sana, ada dua kamar, satu yang biasa dipakai Adiaz dan satunya lagi yang biasa Mentari pakai. Entah karena apa, gadis itu tiba-tiba penasaran. Meskipun Mentari sudah sering bolak balik ke kamar Adiaz, tetapi kali ini ia merasakan ada sesuatu yang entah apa. Mentari urung masuk ke kamarnya sendiri, langkahnya berbelok menuju kamar Adiaz, memutar gagang pintu yang ternyata tidak terkunci.“Ya ampun, berantakan sekali !" pekiknya begitu pandangannya menyapu seisi ruangan. Mentari orangnya sangat rapi, dia tidak suka melihat penampakan kamar Adiaz. Penuh dengan barang berserakan, baju-baju tercecer di mana-mana, dan beberapa sampah yang jatuh ke lantai, tong sampahnya meluap.“Kenapa Adiaz sejorok ini, sih, biasanya dia rapi banget.” Mentari menggerutu heran karena Adiaz tak biasanya seperti ini.Saat akan membuka lemari untuk memasukkan beberapa stel baju, dari bawah terdengar suara pintu pagar dibuka. Gadis itu langsung turun dan melonjak kegirangan karena Adiaz kesayangannya sudah pulang.Mentari langsung mengambil dan membawakan tasnya yang lumayan berat, beserta jas hitamnya. “Mandilah dulu, biar aku siapin makanan," ucapnya seraya menatap Adiaz yang terlihat agak kurusan.Namun, Adiaz menolak dengan alasan, “Aku sudah makan di kantor tadi. Lagi pula harus kerja lagi nanti malam, aku mau mandi dulu," ucapnya.“Mau balik ke kantor lagi?"“Enggak. Aku kerja dari sini."“Oke," ucap Mentari lega.Adiaz naik ke lantai atas, kamar mandinya ada di dalam kamar. Sedangkan yang sering dipakai Mentari ada di bawah. Mereka memang masih memiliki beberapa privasi karena belum resmi menikah, masih sebatas pertunangan.Setelah selesai mandi, Adiaz masuk ke ruang kerjanya. Ruangan itu terpisah, ada di lantai bawah. “Sayang, bisa buatkan aku kopi?" tanyanya.Mentari menjawab, “Iya, Sayang, sebentar, ya." Dengan senang hati wanita itu melangkah menuju dapur.Selesai, Mentari segera mengantarkannya. Lampu ruangan tampak redup, Mentari heran, kok, bisa-bisanya Adiaz kerja di bawah penerangan lampu seperti ini. jadi, dia menyalakannya agar tidak tersandung.“Maaf, aku nyalakan sebentar, ya."“Iya ...." jawab Adiaz tanpa mengalihkan pandangannya dari layar di depannya.Ting!Ting!Sebuah notifikasi dari aplikasi pesan masuk.“Sayang, bisa tolong balaskan sebentar?" Adiaz meminta Mentari mengetikkan balasan chat dari temannya, dia benar-benar sibuk karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan di bawah deadline. Anggaplah bahwa pekerjaan itu benar-benar tidak bisa ditunda, dan pengerjaannya harus disegerakan.“Oke. Mau dibalas apa?"“Balas---” Adiaz mengucapkan beberapa kalimat balasan yang langsung diketik oleh Mentari.Netra Mentari tertuju pada sebuah pesan yang belum dibuka. Sebuah pesan tanpa nama pengirim. Dengan profil foto seorang wanita seksi, hampir telanjang. Tubuhnya hanya ditutupi oleh bikini saja. Mentari refleks membukanya, dia curiga ....Ternyata, isinya adalah sebuah pesan tak wajar, banyak menyinggung ke hal yang tidak senonoh. Wanita itu bahkan mengirimkan foto dengan pose bugil di atas kasur. Wajahnya ditutup oleh stiker, Mentari tak dapat melihat dengan jelas seperti apa rupa wanita itu.Dadanya terasa panas, tangannya gemetar, dia berusaha menahan emosi yang hampir membludak keluar.“Ini maksudnya apa!? Kamu ada main sama perempuan lain!?" Usahanya gagal, Mentari malah berteriak keras, hingga kopi yang sedang diminum oleh Adiaz tumpah mengenai tangannya.“Ahh ... panas. Apaan, sih? Kenapa tiba-tiba teriak?" Dia membalas tatapan marah Mentari.“Apa ini!? Coba jelaskan!" Dia memberikan ponsel pada Adiaz.Untuk sesaat, Adiaz terlihat diam. Sepertinya, dia sedang mencoba untuk merangkai kata-kata yang tepat.“Kamu marah gara-gara ini? Aduh udah, deh, dia cuma perempuan iseng. Jaman sekarang banyak, ‘kan perempuan-perempuan aneh yang sering kirim begini ke sembarang orang? Udah hapus aja ... jangan marah, jangan salah paham." Adiaz mencoba membujuk kekasihnya.Mentari tetap tidak percaya. Ia merasakan ada kebohongan yang Adiaz tutupi.Tidak, jangan sampai cinta yang begitu didewakannya itu direbut oleh wanita murahan. Jangan!“Kamu gak bohong, ‘kan?" tanyanya lagi memastikan.Adiaz kembali menoleh ke arah Mentari. “Enggak, Sayang. Buat apa bohong? Kamu pikir aku laki-laki macam apa, yang suka sama perempuan gak jelas kaya gitu. Udah deh, gak usah aneh-aneh. Istirahat aja, kamu pasti banyak pikiran," ucapnya panjang lebar.Mentari diam, tetapi dari raut wajahnya tampak jelas ia tak puas dengan jawaban Adiaz barusan“Sudah, Sayang ... dia buka siapa-siapa, kok, hanya orang iseng yang tak tau malu. Sini, biar aku blokir kontaknya,” ucap Adiaz seraya mengulurkan tangannya meminta ponselnya. Dengan satu kali klik akhirnya kontak tanpa nama itu terblokir.“Jangan pernah mencoba buat menghianati komitmen kita.” Mentari berkata tegas pada Adiaz.“Kamu curigaan banget, ya? Hahaha. Udah, sana tidur." Adiaz terkekeh gemas melihat wajah Mentari yang ditekuk. ***Keesokan harinya, Adiaz diizinkan untuk libur selama seharian penuh. Bos mengatakan, bahwa dia sudah bekerja terlalu keras. Jadi di pagi hari itu, dia mendatangi kamar Mentari, yang sejak semalam tidak mau diajak bicara lagi.“Sayang. Aku boleh libur seharian, mau jalan-jalan sambil belanja? Sekalian beli kebutuhan pokok. Kamu mau apa, nanti aku beliin, deh." Dari balik pintu Adiaz mencoba membujuk Mentari.Hening. Tak ada suara apa pun apalagi jawaban. Adiaz tak putus asa, dia mencoba lagi membujuk Mentari dan kali ini sepertinya usahanya berhasil. Pintu kamar terbuka dan Mentari sudah rapi.“Hufff! Kamu sesemangat itu?" tanya Adiaz sambil tertawa kecil.“Iya! Lagian jarang-jarang, ‘kan, kamu boleh libur."“Ya sudah, tunggu sebentar, ya, aku mau siap-siap dulu."“Oke, jangan lama-lama."“Iya, Sayang."Setelah Adiaz rapi, mereka berdua turun dan keluar rumah menuju sedan hitam milik Adiaz. Saat masuk mobil, penciuman Mentari disambut oleh bau-bauan aneh. Seperti bau parfum milik wanita. Mentari berusaha berpikir positif. Namun, begitu terkejutnya ia saat mendapati sebuah lipstik tergeletak di bangku depan yang akan didudukinya.“Adiaz! Apa ini?!"“Adiaz, apa ini!?" Mentari melonjak kaget. Dia menatap nanar ke arah Adiaz. Sedangkan Adiaz melongo, wajahnya seketika pias. Lalu ia merebut lipstik itu dari tangan Mentari. Segera membuangnya ke jalanan. “Itu bukan apa-apa," ucapnya. Ia mencoba untuk tetap tenang. Mentari melayangkan tatapan marah. Kemudian ia tertawa sarkas. “Bukan apa-apa!? Ada benda perempuan lain, kamu bilang bukan apa-apa!?" “Itu punya teman kerja aku! Kita kemarin ada meeting!" jawab Adiaz ikut berteriak. “Kita sengaja cuma pakai satu mobil, karena jalanan sedang macet!" “Alasan kamu gak logis!" “Apanya yang gak logis, sih!?" “Kalau kamu tahu ada lipstik orang yang ketinggalan, kenapa nggak langsung kamu kembalikan? Dan itu ... kenapa harus dibuang?" “Aku aja baru sadar sekarang! Udah! Jangan ajak aku debat lagi. Kamu ngajak ribut cuma gara-gara hal sepele ini!?" Hari itu, rencana belanjanya gagal total. Adiaz lebih memilih untuk masuk ke dalam kamarnya. Dia sengaja melakukan itu, supaya Mentar
Aksi Adiaz terhenti saat ia sadar apa yang akan diperbuatnya. Ia menurunkan kembali tangannya. Memilih pergi begitu saja. Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul 24:00 WIB.Adiaz meraih kunci mobil dan mengenakan jaket, dengan tanpa menoleh ke arah Mentari, ia keluar seraya membanting pintu. Lalu ia menghubungi Angela. “Aku jadi ke sana.”Angela tertawa penuh kemenangan. “Tuh, ‘kan, apa kubilang. Dia itu cuma perempuan yang membosankan, Sayang. Aku akan buat kamu puas malam ini," ucapnya. Kondisi jalanan yang lengang membuat Adiaz yang sedang kalut mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dalam benaknya saat ini hanya terbayang asap kenikmatan yang disuguhkan Angela, sudah dua bulan terakhir ini Adiaz dikenalkan dengan ‘surga dunia' ala Angela, wanita seksi yang berprofesi sebagai penari telanjang di sebuah klub malam.Sampai di tempat tujuan, Adiaz menghubungi Angela. Namun, berkali-kali panggilan Adiaz tak dijawab oleh Angela. Ia kemudian masuk ke klub yang sudah padat p
Kediaman Mentari tampak sepi, tak ada apa pun yang menandakan ada kehidupan di dalam. Adalah Rani yang merupakan teman baik Mentari. Gadis berambut lurus yang dibiarkannya tergerai itu berdiri di depan pintu, setelah berkali-kali mengetuk pintu, tetapi tak kunjung ada jawaban, gadis itu berinisiatif untuk melakukan panggilan telepon. Rencananya, hari ini dia akan mengajak sahabatnya itu untuk pergi rekreasi. Kemarin, Mentari curhat padanya, mengenai perubahan sikap Adiaz yang sangat drastis sekali.Kemarin. “Ran, kamu sibuk gak? Ada banyak yang ingin aku ceritakan ....” Mentari bertanya melalui sambungan telepon. Rani tertawa, “Sibuk apanya? Aku biasa aja, kok, ada apa, Tari? Tumben sekali pake ada kata curhat segala. Atau, kamu mau aku ke rumahmu sekarang?”“Gak usahlah, nanti kamu cape. Ran ... aku bingung. Sikap Adiaz ke aku berubah drastis––" Mentari mulai menangis. “Dia jadi kasar sama aku. Kami jadi sering bertengkar. Aku pernah nemuin lipstik di dalam mobilnya. Selain
Amarah MentariAngela membanting vas bunga yang ada di kamar. Pecahannya sampai mengenai tangannya sendiri. Ia meringis kesakitan, dadanya terasa panas karena kalah oleh Mentari. Memang benar, bahwa Angela hanyalah wanita tidak tahu malu, yang suka merebut pria orang lain. Namun, gadis itu baru pertama kali ini, merasakan gejolak emosi yang sangat dahsyat. Biasanya, Angela dengan santai meladeni istri-istri pria yang dia goda. Itu karena mereka semua menangis saat berhadapan dengan Angela, berbeda dengan Mentari yang tegas dan lantang. Suara lemparan vas tadi, membuat Adiaz terbangun. Ia kaget dengan tangan kanan Angela yang terluka. Dengan cepat Adiaz pergi keluar kamar untuk mencari obat. Setelah tangan Angela diobati, Adiaz dan Angela duduk di sofa, “Kamu kenapa bisa luka seperti ini, sih? Kamu sengaja banting vas bunga itu, ‘kan?" tanya Adiaz. Angela enggan menjawab, tetapi tiba-tiba dia mendapat ide. Dia akan mengadukan semua perlakuan Mentari padany
Drama Sang PelakorMelihat Adiaz yang mendekat ke arah Mentari, Angela segera berlari keluar. Dia menahan semua rasa malu, hal itu bukankah yang pertama kali ia alami. Sudah banyak kejadian serupa sebelumnya. Itu bukan apa-apa bagi Angela, tetapi kali ini perkataan Mentari begitu menusuk hatinya.Langkah Adiaz terhenti. Dia lebih memilih untuk mengejar Angela yang keluar dari ruangan. Adiaz menarik tangan perempuan itu. Memintanya untuk bersabar sementara menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin. “Kamu tenang dulu. Jangan marah-marah, Sayang." Angela melepaskan tangan Adiaz. “Tenang kamu bilang? Setelah semua hinaan yang dia kasih ke aku? Kamu mikir gak, sih?" Dia mulai menangis, memperlihatkan wajah penuh emosional. “Kamu juga, kenapa pergi ke rumah sakit? Kamu khawatir sama dia? Kamu sebenarnya niat pisah enggak, sih, sama cewek sialan itu? Mana janji-janji Kamu sama aku Adiaz!?" Angela berteriak sangat kencang. Hal itu menjadikan mereka tontonan orang-or
Bab 8 Luka Hati MentariMentari termenung setelah kepergian Adiaz dan Angela. Hatinya terasa kosong. Pikirannya kalut. Seandainya, dia tidak tutup mata sejak awal, mungkin semua masalah ini tidak akan terjadi. Mentari terlalu mencintai Adiaz, walaupun dia tahu kesalahan Adiaz, wanita itu masih tetap bertahan, seakan tidak terjadi apa pun, seakan tidak ada yang salah. Hal itu menyebabkan banyak luka di hati Mentari. Rani menghampirinya, “Kamu baik-baik aja, ‘kan? Mau makan lagi?" tanya Rani khawatir. Diam. Sama sekali tidak ada jawaban. Mentari masih melamun, menatap kosong ke depan. Semuanya seakan hanya mimpi buruk. Ia berharap bisa tidur panjang, lalu bangun ketika semuanya sudah baik-baik saja. Rani mendekap erat tubuh Mentari. Merasakan bajunya basah karena air mata gadis itu. “Sudah ... gak apa-apa. Kamu mau disakiti terus sama laki-laki bejat seperti itu? Sudah, jangan dipikirkan. Dia gak pantas buat kamu. Percaya sama aku, Mentari, Tuhan jauhkan kal
Di tempat lain, Angela sedang sibuk berbelanja. Dia berniat untuk menghabiskan semua uang dari Adiaz. Membeli banyak pakaian branded. Dia juga pergi ke salon untuk perawatan. Wanita itu benar-benar tidak peduli dengan keadaan Mentari yang semakin memburuk. “Bodo amat sama perempuan bodoh itu. Yang penting aku bisa beli barang-barang mahal. Hahaha. Sekarang aku punya bank pribadi." Angela berbicara sendiri. Kedua tangannya penuh dengan kantong belanjaan, perempuan itu tertawa senang, “Cukup untuk hari ini. Besok, kita shopping lagi. Tenang Angela ... sekarang kamu memiliki pohon uang yang akan selamanya menjadi milikmu, hahaha ....” Angela berbicara sendiri seraya melangkahkan kakinya keluar dari mal. Tiba-tiba, seseorang menghampirinya. Orang itu menatap Angela dengan tajam. Lalu ia menyeretnya ke belakang mal.“Sini, lu!" Rani menarik dengan kasar tangan Angela. Belanjaan Angela jatuh berserakan, kakinya tersandung.Angela meringis kesakitan. Dia ingin melepaskan cengkeraman ta
Jadi, lu … anak itu?" Rani tertawa sarkas. “Iya, gue anak itu. Lu gak puas apa, udah ngebunuh orang, bikin orang menderita. Punya otak gak, sih? Kenapa sampai segitunya cari uang? Kamu gak menyesal atas perbuatan kamu? Kenapa masih melakukan hal yang sama berulang kali? Mau berapa anak yang lu hancurkan hidupnya, mau berapa anak yang lu buat mereka kehilangan sosok ayah, pemberi nafkah, demi memberikan kesenangan ke orang gak tau diri seperti kamu?" Rani benar-benar sudah gelap mata. Dia mengambil sebuah batu yang besarnya satu kepalan tangan. Lalu menghantam kepala Angela dengan kuat. Darah mengucur deras. Angela meringis kesakitan. Dia berteriak minta tolong, tetapi percuma, tidak ada orang di sana. Dia mulai kehilangan kesadaran, dan mendengar sedikit apa yang diucapkan oleh Rani. ”Gue gak yakin kehidupan lu bakal baik-baik aja setelah ini. Lihat aja! Gue dan Mentari bakal buat kehidupan lu gak tenang. Elu memang berhasil dan merasa menang sekarang, tapi itu gak akan tahan
[Aku sudah di Acclamare Coffee, kamu di mana, Yank?]Satu pesan masuk tepat saat mobil yang dikendarai Mentari memasuki kawasan tempat di mana mereka membuat janji untuk bertemu.“Tujuh menit lagi aku sampai.” Mentari mengirimkan balasan. Tempat tujuan sudah di depan mata, perempuan itu merasakan debaran di hatinya semakin tak dapat lagi terkontrol. Ia lebih memilih berdiam diri di dalam mobil seraya meredam gejolak perasaannya yang semakin tak karuan. Lima menit sudah berlalu dari waktu tujuh menit yang ia janjikan dan kini hanya tersisa dua menit saja.Dengan langkah pelan Mentari memasuki kafe. Di salah satu sudut meja, netranya menangkap satu sosok yang dulu pernah sangat merajai hatinya, mengukir mimpi, melalui hari-hari dengannya selama delapan tahun!Sampai akhirnya sesuatu yang sampai detik ini tak pernah ia mengerti pun terjadi, Adiaz berubah menjadi seorang yang asing bagi Mentari, lalu dia menghilang bak ditelan bumi.Hari ini, setelah enam tahun berlalu. Sosok itu
Setelah enam tahun ....Laki-laki itu menatap nanar sebuah foto seorang wanita cantik yang sedang tertawa bahagia memeluk erat dua anak perempuan kembar. Hatinya berdenyut sakit, seandainya ia bisa mengulang waktu, tak akan dulu ia tergoda wanita malam dan meninggalkan kekasih yang telah lama membersamainya.Dia adalah Adiaz. Kehidupannya kini telah berangsur membaik. Pada dasarnya ia memang seorang yang ulet dan pekerja keras. Setelah mengalami kehancuran hidupnya bersama Angela, ia bertekad untuk memperbaiki hidup, ia kembali meniti kariernya dari bawah dengan cara membuka usaha di bidang properti dan kini usahanya sudah menunjukkan perkembangan yang cukup memuaskan. ‘Maafkan aku, Mentari. Tapi sungguh aku dulu tidak bermaksud untuk meninggalkanmu. Hanya saja, aku terlanjur salah dan jauh melangkah. Bagimu, aku menghilang, aku lari dan melupakanmu. Tak apa jika kau menilai aku seperti itu. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, sebenarnya ... aku sedang melindungimu, karena rasa cin
Tanpa terasa enam bulan sudah Mentari menyandang gelar sebagai Nyonya Maheswara. Maheswara memperlakukan Mentari seperti seorang Ratu. Apa pun yang dia minta, selalu dipenuhi oleh Maheswara. Mentari juga tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan rumah, “ Aku gak mau istriku kecapean, aku menikahimu untuk menjadi istri bukan untuk menjadi tukang bersih-bersih.” Itu jawaban Maheswara saat Mentari bersikukuh ingin membersihkan ruang kerja suaminya dengan alasan bosan tidak mengerjakan apa-apa. Kehidupannya kini jauh lebih bahagia daripada saat bersama dengan Adiaz. Hati Mentari sudah sepenuhnya terisi dan menerima Maheswara. Semua kisah masa lalu bersama Adiaz telah benar-benar ia ikhlaskan meski tak pernah ia melupakannya.‘Aku kehilangan seseorang sampai mengalami yang namanya depresi. Aku sempat terpuruk dan jatuh sejatuh-jatuhnya. Harga diriku sebagai perempuan yang punya komitmen, diinjak sampai tak tersisa oleh wanita murahan itu, tetapi kalau tahu akhirnya Tuhan akan memberik
[Hmm ... pokoknya, kalau kamu sudah menikah dengan saya, tidak ada namanya kerja apalagi lembur, itu tugas dan kewajiban saya. Tugasmu cukup membuat saya merasa tidak ada orang lain di dunia ini selain kita berdua.]Mentari terbelalak heran ketika membaca pesan itu. “Rasanya aku belum memberikan jawaban, tapi, kok, bicaranya seperti itu? Ah, sudahlah. Dia, ‘kan Bos, jadi bebas bicara apa saja,” Mentari terkekeh sendiri.Mentari tidak mengetikkan lagi pesan balasan, dan segera berfokus pada komputer di hadapannya. Tepat ketika jarum pendek di jam dinding mencapai angka 20:30 WIB, pekerjaannya sudah selesai. Dia meregangkan badannya yang pegal. Lalu kini dia harus menelepon Rani untuk minta dijemput. Tut!.Sambungan telepon diterima. “Halo, Ran, jadi jemput aku, ‘kan?” [Tari, aku minta maaf karena sudah janji. Tapi, benar-benar gak bisa. Adikku masuk rumah sakit.] “Rino masuk rumah sakit? Kenapa, Ran?”[Penyakit lamanya kambuh, mungkin dia kecapean. Ini lagi nunggu hasi
Ketika tiba di kantor, entah mengapa atmosfer yang terasa berbeda dari sebelumnya. Semua orang tidak lagi menyapa seperti biasa, mereka menatap Mentari lalu tersenyum sungkan, tetapi ada juga yang setelahnya terlihat kasak kusuk seperti sedang bergosip, Mentari merasa heran juga dibuatnya. Belum genap lima menit Mentari duduk di kursinya, Eva membisikan sesuatu. “Ada pesan dari Pak Bos, katanya beliau meminta laporan keuangan hari ini,” ucap Eva membuat Mentari mengerutkan kening. “Hari ini? Bukannya masih ada waktu dua hari lagi, sesuai jadwal biasanya?” Mentari dibuat bingung oleh permintaan Maheswara yang menurutnya sangat absurd sekali. “Iya, Mbak, tadi pesannya seperti itu.” “Oke deh, Mbak Eva. Terima kasih, ya, eh, ngomong-ngomong sepagi ini beliau sudah datang?” “Sudah, malah sebelum karyawan datang beliau sudah ada di kantor, gitu kabar yang aku dengar dari Pak Satpam tadi.”“Ehm, tumben. Ya sudah, aku mau kerjakan dulu sesuai yang beliau minta, thankyou, ya, Mbak.“Kare
Apanya yang mendadak? Saya kan ajak kamu pergi nanti malam, sekarang masih pagi. Seharusnya, masih ada waktu untuk dandan, kan? Walaupun tidak perlu juga tidak apa-apa,” ucapnya santai. Mentari mengusap wajahnya gusar. Lelaki ini terkenal dingin, tetapi tidak terhadap Mentari.“Maksud saya, Pak, kenapa Bapak mendadak ajak saya jalan-jalan?” “Nanti juga kamu akan tahu apa alasannya. Saya ada banyak pekerjaan, kamu juga urus saja semua tugas-tugas kamu. Jangan membicarakan masalah pribadi di jam kerja, ya." Mentari mengerutkan kening, ‘Jangan membicarakan masalah pribadi di jam kerja’. “Bukankah dia yang memintaku menemuinya?"Ah, dasar aneh.” Mentari menggerutu dalam hati. “Ya, sudah, kamu boleh kembali ke mejamu,” ucapnya sedikit salah tingkah. Lagi-lagi pria itu tersipu malu. Dia mengusir Mentari karena malu tidak tahu harus bereaksi seperti apa sebenarnya. Wajahnya merona, telinganya juga merah. “Mentari, kamu bisa bikin aku gila dalam sehari. Dan itu cuma karena kita mengob
Malam itu semakin larut, hanya ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, dan Adiaz tidak dapat menemukan satu orang pun yang sedang berjalan kaki. Termasuk gadis yang tadi dia serang dengan banyak pertanyaan. “Mentari? Sayang kamu di mana? Jangan sembunyi seperti itu, dong. Aku, ‘kan belum selesai bicara, Sayang?" Perlahan berjalan hingga sampai ke tengah jembatan dan melihat pantulan dirinya sendiri di dalam air. “Oh, jadi ini laki-laki jahat dan kurang ajar yang sudah menyakiti kamu? Iya, ‘kan? Kenapa dia mirip sama aku?" Kemudian lanjut tertawa-tawa sampai perutnya sakit. “Asal kamu tahu Mentari, aku sengaja tidak menghubungi kamu sekarang ini. Pasti kamu berharap kabar dari aku, ‘kan? Sayangnya, aku terlalu cinta sama kamu. Aku gak mau kamu terjerat masalah yang menimpaku karena kita kembali berhubungan …." Sudah habis minuman di botol yang dia pegang, Adiaz segera membantingnya ke batu, hingga pecah berkeping-keping. Setelah itu, dia beranjak pergi untuk kembali ke kos ny
Oke, kita ke depan temui drivernya dan bayar sesuai tarif, kamu pulang sama saya.”“Tapi, Pak–““Mentari ... saya tidak suka penolakan.”Akhirnya Mentari menuruti keinginan bosnya, malam itu ia pulang diantar oleh Maheswara, alasan mengambil dan mengembalikan jas rupanya sudah tidak akan berlaku lagi untuk ke depannya.Angin malam yang dingin membuat Mentari sedikit menggigil, Maheswara yang menyadari itu, akhirnya memutuskan untuk memberikan jaket yang ada di mobilnya. “Saya sudah pinjam jas Bapak." “Pakai saja, daripada kamu kedinginan." “Terima kasih, banyak, Pak." Setelah Mentari mengenakan jaket dari Maheswara, gadis itu terdiam begitu pun Maheswara. Keheningan itu terjadi sampai mobil berhenti di gang rumah Mentari. Mentari turun dan meminta Maheswara untuk menunggu, ia akan mengambil jas yang kemarin.“Alhamdulillah sudah kering, aku setrika dulu sebentar, deh.” Mentari berbicara sendiri. Setelah rapi, ia membawanya dengan menggunakan hangers.“Ini, Pak. Terima kasih ban
Inikah Cinta?Tiba jam makan siang. Seperti biasanya, karyawan akan sibuk untuk mengantre di kantin kantor. Tidak terkecuali dengan Mentari. “Hei, nanti malam mau party enggak guys? Paman aku baru buka klub di sini, loh. Katanya kalau aku bawa teman-teman ke sana, dikasih gratis deh." Tania, cewek seksi yang hobby clubing berkata dengan penuh semangat. Sekelompok staf wanita dan pria terlibat percakapan, sedangkan Mentari hanya terdiam menikmati makan siangnya. “Wah, Lumayan nih, gue lagi butuh hiburan. Kemarin kalah slot judi, sialan banget," sahut Puri–si tukang judi online. “Gimana guys? Kalian mau ikut gak? Setuju, ‘kan buat pergi ke sana?" tanya Tania lagi. Semuanya menjawab, “Setuju." Secara bersama-sama, kecuali Mentari. Wanita yang duduk persis di samping Mentari bertanya, “Nanti malam, kamu mau ikut juga?" Mentari menggeleng, “Enggak dulu deh, aku harus lembur." Ucapannya tidak sengaja terdengar oleh Maheswara yang kebetulan sedang melintas. “Oh. Ya udah deh, kalau k