Rika tertegun sejenak, lalu menoleh menatap Farel dengan sorot mata yang tenang. "Kalau kamu ingin membatalkan pernikahan kita, langsung katakan saja, nggak perlu berbelit-belit."Rika tidak tampak marah.Nada bicaranya juga tetap lembut seperti biasanya.Meskipun demikian, Farel masih merasa ada yang aneh dengan Rika, meskipun tidak tahu apa yang aneh."Kalau kamu setuju, kamu bisa yang mengajukannya, dengan alasan apa pun yang kamu mau!" Yang ada di hati Farel hanya Sherry, jadi dia tidak mungkin menikahi Rika.Rika tersenyum dan berkata, "Sekalipun harga diriku terjaga, kalau aku yang mengajukan pembatalan pernikahan, orang-orang di Kota Jirya pasti akan melihatku sebagai wanita pengkhianat."Dua tahun lalu, tidak lama setelah ayah Rika pensiun, ibunya wafat. Farel, sebagai calon menantu, yang mengurus segala keperluan pemakamannya.Saat itu, upacara pemakaman diadakan dengan sangat megah, hingga banyak orang berkomentar bahwa Farel adalah seseorang yang penuh perasaan dan setia.Ba
Rika melepaskan celemeknya dan berjalan keluar.Ketika melewati ruang tamu, dia melihat Aldo, ayah Farel, sedang duduk di sofa membaca koran. Dia menghentikan langkahnya, menyapa dengan sopan, "Halo, Paman."Aldo agak terkejut, tidak tahu Rika ada di rumah. "Rika sudah datang, ya, sini, duduklah!"Rika tersenyum. "Aku ada urusan, jadi harus pulang dulu!"Sejujurnya, dia tidak pernah bisa memahami apa yang dipikirkan Aldo.Menurutnya, Aldo adalah orang yang sangat misterius."Temani Paman sebentar. Aku akan suruh pembantu panggil Farel turun," ujar Aldo dengan ramah, sambil mendorong bingkai kacamatanya."Nggak perlu, aku benaran ada urusan, jadi harus segera pulang. Aku pamit dulu, Paman," ujar Rika dengan sopan sambil tersenyum, lalu berbalik pergi.Aldo menatap punggung Rika yang menjauh, wajahnya tak menunjukkan sedikit pun emosi.Ketika Rika sudah keluar dari pintu, dia pun bangkit dari sofa, lalu naik ke atas menuju ruang kerja.Farel menerima telepon dari ayahnya, lalu berbicara
Farel menyeringai sinis. "Jadi, maksudmu, demi masa depanmu sendiri, kamu bisa menjual putra putrimu sendiri!"Saat kecil, Farel berpikir bahwa ayahnya adalah sosok yang jujur dan sangat hebat.Sekarang, dia baru sadar bahwa dia telah salah menilai ayahnya.Ekspresi Aldo langsung menjadi masam setelah mendengar itu. "Farel, jangan mengira sekarang kamu sudah dewasa, aku tidak bisa mengaturmu lagi! Hubunganmu dengan Rika hanya bisa maju, tidak bisa mundur! Keluar!"Farel hanya menatapnya dalam-dalam sebelum berbalik pergi.Melihat Farel pergi, Aldo merasa kesal sambil memijat keningnya.Dia tiba-tiba merasa Farel benar-benar sudah dewasa, sudah tidak bisa dia kendalikan.Kenyataan tersebut membuatnya takut.Karena ambisi terbesar dalam hidupnya adalah mencapai puncak tertinggi.Dia telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mencapai posisinya sekarang, dan puncak kesuksesan sudah sangat dekat. Bagaimana mungkin dia rela melepaskan kesempatan itu!Farel pergi ke garasi. Setelah mas
Henry tertawa. "Papi nggak tahu siapa kakak yang kamu bilang, tapi ibunya hanya milik kakak itu, nggak bisa jadi milikmu, tahu?"Rania masih kecil, tidak mengerti hubungan antara orang tua dan anak, mengira siapa saja bisa menjadi ibunya.Rania tampak kecewa. "Begitu, ya."Melihat ekspresi Rania, Henry merasa sedih. "Bagaimana kalau lain kali kamu bertemu kakak itu lagi, kamu tanya apakah dia mau berbagi ibunya denganmu."Mata Rania berbinar-binar. "Oke!"Pada saat ini, panggilan dari Rumordi masuk.Henry segera keluar dar kamar inap untuk mengangkatnya."Ada apa?""Dokter hebat itu sudah menerima permintaan kita. Dia mengatakan akan datang langsung ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi putrimu.""Kapan dia datang?"Detak jantung Henry berdetak lebih cepat.'Rania akhirnya bisa diselamatkan!'"Dia bilang padaku akan datang pukul tiga sore, langsung ke kamar putrimu.""Oke, aku mengerti.""Aku sudah berhasil menghubungi dokter hebat itu, kenapa kamu nggak berterima kasih padaku!" Nada
Mendengar suara Henry, dokter wanita itu tiba-tiba tampak kaku. Kemudian, dia berkata dengan suara dingin, "Keluarga pasien keluar dulu, jangan menggangguku melakukan pemeriksaan!""Aku di sini nggak akan mengganggumu! Dok, cepat periksa putriku." Henry tidak akan tenang meninggalkan Rania pada orang asing sendirian."Kalau kamu bersikeras, aku akan pergi," balas dokter wanita itu, suaranya makin dingin.Henry mengernyit, ekspresinya berubah menjadi masam. "Bagaimana aku bisa yakin kamu benar-benar dokter hebat terkenal itu?" Dia merasa dokter di depannya ini terlalu muda, bisa saja seorang penipu."Kamu bisa tanyakan pada temanmu, bukan? Kalau kamu nggak keluar, aku akan pergi sekarang!" seru dokter wanita itu dengan tegas.Tepat pada saat ini, panggilan dari Rumordi masuk, dan Henry segara mengangkatnya.Baru saja dia ingin menelepon Rumordi, ternyata Rumordi sudah meneleponnya lebih dulu."Henry, kamu sudah bertemu dokter hebat itu, 'kan? Apakah dia seorang pria tua berjanggut putih
Saat menatap gadis kecil di depannya, Miana terpaku. Dia tiba-tiba menyadari bahwa mata gadis kecil ini sangat mirip dengan mata Nevan, dan hatinya seketika tersentuh.Kenangan meluap seperti air pasang, tentang kehidupan kecil yang belum pernah ditemuinya tetapi sudah berlalu, setiap detailnya seperti pisau yang mengiris hatinya.Mengingat putrinya yang telah meninggal, matanya mulai berkaca-kaca. Air mata berputar di kelopak matanya, tetapi dia berusaha menahan agar air matanya tidak menetes, khawatir kelemahannya akan menakuti anak yang dengan berani mengungkapkan perasaannya.Melihat hal tersebut, Rania tampak cemas dan bingung. Dia segera mencondongkan tubuhnya, tangan kecilnya dengan lembut menyentuh lengan Miana, seolah-olah ingin menenangkan luka yang tidak terlihat. "Kakak cantik, jangan sedih .... Kalau Kakak nggak mau jadi ibuku, nggak apa-apa, jangan menangis ...."Suara Rania terdengar bergetar, seolah takut bahwa satu kata yang salah akan membuat Miana menangis lebih kera
Miana tertegun, lalu teringat Nevan pernah menceritakan dia bertemu seorang gadis kecil di depan toilet di bandara.Nevan juga mengatakan ibu gadis kecil itu sangat galak.Tidak hanya mencubit pipinya, ibu gadis itu juga menarik lengannya dengan kuat.'Kalau gadis kecil itu adalah Rania, berarti dia pasti sering dipukuli dan dimarahi. Kalau nggak, dia nggak akan bilang ingin aku menjadi ibunya.'"Ada apa? Apakah aku salah bicara?" tanya Rania yang menatap Miana dengan cemas.'Aku salah bicara, ya? Kakak cantik ini nggak akan peduli padaku lagi, ya?'Miana memakai masker, jadi wajahnya tidak terlihat sepenuhnya, tetapi Rania tetap merasa dia sangat cantik.Mungkin karena Miana memiliki sepasang mata yang sangat indah."Kamu nggak salah bicara." Miana mencubit pipi Rania dengan lembut, tersenyum, dan lanjut berkata, "Jangan berpikir yang aneh-aneh!""Tapi, aku merasa Kakak nggak senang." Rania meremas tangannya, tampak sangat gelisah.Dia memiliki kebiasaan itu, meremas tangannya setiap
"Mia, bagaimana? Apakah penyakit anak itu bisa disembuhkan?" Giyan bertanya dengan suara lembut, memberikan perasaan tenang kepada semua yang mendengarnya."Penyakitnya bisa disembuhkan, nggak ada masalah. Hanya saja, tubuhnya lemah dan perlu diperkuat dulu," jelas Miana. "Oh ya, Nevan sudah diterima di TK Mentari. Aku lupa membawanya untuk pemeriksaan kesehatan. Kamu bisa bawa dia ke rumah sakit sekarang? Aku menunggu kalian di sini.""Oke, aku akan segera membawa Nevan ke sana."Usai menutup telepon dan menyimpan ponselnya, Miana menyadari bahwa Rania menatapnya dengan sorot mata yang berbinar-binar.Karena merasa aneh, Miana pun bertanya, "Ada apa?""Aku juga sekolah di TK Mentari, tapi aku sering sakit, jadi jarang masuk." Rania mengedipkan matanya sebelum melanjutkan, "Kakak cantik, bisa nggak hari ini sembuhin penyakitku, biar besok aku bisa sekolah!"Setiap kali pergi ke sekolah, dia selalu didampingi oleh pengawal. Anak-anak lain menjadi tidak berani bermain dengannya. Selain i
Amanda tidak pernah meragukan Miana.Dia hanya meragukan dirinya sendiri."Duduklah, kita diskusikan lagi," ujar Miana dengan suara lembut, sambil mengangkat cangkir kopinya dan mengaduknya perlahan."Oke!" Amanda menarik kursi dan duduk di depannya, kemudian mereka mulai berdiskusi.Diskusi mereka selesai tepat sebelum waktu yang ditentukan.Amanda segera mengemas dokumen-dokumen dengan rapi, lalu dia dan Miana meninggalkan kantor bersama-sama.Kendati sudah empat tahun meninggalkan Kota Jirya, Miana tetap menjadi sosok yang dihormati dan diingat.Setibanya di pengadilan, banyak wajah akrab yang menyapanya dengan antusias.Pemandangan itu membuat Amanda teringat pertama kali dia berada di pengadilan.Saat itu, tubuhnya gemetar karena gugup, tetapi Miana segera membantunya duduk dan menenangkan dirinya.Setelah beberapa saat, sidang hari ini pun dimulai.Sidang berlangsung penuh ketegangan, kedua belah pihak saling beradu argumentasi dalam perdebatan sengit, masing-masing mengupayakan
Menurut Miana, reaksi Ariz terasa sedikit berlebihan.Sepertinya Ariz juga menyadari hal itu, lalu mencoba untuk tenang sebelum bertanya, "Apa yang terjadi dengan Bu Sherry? Kenapa dia dirawat di rumah sakit?"Dalam beberapa hari terakhir, dia menganggap Sherry sedang dalam perjalanan bisnis karena tidak bisa dihubungi.Namun, dia tidak pernah menduga bahwa Sherry sebenarnya berada di rumah sakit.Miana memandangnya, mempertimbangkan ucapan sebelum mengungkapkan berita berat itu. Dengan suara pelan, dia berkata, "Dia mengalami kecelakaan mobil, kehilangan salah satu kakinya, dan kini dirawat di rumah sakit."Wajah Ariz memucat, seolah sulit mencerna informasi itu, sebelum akhirnya bertanya, "Bagaimana ... keadaannya sekarang?'"'Kehilangan salah satu kaki, dia pasti sangat terpukul.''Aku bahkan sama sekali nggak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.'"Dia memang terlihat biasa saja, tapi aku yakin hatinya nggak sepenuhnya tenang," ujar Miana, sorot matanya tajam memperhatikan Ariz, m
Selesai berbicara dengan kepala sekolah, Miana menuju tempat parkir dan sebuah mobil Maybach sengaja menghalangi mobilnya.Dia berjalan mendekat dan mengetuk kaca mobil ituBegitu kaca jendela mobil diturunkan, wajah dingin Henry terlihat."Tolong pindahkan mobilmu," ujar Miana yang masih dengan nada sopan."Masuklah, aku akan mengantarmu," ujar Henry dengan nada tegas.Miana mengernyit dan nada bicaranya berubah ketus, "Aku bawa mobil sendiri, nggak perlu kamu antar. Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, langsung saja!"Dia pikir, setelah kejadian semalam, Henry tidak akan mengusiknya untuk sementara waktu.Dia sungguh tidak menyangka, pagi ini, Henry muncul lagi.Benar-benar pria tidak tahu malu!"Kapan kamu akan membawa putra kita dan tinggal bersamaku?" Henry memandang wajah Miana yang begitu dekat, dan perasaan yang lama terpendam dalam dirinya mengalir kembali dengan kuat.Dia mencintai Miana.Namun, Miana tidak mencintainya lagi."Henry, bisakah kamu bertindak normal?" Miana mera
Sherry dan Miana bertukar pandang, lalu dia melambaikan tangan kepada Nevan sambil berkata, "Baiklah, kamu pergilah ke taman kanak-kanak. Jangan lupa dengarkan gurumu dengan baik, ya. Ibu angkat pasti akan merindukanmu!"Miana tertawa mendengar perkataan Sherry.Nevan menggembungkan pipinya, memberungut marah. Matanya memerah menahan amarah, lalu dia mengentakkan kakinya beberapa kali dengan keras sebelum bergegas keluar."Dia benaran marah?" tanya Sherry kepada Miana.Miana tersenyum sambil menjawab, "Tentu saja dia marah. Baginya, Kamu itu adalah harapannya, dan ternyata kamu membuatnya kecewa. Jangan khawatir, dia anak yang mudah dibujuk. Sebentar lagi dia akan kembali ceria.""Baguslah kalau begitu. Jangan buang waktu lagi, kamu cepat pergi bujuk dia." Sherry akhirnya merasa lega."Setelah selesai sarapan, kamu kembali istirahat saja. Nanti aku akan mengirim Ariz ke sini," ujar Miana sambil melambaikan tangan kepada Sherry, sebelum dia berbalik dan pergi.Di pos suster, Nevan sedan
Pada hari itu, Sherry keluar dari kantor dekan dengan tergesa-gesa, lalu tertabrak sepeda Ariz dan terjatuh ke tanah.Ariz segera memarkir sepedanya dengan baik, lalu mengendong Sherry ke klinik kampus.Setelah itu, Ariz tetap bersikeras mengantar Sherry kembali ke perusahaan, meskipun Sherry terus meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.Hari pertama Ariz bergabung di perusahaan, barulah Sherry sadar bahwa Ariz adalah orang yang menabraknya waktu itu.Sejak saat itu, Ariz tetap berada di sisinya hingga kini.Dalam beberapa tahun kebersamaan mereka, Sherry merasa sangat bersyukur atas keputusan yang dia buat pada hari itu."Kalau begitu, minta Ariz ke Universitas Jirya dan carikan orang berbakat seperti dirinya untuk membantu perkembangan perusahaan kita ke depannya." Miana sangat puas dengan kemampuan Ariz. Dia percaya, dengan Ariz bertanggung jawab atas perekrutan, hasilnya akan sangat memuaskan. Selain itu, dia memang sudah berencana merekrut orang baru untuk belajar darinya."Baikl
"Begitu aku bangun pagi ini, aku langsung menyadari kalau informasi lokasi adikmu nggak lagi dapat dilacak. Aku mencoba beberapa cara untuk menemukannya, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, aku meretas ponselnya dan memeriksa riwayat panggilan. Panggilan terakhirnya adalah kepada Nyonya Besar keluarga Jirgan."Miana menyipitkan matanya, sementara otaknya bekerja keras menyusun setiap petunjuk yang telah dia dapatkan.'Untuk apa Celine mencari Felica?''Hubungan mereka sangat dekat?'"Bos, apa masih perlu mencari keberadaannya?""Tetap cari!" Miana merasa ada sesuatu yang tidak beres.'Ke mana Celine pergi?'"Oke, aku akan segera mencarinya! Lalu, bagaimana dengan penyelidikan kecelakaan Sherry?""Begitu urusanku selesai, aku akan langsung mengecek ulang informasi tentang orang itu untuk memastikan identitas aslinya.""Baiklah."Setelah menutup telepon, Miana bersandar di dinding. Kekhawatiran membanjiri pikirannya.Tiba-tiba, terdengar suara Nevan dari kamar perawatan. "Ibu, cepat masuk!"
Perawat sibuk bekerja, menyeka tangan Sherry dengan lembut.Ketika Nevan masuk ke kamar perawatan, suaranya yang ceria memecah keheningan."Ibu angkat, aku datang!" serunya sambil berlari kecil menuju ranjang.Mendengar suara ceria Nevan, senyum langsung menghiasi wajah Sherry. Dia menoleh kepada perawat dan berkata dengan lembut, "Kamu siapkan sarapan dulu."Perawat mengangguk dan berjalan keluar ruangan.Dengan langkah-langkah kecil yang penuh semangat, Nevan tiba di sisi ranjang. Sepasang mata jernihnya menatap Sherry yang sedang berbaring, dan dia bertanya dengan suara manis, "Apakah Ibu merindukan?"Sherry merasa hatinya terisi kebahagiaan, dia tertawa sambil meraih tangan Nevan. "Tentu saja sangat merindukanmu!"Nevan berjinjit, berusaha memanjat ke ranjang, tetapi tinggi tubuhnya membuatnya kesulitan. Dengan senyum kecil, dia menundukkan kepala dan memberikan ciuman hangat di punggung tangan Sherry. "Aku juga merindukan Ibu angkat!"Miana menyaksikan interaksi hangat antara Neva
Miana tertegun.Dia pernah memikirkan kemungkinan menikah dengan Giyan suatu hari nanti.Namun, tidak terlintas dalam benaknya bahwa Giyan akan menyatakannya pada waktu seperti sekarang.Ekspresi tertegun Miana membuat Giyan merasa sedikit kecewa, tetapi dia tetap mempertahankan senyumnya. "Aku hanya bercanda! Aku nggak bermaksud memaksamu untuk menikah! Sore nanti, kalau kamu punya waktu, aku bisa membawamu melihat rumah itu. Kalau kamu merasa cocok, kita bisa langsung pindah besok, bagaimana?"Dia tidak yakin apakah Henry masih memiliki tempat di hati Miana, tetapi dia sangat menyadari bahwa perasaan Miana terhadapnya belum cukup kuat untuk membangun masa depan bersama.Tentu saja, ini membuat hatinya terasa perih.Namun, dia tahu bahwa memaksakan sesuatu bukanlah jawabannya.Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu Miana siap."Giyan ...." Miana menyadari bahwa senyum di wajah Giyan terlihat dipaksakan, membuat hatinya diliputi rasa bersalah. Namun, dia tahu bahwa dia harus jujur. "M
Miana dengan penuh hati-hati menggeser Nevan ke samping dan bangkit dari ranjang.Setelah mencuci muka dan bersiap-siap, dia turun ke lantai bawah.Giyan sudah menyiapkan sarapan dan sedang membersihkan ruang tamu."Kenapa bangun sepagi ini? Tidur lagi saja sebentar," ujar Giyan, sembari menghentikan penyedot debu. Tatapan lembutnya tertuju pada Miana, dan suaranya tetap penuh kehangatan."Nggak deh, terlalu banyak yang harus aku kerjakan hari ini," ujar Miana dengan lembut, sambil mendekat dan merangkul pinggang Giyan."Kalau begitu, kamu sarapan dulu. Aku akan pergi membangunkan Nevan," ujar Giyan dengan suara yang agak serak, lalu mencium kening Miana."Oke, kamu pergi bangunkan dia," ujar Miana sambil menyandarkan wajahnya ke dada Giyan.Dengan Giyan di sisinya, semuanya tampak begitu damai dan hangat.Hidup dalam momen ini terasa begitu menyenangkan."Kamu makanlah, aku naik ke atas sekarang." Giyan mencubit pipi Miana dengan lembut.Miana menyadari telinga Giyan yang agak merah,