Ekspresi Miana yang menggertakkan gigi membuat Henry senang. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, jari-jarinya menggambar lingkaran di paha Miana sambil berkata dengan suaranya yang serak, "Kenapa Nona Miana menatapku seperti itu? Apakah menurutmu aku tampan?"Ucapan itu sungguh menunjukkan rasa tidak tahu malunya.Miana menggertakkan gigi lagi, menangkap tangan Henry yang nakal, dan mencubitnya dengan keras.Mereka sudah menjadi mantan suami istri, tetapi Henry masih diam-diam menggodanya. Dulu, bagaimana dia tidak tahu bahwa Henry adalah pria yang begitu tidak tahu malu!Henry menyipitkan matanya.'Wanita ini benar-benar mencubit dengan keras.''Sakit sekali!'Meskipun tangannya terasa sakit, dia tetap tidak menariknya kembali.Eddy menuangkan semangkuk sup dan meletakkannya di depan Miana. Ketika melihat wajah Miana yang merah karena marah, dia mengira Miana tidak ingin melihat Henry, jadi dia memelototi Henry dan menghardik, "Cepat habiskan makananmu dan pergi! Jangan meng
"Kakek sudah memberikan 1% saham Grup Eskaria kepadanya, apa salahnya kalau dia merawatmu sebentar!" ujar Henry merasa dirinya sangat benar.Bukankah ada pepatah yang mengatakan uang bisa menyuruh orang lain melakukan pekerjaan yang sangat berat atau sulit?Miana sudah menerima uang itu, jadi dia harus bekerja! Begitulah pikirnya."Aku beri saham itu tanpa mengharapkan imbalan apa pun darinya!" seru Eddy yang ingin sekali memukul Henry.Sepertinya hukuman cambuk terakhir kali terlalu ringan.Seharusnya dia mencambuknya lebih keras!Miana menatap Henry, tersenyum kecil, dan berkata, "Kita sudah bercerai, kamu bisa menikahi wanita yang kamu sukai dan minta dia untuk membantu merawat Kakek!"Dia dulu mengira bercerai dengan Henry akan membuat dirinya merasa dunianya runtuh.Sekarang, setelah benar-benar bercerai, dia tidak hanya tidak merasa sedih, bahkan bisa bercanda dengan Henry.Ternyata, tidak mencintai itu bisa membuat hatinya begitu ... tenang.Ekspresi Henry seketika menjadi masam
Miana tertegun. Setelah menyadari maksud ucapan Kakek, dia segera menunduk melihat ke bawah meja makan.Yang diinjaknya bukan kaki Henry, melainkan kaki Kakek.Karena tadi dia sangat marah, dia langsung menginjak tanpa memperhatikan arah kakinya."Kakek, maaf ...," ujar Miana yang wajahnya memerah dan tampak merasa sangat bersalah."Ini semua salahmu! Hmph!" Eddy saat itu langsung mengerti apa yang terjadi, bagaimanapun dia juga pernah muda, tetapi dia tidak ingin menjodohkan mereka lagi, jadi dia memarahi Henry."Kakek terlalu memihak!" Henry merasa sangat tidak senang.'Bukankah Kakek dulu yang selalu ingin aku bersama Miana? Kenapa malam ini Kakek nggak membantuku?'"Makanlah!" seru Eddy, lalu melirik mereka berdua dengan tajam sebelum menghela napas.Henry tidak mau kalah, jadi dia menatap Miana dengan tajam.Miana pura-pura tidak melihat Henry, menunduk kepalanya dan makan dengan cepat!Sementara Eddy, dia memelototi Henry lagi dan berseru, "Makan!"Henry akhirnya menunduk dan mak
Seiring dengan mencoba dan memilih pakaian yang tepat, waktu berlalu dengan cepat tanpa disadarinya, tetapi hati Janice dipenuhi perasaan kepuasan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.Detik ini juga dia ingin sekali bertemu Henry!Sangat ingin!Di rumah lama di ruang kerja, cahaya lampu yang redup melemparkan bayangan yang bergerigi pada furnitur klasik, membuat suasana di sekitar penuh dengan nuansa bersejarah.Miana berdiri di depan meja besar, kedua tangannya tanpa sadar saling bertautan, matanya penuh dengan kebingungan dan kegelisahan. Eddy perlahan bangkit, dari sebuah lemari kayu klasik, dia mengeluarkan sebuah kotak kecil yang indah, permukaannya ditutupi dengan patina hijau pudar, tepinya diukir dengan motif bunga teratai yang rumit, seakan menceritakan kisah yang tidak diketahui.Eddy meletakkan kotak itu dengan lembut di tangan Miana yang gemetar, tangannya yang dipenuhi bekas waktu terasa sangat kuat dan khidmat.Setelah berdeham, dia dengan perlahan berkata, "Ini ada
"Mia, aku tahu ini nggak adil bagimu, tapi ... aku sudah tua, tubuhku nggak sehat, mungkin suatu hari nanti aku tidur dan nggak bangun lagi," ujar Eddy dengan mata yang agak berkaca-kaca.Miana sedih mendengar itu dan refleks mengeratkan genggamannya di kotak sambil berkata, "Kek, jangan bicara seperti itu! Kakek pasti akan panjang umur!"Eddy tersenyum dan berkata, "Hidup hingga usia segini, aku sudah melihat kehidupan dan kematian dengan tenang. Kalau aku pergi, kamu jangan bersedih, jalani hidupmu dengan baik!"Dia merasa sangat bersalah kepada Miana, ingin menebusnya namun tidak tahu bagaimana.Itulah sebabnya dia hanya berharap mulai sekarang Miana akan memiliki orang yang memperhatikannya dan mencintainya.Sambil menatap senyuman Kakek, Miana merasa gelisah, bahkan memiliki pemikiran Kakek seperti sedang menyampaikan pesan terakhirnya."Kakek ...." Ucapannya terhenti karena ponselnya berdering, dia mengeluarkan ponselnya dan mengangkatnya."Mia, kamu di mana? Perlu aku jemput?" t
Karena berpikir seperti itu, Eddy merasa lebih baik tidak ditanyakan.Lagi pula, dia pasti akan tahu begitu anak itu lahir.Pertanyaan Kakek, membuat Miana tanpa sadar menggenggam kotak di tangannya lebih erat hingga telapak tangannya terasa sakit.'Kakek tahu aku hamil?'"Lupakan, anggap saja Kakek nggak pernah bertanya." Melihat Miana menunjukkan ekspresi yang tertekan, Eddy menyerah mendapatkan jawab itu karena merasa tidak tega memaksanya.Miana merasa bersalah ketika melihat Kakek tampak kecewa. Dia mengatup-ngatupkan bibirnya dan hendak berbicara, tetapi tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Kata-kata yang ingin diucapkannya tertelan kembali.Raut wajah Eddy seketika menjadi dingin. "Siapa!""Aku!" sahut Henry dari luar pintu."Kek, aku pulang dulu," ujar Miana kepada Eddy.Setelah berpamit, dia berbalik dan hendak pergi."Baiklah, hati-hati di jalan. Setiba di rumah kabari Kakek, biar nggak khawatir!" Eddy tidak punya alasan untuk membuatnya tinggal, jadi hanya bisa setuju me
Miana membuka pesan itu.Isinya adalah swafoto Janice.Miana dapat melihat foto pernikahannya dengan Henry yang merupakan hasil editan di belakang Janice.Saat dia menggantung foto pernikahan itu, Henry mengejeknya habis-habisan.Dia tidak memedulikan ejekan itu, karena pada saat itu, dia ingin hidup dengan Henry untuk selamanya.Karena keteguhannya, foto itu tetap tergantung di sana selama tiga tahun.Saat memutuskan untuk pindah, dia terlalu tergesa-gesa mengemasi barangnya, jadi lupa menghancurkan foto itu.Dia sungguh tidak menyangka, mereka baru bercerai, tetapi Janice sudah tinggal di sana.'Mereka sungguh nggak sabaran.''Tapi, Henry masih saja menggodaku saat makan di rumah lama tadi.'Heh ....'Untungnya, dia sudah tidak mencintai Henry lagi, jika tidak, dia pasti akan sakit hati saat melihat foto yang dikirimkan Janice.Tepat saat Miana hendak menghapus foto itu, panggilan dari Janice masuk.Miana tahu, Janice hanya ingin pamer kepadanya.Sayang sekali, dia sudah tidak mencin
Karena terlalu mengkhawatirkan Miana, Sherry bahkan sudah lupa tentang Farel yang telah dijodohkan.Setelah menutup telepon, Miana segera bangkit dan pergi ke bawah untuk menunggu Sherry.Sementara itu, Sherry segera berganti pakaian dan bergegas keluar.Begitu membuka pintu, dia melihat wajah pria yang akrab itu."Malam-malam begini kamu mau pergi ke mana?" tanya Farel dengan ekspresi kesal.Sherry menunduk, menjawabnya tanpa menatapnya, "Sekarang aku nggak ingin melihatmu, pulang saja!"Dia memang butuh diberikan waktu untuk memikirkan beberapa hal."Sherry, kamu sedang marah padaku?" Nada bicara Farel terdengar ketus. "Aku memberitahumu semua itu bukan untuk membuatmu meninggalkanku!"Sherry mendongak, menatapnya, dan berkata, "Jadi maksudmu, kamu nggak berniat melepaskanmu meskipun kamu sudah bersamanya?"Farel ingin dia menjadi simpanannya, membiarkan orang-orang memakinya tidak tahu malu, wanita hina!Apakah dalam hati Farel dia begitu rendahan?"Kehadiranmu nggak mengganggu hubu
Amanda tidak pernah meragukan Miana.Dia hanya meragukan dirinya sendiri."Duduklah, kita diskusikan lagi," ujar Miana dengan suara lembut, sambil mengangkat cangkir kopinya dan mengaduknya perlahan."Oke!" Amanda menarik kursi dan duduk di depannya, kemudian mereka mulai berdiskusi.Diskusi mereka selesai tepat sebelum waktu yang ditentukan.Amanda segera mengemas dokumen-dokumen dengan rapi, lalu dia dan Miana meninggalkan kantor bersama-sama.Kendati sudah empat tahun meninggalkan Kota Jirya, Miana tetap menjadi sosok yang dihormati dan diingat.Setibanya di pengadilan, banyak wajah akrab yang menyapanya dengan antusias.Pemandangan itu membuat Amanda teringat pertama kali dia berada di pengadilan.Saat itu, tubuhnya gemetar karena gugup, tetapi Miana segera membantunya duduk dan menenangkan dirinya.Setelah beberapa saat, sidang hari ini pun dimulai.Sidang berlangsung penuh ketegangan, kedua belah pihak saling beradu argumentasi dalam perdebatan sengit, masing-masing mengupayakan
Menurut Miana, reaksi Ariz terasa sedikit berlebihan.Sepertinya Ariz juga menyadari hal itu, lalu mencoba untuk tenang sebelum bertanya, "Apa yang terjadi dengan Bu Sherry? Kenapa dia dirawat di rumah sakit?"Dalam beberapa hari terakhir, dia menganggap Sherry sedang dalam perjalanan bisnis karena tidak bisa dihubungi.Namun, dia tidak pernah menduga bahwa Sherry sebenarnya berada di rumah sakit.Miana memandangnya, mempertimbangkan ucapan sebelum mengungkapkan berita berat itu. Dengan suara pelan, dia berkata, "Dia mengalami kecelakaan mobil, kehilangan salah satu kakinya, dan kini dirawat di rumah sakit."Wajah Ariz memucat, seolah sulit mencerna informasi itu, sebelum akhirnya bertanya, "Bagaimana ... keadaannya sekarang?'"'Kehilangan salah satu kaki, dia pasti sangat terpukul.''Aku bahkan sama sekali nggak menyadari apa yang sebenarnya terjadi.'"Dia memang terlihat biasa saja, tapi aku yakin hatinya nggak sepenuhnya tenang," ujar Miana, sorot matanya tajam memperhatikan Ariz, m
Selesai berbicara dengan kepala sekolah, Miana menuju tempat parkir dan sebuah mobil Maybach sengaja menghalangi mobilnya.Dia berjalan mendekat dan mengetuk kaca mobil ituBegitu kaca jendela mobil diturunkan, wajah dingin Henry terlihat."Tolong pindahkan mobilmu," ujar Miana yang masih dengan nada sopan."Masuklah, aku akan mengantarmu," ujar Henry dengan nada tegas.Miana mengernyit dan nada bicaranya berubah ketus, "Aku bawa mobil sendiri, nggak perlu kamu antar. Kalau ada yang ingin kamu bicarakan, langsung saja!"Dia pikir, setelah kejadian semalam, Henry tidak akan mengusiknya untuk sementara waktu.Dia sungguh tidak menyangka, pagi ini, Henry muncul lagi.Benar-benar pria tidak tahu malu!"Kapan kamu akan membawa putra kita dan tinggal bersamaku?" Henry memandang wajah Miana yang begitu dekat, dan perasaan yang lama terpendam dalam dirinya mengalir kembali dengan kuat.Dia mencintai Miana.Namun, Miana tidak mencintainya lagi."Henry, bisakah kamu bertindak normal?" Miana mera
Sherry dan Miana bertukar pandang, lalu dia melambaikan tangan kepada Nevan sambil berkata, "Baiklah, kamu pergilah ke taman kanak-kanak. Jangan lupa dengarkan gurumu dengan baik, ya. Ibu angkat pasti akan merindukanmu!"Miana tertawa mendengar perkataan Sherry.Nevan menggembungkan pipinya, memberungut marah. Matanya memerah menahan amarah, lalu dia mengentakkan kakinya beberapa kali dengan keras sebelum bergegas keluar."Dia benaran marah?" tanya Sherry kepada Miana.Miana tersenyum sambil menjawab, "Tentu saja dia marah. Baginya, Kamu itu adalah harapannya, dan ternyata kamu membuatnya kecewa. Jangan khawatir, dia anak yang mudah dibujuk. Sebentar lagi dia akan kembali ceria.""Baguslah kalau begitu. Jangan buang waktu lagi, kamu cepat pergi bujuk dia." Sherry akhirnya merasa lega."Setelah selesai sarapan, kamu kembali istirahat saja. Nanti aku akan mengirim Ariz ke sini," ujar Miana sambil melambaikan tangan kepada Sherry, sebelum dia berbalik dan pergi.Di pos suster, Nevan sedan
Pada hari itu, Sherry keluar dari kantor dekan dengan tergesa-gesa, lalu tertabrak sepeda Ariz dan terjatuh ke tanah.Ariz segera memarkir sepedanya dengan baik, lalu mengendong Sherry ke klinik kampus.Setelah itu, Ariz tetap bersikeras mengantar Sherry kembali ke perusahaan, meskipun Sherry terus meyakinkan bahwa dirinya baik-baik saja.Hari pertama Ariz bergabung di perusahaan, barulah Sherry sadar bahwa Ariz adalah orang yang menabraknya waktu itu.Sejak saat itu, Ariz tetap berada di sisinya hingga kini.Dalam beberapa tahun kebersamaan mereka, Sherry merasa sangat bersyukur atas keputusan yang dia buat pada hari itu."Kalau begitu, minta Ariz ke Universitas Jirya dan carikan orang berbakat seperti dirinya untuk membantu perkembangan perusahaan kita ke depannya." Miana sangat puas dengan kemampuan Ariz. Dia percaya, dengan Ariz bertanggung jawab atas perekrutan, hasilnya akan sangat memuaskan. Selain itu, dia memang sudah berencana merekrut orang baru untuk belajar darinya."Baikl
"Begitu aku bangun pagi ini, aku langsung menyadari kalau informasi lokasi adikmu nggak lagi dapat dilacak. Aku mencoba beberapa cara untuk menemukannya, tetapi hasilnya nihil. Akhirnya, aku meretas ponselnya dan memeriksa riwayat panggilan. Panggilan terakhirnya adalah kepada Nyonya Besar keluarga Jirgan."Miana menyipitkan matanya, sementara otaknya bekerja keras menyusun setiap petunjuk yang telah dia dapatkan.'Untuk apa Celine mencari Felica?''Hubungan mereka sangat dekat?'"Bos, apa masih perlu mencari keberadaannya?""Tetap cari!" Miana merasa ada sesuatu yang tidak beres.'Ke mana Celine pergi?'"Oke, aku akan segera mencarinya! Lalu, bagaimana dengan penyelidikan kecelakaan Sherry?""Begitu urusanku selesai, aku akan langsung mengecek ulang informasi tentang orang itu untuk memastikan identitas aslinya.""Baiklah."Setelah menutup telepon, Miana bersandar di dinding. Kekhawatiran membanjiri pikirannya.Tiba-tiba, terdengar suara Nevan dari kamar perawatan. "Ibu, cepat masuk!"
Perawat sibuk bekerja, menyeka tangan Sherry dengan lembut.Ketika Nevan masuk ke kamar perawatan, suaranya yang ceria memecah keheningan."Ibu angkat, aku datang!" serunya sambil berlari kecil menuju ranjang.Mendengar suara ceria Nevan, senyum langsung menghiasi wajah Sherry. Dia menoleh kepada perawat dan berkata dengan lembut, "Kamu siapkan sarapan dulu."Perawat mengangguk dan berjalan keluar ruangan.Dengan langkah-langkah kecil yang penuh semangat, Nevan tiba di sisi ranjang. Sepasang mata jernihnya menatap Sherry yang sedang berbaring, dan dia bertanya dengan suara manis, "Apakah Ibu merindukan?"Sherry merasa hatinya terisi kebahagiaan, dia tertawa sambil meraih tangan Nevan. "Tentu saja sangat merindukanmu!"Nevan berjinjit, berusaha memanjat ke ranjang, tetapi tinggi tubuhnya membuatnya kesulitan. Dengan senyum kecil, dia menundukkan kepala dan memberikan ciuman hangat di punggung tangan Sherry. "Aku juga merindukan Ibu angkat!"Miana menyaksikan interaksi hangat antara Neva
Miana tertegun.Dia pernah memikirkan kemungkinan menikah dengan Giyan suatu hari nanti.Namun, tidak terlintas dalam benaknya bahwa Giyan akan menyatakannya pada waktu seperti sekarang.Ekspresi tertegun Miana membuat Giyan merasa sedikit kecewa, tetapi dia tetap mempertahankan senyumnya. "Aku hanya bercanda! Aku nggak bermaksud memaksamu untuk menikah! Sore nanti, kalau kamu punya waktu, aku bisa membawamu melihat rumah itu. Kalau kamu merasa cocok, kita bisa langsung pindah besok, bagaimana?"Dia tidak yakin apakah Henry masih memiliki tempat di hati Miana, tetapi dia sangat menyadari bahwa perasaan Miana terhadapnya belum cukup kuat untuk membangun masa depan bersama.Tentu saja, ini membuat hatinya terasa perih.Namun, dia tahu bahwa memaksakan sesuatu bukanlah jawabannya.Yang bisa dia lakukan hanyalah menunggu Miana siap."Giyan ...." Miana menyadari bahwa senyum di wajah Giyan terlihat dipaksakan, membuat hatinya diliputi rasa bersalah. Namun, dia tahu bahwa dia harus jujur. "M
Miana dengan penuh hati-hati menggeser Nevan ke samping dan bangkit dari ranjang.Setelah mencuci muka dan bersiap-siap, dia turun ke lantai bawah.Giyan sudah menyiapkan sarapan dan sedang membersihkan ruang tamu."Kenapa bangun sepagi ini? Tidur lagi saja sebentar," ujar Giyan, sembari menghentikan penyedot debu. Tatapan lembutnya tertuju pada Miana, dan suaranya tetap penuh kehangatan."Nggak deh, terlalu banyak yang harus aku kerjakan hari ini," ujar Miana dengan lembut, sambil mendekat dan merangkul pinggang Giyan."Kalau begitu, kamu sarapan dulu. Aku akan pergi membangunkan Nevan," ujar Giyan dengan suara yang agak serak, lalu mencium kening Miana."Oke, kamu pergi bangunkan dia," ujar Miana sambil menyandarkan wajahnya ke dada Giyan.Dengan Giyan di sisinya, semuanya tampak begitu damai dan hangat.Hidup dalam momen ini terasa begitu menyenangkan."Kamu makanlah, aku naik ke atas sekarang." Giyan mencubit pipi Miana dengan lembut.Miana menyadari telinga Giyan yang agak merah,