Wanita itu berlari keluar, Hafiz langsung mengejar istrinya. Lelaki tersebut terus memanggil, tetapi tidak dihiraukan. "Kamu sudah tak mencintaiku lagi, Mas! Kamu jahat, lebih baik aku pergi," teriak wanita itu. "Sakit hatiku, Mas! Apalagi kamu sangat sibuk, kamu sama sekali tidak mengunjungi," lanjutnya. Mereka sudah keluar dari kediaman. Suara sangat sepi, lalu wanita itu kini berada di tengah jalan. Mata Hafiz membulat kala menangkap sebuah truk melaju kencang. "Awas, Sayang ...!" Saat truk itu menghantap sang istri, Hafiz langsung terbangun dari tidurnya. Keringat membanjiri wajah, napas pria tersebut juga terengah. "Astagfirullah," ucap Hafiz. Lelaki itu segera melirik jam, kini sudah pukul lima pagi. Ia segera bangkit dan meneguk segelas air yang memang tersedia di nakas. "Mendingan aku mandi," gumam lelaki itu. Hafiz segera bangkit lalu bergegas mengambil handuk dan melangkah ke bilik mandi. Dia langsung membersihkan diri seraya menenangkan pikiran. Sehabis itu, ia
Mata gadis itu langsung berkaca-kaca. Dia dengan gerakan cepat, menyusupkan wajah ke pelukan Wati. Merasa dirinya sudah keterlaluan pada sang anak, Hafiz berusaha merendam emosi."Maafin Papa, Sayang." Hafiz mengatakan demikian dengan kepala menoleh sebentar menatap anaknya. Sedangkan gadis kecil itu hanya mengangguk dengan wajah masih bersembunyi."Sebentar lagi kita sampe, Sayang. Tolong jangan nangis lagi, masa mau ketemu Bunda mukanya begitu," seru lelaki itu.Gadis kecil ini langsung mengusap air matanya yang berjatuhan di pipi. Lalu dia menatap keluar, memang sekarang Hafiz tengah memarkirkan kendaraan. "Ayo kita keluar, habis ini Papa anter kamu ke sekolah," jelas Hafiz.Hana menuruti ucapan Papanya, ia langsung membuka pintu mobil diikuti Wati dan Hafiz. "Kamu tinggal di sini aja, biar saya yang ajak Hana."Wanita itu mengangguk paham, ia memilih duduk di dalam kendaraan. Sedangkan Hafiz menuntun anaknya, setelah sampai mereka langsung berjongkok."Sayang, maaf ya. Karena a
Baru saja Ibunya Atha hendak berbicara. Suara dering ponsel membuat dia tak jadi. Wanita itu memandang Maira yang kini tengah menerima telepon."Apa? Yang bener aja Tuan. Masa saya harus libur lagi jualan. Enggak ya, walau upahnya besar gak mau. Pelanggan saya bisa kabur kalau kebanyakan libur," tolak Maira.Wanita itu langsung mematikan sambungan telepon. Mendengar Hafiz sangat tidak mau ditolak. Di tempat lain, pria tersebut memaki. "Gak tau diuntung banget sih, jualan begitu palingan untung berapa! Ini ditawarin kerja enak malah nolak, dasar," geram Hafiz.Dia dengan penuh amarah melempar benda pipihnya. Ponsel tersebut langsung pecah kala terdampar ke keramik. Lelaki itu mengembuskan napas kasar lalu menelepon sekertarisnya memakai telepon kantor."Belikan saya handphone, cepatan!" perintah Hafiz.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon. Ia mengembuskan napas kasar lalu melonggarkan dasi. Sedangkan di ruangan lain, sekertaris Hafiz segera bangkit seraya mengelus dada. Ia terke
Wati berusaha menenangkan Hana yang terus menggoncangnya tubuhnya untuk meminta segera diantar ke kediaman Maira. Ia mengembuskan napas kala ternyata perempuan tersebut menelepon balik."Nona, dia nelepon balik," kata wanita itu.Haha langsung menghentikan aksinya, ia merebut handphone Wati dan segera menerima sambungan telepon itu. "Mama! Kenapa Mama lama angkat teleponnya, Hana kira Mama marah," sembur gadis itu.Wati meringis mendengar omelan anak majikannya. "Suaranya jangan gitu, Nona. Kalau Tantenya marah karna Nona gak sopan gimana," tegur Wati.Hana langsung merapatkan bibirnya, lalu senyuman lega terulas kala mendengar suara Maira. "Ada apa, Bi? Tadi saya gak denger soalnya ada yang pesen makanan,"lontar Maira.Wanita itu mengeryitkan alis lalu melihat benda pipihnya. Telepon masih tersambung tetapi, tidak mendengar suara apapun. "Eum ... ada apa, Bi? Kalau gak ada apa-apa Maira matiin ya," ucap perempuan itu.Hana membulatkan matanya, dia langsung segera melarangan Maira
Hafiz terdiam sebentar lalu menoleh kala suara sang sekertaris memanggil. "Lama banget sih," sinis Hafiz. Lelaki itu menempelkan telepon lagi ke telinga. "Telepon Papa matiin dulu, nanti kita teleponan di handphone aja, oke. Papa telepon balik nanti," ujar Hafiz.Dia langsung mematikan sambungan telepon. Hafiz menatap geram pada sang sekertaris. Lalu mengambil dengan kasar tas belanjaan lelaki itu."Cepat lihat jadwal saya hari ini!" perintah Hafiz.Lelaki itu melangkah pergi dengan beberapa karyawan menatap tidak percaya. Sedangkan sang sekertaris segera melakukan perintah atasan."Ampun ini Bos kenapa sih," gerutu lelaki itu.Sedangkan Hafiz bergegas ke ruangan lalu dia lekas memasukan kartu ke handphone. Setelah itu bergegas mengaktifkan dan mendownload, mendaftarkan whatsapp. "Wah, anakku gak sabaran banget. Langsung video call," gumam lelaki itu.Dia langsung menerima dan nampak wajah marah Hana yang malah terlihat menggemaskan. "Papa ini, katanya sebentar! Ini mah lama,"
Ketukan pintu terdengar, lalu sekertaris lelaki itu masuk. Ia memberikan salam pada Hafiz."Ada apa," ketus lelaki itu. Lelaki itu terkejut dengan nada suara Hafiz. Ia langsung menundukan kepala. "Haduh ... ternyata marah-marahnya belum selesai, apaan sih yang buat Bos marah-marah mulu," batin sang sekertaris. Hafiz menatap sekertarisnya yang terus diam. Membuat dirinya kesal,dengan penuh emosi. Dia segera mengambil bantal dan melemparkan pada Dafa."Kenapa diam aja sih! Kalau mau bengong mendingan keluar deh," cecar Hafiz.Pria tersebut terkejut, ia semakin menundukan kepala. Karena dia baru tiga bulan menjadi sekertaris Hafiz. "Ini, Bos, katanya tadi nanya jadwal sekarang apa aja," balas Dafa.Lelaki itu menatap Dafa lalu menghela napas. Ia segera bangkit lalu hendak, tapi di tahan Dafa. "Apa-apaan sih, main pegang-pegang aja. Saya masih doyan cewek, Daf," sembur Hafiz.Dafa langsung menarik tangannya dan menggarukan kepala."Ya saya juga masih doyan cewek Bos, itu saya mau bil
Mamid langsung terkejut mendengar omelan dari Hafiz, ia melirik Hana yang menyodorkan tangan padanya. Meminta agar handphone diberikan pada gadis itu. ."Tuan, Nona mau ngomong sama Tuan, ini saya kasih ke Nona," kata Mamid. Lelaki itu memberikan handphonenya ke Hafiz. Membuat sang majikan kesal dan berdecak. Mendengar suara Hana, dia berusaha mengontrol emosinya. "Hallo Pah, maaf ya. Tapi handphone Bibi baterainya habis, jadi mati deh," jelas gadis itu.Hana segera menjelaskan saat handphone Mamid sudah berada di tangannya. Gadis kecil itu menempelkan benda pipih tersebut ke telinga. "Harusnya di cas dong, kan kamu punya power bank, Han. Lagian kamu juga punya handphone kenapa pake punya Bibi," balas Hafiz.Gadis itu menggaruk kepala seraya cengar-cengir. "Hehe ... handphone gak dibawa Pah, soalnya baterainya habis. Dan ... power banknya jadi gak dibawa," sahut gadis itu.Hafiz mendengar penjelasan sang anak langsung mengangguk kepala. Lelaki itu mengeryit alis kala mendengar su
Wanita itu menoleh menatap Hafiz dengan tatapan yang sulit dibaca."Kalau gitu udah dulu ya, Nenek mau ngomomg sama Papa kamu," ucap perempuan tersebut.Hana mengiyakan lalu gadis itu menunggu sang Nenek menutup telepon. Sehabisnya segera memberikan kepada Mamid. "Yuk, Mang. Langsung ke rumah Mama, pasti Mama nungguin," seru Hana.Mamid mengangguk kepala, ia memasukan handphone ke saku lalu mulai menyalakan kendaraan. Lelaki itu mulai melajukan mobil."Gak sabar ketemu Mama, kangen banget," pekik Hana.Wati hanya mengulas senyum kecil pada tingkah Hana. Dia merawat gadis itu sejak lahir, dulu ia hanya asisten rumah tangga. Membantu pas almarhum istri Hafiz sibuk saja. Mengingat hal tersebut, dia kerindukan wanita yang melahirkan Hana."Anak Nyonya sangat cantik, kalau aja Nyonya masih hidup. Pasti Nyonya seneng liat Nona tubuh dengan baik," batin wanita itu.Wanita itu menitikan air mata, membuat Hana yang melihat mengeryitkan alis. Gadis tersebut langsung memegang tangan Wati."Bibi
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu