"Kamu menghina saya, saya mampuh beliin baju buat kamu. Bahkan tokonya pun. Jadi cepet cobain pakaian ini, pilihan anak saya. Tenang aja, ini saya belikan, gak akan ambil upah kamu," ucap Hafiz sombong. Maira mengerucutkan bibir mendengar ucapan sombong Papanya Hafiz. Wanita itu mengangguk lalu pelayan segera mengambil pakaian yang sama seperti di patung. Setelah itu perempuan tersebut lekas mencoba di tempat ganti."Ampun ... sombong banget sih, awas aja nanti kalau jilat ludah sendiri," gerundel Maira.Wanita itu terpaku dengan dirinya, pakaian yang dipakai sangat pas di tubuh. "Baru pertama kali nyobain baju semahal ini," ucap Maira pelan. Ia pernah diajak Reyhan ke mall, hanya untuk lelaki itu belanja. Pernah meminta dibelikan pakaian tetapi, langsung dimarahi oleh pria tersebut. Katanya buat apa beli baju, karena hanya diam di rumah saja. Suara panggilan Hana membuat tersadar, dia segera keluar untuk memperlihatkan."Tuh, kan. Mama cantik banget, Papa beliin Mama baju ini ya,"
"Hana, kamu ngantuk ya. Ayo mendingan tidur gih, lagian udah sore juga. Mau pulang," celetuk Maira. Gadis kecil itu mengerucutkan bibir, membuat Maira memandang heran. "Kenapa lain? Kan udah ditemenin berenang. Lagian udah janji sama Papa kan, abis berenang mau bobo," seru wanita itu.Hana mengangguk kepala tanda mengiyakan ucapan Maira. Tetapi, gadis kecil itu menatap penuh permohonan terhadap wanita tersebut."Iya mau bobo kok, tapi pengen ditemenin sama Mama. Kalau Hana udah bobo baru Mama mau pulang juga boleh," ucap Hana. Maira menghela napas lalu melirik jam di pergelangan tangannya. Melirik tatapan Hana yang penuh permohonan. "Ya udah, sekarang ayo ganti baju dulu baru tidur," ajak Maira. Dia bersorak senang mendengar ajakan Maira, Hana langsung mengangguk kepala dan bergegas bangkit. Ia mengajak Maira untuk segera ke kamar, dan wanita itu membantu anak Hafiz mengganti pakaian. Lalu giliran dirinya yang berganti baju."Ayo sini tidur, nanti dinyanyiin nina bobo," ucap Mair
Maira langsung menoleh ke asal suara, terlihat David seperti habis membersihkan diri. Karena handuk tergantung di leher dan dia memakai celana pendek dengan bertelanjang dada. "Habis kerja lah, Bang. Macem baby sitter gitu, tapi cuma seharian tadi aja," balas Maira.Wanita itu langsung mendaratkan bokong di sofa. Ia memejamkan mata dan memijit kakinya. Sesekali perempuan tersebut menguap. Melihat sang anak seperti kelelahan, Dewi segera membuatkan teh hangat lalu lekas disodorkan pada Maira. "Ini minum, kayanya kamu capek banget," seru Dewi.Maira segera meneguk air minum ini, sedangkan Ali menyuruh putranya memakai pakaian terlebih dahulu. Tak berselang lama lelaki kembali. Dia lekas duduk di sofa."Siapa anak itu, kenapa manggil kamu Mama!" cecar David.Perempuan itu melirik Kakaknya, ia memejamkan mata. Lalu menghela napas, dia segera mengeluarkan amplop yang berada di tas."Emang saat awal ketemu juga dia udah minta izin buat dibiarin dia manggil Mama ke aku, lagian gak papa. Ka
David mengedikan bahu sebagai jawaban. "Masa pake mobil sebagus itu, bayar upah ke anak kita receh," kata Ali.Sekali lagi David mengedikan bahunya, membuat Ali melengos. Sedangkan Dewi segera bangkit dan para lelaki langsung memandang. "Gak papa, yang penting dikasih upah, lagian Maira lagi berusaha cari uang buat gugat Reyhan. Mendingan kita terus dukung aja yang penting caranya bener," lontar Dewi. "Lagian mau receh atau bukan sama aja, sama-sama uang kan," lanjut wanita itu. Mereka mengangguk mengiyakan ucapan Dewi, lalu wanita itu pamit untuk memberikan amplop milik Maira. Saat sampai kamar, bertepatan perempuan tersebut keluar."Bu, liat amplop coklat gak?" tanya Maira.Mendengar pertanyaan Maira, Dewi segera menyodorkan amplop tersebut. Dan perempuan itu segera ambil. "Tadi kamu tinggalin di sofa lho, lain kali jangan ceroboh. Walau uang itu receh tapi kan lumayan buat ngumpulin biar kamu bisa gugat si Reyhan," nasihat Dewi. Maira mengeryitkan alis mendengar ucapan Dewi y
Reyhan mengacak rambutnya dengan frustasi lalu mendaratkan bokong di sofa. Ia sesekali memukul tempat duduk untuk melampiaskan amarah. "Thania! Kamu di mana, cepat ke sini," teriak Reyhan.Setelah lelah memanggil, lelaki itu menatap sekitar. Kediaman ini sangat sepi dan berantakan membuatnya geram. "Ishh ... di mana Thania sih, jadi istri bukannya nyambut suami balik malah ilang entah ke mana," gerundel lelaki itu.Pria tersebut bangkit, memilih melihat bagasi dan geraman terdengar di bibirnya. "Ke mana dia, kenapa jam segini belum pulang. Malah kelayaban bukannya beberes rumah," geram Reyhan.Suara deru mobil membuat Reyhan menoleh. Lelaki itu lekas keluar, tatap geram terpancar dari manik mata pria tersebut saat melihat Thania turun dari kendaraan. "Dari mana aja, kamu! Bukannya bebenah malah keluyuran gak jelas," cecar lelaki itu.Dia melangkah sangat lebar, dengan cepat sampai di samping Thania. Wanita itu langsung menoleh memandang mengeryitkan alis menatap Reyhan. "Makanya,
Dia menatap layar benda pipih tersebut. Berusaha menenangkan diri dengan cara menghirup dan mengembuskan perlahan. Perempuan itu lekas mengangkat telepon, dan menempelkan ke telinga. Matanya terpejam menunggu omelan dari sang penelepon. "Mah, kenapa pergi! Aku jan pengen bobo sama Mama." Suara rengekan Hana membuat ia bernapas lega. Lalu terdengar lagi ucapan gadis itu, dia terus mengoceh meluapkan kekesalannya. "Aku kan gak beneran ngomong gitu, aku sebenernya pengen Mama nginep di rumah. Bobo bareng aku terus Mama anterin aku sekolah," cerocos gadis itu. Perempuan yang dipanggil Mama oleh Hana meringis mendengar omelan gadis itu. "Yah ... maaf ya, aku gak peka soal itu.""Udah, cup-cup-cup, jangan marah-marah. Nanti cantiknya hilang lho. Kalau gak sibuk nanti aku ajakin Hana main deh, tapi sekarang Hana bobo dulu. Kan masih malam," bujuk wanita itu.Senyuman sumringah langsung terpatri di bibir Hana. Walau Maira tidak melihat, tetapi Hafiz yang menatap anaknya. "Ya udah, Mama
Wanita itu berlari keluar, Hafiz langsung mengejar istrinya. Lelaki tersebut terus memanggil, tetapi tidak dihiraukan. "Kamu sudah tak mencintaiku lagi, Mas! Kamu jahat, lebih baik aku pergi," teriak wanita itu. "Sakit hatiku, Mas! Apalagi kamu sangat sibuk, kamu sama sekali tidak mengunjungi," lanjutnya. Mereka sudah keluar dari kediaman. Suara sangat sepi, lalu wanita itu kini berada di tengah jalan. Mata Hafiz membulat kala menangkap sebuah truk melaju kencang. "Awas, Sayang ...!" Saat truk itu menghantap sang istri, Hafiz langsung terbangun dari tidurnya. Keringat membanjiri wajah, napas pria tersebut juga terengah. "Astagfirullah," ucap Hafiz. Lelaki itu segera melirik jam, kini sudah pukul lima pagi. Ia segera bangkit dan meneguk segelas air yang memang tersedia di nakas. "Mendingan aku mandi," gumam lelaki itu. Hafiz segera bangkit lalu bergegas mengambil handuk dan melangkah ke bilik mandi. Dia langsung membersihkan diri seraya menenangkan pikiran. Sehabis itu, ia
Mata gadis itu langsung berkaca-kaca. Dia dengan gerakan cepat, menyusupkan wajah ke pelukan Wati. Merasa dirinya sudah keterlaluan pada sang anak, Hafiz berusaha merendam emosi."Maafin Papa, Sayang." Hafiz mengatakan demikian dengan kepala menoleh sebentar menatap anaknya. Sedangkan gadis kecil itu hanya mengangguk dengan wajah masih bersembunyi."Sebentar lagi kita sampe, Sayang. Tolong jangan nangis lagi, masa mau ketemu Bunda mukanya begitu," seru lelaki itu.Gadis kecil ini langsung mengusap air matanya yang berjatuhan di pipi. Lalu dia menatap keluar, memang sekarang Hafiz tengah memarkirkan kendaraan. "Ayo kita keluar, habis ini Papa anter kamu ke sekolah," jelas Hafiz.Hana menuruti ucapan Papanya, ia langsung membuka pintu mobil diikuti Wati dan Hafiz. "Kamu tinggal di sini aja, biar saya yang ajak Hana."Wanita itu mengangguk paham, ia memilih duduk di dalam kendaraan. Sedangkan Hafiz menuntun anaknya, setelah sampai mereka langsung berjongkok."Sayang, maaf ya. Karena a
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu