Maira masih terkejut dengan tamparan yang dilayangkan Devi lalu dibuat kaget lagi dengan pertanyaan Ibunya. Ali yang melihat putrinya shok, langsung mendekat dan mendekap wanita tersebut. "Udahlah, Bu! Jangan tanyakan itu dulu," seru Ali.Dewi menghela napas, ia ikut memeluk anaknya. Maira terisak di dalam dekapan kedua orang tua itu. Setelah tangisan reda, mereka melepaskan pelukan."Bu, Pak, ini udah mau sore. Mendingan aku pamit buat jualan dulu ya, doain biar laris," ucap Maira. Walau dia masih sesegukan, Dewi akhirnya mengizinkan wanita itu untuk pergi. Tetapi ia ingin menemaninya. "Jangan, Bu. Aku mau pake sepeda, kan jualan lumayan banyak, kalau di jinjing yang pegel juga," larang Maira.Dewi menghela napas, ia akhirnya mengizikan sang putri untuk pergi sendiri."Kamu boleh pergi setelah kita makan," kata Ali.Maira mengangguk sebagai jawaban. Wanita itu juga menghapus jejak air mata yang berada di pipi. Dewi melihat hal tersebut menghela napas, ia menggenggam jemari sang an
Sinta langsung mengganti topik saat melihat riak wajah Maira yang berbeda. Ia membayar belanjaannya dan pamit sang suami perempuan itu menelepon."Aku pulang dulu ya, nanti kita harus ketemuan," seru Sinta. Maira mengacungkan jempol sebagai tanda setuju. Ia langsung pamit pada pembeli tadi untuk pergi jualan lagi. "Ahh ... kayanya ke Abang dulu deh, kasian dia pasti laper," ujar wanita itu.Dia menggoes sepeda dengan riang, lalu menawari orang yang ditemui. Beberapa ada yang membeli dan tidak. Sesampai di tempat sang kakak kerja, ia lekas memanggil pria tersebut."Bang, ini makanannya!" teriak Maira. Membuat semua yang tengah beristirahat menoleh, begitupun Bu haji yang tengah memberi minum para pekerjanya. "Eh, Maira. Kamu kapan ke sininya, itu di sepeda bawa apaan?" tanya Bu haji. Wanita itu mendekati Maira dan David, tetapi lelaki tersebut pamit karena ingin mengisi perut. "Belum lama kok, Bu haji. Ini Bu, Maira lagi jualan sayur dan lauk mateng," sahut Maira. Maira menunjuk
Maira bergegas pergi, tidak lupa berpamitan pada sang Abang. Ia mulai menggoes sepeda untuk berangkat keliling lagi. Saat perempuan tersebut tidak terlihat, David menatap Atha yang memandang kepergain adiknya. "Jaga pandangan, bukan muhrim," kata David. Lelaki itu menepuk bahu Atha membuat pria tersebut kaget lalu menundukkan kepalanya. "Hahaha ... santai aja kali," lanjut lelaki itu.Mendengar suara tawa David, pria yang berstatus anak bos dia bekerja itu menoleh. "Masih ada rasa sama Maira?" tanya David.Atha berdesis mendengar pertanyaan pria di sampingnya, lalu terdengar helaan napas. "Ngapain tanya gitu, Dav. Lagian ... walau saya ada rasa, gak bisa dapetin Maira, dia udah punya pasangan hidup," sahut Atha lemah. Atha melangkah ke tempat duduk yang disediakan lalu mendaratkan bokong di sana. David yang melihat itu mengikuti pria tersebut."Kalau misalnya Maira sendiri lagi gimana? Apa masih mau mengejar dia, dengan Maira yang status janda," ujar David. Pria tersebut langs
Atha langsung mendongak menatap wanita yang mengucapkan kalimat itu. Ia menghela napas dan menaruh sendok di piring."Kalo misalnya Maira jadi janda gimana? Ibu mau restuin Atha ngejar dia," lontar lelaki itu.Wanita itu langsung mencubit lengan Atha membuat lelaki itu kesakitan. "Kamu ini, jangan nyumpahin Maira jadi janda dong, gak baik itu," tegur sang Ibu.Lelaki itu jadi tidak melanjukan makannya, ia lebih memilih membalikan badan menghadap wanita yang melahirkannya itu."Atha gak nyumpahin, Bu. Cuma si David bilang sesuatu yang ambigu ke Atha, kali aja itu kode kalau Maira bentar lagi jadi janda," celetuk pria tersebut. Wanita itu langsung mendaratkan pukulan di lengan anaknya membuat Atha mengaduh. "Aishhh ... Ibu, kenapa dipukul sih. Demen banget mukul Atha, Atha udah dewasa lho," keluh lelaki itu.Mendengar keluhan Atha, wanita itu memukul lagi lelaki tersebut."Jangan bilang gitu, ucapan itu doa, kasian dia kalau jadi janda pasti banyak yang gunjingin. Udah tau udah dewa
"Apa jangan-jangan Mamang yang ambil ya? Dia kan tadi nyenggol Maira," lontar Maira.Dewi menatap anaknya lalu menepuk paha Maira. "Jangan asal tuduh, gak ada bukti, Ra!" tegur sang Ibu.Maira memasang wajah masam mendengar teguran sang Ibu. Davd yang melihat itu memilih tidak jadi pergi, ia mendaratkan bokong untuk duduk lagi. "Apa keluarga Bibi baru aja pulang dari sini?" tanya David. Maira mengangguk membenarkan, David terlihat menghela napas lalu menatap serius mereka. "Eum ... bisa jadi bener Bu, ucapan Maira. David tadi lihat Mamang lagi ngitung duit dan ... sekilas denger dari ponakan gitu," ujar lelaki itu.Mereka langsung memandang David yang berkata demikian. "Katanya mereka gak punya uang, makanya tadi numpang makan pas kamu pergi. Apa bener dia yang ambil kamu," tutur Dewi.Maira menatap sang Ibu, melihat tatapan itu Dewi langsung menunduk. "Eum ... maaf, bahan yang ada di kulkas Ibu pake buat masak makanan mereka," ujar Dewi.Mendengar hal itu Maira menghela napas,
Reyhan mengembuskan napas kasar melihat keadaan rumahnya. Ia mulai melepaskan sepatu dan mencari keberadaan sang istri."Thania ...!" Lelaki itu berteriak memanggil sang istri. Tetapi, tidak ada sahutan sedikipun. Ia terkejut saat melihat keadaan rumah seperti kapal pecah, pria tersebut menggelengkan kepala saat melihat wanita yang menyandang menjadi ibu rumah tangga tengah mendengarkan musik sambil jajan dan buat kesalnya dia membuang sampah sembarangan."Thania! Kamu tuh kaya anak kecil sih, masa rumah sampe berantakan gini," omel Reyhan.Mantan suami Maira itu, menarik handset yang terpasang di telinga Thania. Ia menatap kesal aang istri, begitupun wanita tersebut. "Apa-apaan sih, Mas! Lagi enak denger musik juga," sembur Thania.Reyhan mengepalkan tangan sangat emosi dengan ucapan dan nada suara sang istri. Ia menarik dan mengembuskan saat mengingat wanita di depannya ini tengah mengandung. "Kamu boleh sepuasnya dengerin lagu, tapi ya ... rumah ini setidaknya kamu beresin dong,
Jam sudah menunjuk pukul sebelas malam. Maira masih belum terlelap di alam mimpi, ia malah berbaring di kasur yang sama sekali tidak empuk. Menatap langit kamar dengan pikiran entah kemana."Walau aku udah mengikhlaskannya tetapi kayanya harus tegur Mamang deh, kalau gak punya uang kan mendingan minta. Ini malah nyuri," ujar Maira.Maira mengangguk kepala menyakinkan dirinya. Ia akhirnya memilih terlelap walau pikiran tengah bercabang. Memikirkan kelakuan keluarga Bibi dan Atha."Nduk, ayo bangun! Katamu mau ke pasar sekarang bukan." Dewi menggoncang tubuh anaknya, Maira merasa terusik ia menguap dan menutup mulut. Mata wanita itu mengerjap-ngerjap. "Ayo bangun! Mandi dan wudhu kita salat tahajud dulu," ajak Dewi.Dengan wajah mengantuk, Maira bangun. Wanita itu mengucek mata lalu melangkah mengambil handuk dan bergegas ke bilik mandi. Sedangkan Dewi membangunkan putranya."Ahh ... ayo semangat Maira!" Maira bermonolog di dalam kamar mandi. Ia bergegas memberikan diri lalu berwudhu
"Ayia ... maafin Maira ya, Bang. Janji deh bakal ngulangin lagi," lontar wanita itu.David melotot mendengar lontaran Maira, sedangkan perempuan itu langsung jarinya membentuk huruf V. "Bercanda Bang, serius banget sih," kata Maira.Lelaki itu mencebik, ia memilih meninggalkan Maira. Tetapi, wanita tersebut malah mengikuti. "Kamu ini ngapain sih ngikutin aja! Abang mau ganti baju lho, mau ikut," ketus David.Maira langsung mengedikan bahu membuat David membulatkan mata. Melihat reaksi sang Abang, Maira tidak tahan untuk mengeluarkan tawa."Santai aja kali, Bang! Aku nungguin di luar kamar kok, aku cuma mau bantuin Abang buat jemur kasur," tutur Maira.Sesampai di kamar David, sang adik langsung berdiri di luar. Sedangkan David hanya mengedikan bahu lalu menutup pintu dan bergegas mengganti pakaian. Setelah selesai memanggil Maira untuk membantu mengangkat kasur."Maira ... ayo masuk! Bantu Abang angkat kasur," teriak lelaki itu.Mendengar itu Maira bergegas masuk, ia menatap Abangn
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu