Kedua wanita itu, memilih memakai angkot untuk pergi ke pasar. Sambil menjajahkan jualan di sana, sesampai di tujuan. Mereka langsung memasuki tempat dimana pedagang berjualan. "Bu, ayo kita belanja dulu. Lagian gorengannya juga mau habis bukan," ajak Maira.Wanita yang dipanggil Ibu itu, mengangguk sebagai jawaban. Ia mengikuti sang anak yang mulai mencari pedagang sayuran. Setelah mendapatkan pejual yang lumayan lengkap jualannya. Maira langsung berbelanja."Bu, kayanya segini udah cukup deh, ayo kita pulang."Dewi melihat anaknya yang riang, mengulas senyum. Ia mengangguk sebagai jawaban. Mereka mulai menunggu angkot lagi, tetapi sebuah mobil berhenti di depan keduanya. "Ampun ... ternyata setelah diceraikan olehku, kamu sangat menyedihkan ya, suruh siapa segala minta cerai!" ledek pria tersebut. Maira yang mendengar suara mantan suaminya hanya memutarkan bola mata malas. Lelaki itu merogoh saku celana dan menyodorkan pada wanita yang berada di samping perempuan tersebut. "Bu,
Setelah angkot berhenti, mereka segera turun dan lekas membayar. Mulai melangkah menuju kediaman yang masih lumayan jauh, karena tempat tinggal sedikit terpencil. "Sini Ibu bantu bawa," seru Dewi. Maira menggeleng sebagai jawaban, membuat wanita itu mengembuskan napas kasar. "Tapikan Ibu gak bawa apa-apa, Ra. Ayolah ... Ibu gak kerepotan kok," ujar Dewi. Perempuan tersebut malah mempercepat langkahnya. Lalu Dewi bergegas mengikuti sang putri. "Iya-iya, Ibu gak bakal minta lagi. Tapi jangan cepet-cepet dong jalannya," tutur Dewi. Maira mengulas senyum melihat Ibunya menyerah. Ia langsung mensejajarkan langkah mereka lagi. Sedangkan Dewi hanya menggelengkan kepala. "Nanti masaknya mau Ibu bantu," kata Dewi. Dia menoleh melirik wanita yang melahirkannya itu. Lalu menggeleng sebagai jawaban. "Gak perlu, Bu. Biar Maira aja, Ibu kan harus buat gorengan untuk jualan, nanti sekalian kita ngider bareng," balas Maira. Mendengar balasan sang anak, Dewi hanya bisa mengangguk menyetujui.
Saat yang memanggil sudah di depan mereka, Maira dan sang Ibu saling memandang. Wanita itu mengeryitkan alis saat melihat perempuan yang ditanya menghela napas panjang."Eum ... bukan, Mpok. Ini mah buat aku jualan, nanti jangan lupa ya beli," balas Maira.Wanita itu mengeryitkan alisnya lalu menatap sinis Maira. "Ish ... kamu ini, lama banget gak hamil, padahal pernikahan kalian udah lama lho. Jangan-jangan kamu mandul lagi," celetuk perempuan itu.Maira menatap kesal wanita yang di depannya itu. Terlihat dia mengatur napas agar tidak mengeluarkan nada tinggi. "Jangan asal nuduh, Mpok. Saya udah periksa dan normal kok subur, jadi jangan ngatain saya mandul. Lagi ya, gak perlu ngurusin hidup orang, emang dapet gaji berapa sih selalu aja nyinyir," sahut Maira.Wanita itu melotot mendengar balasan Maira. Ia menatap kesal, perempuan tersebut lalu menoleh menatap Dewi."Dew, nasehatin tuh anakmu. Gak sopan banget," cecarnya.Sedangkan Dewi menghela napas, ia menatap wanita itu dengan be
Dewi langsung mengikuti adik, ipar dan juga keponakannya yang langsung masuk. "Dev, Mbak belum nyuruh masuk lho," lontar Dewi.Mereka langsung menoleh menatap Dewi. Sedangkan Maira yang melihat itu mulai mendekat. "Aishh ... emang kenapa si, Bi. Lagian Maira juga dulu lagi kecil suka makan di rumahku," celetuk anak Devi.Maira yang mendengar itu langsung bergegas berdiri di samping Ibunya. " Itupun sisa makanan kalian, aku disana juga harus kerja dulu. Kalau enggak mana dikasih," seru Maira. Devi langsung menoleh menatap Maira, ia menatap wanita itu dengan kesal. Sedangkan Dewi terkejut dengan ucapan anaknya. "Udah kasih harusnya bersyukur dong, udah bagus kami kasih. Di dunia ini tuh gak ada yang gratis," ketus Devi. Anak Devi itu mengangguk membenarkan ucapan sang Ibu. Sedangkan Maira hanya menghela napas. "Bu ... kalian dimana? Bapak lapar nih, ayo makan," teriak lelaki yang berstatus suami Dewi. Maira dan Dewi langsung menoleh ke sumber suara, lelaki itu perlahan mendek
Maira masih terkejut dengan tamparan yang dilayangkan Devi lalu dibuat kaget lagi dengan pertanyaan Ibunya. Ali yang melihat putrinya shok, langsung mendekat dan mendekap wanita tersebut. "Udahlah, Bu! Jangan tanyakan itu dulu," seru Ali.Dewi menghela napas, ia ikut memeluk anaknya. Maira terisak di dalam dekapan kedua orang tua itu. Setelah tangisan reda, mereka melepaskan pelukan."Bu, Pak, ini udah mau sore. Mendingan aku pamit buat jualan dulu ya, doain biar laris," ucap Maira. Walau dia masih sesegukan, Dewi akhirnya mengizinkan wanita itu untuk pergi. Tetapi ia ingin menemaninya. "Jangan, Bu. Aku mau pake sepeda, kan jualan lumayan banyak, kalau di jinjing yang pegel juga," larang Maira.Dewi menghela napas, ia akhirnya mengizikan sang putri untuk pergi sendiri."Kamu boleh pergi setelah kita makan," kata Ali.Maira mengangguk sebagai jawaban. Wanita itu juga menghapus jejak air mata yang berada di pipi. Dewi melihat hal tersebut menghela napas, ia menggenggam jemari sang an
Sinta langsung mengganti topik saat melihat riak wajah Maira yang berbeda. Ia membayar belanjaannya dan pamit sang suami perempuan itu menelepon."Aku pulang dulu ya, nanti kita harus ketemuan," seru Sinta. Maira mengacungkan jempol sebagai tanda setuju. Ia langsung pamit pada pembeli tadi untuk pergi jualan lagi. "Ahh ... kayanya ke Abang dulu deh, kasian dia pasti laper," ujar wanita itu.Dia menggoes sepeda dengan riang, lalu menawari orang yang ditemui. Beberapa ada yang membeli dan tidak. Sesampai di tempat sang kakak kerja, ia lekas memanggil pria tersebut."Bang, ini makanannya!" teriak Maira. Membuat semua yang tengah beristirahat menoleh, begitupun Bu haji yang tengah memberi minum para pekerjanya. "Eh, Maira. Kamu kapan ke sininya, itu di sepeda bawa apaan?" tanya Bu haji. Wanita itu mendekati Maira dan David, tetapi lelaki tersebut pamit karena ingin mengisi perut. "Belum lama kok, Bu haji. Ini Bu, Maira lagi jualan sayur dan lauk mateng," sahut Maira. Maira menunjuk
Maira bergegas pergi, tidak lupa berpamitan pada sang Abang. Ia mulai menggoes sepeda untuk berangkat keliling lagi. Saat perempuan tersebut tidak terlihat, David menatap Atha yang memandang kepergain adiknya. "Jaga pandangan, bukan muhrim," kata David. Lelaki itu menepuk bahu Atha membuat pria tersebut kaget lalu menundukkan kepalanya. "Hahaha ... santai aja kali," lanjut lelaki itu.Mendengar suara tawa David, pria yang berstatus anak bos dia bekerja itu menoleh. "Masih ada rasa sama Maira?" tanya David.Atha berdesis mendengar pertanyaan pria di sampingnya, lalu terdengar helaan napas. "Ngapain tanya gitu, Dav. Lagian ... walau saya ada rasa, gak bisa dapetin Maira, dia udah punya pasangan hidup," sahut Atha lemah. Atha melangkah ke tempat duduk yang disediakan lalu mendaratkan bokong di sana. David yang melihat itu mengikuti pria tersebut."Kalau misalnya Maira sendiri lagi gimana? Apa masih mau mengejar dia, dengan Maira yang status janda," ujar David. Pria tersebut langs
Atha langsung mendongak menatap wanita yang mengucapkan kalimat itu. Ia menghela napas dan menaruh sendok di piring."Kalo misalnya Maira jadi janda gimana? Ibu mau restuin Atha ngejar dia," lontar lelaki itu.Wanita itu langsung mencubit lengan Atha membuat lelaki itu kesakitan. "Kamu ini, jangan nyumpahin Maira jadi janda dong, gak baik itu," tegur sang Ibu.Lelaki itu jadi tidak melanjukan makannya, ia lebih memilih membalikan badan menghadap wanita yang melahirkannya itu."Atha gak nyumpahin, Bu. Cuma si David bilang sesuatu yang ambigu ke Atha, kali aja itu kode kalau Maira bentar lagi jadi janda," celetuk pria tersebut. Wanita itu langsung mendaratkan pukulan di lengan anaknya membuat Atha mengaduh. "Aishhh ... Ibu, kenapa dipukul sih. Demen banget mukul Atha, Atha udah dewasa lho," keluh lelaki itu.Mendengar keluhan Atha, wanita itu memukul lagi lelaki tersebut."Jangan bilang gitu, ucapan itu doa, kasian dia kalau jadi janda pasti banyak yang gunjingin. Udah tau udah dewa
"Mas," panggil wanita itu.Dia tidak menanggapi, lelaki itu melangkah lebar dan mengambil kunci. Maira hendak mengejar tetapi sangat kesulitan. "Jangan tunggu aku! Aku gak bakal pulang," seru lelaki itu. Pria tersebut menutup pintu dengan kencang, Maira menatap nanar adegan di depannya. Lalu berusaha mendekati benda tersebut dan membuka, terlihat kendaraan roda empat milik Hafiz telah melaju."Mas ...."Anggrek segera mendekati menantunya lalu mengusap pundak wanita tersebut. "Sayang, tenangin diri kamu. Jangan begini, kamu lagi hamil lho," seru wanita itu.Maira langsung memeluk sang mertua dan menangis tersedu-sedu. Sedangkan Hana masih syok karena kemarahan Hafiz. Gadis kecil itu bergegas mendekati Maira dan memeluk wanita tersebut. "Mama, jangan nangis. Nanti biar Hana bantuin minta maaf sama Papa," ujar gadis itu.Wanita paling tua dari mereka langsung membelai puncuk kepala Hana. Sedangkan Maira segera memeluk anak sambungnya. Anggrek segera mengajak sang menantu untuk masuk
Setelah berkata demikian wanita itu langsung mematikan sambungan telepon, tanpa mendengarkan perkataan sang suami. Sedangkan Hafiz hanya menggelengkan kepala lalu mengetik pesan pada Maira. [Makanan udah mateng, kamu turun makan dulu. Susu juga udah aku buatin,] [Karna kamu gak mau ketemu, aku ke kantor aja kalau gitu ya.]Mata Maira melebar membaca deretan pesan sang suami. Dengan berusaha secepat mungkin ia turun dari ranjang lalu melangkah membuka pintu. Mulutnya baru saja hendak berteriak tetapi, terhenti kala seseorang menarik membuat wanita itu tertarik ke pelukan lalu terhalang perut. "Haha ... untung di depannya bantal, kalau bukan perutku pasti sakit."Lelaki itu ikut terbahak karena ucapan sang istri. Setelah melihat Maira memegang perut, pria tersebut menebak jika Maira merasa sakit akibat tertawa. Ia segera memperintah untuk berhenti."Udah, jangan ketawa mulu. Nanti perutmu sakit, mendingan ayo makan," ajak Hafiz.Dia menganggukan kepala lalu ikut melangkah bersama san
Seharian ini lelaki itu dikerjain sang istri, ia didandani seperti ibu hamil. Tetapi keletihan tersebut tergantikan dengan tawa bahagia sang istri."Yang ... udah ya, aku udah ngerasain kok ini. Capek banget baru beberapa jam juga, udah ya aku lepasin semua," pinta Hafiz. Maira yang tertawa langsung cemberut, wanita itu menggelengkan kepalanya. Membuat Hafiz mendapatkan tanggapan tersebut menghela napas. "Ya udah kalau gak boleh, sekarang kita makan yuk! Aku lapar nih," ajak lelaki itu.Wanita itu mengangguk lalu dibantu berdiri oleh sang suami. Ia menggenggam tangan lelaki tersebut kala terulur, dan melangkah bersama ke ruang makan. Terlihat meja yang hanya tersaji buah-buahan, Maira segera duduk di kursi dan Hafiz lekas melihat isi kulkas. "Mau makan apa, Yang?" tanya Hafiz.Semenjak Bi Wati sudah tidak bekerja, lelaki itu mulai belajar memasak kembali. Karena dia sangat sulit percaya dengan orang lain, dan hanya menyuruh pembantu membereskan kediaman saja. Kalau memasak itu ad
Maira akhirnya menelepon nomor handphone Maira, telepon langsung tersambung. Wanita itu segera bertanya pada tetapi ia terdiam kala jawaban dari yang mengangkat."Kamu bohong kan, padahal seminggu yang lalu aku telepon sama Bibi lho," pekik wanita itu. Anggrek yang mendengar teriakan Maira terkejut, bahkan Hana yang terlelap terbangun. Gadis kecil itu kaget kala melihat Mama sambungnya menangis sangat kencang."Ada apa, Ra? Siniin handphonenya!" pinta wanita itu.Dia langsung merebut handphone itu karena tak kunjung diberikan oleh Maira. Hana membantu menenangkan wanita tersebut yang terus menangis tersedu-sedu. Sedangkan Anggrek sekarang tau kenapa menantunya menangis sampai begini. "Makasih ya, kalau gitu saya matiin teleponnya."Setelah mematikan sambungan telepon tersebut, Anggrek segera menelepon handphone anaknya. Hafiz yang memilih bekerja melirik benda pipih itu lalu mengeryitkan alis saat snag Mama menelepon."Kebiasaan banget," gerutu lelaki itu. Hafiz segera mengangkat t
Lima hari berlalu, keinginan Wati untuk pensiun tidak bisa dicegah. Kini mereka tengah mengantarkan wanita itu untuk kembali ke kampung. Hana yang mengetahui hal tersebut terus memeluk perempuan paruh baya ini. "Bibi ... kenapa Bibi pulang, apa Bibi gak sayang sama Hana. Apa Hana nakal bikin Bibi marah," cerocos gadis tersebut. Sesampai di kediaman wanita itu, Hana sudah terlelap karena kelelahan menangis. "Jaga kesehatan ya kalian," ucap Wati.Mereka menganggukan kepala sebagai jawaban, lalu segera pamit karena Hafiz hendak kembali ke kantor. "Maaf mengganggu waktu kalian jadinya," tutur wanita itu. Hafiz dan Maira langsung menggeleng, lalu wanita yang suka dipangil Neng oleh Wati itu memeluk perempuan tersebut."Pokoknya nanti Bibi harus angkat telepon aku," rengek Maira. Wati hanya menganggukan kepala pelan, lalu mereka segera pulang. Hana yang terbangun tidak mendapati perempuan yang menjaganya sangat lama itu menangis kembali. Maira berusaha menenangkan Hana.*** Waktu te
Maira bernapas lega setelah menaruh kue ulang tahun itu ke kulkas. Suara telepon terdengar, Wati terkejut karena hal tersebut. Ia mengelus dada sedangkan Hana tertawa melihat keterkejutan sang pengasuh. "Tuan Hafiz yang nelepon, Neng," lapor Wati. Maira menyuruh wanita ituhmengangkat telepon Hafiz. Sedangkan dia menyuruh sang supir untuk memarkirkan kendaraan di garasi. "Bi! Udah ditangkep belum hewan itu, pokoknya harus di tangkep ya, Bi!" seru lelaki itu. Terdengar suara lelaki itu sedikit gemetar. Wati merasa bersalah karena hal tersebut. "Udah ketangkep Tuan, Tuan bisa keluar sekarang. Nyonya Maira juga udah pulang nih," balas Wati.Hafiz langsung mematikan sambungan telepon, lalu tak lama lelaki itu keluar dari kamar. Tubuh pria tersebut masih gemetar. "Sini Mas, kamu takut banget ya."Lelaki itu menganggukan kepala, ia mendekati Maira dan duduk di tengah-tengah para perempuan. Mereka segera memeluk pria tersebut."Kita peluk nih, Pah. Papa jangan takut lagi ya," ucap Han
Maira menyipitkan mata mendengar suara Thania. "Beneran kamu Nia? Kok bisa kamu ngemis gini, emang harta Mas Reyhan habis?" tanya wanita itu. Mendengar deretan pertanyaan Maira, wanita itu langsung menatap sinis sang mantan teman."Gak usah pura-pura gak tau, kamu! Aku begini gara-gara kamu. Pasti kamu bilang kalau anakku bukan anak Mas Reyhan, kan! Kamu menghasut dia kan," sentak wanita itu.Alis Maira sampai menyatu mendengar sentakan wanita di hadapannya ini. "Dia tau kalau kamu bukan hamil anaknya? Lagian emang bukan anak Mas Reyhan, kan. Ngaku aja kamu, karena Mas Reyhan itu mandul.""Lagian main nuduh aja, aku gak pernah ketemu dia semenjak menikah. Hidupku udah bahagia, Nia, ngapain ngurusin kalian. Kita jalani masing-masing aja," lontar Maira. Setelah mengatakan hal itu semua mobil melaju, Maira segera menyuruh sang supir agar menjalankan kendaraan roda empat ini. Sedangkan Hana, gadis kecil tersebut mengeluarkan suara."Mah, Tante-Tante yang tadi itu yang pernah ngomelin
Mendapatkan notifikasi balasan dari istrinya, ia segera membaca lalu mengelus dada kala mendapatkan deretan permintaan istrinya lagi. "Kenapa gak minta beliin aja sih, Yang. Kamu demen banget buat aku nyobain hal baru," keluh lelaki itu."Untung cinta, kalau enggak. Huh ...."Hafiz langsung bangkit dari duduknya lalu melangkah menuju dapur. Wati yang mau keluar, terkejut dengan kedatangan sang majikan yang tiba-tiba."Kenapa jalan Tuan gak kedengaran suara," lontar wanita itu. Pria tersebut tidak menjawab, malah helaan napas yang terdengar. Wati mengerutkan kening kala sang majikan mengambil cobek dan ulekan. "Bi, ini gimana caranya buat sambel rujak?" tanya Hafiz. Mendengar pertanyaan Hafiz, Wati segera melihat kulkas mengambil bahan untuk membuat rujak. "Tuan pengen ngerujak? Sini biar saya aja yang bikinin," ucap Wati. Lelaki itu menggeleng, lalu menganggukan kepala saat paham. "Ini biar saya yang siapin ya, terus Tuan yang ulek," lontar perempuan tersebut. Hafiz hanya meng
Hafiz langsung menyuruh Wati untuk tidak mengatakan hal itu. Ia segera bangkit dan melangkah keluar, dia lekas menoleh menatap wanita tersebut. "Kamu ikut, Bi. Sekalian videoin sebagai bukti kalau aku yang beneran minta mangga itu ke pemiliknya," ajak pria tersebut. Wati langsung menganggukan kepala, ia segera mengeluarkan benda pipih miliknya dan menvideokan lelaki itu yang melangkah. Saat sampai di kediaman sang tetangga, Hafiz segera memencet bel. Pintu terbuka terlihat seorang wanita yang perkiraan lebih muda dari pengasuh Hana. "Boleh minta tolong panggilin pemilik rumah ini gak," pinta Hafiz. Wanita itu mengerutkan keningnya tetapi menganggukan kepala mengiyakan permintaan Hafiz. Dia pamit sebentar untuk memanggil sang majikan. Beberapa menit kemudian, keluar seorang wanita yang lebih tua dari perempuan tadi. "Ada apa ya, Hafiz?" tanya wanita itu. Hafiz menundukan kepala dan mengatur napasnya. Sedangkan wanita paruh baya itu mengerutkan kening melihat pembantu pria tersebu