Hai teman², jangan lupa beri ulasan dan komentar agar author semakin semangat berkarya ya. Terima kasih♡
Shada mengerjapkan kedua matanya, lantas menoleh ke arah Demian yang tertidur dengan memeluk tubuhnya. Keduanya masih tertutupi oleh selimut putih yang menyembunyikan tubuh polos mereka. Shada mengamati detail paras yang bahkan tidak realistis itu. Ketampanan Demian sungguh tak nyata. Tangan Shada mula-mula menelusuri lekuk wajah pria tersebut dari dahi hingga ke bibir yang menurutnya sangat seksi. Shada mengulum senyum. Rasanya ingin menangis dan masih seperti mimpi karena dapat menemukannya lagi. Demian menggeliat lalu semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Shada, hingga wajah wanita tersebut tertarik mendekat ke muka Demian. Mungkin jarak mereka hanya sekitar lima sentimeter. Shada melotot dan menahan napas, tak ingin membangunkan pria di depannya sekarang. Namun di luar dugaan, Demian justru terkekeh dan membuka mata. Menatap Shada lamat-lamat, Demian kembali menyambar bibir ranum milik wanita di depannya. Sontak Shada terkejut mendapat ciuman mendadak dari pria tersebut. D
Pria tampan yang sedang dikawal itu tak sengaja menatap Shada yang masih termangu, lantas menghentikan langkahnya.Berikutnya pemilik mata perunggu tersebut langsung mengenali dan melempar senyumnya ke arah Shada. Sontak beberapa orang di belakangnya berhenti mendadak dengan raut wajah kebingungan."Akhirnya kau kemari juga, Shada," ledek pria itu.Shada melebarkan kedua matanya tak percaya. Ia mengawasi pakaian pria tersebut dari atas sampai bawah."Demian? Sedang apa kau ke sini?" Pandangannya kemudian ia seret ke arah beberapa orang yang berada di belakang Demian.Demian terkekeh. "Aku kerja, Shada. Kau pikir aku sedang mengumpulkan massa untuk demo?"Beberapa pria di belakangnya langsung menahan tawa. Shada yang melihat situasi ini semakin keheranan."Aku pikir… temanmu yang bekerja di sini. Tapi kau juga?" Kini Shada mendelik serius.Demian meringis, lalu mengedikkan kedua bahunya. "Ya, begitulah."Bersamaan dengan itu, seorang wanita berambut pendek keemasan memanggilnya. "Nona
"Kan tadi aku sudah memberitahumu, Shada. Aku kerja." Demian tersenyum lebar. Ia memutar tubuhnya hingga kursi dengan sandaran tinggi tersebut ikut berputar.Shada menautkan alisnya, masih dengan tatapan tak percaya. Ia merasa kesal karena seperti dipermainkan Demian."Aku serius. Kenapa kau ada di sini? Dimana pemilik Ell Food sekarang?" tegasnya.Demian semakin tergelak. Ia menggelengkan kepala karena Shada begitu lucu."Shada, kau sudah melihatnya sekarang." Ia mengedikkan bahu.Sontak Shada melebarkan kedua matanya. Ia tercekat begitu menyadari sesuatu."Kau… kaukah pemilik asli Ell Food itu?" Shada menyadari jika suaranya serak. Tenggorokannya kering, ia butuh minum sekarang."Tepat sekali. Apa kau akan semakin menyukaiku?" cibir Demian. Bibir tipisnya tetap mempertahankan senyum.Shada mengerjap cepat. Tiba-tiba dunianya seperti terbalik. Shada pusing dan bahkan tidak menyangka jika Demian adalah pemilik yang sesungguhnya. Demian terlalu hebat untuk itu.Ia mendadak ingat jika D
Kedua netra kelam Demian tetap menghunjam ke arah Shada. Ia terpaku di tempat, sementara peserta rapat mulai kebingungan. Salah seorang pria di dekatnya beberapa kali memanggil dirinya. "Pak? Pak Demian? Apa bisa dilanjutkan lagi?" Shada yang mendengar suara Demian terhenti seketika mendongak. Begitu pandangannya bertabrakan dengan Demian, ia menjadi bingung. Kedua matanya melebar dan semakin buncah tatkala menyaksikan leleran bening meluap dari mata pria tersebut. "Demian?" ucapnya terpegun. Pria di dekat Demian lantas berdiri kemudian menepuk bahunya singkat. "Pak?" Demian tergegau. Setelah sadar ia menangis, tangannya segera menyeka kedua mata yang telah basah itu. "Oh, maaf," ujarnya merasa bersalah. "Anda tidak apa-apa, Pak?" "Apakah rapat bisa dilanjutkan?" Satu per satu suara muncul dari kursi yang mengelilinginya. Beberapa saling berbisik karena sikap Demian hari ini sangat aneh. Dari mereka juga ada yang mencuri pandang ke arah Shada, menebak apa yang telah wanita i
Sontak Shada mengurai pelukannya. Ia memegang kedua bahu Demian dengan mengernyit kebingungan."Kau bicara apa, Demian?" Shada mengamati wajah Demian yang sayu. Seketika Shada panik dan mengulurkan salah satu tangannya demi menyentuh dahi pria tersebut."Apa kau sakit?" tanyanya khawatir.Demian memandang Shada dengan tatapan nanar. "Jangan tinggalkan aku, Shada. Kau boleh bersama pria itu jika aku sudah menghilang dari muka bumi.""Apa maksudmu, Demian?" Shada menautkan kedua alisnya."Aku melihatmu bersama manusia," ungkap Demian skeptis.Shada menggeleng tak mengerti. "Sebentar. Apa kau bisa langsung menjelaskannya padaku?""Shada, kau tahu aku bisa melihat masa depanmu kan. Tadi sewaktu rapat aku lihat kau hidup bahagia bersama seorang pria. Siapa itu?" kejar Demian. Bahkan netra warna bronze itu semakin berubah kelabu dan ikut memburu jawaban Shada.Shada mengerjap, lantas menggeleng lagi. Ia sempat memutar otaknya. Namun, nihil. Tidak ada seorang pun manusia yang spesial di hidu
Tonny yang berada di tempat lain menoleh ke arah pemuda yang mengenakan jaket kulit hitam berkerah tinggi di sampingnya. Kesepuluh jemari pria itu terlihat sibuk menekan satu per satu keyboard. Pun wajahnya yang tampak serius."Bagaimana? Apa kau mau dibayar tiga kali lipat?" tanya Tonny kepada pria itu. Ponsel yang ada di genggamannya sengaja ia jauhkan dari mulut.Lama menunggu hingga pria tersebut berhenti mengetik dan menatap layar laptop di depannya yang sedang mengunduh beberapa file sekaligus."Berhasil," desisnya kemudian sambil menyeringai. Pria itu mendongak, menatap langsung ke kedua mata Tonny dengan tampang keyakinan dan penuh ambisi."Serahkan semua padaku," jawabnya tegas.Tonny mengangguk samar. Ia merapatkan lagi ponselnya ke telinga seperti sedia kala."Hacker ini sudah menerima permintaan kita, Tuan."Max menyunggingkan senyum kemenangan sesudah mendengar konfirmasi dari Tonny. "Bagus! Kapan aku bisa mendapat informasi itu?"Tanpa ditanya, pemuda di sisi Tonny menja
Shada mengernyit heran terhadap kekakuan pada nada bicara Malta. Tangannya lekas mengembalikan gelas tadi ke tempatnya, kemudian mencoba menelisik raut muka Malta yang tampak serius."Are you okay, Mom?" Shada lalu mengedikkan bahu sambil memutar bola mata. "And should I stay away from him? Kenapa aku harus menjauhinya? Apa yang tiba-tiba membuat Mom jadi begini?"Malta memandang rotinya sekilas lantas segera membuangnya ke tempat sampah. Bahkan roti di depannya sudah tak menarik lagi baginya. Setelahnya, Malta justru bergerak panik."Ayo, cepat keluar dari sini!"Dari nada bicaranya, Shada menangkap ada getaran di sana. Shada hanya ternganga atas sikap ibunya tiba-tiba."Oh, come on!" Shada frustasi dan menghentikan gerakan Malta dengan mencengkeram kedua bahunya. "What happened? Kenapa aku harus menjauh dari Demian, Mom? Katakan!"Malta menggigit bibirnya. Ternyata air mata Malta sudah meleleh. Wanita itu sekarang menggelengkan kepala sambil menangkup kedua pipi Shada dengan tangan.
Taksi yang melaju mulus menyusuri jalan lumayan kecil akhirnya berhenti. Jennifer menghela napas satu kali, lalu membuka pintu taksi dan turun. Setelah kakinya menjejal aspal yang terasa asing, tiba-tiba tubuhnya menegang.Harus ia akui, ia sangat gugup. Berjumpa dengan seseorang yang selama puluhan tahun tidak pernah bertemu memang akan membuat sekujur badanmu kaku.Sejujurnya untuk mencapai tempat ini, hanya dibutuhkan waktu dua puluh menit dari pusat kota. Namun karena tempat tinggal Jennifer sekarang berbeda, ia harus menempuh selama hampir satu jam untuk kemari.Tangan kanan Jennifer meremas secarik kertas yang berisikan sebuah alamat. Tak salah lagi, pasti ini rumahnya. Batin Jennifer.Sebelum masuk ia mengamati suasana hening dari luarnya. Rumah dengan lebar hanya 4,5 meter, namun tinggi. Jennifer bisa menebak bahwa rumah di depannya sekarang memiliki dua lantai. Terlalu besar jika dihuni untuk satu orang saja.Jennifer memberanikan diri untuk melangkah. Meskipun antara kegugup
"Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga
"Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te
Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan
Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan
Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj
"Kenapa kau ada di sini?!" Ruth menggeser tubuh menjauh, meski sekarang kedua kakinya hanya menapak pada lonjor besi yang melintang di pembatas balkon. Matanya melotot tak percaya."Sudah kubilang kan, aku mencintaimu." Ada getaran di suara pria tersebut.Buru-buru Ruth menggelengkan kepala. "Tidak! Tidak mungkin! Sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya! Menjauhlah dariku!"Leo yang ada di hadapannya justru mendesah berat. Ia menunduk singkat dan memperbaiki posisi kacamata, lantas mendongak menatap Ruth demi meyakinkan wanita itu."Lalu kenapa kalau kau vampir? Aku bahkan tidak peduli," lirihnya kemudian."Kau harusnya peduli! Aku tidak mungkin bisa bersama manusia, apalagi kau!" balas Ruth agak histeris. Maklum, ia masih terpukul dan terlewat sedih."Tidak. Kau juga belum mengenal baik aku. Mari kita hidup bersama, Ruth." Mula-mula Leo mengulurkan tangannya kepada Ruth.Ruth mengerjapkan kedua matanya cepat. Napasnya tiba-tiba sesak dan berat. Tidak, tidak mungkin semudah ini.
Max berjalan cepat menuju kantin. Lebih tepatnya ia sedang mencari seseorang di sana. Barusan ia mendatangi Leo di ruangan pria tersebut, namun hasilnya nihil. Max tak mendapati Leo.Setelah beberapa karyawan memberitahu jika Leo pergi bersama Ruth, amarah Max tersulut begitu saja. Ia yang tadinya fokus mencari Leo jadi terganggu setelah mendengar nama Ruth masuk ke dalam gendang telinganya. Kenyataan bahwa Ruth menghalangi rencananya dengan mengambil CCTV, apalagi wanita itu bukan manusia. Melainkan sosok monster seperti Demian yang paling ia benci.Sesudah kedua mata birunya berhasil menangkap orang yang ia cari, maka Max bertekad kuat melangkah menghampiri mereka.Lalu tiba-tiba netranya terganggu dengan adegan Ruth yang mencium sebelah pipi Leo. Langkah Max sempat terhenti karena terkejut.Apa mereka memiliki hubungan khusus? Batinnya bertanya-tanya.Max semakin mengeratkan kepalan tangan di sisi tubuhnya. Selama ini kinerja Leo baik dan ia sangat menyukai pekerjaan pegawainya itu
Shada mendongak, lalu berusaha menahan sikap ibunya tersebut. "Aku rasa apa yang dikatakan Demian pasti ada benarnya.""Mari kita dengarkan penjelasan Demian sampai akhir," imbuhnya sambil terisak.Malta sedikit mendengus kesal. Perkataannya dipotong seenaknya oleh anaknya sendiri. Shada dan Malta kemudian menatap Demian lagi. Memberi kesempatan pada pria itu untuk melanjutkan ceritanya.Sejenak Demian menyelisik mimik wajah dua wanita di hadapannya. Ia sedang mencari tahu apakah Shada dan Malta bisa percaya padanya."Aku dan nenek sempat mengalami perdebatan panjang. Aku menolak, sementara nenek bersikukuh dan selalu membujukku. Apalagi waktu itu aku adalah vampir baru, jadi butuh niat serta keyakinan yang kuat untuk menolaknya. Meskipun secara batin dan mental sangat menyiksa."Demian menggeleng, lantas meraup oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar. Kedua matanya sudah panas akibat air mata yang mendesak keluar lagi."Kemudian, tiba-tiba hatiku merasa iba melihat kesakitan yang ter
Demian melangkah mendekat. Dengan tatapan nanar, ia memandang Shada melalui kaca jendela dengan sedih."Shada, aku mau bicara," ucapnya.Meskipun keduanya sama-sama tak bisa mendengar dengan jelas akibat terhalang oleh kaca jendela yang membuatnya kedap suara, tetapi baik Shada maupun Demian dapat mengerti melalui membaca gerak mulut mereka masing-masing.Shada menggeleng kuat-kuat. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tak mau bertemu dengan si pembunuh neneknya. Shada masih kecewa dengan sikap Demian yang tidak terus terang kepadanya. Apalagi, pikirannya mengatakan bahwa Demian selama ini mendekatinya hanya karena rasa bersalah yang dipikul oleh pria itu.Padahal teh chamomile buatan Ruth telah sukses membuatnya lebih rileks. Namun, suara serta kemunculan Demian kembali membuat sekujur tubuhnya kaku dan membeku."Shada, please… kumohon. Sepertinya ada yang salah. Kenapa kau pergi dariku?" paparnya memelas.Shada hanya membisu, menggeleng dan menatap tajam ke arah Demian. Setelahnya wa