Demian menarik kerah pria tersebut dengan kejam, lantas meminum darah dari lehernya hingga terkulai lemas.Ia kemudian melepas korbannya dan menyeka bibir. Ia merasakan begitu segar, lama sekali dirinya tidak mencicipi kenikmatan ini."Maaf, aku terpaksa. Aku juga harus punya barang bukti darimu," gumam Demian singkat.Tangannya meraih sebuah benda persegi panjang dari dalam mobil, lantas menggiring kakinya cepat menjauh dari sana.____________Sebuah mobil berhenti di sebuah mansion besar nan mewah. Sebelum turun, Shada dan yang lainnya mengerjap tak percaya."Apartemen apanya! Ini kan mansion," celetuk Ruth menyampaikan apa yang ada di dalam pikiran Shada maupun ibunya.Ruth dan Malta akhirnya turun membawa tas dan koper masing-masing. Keduanya memandangi bangunan besar di depannya dengan takjub. Sedangkan Shada masih tertinggal di dalam mobil."Terima kasih sudah mengantar kami." Shada tersenyum kepada pria yang mengaku sebagai teman Demian. Tangannya sibuk menyiapkan barang-barang
"Mom!" Shada berteriak lalu berlari menghampiri ibunya.Sontak Demian dan Ruth ikut berdiri dan berderap cepat menuju Malta. Kemampuan kecepatan Demian dan Ruth di atas rata-rata sehingga mereka mencapai Malta secara bersamaan.Demian berhasil menangkap tubuh Malta yang terkulai lemas. Sementara Shada dengan panik menggoyangkan tubuh ibunya."Mom, bangun, Mom!""Kita bawa saja ke kamar!" cetus Ruth.Demian segera menggendong Malta kemudian menggiring kakinya melewati belasan anak tangga. Diikuti oleh Shada dan Ruth yang setengah berlari di belakangnya."Bagaimana ini? Apa perlu kita panggilkan dokter?" Demian menyahut setelah membaringkan Malta.Shada menggeleng. Kedua matanya memperhatikan ibunya itu. "Kurasa tidak perlu. Mungkin ibuku hanya terlalu shock mendengar bahwa Max yang berada di balik semua ini."Demian dan Ruth terdiam, seperti berkutat pada pikiran masing-masing. Shada menghela napas panjang."Ya sudah, ayo kita lanjutkan bahasan yang tadi," ajaknya. Shada langsung duduk
"Sudah jelas kan? Dari awal kalian tidak memberitahuku tentang hal penting itu!"Suara Robert di seberang teleponnya terdengar mengumpat.[Sialan! Aku merahasiakannya darimu agar kau tetap fokus kepada Shada tahu! Lagian siapa yang menyuruh kau bermain wanita!]Max mendengus. Tetap saja ia yang salah.[Sudah! Sudah terlambat! Sekarang tugasmu meyakinkan para investor kuat agar mau menanamkan modalnya di perusahaan kita!]Sebelum Max sempat menjawabnya, Robert sudah mematikan teleponnya terlebih dulu. Max menggeram, lantas membanting ponselnya hingga terbentur lantai keras dan terurai menjadi beberapa bagian sekaligus.Sementara itu di mansion, Shada, Demian, Ruth dan Malta tengah termenung dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi Malta terlihat sibuk dengan menelepon ke sana ke mari. Wanita itu berdiri kemudian berbicara dengan nada tinggi, nyaris berteriak saat di telepon. Setelahnya, ia duduk lemas sambil menopang kepalanya.Shada tercenung, tak percaya dengan apa yang didengarkan
Matahari tak terlalu kentara pagi ini. Awan putih pekat serta angin yang berhembus dingin lebih mendominasi. Shada bangun, memicingkan kedua mata tatkala memandangi jendela luas di hadapannya, lantas segera menyibakkan selimut.Ia berlari kecil mendekati jendela persegi panjang yang luas di ruang kamar mansion milik Demian. Kedua matanya melebar takjub. Pipinya bahkan sudah merona memandangi lanskap di luar.Tampak berjuta-juta kepingan salju putih turun dan melayang-layang di udara. Shada terpegun, hampir semua daratan telah tertutupi hamparan salju memutih.Shada berbinar, ini adalah salju pertama di bulan Desember. Hari yang sempurna untuk mengawalinya. Shada menjadi tidak sabar.Ia lalu teringat dengan pesan Demian semalam. Hari ini pria tersebut akan mengajaknya ke suatu tempat. Elli, orang pertama pun yang akan bersama dengannya di salju pertama ini.Hati Shada mendadak terlonjak. Elli dan salju adalah perpaduan yang sempurna.Namun seketika juga, ia mulai tersadar. Elli bukanla
Lengkap dengan jaket tebalnya, Shada mengembuskan napas hangat. Diam-diam ia mencuri pandang ke arah Demian yang menyetir di sebelah kirinya.Shada mengamati detail paras yang nyaris sempurna dari pria tersebut. Mata tajam bagai elang, hidung mancung, rahang tegas, juga bibir yang terbilang tipis dan ranum. Bahkan Shada baru sadar jika bulu mata Demian cukup lentik."Apa kau akan memandangiku seperti itu terus?" Demian menoleh ke arah Shada sekilas seraya mengembangkan senyum di bibirnya.Astaga! Shada tercekat lantas segera berpaling dari Demian. Kini kedua pipi Shada memerah akibat menahan malu. Ternyata Demian menyadarinya."Aku tidak melihatmu. Pemandangan di sebelahmu yang tadi aku perhatikan," elak Shada pelan.Demian setengah mati menahan agar tawanya tidak meledak. Sikap Shada terlalu imut baginya."Sabar, Tuan Putri. Sebentar lagi kita akan sampai di bandara."Shada mengernyit, lalu protes. "Sabar bagaimana?""Sambil menunggu pesawat nanti, kau bisa memandangi wajahku sepuasm
Darwin mengernyit. Tapi ia bisa menebak apa yang sedang terjadi. Dari tadi ia memang sudah mendengarkan pergerakan di belakang punggungnya.Di saat yang bersamaan dengan pelatuk yang mulai ditarik ke belakang, Darwin memutar serta memiringkan tubuh secara cepat.Peluru yang dilepaskan akhirnya meleset melewati bahu sisi kanan Darwin. Peluru itu justru melesat dan menembus dinding tebal di belakang Max.Sontak Max tercekat. Kurang sedikit lagi, peluru tersebut bisa saja merobek lengannya.Dengan tangkas Darwin menangkis tangan Tonny yang semula memegang pistol hingga senjata api itu jatuh ke lantai lagi.Darwin langsung melompat dan menghantamkan tendangan kakinya menyasar ke dada Tonny. Tonny terhuyung ke belakang serta membentur dinding dengan keras.Setelah menendang Tonny yang menjadi tumpuannya, Darwin pun melompat ke arah Max. Ia melesatkan tinjunya ke wajah Max hingga tubuh pria itu terpelanting ke kiri.Tak punya banyak waktu, Darwin segera menendang kuat pintu keluar hingga te
Shada mengerjap, lalu berkeliling menikmati alam di sekitar rumah neneknya yang dulu. Sambil merapatkan jaketnya, ia berjalan dan mengedarkan pandang ke arah pepohonan tinggi nan lebat di belakang rumah sederhana yang bergaya rustic tersebut.Cuaca di Sierra Madre memang sedang dingin saat ini. Tapi tak sampai bersalju, lebih tepatnya memang tak pernah tersentuh salju di sini. Walaupun suhu bisa mencapai titik terendah 0 derajat celcius, kenyataannya matahari cerah sepanjang tahun di wilayah yang termasuk negara bagian Amerika Serikat sebelah barat ini.Rumah itu, juga lingkungannya, tetaplah sama. Tidak ada yang berubah. Bahkan meskipun sudah ditinggal selama kurang lebih dua belas tahun yang lalu oleh penghuninya.Tampak bangunan rumah nenek Shada yang didominasi oleh kayu terlihat masih kokoh dan asri. Shada menghela napas dalam-dalam. Ia begitu merindukan suasana hangat di dalam rumah tersebut.Demian yang berada di belakang Shada mengamatinya. Ia kemudian maju dan memposisikan di
Shada rebah dengan pasrah ketika Demian mendorongnya ke atas kasur. Setelahnya, Demian merayap di atas tubuh Shada dan kembali melumat bibir ranum milik wanita tersebut. Memagutnya penuh kelembutan yang memabukkan, Shada memang menyukai bibir Demian. Saat pertama kali bermimpi Demian di kamarnya, Shada kemudian obsesi ingin memiliki ciuman pria tersebut untuk selamanya. Meskipun waktu itu tidak dibenarkan. Namun untuk yang sekarang, ia hanya ingin lebih menyelami kenikmatan tersebut. Ciuman Demian mengalirkan sengatan yang candu terhadap tubuh Shada. Hingga kedua tangan Shada memeluk tubuh Demian erat, mengusapnya lembut dari bahu ke punggung. Bibir Demian lantas menyusuri leher Shada. Sontak jiwa Shada menggelinjang, merasakan bagaimana sentuhan lembut bibir Demian, juga lidahnya yang membelai leher jenjang miliknya. "Hmm, tunggu, Demian." Shada menghentikan gerakan Demian. Kini pria tersebut menatapnya heran. "Kenapa, Shada? Kau tidak menikmatinya?" "Bukan. Hanya saja, apa kau
"Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga
"Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te
Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan
Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan
Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj
"Kenapa kau ada di sini?!" Ruth menggeser tubuh menjauh, meski sekarang kedua kakinya hanya menapak pada lonjor besi yang melintang di pembatas balkon. Matanya melotot tak percaya."Sudah kubilang kan, aku mencintaimu." Ada getaran di suara pria tersebut.Buru-buru Ruth menggelengkan kepala. "Tidak! Tidak mungkin! Sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya! Menjauhlah dariku!"Leo yang ada di hadapannya justru mendesah berat. Ia menunduk singkat dan memperbaiki posisi kacamata, lantas mendongak menatap Ruth demi meyakinkan wanita itu."Lalu kenapa kalau kau vampir? Aku bahkan tidak peduli," lirihnya kemudian."Kau harusnya peduli! Aku tidak mungkin bisa bersama manusia, apalagi kau!" balas Ruth agak histeris. Maklum, ia masih terpukul dan terlewat sedih."Tidak. Kau juga belum mengenal baik aku. Mari kita hidup bersama, Ruth." Mula-mula Leo mengulurkan tangannya kepada Ruth.Ruth mengerjapkan kedua matanya cepat. Napasnya tiba-tiba sesak dan berat. Tidak, tidak mungkin semudah ini.
Max berjalan cepat menuju kantin. Lebih tepatnya ia sedang mencari seseorang di sana. Barusan ia mendatangi Leo di ruangan pria tersebut, namun hasilnya nihil. Max tak mendapati Leo.Setelah beberapa karyawan memberitahu jika Leo pergi bersama Ruth, amarah Max tersulut begitu saja. Ia yang tadinya fokus mencari Leo jadi terganggu setelah mendengar nama Ruth masuk ke dalam gendang telinganya. Kenyataan bahwa Ruth menghalangi rencananya dengan mengambil CCTV, apalagi wanita itu bukan manusia. Melainkan sosok monster seperti Demian yang paling ia benci.Sesudah kedua mata birunya berhasil menangkap orang yang ia cari, maka Max bertekad kuat melangkah menghampiri mereka.Lalu tiba-tiba netranya terganggu dengan adegan Ruth yang mencium sebelah pipi Leo. Langkah Max sempat terhenti karena terkejut.Apa mereka memiliki hubungan khusus? Batinnya bertanya-tanya.Max semakin mengeratkan kepalan tangan di sisi tubuhnya. Selama ini kinerja Leo baik dan ia sangat menyukai pekerjaan pegawainya itu
Shada mendongak, lalu berusaha menahan sikap ibunya tersebut. "Aku rasa apa yang dikatakan Demian pasti ada benarnya.""Mari kita dengarkan penjelasan Demian sampai akhir," imbuhnya sambil terisak.Malta sedikit mendengus kesal. Perkataannya dipotong seenaknya oleh anaknya sendiri. Shada dan Malta kemudian menatap Demian lagi. Memberi kesempatan pada pria itu untuk melanjutkan ceritanya.Sejenak Demian menyelisik mimik wajah dua wanita di hadapannya. Ia sedang mencari tahu apakah Shada dan Malta bisa percaya padanya."Aku dan nenek sempat mengalami perdebatan panjang. Aku menolak, sementara nenek bersikukuh dan selalu membujukku. Apalagi waktu itu aku adalah vampir baru, jadi butuh niat serta keyakinan yang kuat untuk menolaknya. Meskipun secara batin dan mental sangat menyiksa."Demian menggeleng, lantas meraup oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar. Kedua matanya sudah panas akibat air mata yang mendesak keluar lagi."Kemudian, tiba-tiba hatiku merasa iba melihat kesakitan yang ter
Demian melangkah mendekat. Dengan tatapan nanar, ia memandang Shada melalui kaca jendela dengan sedih."Shada, aku mau bicara," ucapnya.Meskipun keduanya sama-sama tak bisa mendengar dengan jelas akibat terhalang oleh kaca jendela yang membuatnya kedap suara, tetapi baik Shada maupun Demian dapat mengerti melalui membaca gerak mulut mereka masing-masing.Shada menggeleng kuat-kuat. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tak mau bertemu dengan si pembunuh neneknya. Shada masih kecewa dengan sikap Demian yang tidak terus terang kepadanya. Apalagi, pikirannya mengatakan bahwa Demian selama ini mendekatinya hanya karena rasa bersalah yang dipikul oleh pria itu.Padahal teh chamomile buatan Ruth telah sukses membuatnya lebih rileks. Namun, suara serta kemunculan Demian kembali membuat sekujur tubuhnya kaku dan membeku."Shada, please… kumohon. Sepertinya ada yang salah. Kenapa kau pergi dariku?" paparnya memelas.Shada hanya membisu, menggeleng dan menatap tajam ke arah Demian. Setelahnya wa