Udara malam yang begitu dingin tergantikan oleh hangatnya cahaya matahari yang menyiram lembut salah satu wilayah administratif di Ontario, Kanada ini.Max mengerjapkan kedua mata lantaran sinar yang menelisik lewat jendela besar di ruangan tersebut. Ia mendongak lalu tampaklah Shada yang tersenyum ke arahnya."Akhirnya.. kau sudah bangun," ujar Shada santai kepada Max. Max membuang napas kasar, lantas menggerutu."Seharusnya aku yang berbicara seperti itu. Aku sangat mengkhawatirkanmu, tahu."Shada semakin tersenyum lebar tatkala melihat Max menekuk wajahnya. Ingin sekali ia mencubit bibir itu. Seperkian detik berikutnya ia sadar, kemudian mengernyitkan dahi."Lo, sudah jam berapa ini sekarang? Kau tidak berangkat kerja?" Shada menatap Max heran. Sementara Max meregangkan tubuhnya seraya menampilkan ekspresi santai."Tenang, hari ini aku akan menjagamu penuh. Jangan protes," sergah Max sebelum Shada sempat menolak dengan keras kepala.Shada mendengus. Ia jadi merasa merepotkan Max ka
"Shada kau kenapa?!" Demian mendongak melihat Shada yang sudah merah padam.Shada terdiam. Ia menggeretakkan giginya. "Kau yang kenapa! Jangan memaksaku melakukan hal tidak aku inginkan, aku sedang tidak nafsu makan buah!" elaknya membuang muka kembali.Demian tertegun. Sepertinya masa depan yang ia lihat beberapa waktu kemaren menjadi kenyataan."Begitu saja kau marah padaku. Apa beneran itu yang membuatmu marah?" Demian mengangkat tangan dan bahunya. Ia tidak ingin ribut di rumah sakit, tetapi situasinya sudah berbeda."Begitu saja?" pekik Shada mendelik setelah menghadap Demian. "Hah! Kau memang tidak pernah merasa bersalah! Kau sempurna!"Shada tertawa dan kesal di waktu yang sama. Tidak menyangka atas respon pria itu. Demian mengusap rambut gelapnya frustasi. Ia menghela napas kasar, berusaha mengendalikan emosinya."Shada, itu tidak masuk akal. Kau tiba-tiba marah padaku seperti ini. Apa yang terjadi?" Demian bingung. Ia mengamati Shada demi mengetahui isi pikirannya. Namun sia-s
"Shada!" teriak seseorang setelah mendorong pintu lantas menatap kondisi Shada terkini.Nampan yang terbalik, mangkok serta beberapa wadah yang terlihat retak karena terbuat dari keramik poles putih murni. Di lantai berceceran potongan buah yang menempel warna merah sampai kekuningan.Terdapat juga air bening yang telah bercampur warna dengan sari buah yang menggenang. Diduga itu adalah air minum yang belum sempat tersentuh Shada sama sekali. Bekas makanan seperti bubur juga ikut menodai ubin rumah sakit kala itu.Tak hanya itu saja, bahkan keadaan brankar Shada pun ikut berantakan. Tak terkecuali paras cantik Shada yang terlihat sembap, semrawut dan kusut."Shada! Ya ampun! Apa yang terjadi padamu?" pekik Ruth. Ia segera berlari menuju Shada setelah menutup pintu.Wajah Shada sedang memerah. Kedua matanya masih menyisakan air mata di pelupuk. Bahkan kini semakin berkaca-kaca ketika melihat Ruth kemari.Tak menjawab apapun dari pertanyaan Ruth, tangis Shada tumpah lagi. Sontak Ruth la
"Apa? Kau mau tinggal di sini?"Ellene bertolak pinggang di tengah posisinya yang masih berdiri menghadap Demian yang tidur di sofa dengan santai. Pria tersebut sedang membaca buku tentang sinergi bisnis yang tebal. Sementara Ellene menatapnya tak percaya.Di sisi sebelah kiri Ellene juga berdiri Mike yang mengunyah giat chicken cone yang berada di tangannya. Terlihat saus yang menempel di sudut bibir Mike.Demian mendengus. Ia menutup bukunya kemudian menengok ke atas, ke arah Ellene tanpa mengubah posisi rebahnya."Kau keberatan, Mom?" tanyanya dengan tatapan dingin.Ellene memutar mata lalu mulai menurunkan pelan kedua tangannya. Setelah itu mendadak ekspresinya berubah menjadi kegirangan. Ellene mendekat lantas menekan kedua pipi Demian menggunakan tangannya."Oh.. tentu tidak, Anakku. Kau bisa sepuasnya tidur di sini. Ini rumahmu!" pekik Ellene dengan tawa yang bersamaan. Wajahnya gemas saat mencubiti Demian.Demian mengerang, sedikit menggelinjang karena memberontak kemudian seg
Ini masih dini hari, tetapi sudah ada ketukan sepasang sepatu berjalan pelan menyusuri lorong rumah sakit yang terang temaram. Beberapa tanda kehidupan masih terdeteksi. Suara samar dari ruang lain juga masih terdengar. Sedang ruangan lain hening, menunjukkan penghuni di dalamnya sudah terlelap berselancar di alam mimpi.Suara sepasang sepatu itu berhenti tepat di depan pintu ruang Shada. Terdiam sejenak karena memastikan penghuni kamar sudah tertidur. Setelah yakin, tangan tersebut meraih knop pintu lantas memutarnya perlahan.Ceklek!Pintu berhasil terbuka. Kedua mata cokelat lantas mengamati Shada yang terlihat tidur dan sama sekali tak bergerak. Ia mengulum senyumnya. Kedua kakinya hendak melangkah ketika seorang wanita paruh baya memergokinya."Maaf, Anda siapa?" Kerutan di dahi wanita tua tersebut semakin jelas.Jennifer gelagapan kemudian segera menoleh ke arah sumber suara. Ia tampak cukup terkejut dengan kehadiran si wanita paruh baya yang menguarkan wibawa seorang ibu. Bukan
"Apa Ibu tahu kalau Max yang membayarkan tagihan rumah sakitnya?" tanya Shada kepada Louis.Louis tampak kebingungan juga. Lantas menggeleng cepat. "Aduh, saya tidak tahu, Nona. Tuan Max tidak bilang apa-apa ke saya."Shada menghela napas. Tentu saja Louis tidak tahu tentang urusan bayar-membayar. Louis hanya ditugaskan Max untuk menjaga serta menemaninya.Shada kemudian memilih untuk tak ambil pusing lantas mengambil beberapa dokumen itu. "Thanks," ucap Shada sembari menggiring kakinya pergi.Shada dan Louis duduk di kursi tunggu bagian depan. Shada sibuk mengotak-atik ponselnya demi memesan taksi langganannya."Biar saya temani sampai di rumah ya, Nona," papar Louis di tengah waktu mereka menunggu.Shada menggeleng pelan. "Tidak perlu, Louis. Tugasmu sudah selesai. Sampaikan ucapan terima kasihku saja kepada Max. Ini sudah aku pesankan dua taksi sekaligus." Shada melemparkan senyumnya lebar. Sementara Louis mendesah dengan berat hati.Tak berapa lama dua taksi yang dipesan datang sec
Ruth beberapa kali menggoyangkan tubuh Shada dengan keras."Shada! Shada! Bangun!" Wajah Ruth memucat, sangat panik.Shada akhirnya mengerjap cepat lalu melihat Ruth dengan wajah khawatir di sampingnya. Shada mengernyit kemudian meregangkan tubuhnya."Kau kenapa?" tanya Shada tak berdosa. Ruth mengembuskan napas lega, sekaligus kesal."Kenapa kau bilang?! Seharusnya aku yang tanya, kenapa tidurmu seperti babi?" ejek Ruth dengan nada ketus.Shada mendengus. "Harusnya kau kasihan padaku. Ranjang rumah sakit sama sekali tidak nyaman," keluh Shada. Tiba-tiba ia mengingat sesuatu, lantas berjingkat dari posisinya."Eh, Ruth! Aku lupa. Mobilku!" Kepanikan tergurat jelas di wajahnya. Ia menepuk dahinya yang masih diperban.Ruth bersedekap sambil menggelengkan kepala. "Cih, ternyata setelah sakit kau semakin parah," ujarnya santai.Shada hendak berdiri dan melangkahkan kaki, membuat Ruth segera mencegahnya. "Kau mau kemana? Mobilmu sudah diparkir di bawah sana. Pihak bengkel mengantarnya sebe
"Okay. Aku akan menginap di rumahmu untuk beberapa hari. Tapi..""Tapi?" Shada mengernyit, menunggu kelanjutan Ruth agar menyelesaikan kalimatnya."Tapi besok pagi, temani aku ke suatu tempat. Aku ingin bertemu teman lama."Shada terpaku. Kenapa Ruth tidak terus terang saja mengatakan dimana dan untuk menemui siapa. Ah, Shada tahu. Ruth pasti terlalu malu mengakuinya di awal.Shada kemudian memasang wajah menggodanya. "Oh.. aku mengerti apa yang kau maksud. Siapa orang spesial itu, huh?"Kedua alis Shada naik-turun cepat secara bersamaan. Ruth menekuk wajahnya kesal."Apa maksudmu?" sosor Ruth curiga.Shada mencondongkan tubuh, mendekat lantas berbisik tepat di telinga Ruth. "Apa ada pria spesial selain Leo?"Shada beringsut ke tempat semula sembari tertawa pelan. Ruth langsung membulatkan matanya lebar-lebar. "Hei, dasar! Kurang aja-"Ruth hendak protes. Namun bertepatan dengan itu, ponsel Shada berbunyi nyaring. Shada memutar tubuhnya, mencari-cari sumber suara yang berasal dari ben
"Aku akan menamakannya Zendaya," ungkap Jennifer sembari memandangi bayi perempuan mungil bermata biru di rengkuhannya. "Zendaya yang berarti bersyukur. Aku sangat bersyukur punya kau, Sayang." Jennifer mencolek puncak hidung kecil sang bayi yang kemudian tertawa. Ariana yang berada di samping Jennifer hanya menghela napas. Hatinya agak nyeri mendapati bayi itu lebih mirip dengan si ayah. Apalagi kenyataan bahwa bayi itu lahir tanpa dampingan sosok ayah. Karena tak ada respon dari bibir Ariana lantas membuat Jennifer mendongak. Senyum di bibirnya hilang seketika tatkala mengerti arti guratan di wajah ibunya. Bagaimanapun, Jennifer berusaha tegar juga selama ini. Terutama saat mendengar berita tentang kematian Max tepat satu tahun yang lalu. "Pokoknya, aku akan menamainya Zendaya, Mom. Zendaya Painter," putusnya kemudian. "White," celetuk tiba-tiba sosok pria yang berderap masuk. "Kau harus memakai nama belakang White mulai sekarang." Baik Jennifer maupun Ariana sama-sama mendonga
"Apa yang terjadi?" Darwin berlari membantu memapah tubuh Demian.Begitu juga Ellene, Shada dan Ruth yang akhirnya mendekat. Mimik mereka tampak khawatir."Kita harus segera merawat Demian sebelum keadaannya semakin parah," cetus Ellene."Apa maksudmu?" Darwin mengerutkan keningnya."Darwin terkena virus manusia setengah vampir di tangannya." Ada kegugupan di dalam suaranya.Sontak wajah Darwin menegang. "Kenapa kau tidak bilang dari tadi?!" bentaknya dengan nada tinggi. "Kita bawa ke ruanganku sekarang juga! Ellene tolong segera siapkan ruanganku."Ellene meneguk ludah, kemudian buru-buru berlari mendahului langkah Darwin dan Mike. Shada dan Ruth saling bertukar pandang sekilas, lantas ikut menggiring kaki cepat mengikuti jejak mereka.Ruth lekas mengusap air mata yang sempat menggenang tadi. Sementara kecemasan melingkupi seluruh pikiran Shada saat ini.Sebenarnya apa efek yang ditimbulkan dari virus Leo terhadap tubuh Demian?Tatkala isi kepala Shada sibuk mempertanyakannya, tak te
Tonny melangkah turun, lantas menutup pintu mobilnya. Ia melihat sekeliling sambil memasang kacamata hitam di kedua telinganya. Perumahan dengan gang sempit itu lumayan sepi. Biasanya ia menyaksikan satu atau dua anak kecil bersepeda di jalan di perumahan lain. Tetapi ia tak menemukan satu orang pun di sini.Lalu Tonny mulai menggiring kaki menuju suatu rumah yang telah didiktekan kemaren sore. Setelah menemukan rumah tersebut, ia memencet bel.Tak lama kemudian seorang pria muda dengan jaket berleher tinggi warna abu tua keluar. Rambut pria itu tampak tak rapi. Apalagi baju yang sedang dikenakan. Tonny hanya menelan pikirannya heran mengenai anak muda di depannya yang cukup berantakan dan sepertinya introvert. Tak seperti sebagian remaja yang bersenang-senang di usia mudanya.Tanpa basa-basi, pria muda tersebut langsung menyodorkan sebuah map cokelat. Mungkin ia kesal karena pandangan yang menginterogasi dari mata Tonny."Ini. Data yang kau butuhkan semua ada di sini," ucapnya dengan
Sosok yang ada di dalam ruang itu termangu sesaat, kemudian melepas sebuah seringaian yang menyebalkan. Sebelah tangan sisi kanannya langsung bergerak menyembunyikan sesuatu.Namun hal tersebut tak lepas dari pantauan kedua mata awas milik Demian. "Cepat jawab! Apa yang kau rencanakan di sini?!" murkanya.Demian marah memergoki orang lain yang bukan keluarganya masuk ke dalam ruang paling rahasia di rumah ini. Dan sadarlah ia bahwa orang itu pasti sengaja mendekati Ruth untuk tujuan hari ini. Sialnya, Demian tak bisa membaca apapun dari pria di hadapannya sekarang. Bagai sebuah kotak hitam yang tertutup rapat."Kau benar-benar akan mati di sini!" geram Demian tersulut emosi.Mula-mula Leo mengangkat kedua tangannya yang sudah kosong ke atas kepala. "Eitsss, santai dulu. Kita bisa bicarakan ini secara baik-baik, bukan?" Salah satu alisnya terangkat, membuat Demian semakin kesal."Langsung bicara intinya. Apa yang sudah kau curi dari ruang ini? Cepat kembalikan atau nyawamu akan melayan
Shada mengerjap cepat. Kedua matanya bergerak bingung dengan kehadiran Ruth di sana. Bukan hanya itu saja, Ruth juga membawa serta Leo di rumah keluarga Elliot.Bukannya Shada lupa jika Ruth juga merupakan anggota keluarga itu. Tetapi Ruth bahkan belum bercerita kalau wanita tersebut juga kemari.Tidak, Ruth tidak salah. Shada sendiri tidak cerita bahwa dirinya akan pergi ke rumah keluarga Elliot pagi ini.Dengan mulut yang masih ternganga, Shada menunjuk Ruth dan Leo secara bergantian. "Kalian…"Ruth tergelak, kemudian maju selangkah mendekati Shada yang masih mematung. Mula-mula ia melebarkan kedua tangannya riang."Ya, kami di sini! Hahaha, maaf telah mengejutkanmu, Shada!" kikik Ruth dengan mendaratkan sebuah tepukan di bahu Shada.Shada masih terpegun. Kemaren Ruth memang mengutarakan jika Leo dan wanita itu akhirnya resmi menjalin hubungan. Namun menyaksikan mereka berada di rumah Elliot pagi ini sangat mengejutkannya.Jangan bilang jika Ruth membawa Leo kemari karena akan melanj
"Kenapa kau ada di sini?!" Ruth menggeser tubuh menjauh, meski sekarang kedua kakinya hanya menapak pada lonjor besi yang melintang di pembatas balkon. Matanya melotot tak percaya."Sudah kubilang kan, aku mencintaimu." Ada getaran di suara pria tersebut.Buru-buru Ruth menggelengkan kepala. "Tidak! Tidak mungkin! Sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya! Menjauhlah dariku!"Leo yang ada di hadapannya justru mendesah berat. Ia menunduk singkat dan memperbaiki posisi kacamata, lantas mendongak menatap Ruth demi meyakinkan wanita itu."Lalu kenapa kalau kau vampir? Aku bahkan tidak peduli," lirihnya kemudian."Kau harusnya peduli! Aku tidak mungkin bisa bersama manusia, apalagi kau!" balas Ruth agak histeris. Maklum, ia masih terpukul dan terlewat sedih."Tidak. Kau juga belum mengenal baik aku. Mari kita hidup bersama, Ruth." Mula-mula Leo mengulurkan tangannya kepada Ruth.Ruth mengerjapkan kedua matanya cepat. Napasnya tiba-tiba sesak dan berat. Tidak, tidak mungkin semudah ini.
Max berjalan cepat menuju kantin. Lebih tepatnya ia sedang mencari seseorang di sana. Barusan ia mendatangi Leo di ruangan pria tersebut, namun hasilnya nihil. Max tak mendapati Leo.Setelah beberapa karyawan memberitahu jika Leo pergi bersama Ruth, amarah Max tersulut begitu saja. Ia yang tadinya fokus mencari Leo jadi terganggu setelah mendengar nama Ruth masuk ke dalam gendang telinganya. Kenyataan bahwa Ruth menghalangi rencananya dengan mengambil CCTV, apalagi wanita itu bukan manusia. Melainkan sosok monster seperti Demian yang paling ia benci.Sesudah kedua mata birunya berhasil menangkap orang yang ia cari, maka Max bertekad kuat melangkah menghampiri mereka.Lalu tiba-tiba netranya terganggu dengan adegan Ruth yang mencium sebelah pipi Leo. Langkah Max sempat terhenti karena terkejut.Apa mereka memiliki hubungan khusus? Batinnya bertanya-tanya.Max semakin mengeratkan kepalan tangan di sisi tubuhnya. Selama ini kinerja Leo baik dan ia sangat menyukai pekerjaan pegawainya itu
Shada mendongak, lalu berusaha menahan sikap ibunya tersebut. "Aku rasa apa yang dikatakan Demian pasti ada benarnya.""Mari kita dengarkan penjelasan Demian sampai akhir," imbuhnya sambil terisak.Malta sedikit mendengus kesal. Perkataannya dipotong seenaknya oleh anaknya sendiri. Shada dan Malta kemudian menatap Demian lagi. Memberi kesempatan pada pria itu untuk melanjutkan ceritanya.Sejenak Demian menyelisik mimik wajah dua wanita di hadapannya. Ia sedang mencari tahu apakah Shada dan Malta bisa percaya padanya."Aku dan nenek sempat mengalami perdebatan panjang. Aku menolak, sementara nenek bersikukuh dan selalu membujukku. Apalagi waktu itu aku adalah vampir baru, jadi butuh niat serta keyakinan yang kuat untuk menolaknya. Meskipun secara batin dan mental sangat menyiksa."Demian menggeleng, lantas meraup oksigen sebanyak-banyaknya dari sekitar. Kedua matanya sudah panas akibat air mata yang mendesak keluar lagi."Kemudian, tiba-tiba hatiku merasa iba melihat kesakitan yang ter
Demian melangkah mendekat. Dengan tatapan nanar, ia memandang Shada melalui kaca jendela dengan sedih."Shada, aku mau bicara," ucapnya.Meskipun keduanya sama-sama tak bisa mendengar dengan jelas akibat terhalang oleh kaca jendela yang membuatnya kedap suara, tetapi baik Shada maupun Demian dapat mengerti melalui membaca gerak mulut mereka masing-masing.Shada menggeleng kuat-kuat. Ia meyakinkan diri sendiri bahwa ia tak mau bertemu dengan si pembunuh neneknya. Shada masih kecewa dengan sikap Demian yang tidak terus terang kepadanya. Apalagi, pikirannya mengatakan bahwa Demian selama ini mendekatinya hanya karena rasa bersalah yang dipikul oleh pria itu.Padahal teh chamomile buatan Ruth telah sukses membuatnya lebih rileks. Namun, suara serta kemunculan Demian kembali membuat sekujur tubuhnya kaku dan membeku."Shada, please… kumohon. Sepertinya ada yang salah. Kenapa kau pergi dariku?" paparnya memelas.Shada hanya membisu, menggeleng dan menatap tajam ke arah Demian. Setelahnya wa