Putri nyaris mengiyakan sebelum dia ingat situasi gaun-gaun yang tersisa dalam wardrobe. "Maaf Kak, saya bisa pakai gaun sendiri?" ujarnya lirih.
"Memangnya kamu punya?"Rasa skeptis ini bukan tanpa alasan. Banyak artis muda yang terjun ke dunia hiburan dengan modal dengkul, terlebih mereka yang berasal dari keluarga pas-pasan."Ada Kak, saya simpan di loker.""Hmm, coba ambil biar saya cek dulu."Setelah memberi instruksi, Mira menyibukkan diri dengan asistennya. Selain harus mengurus keperluan Putri, mereka juga mesti menolong Davinka dan salah satu artis senior lain yang juga dibawah manajemen Mira. Karenanya, Putri benar-benar tak bisa mengharapkan perhatian ekstra.Selang beberapa menit, Putri kembali dan meletakkan kotak besar itu di depan Mira. "Ini perlengkapan yang saya bawa, Kak. Silakan diperiksa dulu."Sikap acuh tak acuh sang manajer langsung berubah tatkala melihat semua perlengkapan yang ada di dalam.Nasihat serius Mira jadi penutup episode hidup Putri sore itu. Malamnya, dia bersama rombongan dari Arda Pictures bergerak menuju venue acara yang merupakan gedung pertemuan milik keluarga Angkasa, Premiere Hall. Acara malam ini merupakan surganya insan perfilman. Sejak di pintu masuk, sudah banyak wartawan mengabadikan momen bersejarah para aktris maupun aktor yang wajahnya kerap menghiasi layar kaca. "Harap tampil dengan anggun dan berkelas. Kalau tidak jago berpose, setidaknya buatlah pose standar red carpet untuk sesi pemotretan sebelum masuk." Mira mewanti-wanti pada artis muda asuhannya. Pose standar yang dimaksud tentu saja gaya berfoto para aktris. Berkacak pinggang dengan satu tangan sementara tangan yang lain memegang clutch bag atau diletakkan dengan anggun di bagian depan paha.Jika Putri dan rekan seangkatannya mendapat arahan, artis senior macam Dewi Amor sudah melenggang masuk lebih dulu. Hamparan red carpet yang memben
Putri mengerling ke arah Davinka. Ketika rekan satu agensinya ini sedang dalam mode 'malaikat' dia jadi agak risih. "Iya, Kakak benar. Beliau memang luar biasa," sahut Putri demi ikut antusiasme rekannya. Setelah kemeriahan akibat kemenangan Dewi berakhir, mereka kembali mengikuti rangkaian acara hingga tiba saatnya nominasi untuk web series. "Pemeran utama wanita terbaik untuk kategori web series adalah... ."Kedua pemandu acara saling tatap dengan gaya dramatis, seolah hasil kemenangan punya hubungan dengan hidup-mati mereka. Sementara itu, layar raksasa tadi kembali menampilkan sederet nama beserta web series yang mereka bintangi. Hati Putri melonjak ketika Marion tampil sebagai salah satu nomine. Pada kategori film layar lebar, nama Marion juga masuk dalam daftar namun berhasil disingkirkan Dewi Amor. Sebab itu, kategori terakhir ini jadi penentu bagi pihak manajemen. Pasalnya, mereka bakal malu berat bila tak berhasil m
Putri langsung menoleh pada gadis di sisinya, bersiap memberi dukungan jika perlu.Di luar dugaan, Davinka malah menatapnya balik dengan raut bahagia memenuhi wajah. Tangannya bahkan sampai menutupi mulut, seolah nominasi yang didapatnya barusan adalah suatu pencapaian. Putri kehabisan kata-kata, terlebih saat melihat Davinka melangkah penuh percaya diri menuju panggung megah di depan sana. Rupanya, dunia ini dipenuhi bermacam-macam jenis manusia. "Terima kasih atas penghargaannya, saya harap ini bisa jadi motivasi yang baik buat kita semua untuk menegakkan kebenaran."Sontak gelak tawa memenuhi aula. Sebagian selebritis yang lebih berani sampai bersuit.Entah ini hanya gimmick atau mekanisme perlindungan diri, yang jelas Davinka sudah berhasil menorehkan cerita baru. Besok, pasti kata-katanya bakal jadi kutipan atau bahkan viral jadi meme. "Kamu tak perlu sedih, Putri. Besok-besok mungkin giliranmu yang dapat award,
"Putri gimana? Pulang sendiri atau diantar saja?"Mira, yang entah sejak kapan sudah berdiri di sisinya, berhasil menarik Putri dari angan semu. Sementara itu, Davinka yang sekejap tadi masih duduk di sisinya, sudah merangsek maju, mendekati Dirga. "Eh, kalau bisa diantar aja Kak. Saya belum punya kendaraan soalnya," Putri menyahu dengan senyum malu-malu. Mendapat tanggapan serupa itu, Mira segera meminta salah satu asistennya untuk mengantar selebritis asuhannnya. Niat Putri untuk berganti wardrobe sebelum pulang jadi urung lantaran banyaknya manusia yang antri di ruang ganti. Selain itu, selebritis yang mendapat prioritas tentu saja mereka yang populer dan senior."Kita pulang saja Kak," ujar Putri pada asisten Mira yang nampak tak sabar menunggu. Perjalanan ke rumah mereka lalui dalam diam. Selain karena sang asisten bukan tipe manusia yang suka bicara, Putri juga sedang tidak mood bercerita. Hatinya masih sibuk
Usai perbincangan dengan Heru malam itu, Putri makin sering berkomunikasi dengan sang komting, bahkan di sela kesibukan pagi ini, dia menyempatkan diri menjenguk ibunda Heru di rumah sakit. Wanita tua itu nampak tegar meski berbagai peralatan medis menempel di tubuhnya. Bahkan rambut yang kata Heru dulunya tebal hitam, kini tak lagi bersisa. "Kamu temannya Heru, Nak? Dia sering cerita soal kamu sama Ibu," wanita tua itu berucap lemah waktu hanya mereka berdua yang tinggal dalam kamar. "Iya, Bu. Dia koordinator tingkat di kelas kami."Putri menjelaskan singkat sebab takut terjadi salah paham. Tak mau ibunda Heru mengira dirinya punya hubungan khusus dengan sang anak. Bagaimanapun, dia merasa belum siap bersanding dengan laki-laki mapan saat ini. "Begitukah? Kalau dari cerita Heru, kalian sepertinya sangat dekat. Dia sungguh kagum ... sama kamu."Seolah belum cukup mengagetkan, ibunda Heru memegang telapak tangan Putri dan meng
Putri mengerjap sesaat sebelum menatap Heru. "Maksudnya Kak? Hmm... kami hanya ngobrol sebentar itu pun soal ringan-ringan saja.""Oh, kukira.... ."Usai memberi respon mengambang, Heru lanjut menatap jalanan di depan sedangkan Putri pun tak berani menelisik lebih jauh. Takut terjerat dalam perangkap yang dia buat sendiri. "Kak, kayaknya itu gedungnya," tunjuk Putri pada sebuah bangunan yang nampak megah diapit patung kuda dan air mancur di kiri- kanan. "Apa kamu yakin?" Heru memastikan. "Ya Kak, ciri-cirinya persis kayak yang dibilang temanku."Mendapat kepastian, Heru membuka pintu mobil dan langsung tancap gas usai berpamitan. Kepergian sang koordinator dengan sikap yang agak dingin menimbulkan berbagai tanya di benak Putri. Sangkaan yang paling kuat tentu saja menyangkut pembicaraannya dengan ibunda Heru tadi. Putri mendesah lelah sebab tak bisa memenuhi keinginan wanita baik itu. Bagaimanapun, di usia
Begitu pertemuan sudah ditutup, Putri buru-buru kabur bersama Claudia sebelum sempat mendengar ocehan Connie dan Windy. Pasalnya, sejak tadi kedua gadis itu memberi tatapan bermusuhan, terlebih waktu coach berkali-kali menegur kesalahan mereka. "Tumben kamu telat? Biasanya, si paling suka belajar," cetus Claudia waktu mereka sudah di luar"Ada urusan mendadak tadi, Kak. Kalau tidak mana mungkin aku berani telat."Claudia mencibir kecil lalu keduanya melanjutkan pembicaraan sambil menuruni tangga hingga tiba di lantai satu. Beriringan dengan kehadiran mereka, sebuah ruangan pun terbuka dan tampak beberapa bocah yang sepertinya masih duduk di bangku sekolah dasar keluar dari sana. "Eh, mereka buka les etika juga untuk anak-anak?" tanya Putri heran. "Tentu saja. Anak-anak kelas atas dididik sejak kecil hingga etika jadi tertanam dalam darah mereka. Makanya, bisa kamu lihat, kan? Tingkah para bocil itu udah mirip bangsa
"Akhirnya kamu datang? Kenapa lama sekali?" Merupakan sambutan yang terucap dari bibir David seketika Putri membuka pintu ruang kerjanya. "Maaf Pak, tadi saya lagi ikut pelatihan.""Benarkah? Silakan duduk, saya mau bicara sebentar."Meski agak gamang, Putri mengikuti perintah atasannya. David yang sekejap tadi menatapnya, kini malah fokus melihat selembar kertas yang tak dia ketahui apa isinya. Pada saat inilah, Putri bisa mengamati raut muka direkturnya dengan seksama. Entah apa sebabnya, dia kerap merasa David yang ini jauh berbeda dengan sosok yang pernah mampir ke kontrakannya. Pria muda yang dulu datang menawarkan lowongan kerja itu tampak ramah meski wajahnya kharismatik. Sedangkan yang duduk di depannya sekarang terlihat dingin dan menjaga jarak. 'Mungkin karena beliau atasanmu saat ini' batin Putri menghibur diri. Ada beberapa menit lamanya mereka berdua diliputi keheningan hingga David tiba-tiba
"Sebaiknya, si Putri jangan tinggal bersama kita."Duarr! Kata-kata ini seperti geledek yang menyambar di siang bolong bagi telinga gadis kecil yang tengah meringkuk ketakutan dalam kamar tidurnya. "Tapi Pa, dia masih kecil. SD saja belum tamat.""Dia kan sudah sepuluh tahun, harusnya sudah bisa mengurus diri sendiri."Gadis kecil itu mengusap air matanya yang jatuh berderai. Percakapan antara ibu dan ayah tirinya bagai godam yang memukul telinganya bertalu-talu. Sejak ibunya menikah lagi, dia sudah seperti orang asing di rumah sendiri. Padahal rumah yang mereka tempati ini, ibunya yang beli. Ayah dan kedua saudara tirinya yang menumpang tinggal. Tapi kenapa sekarang... "Lantas kemana Putri mesti pergi, Pa?"Suara ibunya terdengar sendu, meragu. Namun dia yakin satu hal. Sebentar lagi beliau bakal mengambil keputusan yang berpihak pada ayah tirinya. Sudah setahun belakangan, situasi mereka selalu b
Sementara itu Marion yang sudah lama menghilang dari sorotan kamera, kini sedang duduk berhadapan dengan seseorang di sebuah kafe kecil di bandara. Wanita yang duduk di depannya tak lain Marion Shelby, yang sekejap lagi akan terbang ke Amerika karena dideportasi akibat skandal penipuan saham yang dia lakukan bersama Aryo. "Mion, you shouldn't leave me here. Bring me along with you," pintanya untuk kesekian kali. "Mereka semua sudah membuangku... bahkan... bahkan perempuan jalang itu konon akan menikah dengan Arya, Mom."Wajah cantik Shelby menatap puterinya datar. "Why should I? Kamu tak akan bertahan di sana dengan sikap manja itu. That bitch has taught you so well," geramnya. Marion terkesima. Kata bitch pada kalimat ibunya jelas mengacu pada nyonya Mahendra. "Kenapa Mion bilang begitu? Beliau selalu baik dan memberi semua keinginanku.""Stupid lass. Gara-gara itulah kamu tumbuh jadi gadis manja dan sombong. Selalu merasa d
Besoknya, setelah pengumuman resmi kembalinya puteri yang hilang, Dewa langsung membawa Putri menuju perusahaan kosmetik milik keluarga Mahendra. "Kamu siap untuk tugas pertamamu?" selidiknya ketika mereka sudah mencapai ambang pintu. "Siap, Papa."Jawaban Putri yang mantap membuat Dewa tersenyum puas. Rasanya, semakin mengenal Putri, dia makin bangga. Meski lahir dan dibesarkan ditengah kaum jelata, puterinya bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Dewa tak tahu saja bila semua yang diraih Putri saat ini merupakan hasil kerja keras selama bertahun-tahun, termasuklah didalamnya pelatihan etika dan kepribadian. Ruang pertemuan sudah dihadiri semua petinggi perusahaan, hingga Putri yang tadinya sudah siap nyaris gugup. " .... untuk selanjutnya Putri Maharani akan menjabat sebagai presiden direktur yang baru dari Mayapada Beauty." Dewa Mahendra menutup sambutannya dan tepukan riuh langsung bergema memenuhi ruangan. Perbe
Satu minggu kemudian, keluarga Mahendra mengumumkan kembalinya puteri kandung mereka yang hilang. "... seperti yang kalian tahu selama ini kami mengadopsi Putri Marion dari mantan istri almarhum adikku, Marion Shelby. Sebabnya tak lain karena puteri kandung kami hilang akibat tipu muslihat yang keji ... waktu itu dia masih orok yang baru keluar dari rahim istriku. Gara-gara ini pula, istriku tak berani lagi mengandung. Kehilangan puteri bungsu membuatnya trauma. Siapa sangka, pertemuan tak disengaja akhirnya membuat kami bisa bertemu lagi ... ."Sambutan ini diucapkan dengan penuh haru bahkan sampai menitikkan air mata. Putri yang diminta berdiri di salah satu sudut tersembunyi hanya bisa menatap takjub kemampuan akting kedua manusia di depan sana. Puteri yang hilang katanya? Padahal untuk memaksa nyonya Mahendra agar mau mengangkat dirinya sebagai puteri yang hilang itu, Dewa harus memberi kompensasi. Deva akan tetap jadi satu-satunya pewaris
Walau suaranya terdengar mantap, sejujurnya Putri sangat hancur di dalam. Kalau bukan karena memaksa diri agar kuat, dia sudah pasti menangis detik ini. Dewa menarik nafas panjang dan menatap Putri serius, "sesudah itu apa? Kamu mau kembali hidup luntang-lantung sendirian? Jadi objek hinaan semua orang? Putri, aku tak akan membiarkan darah Mahendra diinjak-injak begitu saja."Putri tertawa sangat keras. Ya! Apa yang penting bagi Dewa bukanlah dirinya atau ibunya atau siapapun melainkan nama keluarganya, Mahendra. "Persetan dengan namamu! Aku bahkan jijik harus memiliki DNA-mu dalam tubuhku," sahutnya begitu tawa pahit itu usai. "Kalau begitu, manfaatkan aku. Kamu membenciku, kan? Kenapa harus membiarkan aku hidup tanpa beban setelah menghadirkanmu ke dunia?"Sekarang Putri makin bingung. Sejak tadi dirinya sudah bertindak sangat kurang ajar namun Dewa tidak murka sedikit pun. Dia justru memberikan persuasi yang masuk akal. La
"Kamu yakin mau pergi begitu saja, Putri?"Suara Claudia menarik Putri kembali ke dunia nyata. Sejak tadi dia memang masih gamang, tapi mau bagaimana lagi? Rasanya sudah terlalu lelah dengan semua masalahnya di sini. "Ya, Kak. Mungkin saja, suasana kampung bakal bikin hidupku lebih happy. Aku sudah muak dengan kekejaman ibu kota. Sepertinya, takdirku memang jadi orang desa," sahut Putri dengan seulas senyum getir di bibirnya. Claudia hanya bisa mendesah pasrah. Setelah memastikan semua bawaan Putri siap, dia pun memeluk wanita yang sudah dianggapnya seperti adik itu. "Jaga dirimu baik-baik, ya. Kamu orang baik, hidup tak akan selamanya kejam."Air mata Putri kembali menitik. Dengan rasa haru dia merangkul sahabatnya dan berpamitan. Sejurus kemudian, dia sudah duduk di dalam taksi menuju stasiun bus. Semalam, setelah melarikan diri dari Arya, Putri langsung menuju kontrakan Claudia. Usai menghabiskan waktu berpikir s
Akhirnya, hari yang mendebarkan itu pun tiba. Arya mengajak Putri bertandang ke kediaman utama keluarga Bharata yang terletak di bilangan elit ibu kota. Begitu mereka sudah di ambang pintu, nyonya Bharata beserta Andini menyambut mereka. "Wah, akhirnya bisa ketemu langsung dengan aktris tenar kita," nyonya Bharata berkata sambil menempelkan pipinya ke wajah Putri. Tak jauh berbeda, Andini juga menyambut ramah mantan mahasiswanya itu. Segera, setelah basa-basi singkat usai, nyonya Bharata langsung menghela mereka semua ke ruang makan. Kesan pertama yang didapat Putri soal nyonya Bharata adalah beliau pribadi yang hangat dan cerdas, persis puterinya, Andini. Sementara tuan Bharata sendiri adalah pengamat yang baik. Sejak tadi beliau tak banyak bicara, namun matanya kedapatan menyorot Putri beberapa kali. Bukan tatapan genit melainkan meneliti. "Jadi, bagaimana perasaanmu setelah memenangkan award di festival film Asia?" Andini yang dud
Kontan idenya ini ditolak Johan mentah-mentah. "Mengapa jadi begitu? Ada lima aktris yang akan audisi untuk peran ini dan kita harus menyaksikan kemampuan mereka berlima."Meski agak cemberut, pria muda itu akhirnya menuruti perkataan sang paman. Ketika Marion sudah selesai dengan aktingnya, Putri yang didaulat untuk maju. Berbeda dengan Marion, Putri memulai adegannya dengan merapikan rok dan seragam, lalu mengusap mata. Setelahnya, dia membuka pintu seolah di tangannya ada anak kunci, lalu menyapa seseorang yang dipanggilnya ibu. Setelah itu, dia membuka pintu yang lain dan berpura-pura menyalakan keran, lalu mengusap tubuhnya berulang-ulang. Matanya dipenuhi keputus-asaan namun tak bisa bercerita pada siapapun. Sebagai gantinya, dia cuma terisak sambil menutup mulut agar ibunya yang sedang duduk di luar ruangan, tidak mendengar apa-apa. Hebatnya, semua lakon Putri ini hanya bermodal imajinasi. Didepannya tak ada pintu, tak ada Ibu, tak ada a
Sesuai janjinya pada Arya mengenai konsep setara, Putri mulai berbenah. Untuk langkah awal, dia mendirikan perusahaan akuntan publik pertamanya, dan sebagai bentuk dukungan, Arya merelakan Arda Pictures sebagai klien pertama. Bila itu belum cukup, dia juga mempengaruhi rekan-rekannya agar mempercayakan laporan keuangan dan masalah perpajakan mereka ke perusahaan pacarnya. Hal ini membuat perusahaan milik Putri langsung mencicip laba di bulan pertama setelah launching. "Wah, ternyata ini enaknya punya kenalan orang dalam," gurau Putri ketika Arya tengah bertandang ke ruang kerjanya. "Itu sudah pasti. Silakan manfaatkan aku sesukamu, Sweetheart." Seperti biasa, Arya langsung menyahut dengan mulut manisnya. Putri mencibir dan tetap fokus menekuni laporan di atas mejanya. Sebagai perusahaan baru, dia belum berani mempercayakan masalah finansial sepenuhnya pada orang lain. "Putri, sekarang bagaimana? Kamu sudah merasa 'sejajar' belum sam