"Hei girl! seru Claudia yang baru keluar dari toilet sebelum matanya meneliti roman muka Putri lebih dekat. "Kutu busyet! Jelek betul wajahmu."
Putri yang masih sebal bercampur kaget tidak menanggapi ocehan sahabatnya. Dia malah duduk lemas pada salah satu kursi di ruang duduk."Hei, kamu kenapa, sih?" Claudia kembali mendesak seraya duduk di sisinya.Menghela nafas panjang, Putri menyahut, "maaf friend, belum bisa cerita sekarang. Pikiranku masih mumet."Sebab bingung menghadapi sahabatnya, Claudia hanya bisa pasrah. Tetapi dia tak kehabisan akal. Cepat-cepat dikeluarkannya coklat stik yang kerap jadi camilan anak-anak."Ehem." Dia berdehem lalu memulai atraksinya, menirukan gaya selebritis di layar kaca. "Mmmm, rasakan sensasi kehangatan yang memikat... kelezatan coklat berpadu nikmat dengan gurihnya susu... hmmm, kepuasan yang tiada tara... panjang, besar... ."Putri yang sejak tadi menahan diri untuk mengabaikan lelucon anNyaris dua jam berkendara, Putri masih memikirkan bunyi pesan Arya. Sebab bingung harus merespons apa, akhirnya dia membalas sekenanya. [Bukan urusanmu]Lalu mematikan ponsel, mencoba melupakan soal pria tengil yang masih mengusik pikirannya. Dia fokus memejamkan mata seperti yang dilakukan Claudia. Sayangnya, bayang-bayang Arya lebih kuat menarik, hingga kantuk tak kunjung menyapa. Setengah gusar, Putri kembali meraih gawai yang diletakkan sembarangan, lalu membukanya. Sesuai dugaan, pesan baru dari Arya kembali bertengger. [Akan jadi urusanku kalau kalian melakukannya tepat di depanku]Hah! Melakukannya? Melakukan apa? Putri nyaris mengerang. Ingin sekali memaki-maki Heru dan Arya pada saat bersamaan. Pria yang satu menyosor sembarangan sedang yang satu lagi memberi pernyataan ambigu. Dia tergoda bertanya pada Arya maksud dari pesannya, tapi takut pula bila jawabannya nanti soal ciuman yang memalukan itu.
Sore itu akhirnya berlalu tanpa insiden berarti, kecuali perintah aneh Soni yang meminta mereka berpakaian cantik untuk makan malam bersama. Meski agak risih, Putri tak punya pilihan selain menurut. Berlawanan dengan ekspektasinya, justru Claudia nampak senang. "Kamu tak sadar kalau Dirga dan yang lainnya juga bakal ikut?"Putri tersenyum masam. Pesona lawan mainnya itu memang tak diragukan lagi. Akan tetapi semenjak insiden tahun lalu, dimana Dirga membiarkannya dipermalukan Putri habis-habisan, bikin respeknya pada aktor muda itu menurun drastis. "Ya, dan Davinka juga di sini. Kamu tahu sendiri, dia sudah lama naksir Dirga," sahut Putri kalem. "Ah, kamu memang perusak pesta," ledek Claudia sebelum melanjutkan penuh arti, "lagipula aku tak takut dengan penyihir betina itu."Dan begitulah, malam pun tiba dan kedua puluh satu manusia dewasa berkumpul di halaman belakang rumah. Meja panjang diletakkan di tengah-tengah. Di atasn
"Kamu kemana aja semalam?" gerutu Claudia saat Putri kembali ke kamarnya keesokan hari. "Tidur sama kak Dewi, habis kalian lama betul tidur. Aku takut sendirian di kamar."Claudia menatapnya heran sebelum mengedik tak acuh. "Yah, kamu sih terlalu cupu. Masak jam sembilan udah tidur. Padahal kami semalam seru berpesta.""Pesta apa?""Biasa, anak muda kekinian. Nyanyi, barbeque, sambil minum-minum bir."Gerakan Putri yang sedang sibuk melipat selimut langsung berhenti. Dia mengamati raut wajah Claudia dengan seksama, namun tak menemukan sesuatu yang janggal. "Kenapa lihat aku kayak gitu? Dih, kayak nggak pernah lihat orang aja," protes Claudia"Nggak, kupikir kamu nggak minum alkohol."Sebelum Claudia merespon, tawa jahat Davinka langsung memenuhi kamar kecil itu. Setelah aktris muda ini puas memuntahkan kelucuan yang dia rasakan, ditatapnya Putri dengan ekspresi sinis. "Hari gini, aktris mana yang tid
Apa yang dia saksikan di dalam sana membuat darah Putri berdesir seketika. Seorang wanita muda yang tengah hamil, tampak diikat bagian kaki dan tangannya. Wajahnya kuyu dan letih. Selain rambut yang tak terurus, dasternya juga nampak robek di sana-sini. Sebab pencahayaan terlalu minim, muka wanita itu tak terlihat dengan jelas. 'Lari sekarang juga!'Putri ingin mengikuti kata hatinya tapi kakinya seperti tertancap ke tanah. Seolah ada yang menahannya untuk tetap berdiri di sana. Saat Putri tengah asyik mengamati, pintu kamar tiba-tiba berderit. Masuklah seorang pria dengan sebuah piring kaleng dan golok di tangannya. "Nah, makan. Jangan banyak tingkah atau perutmu itu bakal kuinjak lagi."Tangan Putri mengepal. Butuh pengendalian diri yang kuat agar tidak sampai menerjang dinding rumah dan menghantam laki-laki kejam tersebut. Sialnya, pada saat ini pula pria berwajah bengis itu menatap ke tempatnya berdiri hingga ma
Bab perselisihan antara Putri dan Claudia akhirnya ditutup dengan rangkulan erat dan janji persahabatan. Meski Putri tetap merasa ada yang janggal dengan sikap sahabatnya. Sebab tak ada waktu, akhirnya Putri membiarkan setiap pikiran yang masih mengganjal hatinya di belakang layar dan fokus dengan adegan yang sekejap lagi bakal dia lakoni. Sebab adegan kali ini tentang percakapan Yanti dan ibunya, maka pengambilan gambar dibuat dalam sebuah rumah reyot yang terletak tak jauh dari pantai. Berperan sebagai kedua adiknya adalah anak lokal yang usianya sekira sembilan dan dua belas tahun. Berhubung mereka sudah reading adegan semalam, dialog antara Dewi dan Putri berjalan lancar hingga akhirnya masuk adegan Yanti menangis pilu di dalam kamar. "Kenapa... ."Hanya itu dialog yang terucap dari bibir Putri, selebihnya dia hanya terbaring dengan tatapan menerawang dan air mata yang terus berlinang. Wajah Putri tampak cantik alami, ta
Serta-merta Putri menyalakan senter ponselnya, bersamaan dengan itu dia juga menekan tombol lain yang kelak bisa dipakai membela diri bila terjadi hal tak diinginkan. "Hai, pak Soni. Ada apa malam-malam ke toilet wanita?"Suara Putri begitu tenang padahal telapak tangannya sudah keringat dingin. Menurut pelajaran yang dia dapat waktu kelas kepribadian kemarin, seharusnya tetap tenang dalam situasi terdesak. Terlebih karena predator macam Soni lebih bernafsu bila mangsanya tampak ketakutan. "Hahaha...menarik! Anak ayam kecil itu tidak lagi mencicit."Seraya mengucapkan kalimat ini, Soni mendekat perlahan, mengitari Putri, dan mengendus-endus mirip anjing kelaparan. "Tidak usah bertele-tele. Sekarang katakan apa mau Anda?" tegas Putri dingin. Soni berhenti. Dia menatap Putri dalam kegelapan yang kian pekat. Sementara sorot lampu mengarah ke depan, Soni berdiri dengan jarak satu langkah di sisi kanan gadis muda itu. "A
"Maaf, aku nggak bawa jam, jadi lupa waktu."Sesudah jawaban singkat ini, Putri langsung melangkah, tanpa peduli tatapan tajam Windy. Saat dia kembali ke rumah utama, rupanya makanan sudah tersaji di meja panjang. Tak menunggu lama, Putri langsung menyantap makanan itu secepat yang dia bisa kemudian bergerak menuju lokasi syuting. Adegan kali ini mengambil set di pabrik pembuatan terasi dan ikan asin. Putri akan tampil sebagai buruh pemotong ikan. Untuk kepentingan syuting, dia sudah berlatih menggunakan pisau sejak dua minggu terakhir. Dan hasilnya cukup memuaskan. Dia bisa memotong ikan dengan cepat dan presisi, seperti gadis nelayan pada umumnya. "Bagus sekali, Putri." Sutradara kembali memuji meskipun dia syuting bersama Claudia dan yang lain.Tak bisa dipungkiri, Claudia dan seorang figuran lain nampak kikuk memegang pisau. Beberapa kali tangan mereka nyaris tersayat hingga pengambilan gambar harus take beberapa kali. Us
Mendengar perkataan Putri, sontak Claudia kesal. "Lantas apa? Memangnya apa yang bisa kita buat? Bagaimana kalau dalam upaya menyelamatkan mereka, justru kita yang mati konyol? Ingat, ini wilayah mereka."Penjelasan temannya yang bertubi-tubi membuat Putri sadar bila situasi mereka segenting itu. Dalam hati dia jadi bertanya siapa yang merekomendasikan kampung menyeramkan untuk dijadikan lokasi syuting. "Lantas, kita harus membiarkan mereka begitu saja?" ujarnya masih tak rela. Claudia tak menyahut lagi. Usai menguap panjang, dia menutup muka dengan selimut. "Sudah ya, aku tidur dulu. Ngantuk."Terpaksalah Putri menyudahi cerita sedihnya. Sebab matanya tak kunjung mengantuk, dia membuka gawai lalu melihat pesan balasan pada Heru, ternyata masih centang satu. Sinyal di daerah ini memang payah. Kadang timbul, lebih sering tenggelam, apalagi bila cuaca sedang tidak bersahabat. Makanya sejak di sini, Putri tak pernah bertelepon d
"Sebaiknya, si Putri jangan tinggal bersama kita."Duarr! Kata-kata ini seperti geledek yang menyambar di siang bolong bagi telinga gadis kecil yang tengah meringkuk ketakutan dalam kamar tidurnya. "Tapi Pa, dia masih kecil. SD saja belum tamat.""Dia kan sudah sepuluh tahun, harusnya sudah bisa mengurus diri sendiri."Gadis kecil itu mengusap air matanya yang jatuh berderai. Percakapan antara ibu dan ayah tirinya bagai godam yang memukul telinganya bertalu-talu. Sejak ibunya menikah lagi, dia sudah seperti orang asing di rumah sendiri. Padahal rumah yang mereka tempati ini, ibunya yang beli. Ayah dan kedua saudara tirinya yang menumpang tinggal. Tapi kenapa sekarang... "Lantas kemana Putri mesti pergi, Pa?"Suara ibunya terdengar sendu, meragu. Namun dia yakin satu hal. Sebentar lagi beliau bakal mengambil keputusan yang berpihak pada ayah tirinya. Sudah setahun belakangan, situasi mereka selalu b
Sementara itu Marion yang sudah lama menghilang dari sorotan kamera, kini sedang duduk berhadapan dengan seseorang di sebuah kafe kecil di bandara. Wanita yang duduk di depannya tak lain Marion Shelby, yang sekejap lagi akan terbang ke Amerika karena dideportasi akibat skandal penipuan saham yang dia lakukan bersama Aryo. "Mion, you shouldn't leave me here. Bring me along with you," pintanya untuk kesekian kali. "Mereka semua sudah membuangku... bahkan... bahkan perempuan jalang itu konon akan menikah dengan Arya, Mom."Wajah cantik Shelby menatap puterinya datar. "Why should I? Kamu tak akan bertahan di sana dengan sikap manja itu. That bitch has taught you so well," geramnya. Marion terkesima. Kata bitch pada kalimat ibunya jelas mengacu pada nyonya Mahendra. "Kenapa Mion bilang begitu? Beliau selalu baik dan memberi semua keinginanku.""Stupid lass. Gara-gara itulah kamu tumbuh jadi gadis manja dan sombong. Selalu merasa d
Besoknya, setelah pengumuman resmi kembalinya puteri yang hilang, Dewa langsung membawa Putri menuju perusahaan kosmetik milik keluarga Mahendra. "Kamu siap untuk tugas pertamamu?" selidiknya ketika mereka sudah mencapai ambang pintu. "Siap, Papa."Jawaban Putri yang mantap membuat Dewa tersenyum puas. Rasanya, semakin mengenal Putri, dia makin bangga. Meski lahir dan dibesarkan ditengah kaum jelata, puterinya bisa menyesuaikan diri dengan cepat. Dewa tak tahu saja bila semua yang diraih Putri saat ini merupakan hasil kerja keras selama bertahun-tahun, termasuklah didalamnya pelatihan etika dan kepribadian. Ruang pertemuan sudah dihadiri semua petinggi perusahaan, hingga Putri yang tadinya sudah siap nyaris gugup. " .... untuk selanjutnya Putri Maharani akan menjabat sebagai presiden direktur yang baru dari Mayapada Beauty." Dewa Mahendra menutup sambutannya dan tepukan riuh langsung bergema memenuhi ruangan. Perbe
Satu minggu kemudian, keluarga Mahendra mengumumkan kembalinya puteri kandung mereka yang hilang. "... seperti yang kalian tahu selama ini kami mengadopsi Putri Marion dari mantan istri almarhum adikku, Marion Shelby. Sebabnya tak lain karena puteri kandung kami hilang akibat tipu muslihat yang keji ... waktu itu dia masih orok yang baru keluar dari rahim istriku. Gara-gara ini pula, istriku tak berani lagi mengandung. Kehilangan puteri bungsu membuatnya trauma. Siapa sangka, pertemuan tak disengaja akhirnya membuat kami bisa bertemu lagi ... ."Sambutan ini diucapkan dengan penuh haru bahkan sampai menitikkan air mata. Putri yang diminta berdiri di salah satu sudut tersembunyi hanya bisa menatap takjub kemampuan akting kedua manusia di depan sana. Puteri yang hilang katanya? Padahal untuk memaksa nyonya Mahendra agar mau mengangkat dirinya sebagai puteri yang hilang itu, Dewa harus memberi kompensasi. Deva akan tetap jadi satu-satunya pewaris
Walau suaranya terdengar mantap, sejujurnya Putri sangat hancur di dalam. Kalau bukan karena memaksa diri agar kuat, dia sudah pasti menangis detik ini. Dewa menarik nafas panjang dan menatap Putri serius, "sesudah itu apa? Kamu mau kembali hidup luntang-lantung sendirian? Jadi objek hinaan semua orang? Putri, aku tak akan membiarkan darah Mahendra diinjak-injak begitu saja."Putri tertawa sangat keras. Ya! Apa yang penting bagi Dewa bukanlah dirinya atau ibunya atau siapapun melainkan nama keluarganya, Mahendra. "Persetan dengan namamu! Aku bahkan jijik harus memiliki DNA-mu dalam tubuhku," sahutnya begitu tawa pahit itu usai. "Kalau begitu, manfaatkan aku. Kamu membenciku, kan? Kenapa harus membiarkan aku hidup tanpa beban setelah menghadirkanmu ke dunia?"Sekarang Putri makin bingung. Sejak tadi dirinya sudah bertindak sangat kurang ajar namun Dewa tidak murka sedikit pun. Dia justru memberikan persuasi yang masuk akal. La
"Kamu yakin mau pergi begitu saja, Putri?"Suara Claudia menarik Putri kembali ke dunia nyata. Sejak tadi dia memang masih gamang, tapi mau bagaimana lagi? Rasanya sudah terlalu lelah dengan semua masalahnya di sini. "Ya, Kak. Mungkin saja, suasana kampung bakal bikin hidupku lebih happy. Aku sudah muak dengan kekejaman ibu kota. Sepertinya, takdirku memang jadi orang desa," sahut Putri dengan seulas senyum getir di bibirnya. Claudia hanya bisa mendesah pasrah. Setelah memastikan semua bawaan Putri siap, dia pun memeluk wanita yang sudah dianggapnya seperti adik itu. "Jaga dirimu baik-baik, ya. Kamu orang baik, hidup tak akan selamanya kejam."Air mata Putri kembali menitik. Dengan rasa haru dia merangkul sahabatnya dan berpamitan. Sejurus kemudian, dia sudah duduk di dalam taksi menuju stasiun bus. Semalam, setelah melarikan diri dari Arya, Putri langsung menuju kontrakan Claudia. Usai menghabiskan waktu berpikir s
Akhirnya, hari yang mendebarkan itu pun tiba. Arya mengajak Putri bertandang ke kediaman utama keluarga Bharata yang terletak di bilangan elit ibu kota. Begitu mereka sudah di ambang pintu, nyonya Bharata beserta Andini menyambut mereka. "Wah, akhirnya bisa ketemu langsung dengan aktris tenar kita," nyonya Bharata berkata sambil menempelkan pipinya ke wajah Putri. Tak jauh berbeda, Andini juga menyambut ramah mantan mahasiswanya itu. Segera, setelah basa-basi singkat usai, nyonya Bharata langsung menghela mereka semua ke ruang makan. Kesan pertama yang didapat Putri soal nyonya Bharata adalah beliau pribadi yang hangat dan cerdas, persis puterinya, Andini. Sementara tuan Bharata sendiri adalah pengamat yang baik. Sejak tadi beliau tak banyak bicara, namun matanya kedapatan menyorot Putri beberapa kali. Bukan tatapan genit melainkan meneliti. "Jadi, bagaimana perasaanmu setelah memenangkan award di festival film Asia?" Andini yang dud
Kontan idenya ini ditolak Johan mentah-mentah. "Mengapa jadi begitu? Ada lima aktris yang akan audisi untuk peran ini dan kita harus menyaksikan kemampuan mereka berlima."Meski agak cemberut, pria muda itu akhirnya menuruti perkataan sang paman. Ketika Marion sudah selesai dengan aktingnya, Putri yang didaulat untuk maju. Berbeda dengan Marion, Putri memulai adegannya dengan merapikan rok dan seragam, lalu mengusap mata. Setelahnya, dia membuka pintu seolah di tangannya ada anak kunci, lalu menyapa seseorang yang dipanggilnya ibu. Setelah itu, dia membuka pintu yang lain dan berpura-pura menyalakan keran, lalu mengusap tubuhnya berulang-ulang. Matanya dipenuhi keputus-asaan namun tak bisa bercerita pada siapapun. Sebagai gantinya, dia cuma terisak sambil menutup mulut agar ibunya yang sedang duduk di luar ruangan, tidak mendengar apa-apa. Hebatnya, semua lakon Putri ini hanya bermodal imajinasi. Didepannya tak ada pintu, tak ada Ibu, tak ada a
Sesuai janjinya pada Arya mengenai konsep setara, Putri mulai berbenah. Untuk langkah awal, dia mendirikan perusahaan akuntan publik pertamanya, dan sebagai bentuk dukungan, Arya merelakan Arda Pictures sebagai klien pertama. Bila itu belum cukup, dia juga mempengaruhi rekan-rekannya agar mempercayakan laporan keuangan dan masalah perpajakan mereka ke perusahaan pacarnya. Hal ini membuat perusahaan milik Putri langsung mencicip laba di bulan pertama setelah launching. "Wah, ternyata ini enaknya punya kenalan orang dalam," gurau Putri ketika Arya tengah bertandang ke ruang kerjanya. "Itu sudah pasti. Silakan manfaatkan aku sesukamu, Sweetheart." Seperti biasa, Arya langsung menyahut dengan mulut manisnya. Putri mencibir dan tetap fokus menekuni laporan di atas mejanya. Sebagai perusahaan baru, dia belum berani mempercayakan masalah finansial sepenuhnya pada orang lain. "Putri, sekarang bagaimana? Kamu sudah merasa 'sejajar' belum sam