Udara di ruang bersalin terasa panas, meski AC menyala dengan kekuatan penuh. Wajah Leon Santiago penuh peluh, rambutnya berantakan, dan jaketnya sudah dibuang entah ke mana. Tangan kirinya dicengkram erat oleh Elera, sementara tangan kanannya mengusap lembut kening wanita yang kini tengah berada di ambang batas kesadaran—dan kekuatan.“Push, Elera! Sedikit lagi!” teriak Maya, dengan suara yang tetap tegas meski mata ikut berkaca-kaca.Dari sudut ruangan, Dante berdiri dengan kamera khusus di tangan. “Leon bilang dia ingin merekam semua momen ini,” gumamnya pelan. “Tapi kayaknya dia gak nyangka dia bakal direkam sambil hampir pingsan.”Leon berteriak kecil ketika tangan Elera mencengkram lebih keras—“Aaaargh! Sayang… pelan—““KAU BILANG AKU NGGAK AKAN MERASA SAKIT KALAU KAU DI SAMPINGKU, LEON!” teriak Elera, matanya hampir menyala.Leon mencium keningnya. “Ya Tuhan, aku bohong. Maaf. Tapi kau luar biasa. Bertahan, Ratu-ku…”Tangis bayi pecah tiba-tiba, menggema di ruangan seolah mengh
Pagi di mansion Santiago yang biasanya dipenuhi percakapan serius atau suara langkah cepat para penjaga, kini berganti dengan suara tangis bayi… dan teriakan panik Leon."Elera! Dia menangis lagi! Apa aku salah gendong?!"Elera, yang sedang duduk santai di sofa dengan rambut sedikit berantakan tapi senyum mengembang, hanya tertawa pelan. "Sayang, dia cuma lapar. Bukan karena kamu. Tapi gaya gendongmu itu... lebih mirip interogasi tahanan daripada pelukan ayah."Leon menatap bayi mungil di gendongannya, lalu menatap Elera. "Aku… aku coba meniru seperti kamu.""Jangan ditiru gaya gendongku, aku punya pelatihan medis, kamu punya pelatihan… menyiksa orang."Suasana di ruang tengah semakin hangat ketika Maya dan Kai datang. Maya membawa setumpuk dokumen dari rumah sakit, sedangkan Kai membawa satu set mainan stimulasi bayi yang katanya wajib untuk perkembangan kognitif.Begitu melihat Leon yang berkeringat sambil mencoba mengganti popok untuk pertama kalinya, mereka berdua tertawa."Kau li
Sudah hampir tiga bulan sejak bayi mungil mereka lahir. Di balik dinding kokoh mansion Santiago yang seakan terpisah dari dunia luar, Elera menjalani hari-hari barunya sebagai seorang ibu—dan seorang istri dari pria paling berbahaya sekaligus paling menyebalkan yang pernah ia kenal. Namun, naluri dokternya mulai gatal.“Aku ingin kembali kerja,” ujar Elera pagi itu, saat mereka sarapan bersama di teras yang menghadap taman pribadi.Leon menoleh, seolah tak percaya apa yang baru ia dengar.“Kau baru tidur empat jam semalam. Ngapain nyari capek lagi?” suaranya tenang, tapi aura protektifnya langsung naik.“Karena aku rindu bekerja. Rindu rumah sakit. Rindu jadi dokter. Bukan cuma… istri, atau ibu. Aku mau jadi diriku lagi.”Nada Elera tegas, tapi penuh kasih.Leon menghela napas, menatap kopi di tangannya, lalu memandang istrinya. “Kalau begitu, aku punya satu syarat.”Elera mengangkat alis.“Kita pakai pengasuh. Tapi bukan pengasuh sembarangan. Harus dari dalam lingkaranku sendiri. Har
Suasana di dalam mansion Santiago terasa lebih sibuk dari biasanya. Setiap sudut rumah besar itu dihias dengan elegan, menampilkan kemewahan yang mengesankan, namun tetap mencerminkan kehangatan keluarga. Pesta kelahiran anak Leon dan Elera semakin mendekat, dan persiapan pun berjalan dengan penuh ketelitian.Di ruang utama, Maya, Kai, dan beberapa staf dari perusahaan sedang memeriksa daftar tamu dan mengonfirmasi segala persiapan teknis. Namun, perhatian mereka tak terhindarkan dari satu sosok yang baru saja memasuki ruangan: Dante.Dengan jas hitam sempurna dan ekspresi wajah yang selalu terkendali, Dante berjalan di antara mereka, memastikan semuanya berjalan lancar. Tidak ada yang bisa menampik pesona dan karisma yang ia bawa—bahkan Maya dan Kai tak bisa menahan godaan.Maya, yang sedang mengatur beberapa undangan, melirik ke arah Dante dengan senyum nakal. “Dante, aku rasa kau perlu berhati-hati,” ujarnya sambil menatapnya dengan penuh canda. “Bisa-bisa, banyak wanita yang jatuh
Cahaya lampu gantung kristal memantul indah di lantai marmer ballroom. Musik klasik yang lembut mengalun, membungkus suasana pesta dalam elegansi yang tak bisa dibantah. Para tamu mengenakan busana terbaik mereka—gaun panjang berkilau, jas dengan potongan sempurna. Di tengah kemewahan ini, Elera berdiri di sisi Leon, menggenggam tangan suaminya dengan erat sambil menatap ke arah panggung yang telah dihiasi warna-warna keemasan dan biru malam.Bayi mereka, dibalut kain satin lembut berwarna putih gading, tertidur damai di gendongan Bibi Mara. Tatapan para tamu tertuju padanya, pewaris keluarga Santiago yang akhirnya diperkenalkan ke dunia.Leon berdiri gagah, mengenakan setelan gelap yang elegan, dasi hitam, dan pin keluarga Santiago yang berkilau di dadanya. Wajahnya tampak tenang, tapi di balik sorot mata tajamnya, ada sedikit ketegangan. Ia tahu betul, malam ini bukan hanya tentang pesta—ini adalah pernyataan kekuasaan, sebuah tantangan terbuka bagi mereka yang masih berani menyentu
Pagi itu, udara masih terasa sejuk di Santiago Mansion, namun rasa cemas yang tersembunyi semakin merasuk ke dalam setiap sudut rumah. Leon dan Diego berdiri di ruang kerja Leon yang megah, peta dan dokumen tersebar di atas meja kayu yang luas. Wajah keduanya serius, jauh dari kedamaian yang ingin mereka rasakan."Musuh kita lebih pintar dari yang kita kira," kata Diego dengan nada rendah. Matanya tertuju pada peta wilayah yang penuh dengan tanda dan markah yang menunjukkan pergerakan yang mencurigakan. "Mereka tahu cara menyembunyikan diri, tidak seperti biasanya. Sekarang mereka seakan menghilang."Leon mengangguk pelan. “Tapi itu hanya membuatku semakin curiga. Tidak mungkin mereka hanya menghilang begitu saja. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar.”Diego berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman luas. “Atau mungkin mereka tengah menunggu waktu yang tepat, dengan hati-hati mengatur langkah mereka, menunggu kesempatan untuk menyerang. Terlebih denga
Setelah percakapan mengancam itu, Leon semakin waspada. Meskipun dia berusaha menjaga ketenangan keluarganya, instingnya sebagai seorang pemimpin dan seorang ayah membuatnya lebih waspada dari sebelumnya. Namun, dia tahu, meski ancaman bisa datang kapan saja, dia tak bisa hidup dalam ketakutan yang berlarut-larut.Pagi itu, setelah sarapan bersama keluarganya, Leon berjalan ke ruang kerja, di mana beberapa anggota timnya sudah menunggu untuk melakukan rapat rutin. Dia berbicara dengan mereka tentang pengamanan yang semakin diperketat, tetapi dengan cara yang lebih tersembunyi agar tidak menimbulkan ketegangan. Tak ada yang boleh tahu jika musuhnya masih mengawasi, bahkan meski Leon sudah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menjaga keluarganya tetap aman."Pengamanan tetap harus diutamakan, tetapi kita lakukan dengan hati-hati. Tidak boleh terlihat mencurigakan. Aku ingin mereka merasa nyaman, bukan dalam ketakutan," ujar Leon tegas pada tim pengawalnya.Sementara itu, di sisi la
Teriakan Leon menggema di seluruh mansion Santiago.Bibi Mara yang sedang memotong buah di dapur sontak menjatuhkan pisaunya ke atas talenan. “Astaga…!” serunya, langsung bergegas menaiki tangga menuju kamar bayi.Di waktu yang hampir bersamaan, Dante yang sedang membaca laporan keuangan di ruang kerja bawah langsung bangkit dari kursinya. "Apa lagi yang terjadi?!" gumamnya, lalu menyambar pistol kecil di balik laci—refleks mafia, tentu saja—dan melangkah cepat menaiki tangga dua anak sekaligus.Pintu kamar bayi terbuka cepat.“Leon?! Apa yang terjadi?!” tanya Bibi Mara dengan napas ngos-ngosan, sementara Dante berdiri dengan ekspresi setengah siap tempur.Yang mereka lihat adalah pemandangan paling aneh sekaligus paling mengharukan yang bisa dibayangkan pagi itu.Leon duduk di lantai, wajahnya tertekuk antara tertawa dan menangis, memeluk ponselnya seperti harta karun. Di hadapannya, di atas kasur kecil, Alvario duduk tegak, senyum lebarnya seperti bulan mini yang bersinar.Dante mem
Teriakan Leon menggema di seluruh mansion Santiago.Bibi Mara yang sedang memotong buah di dapur sontak menjatuhkan pisaunya ke atas talenan. “Astaga…!” serunya, langsung bergegas menaiki tangga menuju kamar bayi.Di waktu yang hampir bersamaan, Dante yang sedang membaca laporan keuangan di ruang kerja bawah langsung bangkit dari kursinya. "Apa lagi yang terjadi?!" gumamnya, lalu menyambar pistol kecil di balik laci—refleks mafia, tentu saja—dan melangkah cepat menaiki tangga dua anak sekaligus.Pintu kamar bayi terbuka cepat.“Leon?! Apa yang terjadi?!” tanya Bibi Mara dengan napas ngos-ngosan, sementara Dante berdiri dengan ekspresi setengah siap tempur.Yang mereka lihat adalah pemandangan paling aneh sekaligus paling mengharukan yang bisa dibayangkan pagi itu.Leon duduk di lantai, wajahnya tertekuk antara tertawa dan menangis, memeluk ponselnya seperti harta karun. Di hadapannya, di atas kasur kecil, Alvario duduk tegak, senyum lebarnya seperti bulan mini yang bersinar.Dante mem
Setelah percakapan mengancam itu, Leon semakin waspada. Meskipun dia berusaha menjaga ketenangan keluarganya, instingnya sebagai seorang pemimpin dan seorang ayah membuatnya lebih waspada dari sebelumnya. Namun, dia tahu, meski ancaman bisa datang kapan saja, dia tak bisa hidup dalam ketakutan yang berlarut-larut.Pagi itu, setelah sarapan bersama keluarganya, Leon berjalan ke ruang kerja, di mana beberapa anggota timnya sudah menunggu untuk melakukan rapat rutin. Dia berbicara dengan mereka tentang pengamanan yang semakin diperketat, tetapi dengan cara yang lebih tersembunyi agar tidak menimbulkan ketegangan. Tak ada yang boleh tahu jika musuhnya masih mengawasi, bahkan meski Leon sudah melakukan semua yang bisa dilakukan untuk menjaga keluarganya tetap aman."Pengamanan tetap harus diutamakan, tetapi kita lakukan dengan hati-hati. Tidak boleh terlihat mencurigakan. Aku ingin mereka merasa nyaman, bukan dalam ketakutan," ujar Leon tegas pada tim pengawalnya.Sementara itu, di sisi la
Pagi itu, udara masih terasa sejuk di Santiago Mansion, namun rasa cemas yang tersembunyi semakin merasuk ke dalam setiap sudut rumah. Leon dan Diego berdiri di ruang kerja Leon yang megah, peta dan dokumen tersebar di atas meja kayu yang luas. Wajah keduanya serius, jauh dari kedamaian yang ingin mereka rasakan."Musuh kita lebih pintar dari yang kita kira," kata Diego dengan nada rendah. Matanya tertuju pada peta wilayah yang penuh dengan tanda dan markah yang menunjukkan pergerakan yang mencurigakan. "Mereka tahu cara menyembunyikan diri, tidak seperti biasanya. Sekarang mereka seakan menghilang."Leon mengangguk pelan. “Tapi itu hanya membuatku semakin curiga. Tidak mungkin mereka hanya menghilang begitu saja. Mereka pasti sedang merencanakan sesuatu yang lebih besar.”Diego berjalan ke arah jendela besar yang menghadap ke taman luas. “Atau mungkin mereka tengah menunggu waktu yang tepat, dengan hati-hati mengatur langkah mereka, menunggu kesempatan untuk menyerang. Terlebih denga
Cahaya lampu gantung kristal memantul indah di lantai marmer ballroom. Musik klasik yang lembut mengalun, membungkus suasana pesta dalam elegansi yang tak bisa dibantah. Para tamu mengenakan busana terbaik mereka—gaun panjang berkilau, jas dengan potongan sempurna. Di tengah kemewahan ini, Elera berdiri di sisi Leon, menggenggam tangan suaminya dengan erat sambil menatap ke arah panggung yang telah dihiasi warna-warna keemasan dan biru malam.Bayi mereka, dibalut kain satin lembut berwarna putih gading, tertidur damai di gendongan Bibi Mara. Tatapan para tamu tertuju padanya, pewaris keluarga Santiago yang akhirnya diperkenalkan ke dunia.Leon berdiri gagah, mengenakan setelan gelap yang elegan, dasi hitam, dan pin keluarga Santiago yang berkilau di dadanya. Wajahnya tampak tenang, tapi di balik sorot mata tajamnya, ada sedikit ketegangan. Ia tahu betul, malam ini bukan hanya tentang pesta—ini adalah pernyataan kekuasaan, sebuah tantangan terbuka bagi mereka yang masih berani menyentu
Suasana di dalam mansion Santiago terasa lebih sibuk dari biasanya. Setiap sudut rumah besar itu dihias dengan elegan, menampilkan kemewahan yang mengesankan, namun tetap mencerminkan kehangatan keluarga. Pesta kelahiran anak Leon dan Elera semakin mendekat, dan persiapan pun berjalan dengan penuh ketelitian.Di ruang utama, Maya, Kai, dan beberapa staf dari perusahaan sedang memeriksa daftar tamu dan mengonfirmasi segala persiapan teknis. Namun, perhatian mereka tak terhindarkan dari satu sosok yang baru saja memasuki ruangan: Dante.Dengan jas hitam sempurna dan ekspresi wajah yang selalu terkendali, Dante berjalan di antara mereka, memastikan semuanya berjalan lancar. Tidak ada yang bisa menampik pesona dan karisma yang ia bawa—bahkan Maya dan Kai tak bisa menahan godaan.Maya, yang sedang mengatur beberapa undangan, melirik ke arah Dante dengan senyum nakal. “Dante, aku rasa kau perlu berhati-hati,” ujarnya sambil menatapnya dengan penuh canda. “Bisa-bisa, banyak wanita yang jatuh
Sudah hampir tiga bulan sejak bayi mungil mereka lahir. Di balik dinding kokoh mansion Santiago yang seakan terpisah dari dunia luar, Elera menjalani hari-hari barunya sebagai seorang ibu—dan seorang istri dari pria paling berbahaya sekaligus paling menyebalkan yang pernah ia kenal. Namun, naluri dokternya mulai gatal.“Aku ingin kembali kerja,” ujar Elera pagi itu, saat mereka sarapan bersama di teras yang menghadap taman pribadi.Leon menoleh, seolah tak percaya apa yang baru ia dengar.“Kau baru tidur empat jam semalam. Ngapain nyari capek lagi?” suaranya tenang, tapi aura protektifnya langsung naik.“Karena aku rindu bekerja. Rindu rumah sakit. Rindu jadi dokter. Bukan cuma… istri, atau ibu. Aku mau jadi diriku lagi.”Nada Elera tegas, tapi penuh kasih.Leon menghela napas, menatap kopi di tangannya, lalu memandang istrinya. “Kalau begitu, aku punya satu syarat.”Elera mengangkat alis.“Kita pakai pengasuh. Tapi bukan pengasuh sembarangan. Harus dari dalam lingkaranku sendiri. Har
Pagi di mansion Santiago yang biasanya dipenuhi percakapan serius atau suara langkah cepat para penjaga, kini berganti dengan suara tangis bayi… dan teriakan panik Leon."Elera! Dia menangis lagi! Apa aku salah gendong?!"Elera, yang sedang duduk santai di sofa dengan rambut sedikit berantakan tapi senyum mengembang, hanya tertawa pelan. "Sayang, dia cuma lapar. Bukan karena kamu. Tapi gaya gendongmu itu... lebih mirip interogasi tahanan daripada pelukan ayah."Leon menatap bayi mungil di gendongannya, lalu menatap Elera. "Aku… aku coba meniru seperti kamu.""Jangan ditiru gaya gendongku, aku punya pelatihan medis, kamu punya pelatihan… menyiksa orang."Suasana di ruang tengah semakin hangat ketika Maya dan Kai datang. Maya membawa setumpuk dokumen dari rumah sakit, sedangkan Kai membawa satu set mainan stimulasi bayi yang katanya wajib untuk perkembangan kognitif.Begitu melihat Leon yang berkeringat sambil mencoba mengganti popok untuk pertama kalinya, mereka berdua tertawa."Kau li
Udara di ruang bersalin terasa panas, meski AC menyala dengan kekuatan penuh. Wajah Leon Santiago penuh peluh, rambutnya berantakan, dan jaketnya sudah dibuang entah ke mana. Tangan kirinya dicengkram erat oleh Elera, sementara tangan kanannya mengusap lembut kening wanita yang kini tengah berada di ambang batas kesadaran—dan kekuatan.“Push, Elera! Sedikit lagi!” teriak Maya, dengan suara yang tetap tegas meski mata ikut berkaca-kaca.Dari sudut ruangan, Dante berdiri dengan kamera khusus di tangan. “Leon bilang dia ingin merekam semua momen ini,” gumamnya pelan. “Tapi kayaknya dia gak nyangka dia bakal direkam sambil hampir pingsan.”Leon berteriak kecil ketika tangan Elera mencengkram lebih keras—“Aaaargh! Sayang… pelan—““KAU BILANG AKU NGGAK AKAN MERASA SAKIT KALAU KAU DI SAMPINGKU, LEON!” teriak Elera, matanya hampir menyala.Leon mencium keningnya. “Ya Tuhan, aku bohong. Maaf. Tapi kau luar biasa. Bertahan, Ratu-ku…”Tangis bayi pecah tiba-tiba, menggema di ruangan seolah mengh
Setelah minggu-minggu yang penuh kekacauan, mansion Santiago perlahan tenang. Serangan telah mereda, beberapa pelaku sudah ditahan oleh tim khusus Dante, dan sistem keamanan di seluruh properti Santiago diperbarui lebih ketat dari sebelumnya.Dan pagi itu, Maya kembali mengenakan jas dokternya.“Gila sih, rasanya kayak balik ke peradaban,” gumamnya sambil menata rambut ke dalam cepol rapi, memandang pantulan dirinya di cermin.“Peradaban dengan minimal tiga bodyguard,” celetuk Dante dari sofa kamar tamu.Maya melirik sinis. “Aku dokter trauma. Kalau kamu kirim lebih dari tiga, pasien bisa trauma ngelihat rombongan bersenjata datang ke UGD.”Dante hanya tersenyum tipis, dan berkata, “Tiga? Aku kirim lima. Tapi dua di antaranya menyamar sebagai cleaning service.”Maya membelalak. “DANTE!”Sementara itu, di mansion utama, Kai sedang... merajuk.“Aku ini ahli bedah syaraf, bukan babysitter istri bos,” gerutunya.Leon, yang tengah mengenakan jasnya di ruang kerja, hanya menaikkan satu alis