"Kak, kenapa Kakak ada di sini?" Andi yang baru saja kembali dari membeli buah, kebetulan bertemu dengan Dimas dan Irfan yang sedang mengobrol di tempat itu.Ketika Andi melihat ke arah Irfan, dia tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut di wajahnya. "Kamu ... kamu Pak Irfan? Irfan Sarwono?"Andi sudah pernah melihat Irfan pada kunjungan terakhirnya ke Grup Angkasa untuk mengikuti kompetisi. Dia juga sudah mengetahui siapa Irfan sebenarnya dari teman-temannya. Oleh karena itu, kehadiran Irfan di depan pintu gerbang kompleksnya dan sedang mengobrol dengan Dimas, membuat Andi sedikit terkejut."Halo," sapa Irfan dengan agak canggung."Sudah sampai di depan pintu. Ayo, Kak, cepat ajak Pak Irfan untuk naik dan duduk-duduk dulu.""Benar. Ayo naik dan duduk-duduk bersama kami," kata Dimas dengan antusias, begitu mendengar ucapan Andi."Baik," setuju Irfan.Dimas berjalan di depan sambil membawa tonik dan kacang untuk Lili. Sementara itu, Irfan mengikuti di belakang dengan tangan kosong. Dia m
Malam harinya, Dimas sedang mandi di kamar mandi, ketika tiba-tiba saja ponselnya berdering.Amel yang sedang berbaring di tempat tidur sambil memperhatikan ponselnya, mendengar suara tersebut. Dia pun mengambil ponsel milik Dimas dan melihatnya. Ternyata ada pesan dari nomor yang tidak dikenal."Pak Dimas, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu."Saat Amel sedang kebingungan, nomor asing itu tiba-tiba saja menelepon. Amel langsung berlari menuju pintu kamar mandi sambil membawa ponsel milik Dimas."Ponselmu berbunyi. Ada yang meneleponmu."Amel berteriak ke dalam. Namun, mungkin karena suara aliran air di dalam terlalu keras, Dimas sama sekali tidak bisa mendengarnya.Tidak baik kalau Amel membuka pintunya dan langsung menerobos masuk ke dalam. Memikirkan gambaran itu, pipi Amel langsung merona merah. Oleh karena itu, Amel harus mengangkat telepon itu terlebih dahulu."Pak Dimas, aku benar-benar minta maaf, sudah mengganggumu selarut ini. Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu." B
Pagi-pagi sekali, saat Dimas baru saja tiba di kantor dan belum sempat untuk duduk, Jessica sudah menghampirinya sambil membawakan secangkir susu kedelai hangat."Pak Dimas, pagi tadi aku mengekstrak susu kedelai segar dan membawakan segelas untukmu. Minumlah selagi masih panas."Dimas mengerutkan alisnya yang bagai pedang itu tanpa kentara. "Maaf, aku nggak suka susu kedelai.""Maaf, Pak Dimas, aku nggak tahu. Aku akan membawanya pergi sekarang." Jessica menggigit bibirnya karena malu. Kemudian, dia pergi sambil membawa susu kedelai itu dengan wajah muram.Dimas merasa lelah dengan tingkah laku Jessica yang selalu menunjukkan diri di hadapannya.Dimas langsung menelepon Irfan, "Aku beri kamu waktu 10 menit. Buat petugas penjaga keamanan baru yang bernama Jessica itu segera menghilang dari lokasi konstruksi tempatku berada ini. Aku nggak mau melihatnya lagi.""Pak Dimas, aku khawatir keinginanmu ini mungkin agak sulit untuk dilakukan. Jessica adalah keponakan jauh dari istrinya Dio. Di
Tujuan utama Amel mengunjungi lokasi konstruksi Dimas adalah untuk menyatakan statusnya.Melihat pemandangan tadi, Jessica menggertakkan giginya kuat-kuat. Kemudian, dia berbalik dan kembali ke asramanya."Sayang, aku baru saja berpikir untuk meneleponmu." Dimas menarik Amel untuk duduk di sampingnya dengan gembira."Kenapa kamu mengunci pintunya? Padahal jelas-jelas kamu ada di kantor."Dimas tidak bisa menyembunyikan rasa muaknya saat mendengar kata-kata itu. "Kalau aku nggak mengunci pintunya, selalu ada orang yang datang menggangguku."Amel sudah bisa menebak orang yang dimaksud oleh Dimas tersebut."Cepat makan siang selagi masih panas. Nanti kalau sudah dingin jadi nggak enak.""Sayang, kamu pasti juga belum makan siang, 'kan? Ayo kita makan bersama." Dimas mendorong piring yang sudah diletakkan di atas meja ke arah Amel.Keduanya makan sambil mengobrol. Jessica yang sesekali mendengar suara tawa mereka dari ruang sebelah, merasa cemburu di dalam hatinya."Nggak ada yang spesial
Saat gadis itu melihat permen itu, matanya bersinar dan sudut bibirnya menunjukkan senyuman."Terima kasih, Bibi.""Sama-sama. Bisakah kamu memberi tahu Bibi siapa namamu?"Gadis kecil itu memiliki sepasang mata besar. Rambutnya diikat dengan sangat imut, membuatnya terlihat sangat manis. Amel sangat menyukai gadis kecil ini."Namaku Riska, umurku empat setengah tahun," jawab gadis kecil itu dengan patuh."Jadi, namamu Riska. Apakah orang tuamu bekerja di sini?"Gadis kecil itu mengangguk, lalu menunjuk ke arah gedung bertingkat yang sedang dibangun tidak jauh dari sana dan berujar, "Orang tuaku ada di tempat yang sangat tinggi itu. Mereka sedang membangun rumah. Mereka bekerja keras setiap hari.""Anak ini sangat penurut. Dia masih sangat muda, tapi sudah mengerti bahwa orang tuanya bekerja keras. Riska, lain kali Bibi akan membawakanmu kue saat Bibi datang ke sini lagi, oke?""Oke. Terima kasih, Bibi."Dimas berdiri di belakang Amel sambil mengamati interaksi di antara keduanya dan p
Dimas mengantar Amel ke depan pintu masuk toko makanan penutup. Amel segera keluar dari mobil sambil berkata, "Tunggu aku di sini, aku akan segera kembali."Amel berlari ke toko, lalu segera keluar dengan membawa kue stroberi kecil di tangannya. Dia berkata, "Saat kamu kembali, bantu aku bawakan kue stroberi ini untuk Riska.""Oke, aku pasti akan menyelesaikan tugas ini." Dimas meletakkan kue itu dengan hati-hati di kursi penumpang."Hati-hati di jalan.""Oke."Sejak membuka toko makanan penutup ini, Amel selalu penuh dengan semangat. Dia dengan hati-hati mengelola toko makanan penutupnya setiap hari."Kak Amel, persediaan buah di toko kita habis lagi," kata Clara dengan wajah muram.Dengan jumlah pesanan yang meningkat belakangan ini, kebutuhan buah mereka juga meningkat. Namun, Amel khawatir jika membeli terlalu banyak buah, mereka akan menyia-nyiakannya. Bagaimanapun juga, dia selalu memastikan penggunaan buah-buahan segar dalam membuat kue agar rasanya lebih enak."Nggak masalah, a
"Kalau begitu, cepat beri tahu dia. Aku akan menjemputmu nanti. Amel, suamimu itu nggak akan nggak mengizinkanmu pergi ke bioskop bersamaku, 'kan?" tanya Lidya dengan nada sedih lagi."Jangan khawatir. Meski dia nggak mengizinkanku, aku akan bersikeras untuk pergi bersamamu." Amel adalah orang yang setia.Amel menelepon Dimas, tapi setelah beberapa kali dering telepon, masih tidak ada yang menjawab. Ketika Amel hendak menutup telepon, panggilan itu tiba-tiba tersambung."Kamu nggak perlu menjemputku malam ini. Aku dan ....""Kak Amel, Pak Dimas sedang sibuk, dia nggak punya waktu untuk menjawab telepon. Bagaimana kalau kamu menyuruhnya menelepon kembali nanti?" Sebelum Amel bisa menyelesaikan kata-katanya, Jessica menyela dengan cara yang sangat kasar.Mendengar suara Jessica di ujung lain telepon, Amel tiba-tiba merasakan gelombang kemarahan di dalam hatinya. Adegan ini terasa sangat familier baginya. Dia ingat dengan jelas bahwa inilah tanggapannya ketika Jessica menelepon malam sebe
"Jangan bilang kalau kita berdua akan menonton kartun ini." Ketika dia tidak mendapatkan jawaban yang akurat, Amel masih memiliki sedikit harapan.Namun, siapa yang sangka Lidya mengangguk penuh kemenangan sambil berkata, "Boonie Bears adalah film bagus, biaya produksinya tinggi.""Ya, ya, ya." Amel memutar bola matanya. Jika dia tahu mereka akan menonton ini, dia mungkin akan memilih tetap tinggal di toko untuk bekerja lembur.Lidya menatap layar lebar dengan penuh minat, sementara Amel menggelengkan kepalanya tanpa daya. Bagaimanapun juga, mereka sudah membeli tiketnya, jadi lebih baik dia menonton saja.Film ini jelas jauh lebih baik dari yang dia harapkan. Seiring berjalannya waktu, Amel makin terpesona oleh film ini.Sementara itu, Dimas sudah selesai mengantarkan kue kecil. Saat kembali, dia melihat Jessica duduk di kantornya. Dia pun mengerutkan kening, sama sekali tidak menahan rasa jijik di wajahnya saat bertanya, "Ada urusan apa, Bu Jessica?"Jessica menggelengkan kepalanya s
Lidya sudah terbiasa bebas dan tidak ingin terlalu cepat terikat oleh pernikahan."Baiklah, kita berdua nggak perlu terburu-buru. Orang tuamu dan orang tuaku mungkin sudah nggak sabar untuk menyuruh kita menikah karena ingin segera punya cucu," kata Andi dengan nada bercanda."Kalau Amel nggak menceraikan Dimas, dia mungkin harus mengikuti Dimas kembali ke Kota Ambara. Akan sulit untuk bertemu dengannya lagi di masa depan," sahut Lidya dengan sedih ketika memikirkan hal ini.Andi memeluk bahu Lidya dengan hangat sambil berkata, "Nggak apa-apa. Kalau kamu merindukan kakakku, kita bisa mengunjunginya kapan saja. Lagi pula, sekarang masih ada aku yang menemanimu, 'kan?"Lidya menghela napas, lalu menjawab, "Bagaimana kamu bisa dibandingkan dengan kakakmu."Di sisi lain, Dimas mengambil sup penghilang rasa mabuk yang sudah dimasak, lalu dengan hati-hati menyuapkannya kepada Amel. Setelah sibuk selama setengah malam, dia baru tertidur di samping Amel dengan mengantuk.Sinar matahari pagi me
Pada saat ini, Amel sudah tersungkur di atas meja, sementara Lidya terbelalak saat melihat Dimas melangkahkan kakinya selangkah demi selangkah ke arah mereka. Lidya pun mengguncang bahu Amel dengan lembut sambil berkata, "Amel, Dimas ada di sini.""Dimas? Dia itu penipu besar. Aku nggak akan pernah peduli lagi padanya," ucap Amel dengan tidak jelas sambil memeluk botol bir.Dimas mengerutkan kening saat mendengar kata-kata Amel. Melihat Amel dalam keadaan mabuk seperti itu, Dimas merasakan sakit di dalam hatinya."Amel, aku akan mengantarmu pulang," kata Dimas dengan lembut. Amel memaksakan diri untuk mengangkat kepalanya, lalu menatap Dimas yang ada di depannya. Dimas tampak tersenyum kepadanya."Aku nggak akan pulang." Amel menegaskan setiap kata yang diucapkannya. Dia masih marah karena Dimas sudah menipunya."Ka ... kalau begitu, aku serahkan Amel kepadamu. Aku pergi dulu." Melihat suasananya tidak terlalu bagus, Lidya pun bersiap untuk menyelinap pergi. Identitas Dimas sebagai dir
Amel ragu-ragu untuk beberapa saat, sebelumnya akhirnya perlahan-lahan berkata, "Sejujurnya, aku benar-benar nggak rela berpisah dari Dimas. Sejak kami menikah sampai sekarang, dia selalu memperlakukanku dengan sangat baik. Dimas adalah contoh sempurna dari suami yang baik."Semalam saat berbaring di tempat tidur, yang terlintas di benak Amel hanyalah kebaikan Dimas kepada dirinya. Amel pun menjadi tidak begitu marah lagi."Hatiku masih sangat kacau sekarang." Amel menggaruk-garuk kepalanya dengan kesal."Jangan khawatir. Semua pasti akan ada jalan keluarnya," bujuk Lidya sambil menepuk bahu Amel dengan lembut."Bagaimana kalau kita minum bersama malam ini, untuk menenangkan suasana hati?" usul Lidya saat melihat Amel tampak bingung dan gelisah.Sebelumnya, Amel pasti akan menolaknya. Namun, sekarang Amel langsung menyetujuinya tanpa ragu. "Oke."Dimas menghabiskan sepanjang pagi di rumah sakit. Kondisi Nenek Salma juga sudah stabil. "Ayah, Ibu, Nenek, masih ada beberapa hal yang harus
"Tentu saja, Kak Amel. Aku benar-benar ingin terus bekerja di sini," kata Clara dengan tegas. Dia sudah memantapkan hati untuk tetap bekerja pada Amel."Oke." Raut wajah Amel langsung menunjukkan perasaan lega.Dimas memesan penerbangan paling awal dan bergegas pulang malam itu juga. Sesampainya di rumah sakit, Salma sudah beristirahat di bangsal."Ayah, Ibu, aku datang.""Akhirnya kamu datang juga. Nenekmu terus menyebut-nyebut namamu sepanjang malam tadi," tegur Bela.Dimas berjalan menghampiri ranjang Salma dengan perasaan bersalah. Tiba-tiba saja Dimas menyadari jika neneknya benar-benar sudah sangat tua. Entah sejak kapan, rambut neneknya sudah memutih semua.Untuk sementara waktu ini, Dimas tidak memenuhi kewajibannya sebagai cucu. Dimas juga gagal membina hubungan asmaranya. Tiba-tiba saja, Dimas merasa agak sedih dan kecewa karenanya.Salma perlahan-lahan membuka matanya. Melihat Dimas, raut wajahnya tampak agak emosional."Aku sudah pulang, Nek." Dimas menggenggam erat tangan
Amel memandangi punggung kepergian Dimas. Dia merasa agak kehilangan di dalam hati. Namun, melihat Dimas yang tampak begitu cemas, Amel merasa pasti ada suatu masalah yang sangat penting.Lantaran suasana hatinya sedang buruk, Amel tidak punya keinginan untuk mengurus toko makanan penutup miliknya. Dia memutuskan untuk sementara waktu membiarkan Clara membantunya mengawasi toko. Keesokan harinya, Amel bangun pagi-pagi sekali, lalu pergi ke toko untuk memberi penjelasan pada Clara."Tenang saja, Pak Irfan. Aku pasti akan membantu Bu Amel menjaga toko dengan baik. Aku yakin Pak Dimas dan Bu Amel pasti akan baikan nanti."Begitu memasuki pintu, Amel mendengar suara Clara. Amel pun mengerutkan kening. Dia bertanya-tanya kenapa Clara berkata seperti itu.Memikirkan kembali sikap Clara terhadap Dimas dan fakta bahwa Clara yang merupakan seorang ahli pembuat makanan penutup top, tapi bersedia merendahkan diri untuk bekerja di toko makanan penutup kecil miliknya ini, Amel pun sepertinya sudah
Amel sangat sadar diri dan tahu bahwa dia tidak layak untuk pria di depannya ini. Mungkin sekarang Dimas memiliki perasaan padanya, tetapi jika kesenjangan antara keduanya mulai ditemukan di masa depan, kemungkinan besar cinta mereka akan perlahan-lahan kandas.Dimas cukup baik, orang-orang di sekitar Dimas juga sangat baik. Amel hanya seorang wanita biasa, benar-benar tidak bisa berjalan berdampingan dengan pria itu.Saat mendengar kata cerai, Dimas langsung terbelalak kaget, lalu berkata, "Aku nggak bisa. Amel, jangan cerai, ya? Nggak peduli siapa aku, cintaku padamu nggak akan pernah berubah."Dimas menjelaskan dengan tegas kepada Amel alasan kenapa dia menyembunyikan identitasnya, tetapi Amel tampaknya tetap bertekad untuk menceraikannya."Dimas, beri aku waktu untuk menenangkan diri dulu," jawab Amel, lalu menutup pintunya lagi.Lili menepuk bahu Dimas sambil berkata, "Beri dia waktu. Bagaimanapun, ini bukan masalah sepele. Dia perlu waktu untuk menerimanya."Dimas mengangguk frus
"Kami nggak bisa menerima permintaan maaf dari seorang direktur," sahut Gibran dengan kesal.Dimas mengerutkan keningnya dan kembali menjelaskan "Ayah, Ibu, aku benar-benar nggak bermaksud menyembunyikan identitasku.""Kalau begitu, beri tahu aku kenapa kamu menyembunyikan identitasmu?" sahut Lili dengan nada dingin.Saat menghadapi Dimas, Lili masih mengalah dan ingin memberi Dimas kesempatan untuk menjelaskan. Bagaimanapun, dia masih bisa memercayai karakter Dimas.Mereka juga dapat melihat bahwa Dimas tidak memperlakukan putri mereka hanya untuk bermain-main saja."Orang yang bertanggung jawab atas cabang Grup Angkasa adalah kerabat jauh Keluarga Cahyadi. Ketika aku meninjau dana pada akhir tahun lalu, aku menemukan ada celah keuangan yang besar. Aku menyelidikinya secara pribadi dan menemukan kalau dia telah menggelapkan dana publik. Dia sering mengabaikan tugasnya dan membeli properti dalam jumlah besar. Tapi karena kurangnya bukti, aku dan asistenku menyembunyikan identitas kami
Sebagai seorang profesor, Gibran tidak pernah memperhatikan ketenaran dan kekayaan selama bertahun-tahun. Meskipun identitas asli Dimas adalah direktur Grup Angkasa, menurutnya juga tidak ada yang istimewa dengan itu."Kenapa Dimas menyembunyikan identitasnya? Mungkinkah dia sengaja melakukannya pada kita karena takut kita menginginkan uangnya?" sahut Lili dengan nada kecewa.Lili selalu merasa bahwa Dimas lumayan baik. Dia bahkan menganggap Dimas seperti putranya sendiri."Amel, karena kamu sudah memikirkannya dan memutuskan untuk menceraikannya, Ayah akan mendukung keputusanmu. Keluarga Santoso nggak peduli apakah dia direktur atau bukan," ucap Gibran. Pria itu adalah orang pertama yang mengungkapkan sikapnya."Ibu juga mendukungmu. Hal yang paling penting bagi pasangan untuk hidup bersama adalah kejujuran. Dia bahkan nggak bisa melakukan integritas paling dasar. Meskipun Keluarga Cahyadi kaya, Amel juga nggak bisa menikmatinya. Jadi, lebih baik lupakan saja," ujar Lili dengan nada k
"Aku ingin menceraikannya. Dia adalah seorang direktur Grup Angkasa, sementara aku cuma gadis biasa. Kami nggak berasal dari dunia yang sama dan nggak akan mendapatkan hasil apa pun di masa depan," tukas Amel. Ketika mengatakan itu, Amel merasa sakit yang menyesakkan datang dari hatinya.Ketika mendengar itu, Lidya langsung mengerutkan dahinya. Dia bisa melihat betapa Amel sangat mencintai Dimas."Huh ...." Lidya menghela napas panjang."Aku nggak pernah mengira bahwa hal dramatis yang ditampilkan di TV akan terjadi padaku," ujar Amel. Dia merasa sangat kecewa dengan Dimas ketika mengingat kembali berapa banyak kebohongan yang sudah dibuat pria ini untuk menipunya sejak mereka menikah."Ya, ini sudah keterlaluan. Kupikir hal semacam ini hanya ada di TV, tapi nggak disangka hal ini benar-benar terjadi di kehidupan nyata," sahut Lidya dengan emosi.Setelah suasana hati Amel sedikit stabil, Lidya mengantarnya pulang ke rumah Keluarga Santoso.Saat ini, Mirna sedang berbicara dengan Lili,