"Mengenai kerjasama bisnis kita kali ini, saya mau melibatkan istri Anda untuk hal ini!" kata Budiman.Ardhan langsung syok mendengarnya. Raut wajahnya seolah mengatakan. Bagaimana dia bisa mengetahui kabar pernikahanku, sedangkan aku saja tidak mengundang banyak orang ke acara pesta itu?Namun, dengan tenangnya Budiman melanjutkan kalimatnya. "Saya memang mengetahui hal ini. Tapi, saya harap Anda tidak bertanya siapa yang memberitahukan hal ini kepada saya. Jika setuju, maka saya akan langsung menandatangani perjanjian kontrak ini sekarang juga."Ardhan menoleh ke arah Nara. Ia menjadi khawatir jika hal ini sampai tersebar lebih luas lagi. Hatinya merasa geram, karena menurutnya pasti ada orang dalam keluarganya yang membocorkan hal semacam ini."Reyhan!!!" batin Ardhan sembari mengepalkan salah satu tangannya. Nara sendiri tidak tahu bagaimana orang itu bisa mengetahui hal tersebut."Kenapa sampai ada yang tahu mengenai pernikahan kami?" Nara melirik ke arah Ardhan. Lalu, perlahan
Secara perlahan, Nara menjelaskan dengan nada berbisik. Walaupun Ardhan agak memuakkan untuk dirinya, tetapi tetap saja ia berpikir bahwa ada sisi baik Ardhan yang masih teringat dan tidak mungkin hanya mengingat keburukannya saja."Pak Ardhan, tadi Anda tampak melamun. Sekarang klien kita sedang menunggu pembahasan kita selanjutnya."Di depan Nara, Ardhan tetap jaga image ketika sebelumnya ia merasa melakukan sesuatu yang memalukan dengan melamun."Kontraknya cepat berikan pada dia!" bisik Ardhan."Sudah, Pak. Klien kita sudah menandatanganinya. Sekarang dia sedang menunggu Anda," balas Nara berbisik berusaha menjelaskan perlahan akan hal itu.Ardhan yang merasa bahwa beberapa saat yang lalu dirinya telah mengabaikan Budiman pun langsung mengarahkan tubuhnya kembali pada klien tersebut."Oh ya, bagaimana kalau sekarang kita makan siang bersama di luar?" ajak Ardhan untuk mencairkan suasana kembali setelah beberapa saat membeku. Budiman mengubah posisi duduknya sebentar. Ia sedikit m
Ardhan kembali pada posisinya semula. Yang awalnya agak condong ke telinga Budiman, kini ia kembali tegap dengan mimik wajah yang biasa. Ardhan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka.Sementara Budiman, ia hanya melongo saja menanggapi apa yang sempat dikatakan Ardhan sebelumnya."Apa ini? Kenapa aku harus menyerah? Lagi pula, tidak ada kepastian mengenai hubungan mereka. Mengapa aku harus mundur hanya karena omong kosong seperti itu?" batin Budiman.Peringatan Ardhan yang sebelumnya tidak berpengaruh apa-apa bagi Budiman. Dirinya malah semakin tertantang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya tersebut. "Baiklah, kalau melarangku untuk mendapatkannya. Maka, aku akan melakukan segala cara dengan caraku sendiri. Hah, wanita mana yang tidak tergoda dengan pria yang banyak uang!" batin Budiman.Ardhan menoleh ke arah Nara. Ia memberikan tatapannya yang tajam. Sepasang matanya seolah mengatakan 'Jangan menerima lelaki manapun! Mau harus ingat itu!' Nara yang melihat hal
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih sekitar 7 menitan dari sana. Nara, Ardhan dan Budiman pun kini telah telah sampai di tempat tujuan mereka sebelumnya.Namun, rupanya drama sebelumnya belum selesai. Kini, ia mereka kembali mempermasalahkan tempat duduk. "Kamu duduk dengan saya!" ujar Ardhan dengan nada dingin.Nara pun duduk di sebelah Ardhan. Sedangkan Budiman yang merasa terkalahkan, membuatnya tidak terima ketika melihat gebetannya mau direbut orang lain yang padahal istri dari rivalnya itu sendiri."Eh, kenapa di sana? Lebih nyaman dengan saya di sini," celetuk Budiman."Wah, ternyata dia belum paham dengan peringatan tadi!" batin Ardhan, geram. Tatapannya seakan semakin menghujam jantung Budiman.Namun, Budiman mengabaikannya. Ia berusaha untuk merebut wanita pujaan hatinya tersebut.Ardhan semakin merasa panas, hatinya ingin mengungkap hubungannya dengan Nara. Tetapi, ada sebuah alasan kuat yang membuatnya hanya bisa bersabar saja. Dirinya belum bisa mengungkapkan hal i
"Saya mau pesan makanan yang paling laris saja di sini!" ujar Ardhan tanpa menjelaskan dengan pasti apa yang diinginkannya. Dirinya hanya menyerahkan dan mempercayakan pesanannya itu kepada pramusaji tersebut.Budiman pun malah memberikan jawaban yang tak terduga. "Saya juga sama!" jelasnya.Ardhan terdiam. Tetapi, ia menduga jika sebenarnya Budiman tidak terlalu menginginkan makan bersama dengannya. Sebab, ada Nara yang menjadi incarannya kala itu."Baik, kalau begitu mohon tunggu sebentar, ya~!" ucap pramusaji itu, lalu melangkah pergi dari meja nomor 9.***Tok Tok Tok Suara ketukan pintu terus terdengar di telinga Verra. Bahkan, suara itu terdengar lebih sering, seakan tidak mau menyerah begitu saja ketika pintu masih tertutup dan tak kunjung dibuka.Kala itu, Verra tengah berada di ruang keluarga, menyaksikan acara televisi. Suara ketukan pintu yang tak kunjung berhenti, membuatnya langsung mengecilkan volume televisi tersebut."Siapa itu? Tidak mungkin kalau Nara datang ke sini
"Nara sudah menikah tiga minggu yang lalu. Sekarang dia tinggal bersama suaminya!" jelas Verra.Kakek Roland pulang bukan tanpa tujuan. Ia datang ke rumah mereka karena ingin bertemu dengan Nara."Kalau begitu, bisa tolong berikan alamat rumah suaminya?!" Rivanto menoleh ke arah Verra -- istrinya. "Ambilkan pulpen dan kertas!" pintanya.Lantas, Verra pun bangkit dari duduknya. Ia melangkah pergi sesegera mungkin untuk mengambil buku kecil beserta pulpen hitam."Papa, kalau saja aku tahu Papa masih hidup, aku sudah pasti akan menyusul ke tempat Papa. Tapi ketika itu ada kabar mengejutkan yang menyatakan kalau Papa sudah meninggal. Dan bodohnya waktu itu langsung percaya begitu saja dengan berita palsu itu!" tutur Rivanto.Tak lama dari itu, Verra kembali dengan membawa apa yang diminta oleh suaminya tersebut. Verra segera duduk di kursi yang bersebelahan dengan Rivanto sembari menyodorkan dua barang yang dipegang di tangan kanannya. "Ini."Tanpa berlama-lama, Rivanto pun menerimanya.
[Halo, kenapa, Pa?] Nara langsung mempertanyakan hal itu begitu dirinya menjawab telepon dari Rivanto. Ia yang tidak punya waktu banyak, tidak mau jika hanya buang waktu untuk basa-basi saja.Sebab, ia pun tahu bagaimana Rivanto basa-basi. Ia sendiri pun takut jika ada orang yang mendengar obrolannya ini bahkan lebih parahnya jika sampai melaporkannya kepada Ardhan -- suaminya sendiri.[Kenapa kamu tanyakan hal itu? Sepertinya kamu tidak suka berbicara dengan Papamu sendiri!]Rivanto terdengar kesal dal telepon itu. Nadanya menjadi dingin dan berbeda. Ia tidak seceria seperti sebelumnya.[Bukan begitu, Pa. Tapi--....][Padahal Papa cuma mau mempertemukan kamu dengan Kakekmu!]"Seingatku, aku sudah tidak punya Kakek. Semuanya sudah tiada dan hanya ada orang tuaku saja," gumam Nara sembari terus mengingat. Ardhan yang ketika itu mendengar kata 'Pa' membuatnya semakin menyembunyikan dirinya."Papa? Kalau begitu, kenapa dia sampai bersembunyi begitu kalau cuma berbicara dengan Papa mer
[Cepat sekarang kamu ke sini!] ajaknya dengan tegas.Nara tidak bisa langsung memutuskan. Ia menoleh ke belakang. Ardhan yang tengah memantau pun langsung menyembunyikan kepalanya yang sempat keluar dari tempat persembunyiannya tersebut.[Iya, Pa. Tapi harus izin dulu.][Kamu kerja di perusahaan suami kamu sendiri, mana mungkin dilarang! Kalau sampai melarang, kamu bilang sama Papa, biar Papa omeli dia!][Eh, jangan begitu, Pa. Iya nanti aku bakal pergi ke sana. Sekarang aku sudahi dulu teleponnya. Nanti aku kabari lewat pesan teks saja.][Awas kamu, jangan sampai tidak ke sini!]Nara menghela nafas lembut. [Iya-iya. Ya sudah, sampai nanti, Pa. Tapi jangan terlalu menunggu juga.]Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Entah akan mendapat izin atau malah larangan keras dari Ardhan. Sebab, ia sendiri pun tidak memahami betul jalan pikiran suaminya yang dengan mudahnya berubah pikiran dan sikap.Tuutt.Tanpa melakukan basa-basi apapun lagi, Nara pun langsung mematikan teleponnya begitu sel
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-