[Halo, kenapa, Pa?] Nara langsung mempertanyakan hal itu begitu dirinya menjawab telepon dari Rivanto. Ia yang tidak punya waktu banyak, tidak mau jika hanya buang waktu untuk basa-basi saja.Sebab, ia pun tahu bagaimana Rivanto basa-basi. Ia sendiri pun takut jika ada orang yang mendengar obrolannya ini bahkan lebih parahnya jika sampai melaporkannya kepada Ardhan -- suaminya sendiri.[Kenapa kamu tanyakan hal itu? Sepertinya kamu tidak suka berbicara dengan Papamu sendiri!]Rivanto terdengar kesal dal telepon itu. Nadanya menjadi dingin dan berbeda. Ia tidak seceria seperti sebelumnya.[Bukan begitu, Pa. Tapi--....][Padahal Papa cuma mau mempertemukan kamu dengan Kakekmu!]"Seingatku, aku sudah tidak punya Kakek. Semuanya sudah tiada dan hanya ada orang tuaku saja," gumam Nara sembari terus mengingat. Ardhan yang ketika itu mendengar kata 'Pa' membuatnya semakin menyembunyikan dirinya."Papa? Kalau begitu, kenapa dia sampai bersembunyi begitu kalau cuma berbicara dengan Papa mer
[Cepat sekarang kamu ke sini!] ajaknya dengan tegas.Nara tidak bisa langsung memutuskan. Ia menoleh ke belakang. Ardhan yang tengah memantau pun langsung menyembunyikan kepalanya yang sempat keluar dari tempat persembunyiannya tersebut.[Iya, Pa. Tapi harus izin dulu.][Kamu kerja di perusahaan suami kamu sendiri, mana mungkin dilarang! Kalau sampai melarang, kamu bilang sama Papa, biar Papa omeli dia!][Eh, jangan begitu, Pa. Iya nanti aku bakal pergi ke sana. Sekarang aku sudahi dulu teleponnya. Nanti aku kabari lewat pesan teks saja.][Awas kamu, jangan sampai tidak ke sini!]Nara menghela nafas lembut. [Iya-iya. Ya sudah, sampai nanti, Pa. Tapi jangan terlalu menunggu juga.]Ia tidak tahu apa yang akan terjadi. Entah akan mendapat izin atau malah larangan keras dari Ardhan. Sebab, ia sendiri pun tidak memahami betul jalan pikiran suaminya yang dengan mudahnya berubah pikiran dan sikap.Tuutt.Tanpa melakukan basa-basi apapun lagi, Nara pun langsung mematikan teleponnya begitu sel
"Tenang saja, Pa. Nara pasti akan datang ke sini. Hanya saja mungkin dia butuh waktu dan izin dari suaminya dahulu!" kata Rivanto kepada Kakek Roland dengan antusiasnya.Kakek Roland pun senang mendengarnya. "Kalau begitu, kita harus melakukan penyambutan untuk Nara! Aku sudah tidak sabar mau bertemu cucuku yang cantik!" sahutnya dengan wajah gembira. Verra yang baru saja menyelesaikan memasaknya pun kembali dari dapur. "Papa mertua, makanan sudah siap! Sekarang kita makan siang dulu!" ajaknya dengan sopan."Aku belum lapar. Nanti saja kalau Nara sudah datang ke sini!" sahut Kakek Roland.Namun, Verra khawatir jika Nara tidak datang dengan cepat ke sana. "Tapi, nanti makanannya keburu dingin. Kalau buat Nara, nanti aku bisa memasak lagi," ujar Verra mencoba memberi pengertian kepada Kakek Roland.Sementara itu, Nara kini sudah memasuki mobil dan duduk berdampingan di dalam sana. Ardhan tidak langsung menyalakan mesin mobilnya. Salah satu tangannya memegang setir mobil, sedangkan yan
"Saya cuma mau minta izin sama kamu supaya mengizinkan saya untuk pulang sebentar saja bertemu mereka."Ardhan terdiam. Dirinya menoleh ke arah Nara yang tampak gelisah.Nara sendiri memang bingung entah apa yang terjadi. Antara percaya atau tidak dengan kehadiran Kakeknya yang mana dahulu sudsh dinyatakan meninggal."Ada apa sebenarnya? Katakanlah!"Nara menggelengkan kepala, ia menoleh ke arah Ardhan sembari tersenyum. Tetapi, senyuman itu tampak terpaksa. Seperti ada beban yang dipikul dalam pikirannya."Jangan mencoba menyimpan semuanya sendirian! Kamu tahu sendiri 'kan kalau .... Meskipun pernikahan kita ini kontrak, tapi sadarilah kalau kita ini suami-istri dan sudah seharusnya kamu berbagi masalah dengan saja!" jelas Ardhan. Ia tidak mengerti dengan pola pikir Nara yang serba menyimpan semuanya sendiri tanpa mau menceritakan masalahnya."Mas, saya tahu kita memang masih keluarga. Tapi, untuk masalah yang satu ini .... Saya mohon, jangan ikut campur."Ardhan langsung menyalakan
Kakek Roland memasuki mobil civic yang terparkir di depan rumah sana. Ia memarkirkannya sebentar dan langsung tancap gas pergi. "Aku tidak menyangka kalau Papa akan kembali," gumam Rivanto. "Tapi ini kabar baik, sepertinya dengan begini... aku bisa mendapatkan banyak pertolongan untuk menjalankan misiku."Kakek Roland menaruh alamat rumah dalam secarik kertas itu di depan. Ia berusaha mencari alamat tersebut dengan semangat."Aku harus menemukan rumahnya!" Walaupun sudah tua, tetapi Kakek Roland masih dapat melihat dengan jelas tanpa perlu menggunakan kacamata. Hingga, setelah mengelilingi jalanan di kota, ia berhasil menemukan alamat yang dicarinya tersebut. Ia menepikan mobil di depan sebuah rumah yang besar nan mewah itu. Ia membuka pintu mobil itu perlahan dan segera turun. Para bodyguard yang melihat Kakek tua ada di depan gerbang sana, memunculkan rasa curiga dalam benak mereka. "Siapa orang Itu?" tanya salah seorang bodyguard yang tengah berjaga dengan gagahnya.Lalu, body
Nara belum menjawab, tetapi Tini dengan cepat menariknya keluar dari kantor untuk ikut bersamanya. "Apa tidak ada salahnya aku ke tempat karaoke sebentar?" batin Nara.Ia memilih hal itu, karena untuk pulang ke rumah pun rasanya tidak begitu nyaman. Dirinya yang sedang perang dingin dengan Ardhan, membuatnya ingin mencari hiburan sebentar."Kenapa malah melamun? Ayo, kita harus bersenang-senang! Lagi pula, jarang-jarang juga kita bisa pergi bareng ke tempat karaoke begitu!" kata Tini.Nara yang ada di sampingnya pun kemudian melanjutkan langkah kakinya. Mereka memasuki lift yang ada di sana."Tapi, kalau aku pergi begini, apa Mas Ardhan akan baik-baik saja? Aku khawatir dia malah semakin marah," batin Nara.Matanya tampak melamun. Ia hanya terdiam tanpa banyak bicara, meskipun saat itu Tini begitu tampak senang dan antusias untuk pergi dengan Nara."Apa yang kamu pikirkan, Nara?" tanya Tini dengan kepala miring ke arah Nara. Pintu lift terbuka, mereka pun segera keluar dari dalam sa
Tini menepikan mobil tepat di depan sebuah tempat karaoke. Di sana, Ardhan pun menepikan mobilnya. Sedangkan Ardhan, ia tertinggal di belakang dan kini tengah mencari mobil dengan flat mobil yang diikutinya. Karena terlalu jauh, dirinya sampai tertinggal. "Ke mana perginya mereka? Sekarang saya tertinggal!" Ardhan menggebrak setir mobilnya dengan kesal.Nara baru pertama kali datang ke tempat karaoke. Ia hanya duduk di mobil sembari memandangi bagian depan dari tempat karaoke tersebut."Ini tempatnya?" tanya Nara sembari menoleh.Tini mengangguk semangat. "Iya. Ayo!" ajaknya.Karyawan sekantor dengan Nara yang bernama Tini itu keluar dari sana dan langsung membukakan pintu mobil untuk Nara keluar."Ayo, cepat! Kita sudah ditunggu di sana!" ajaknya sekali lagi."Lho!" Nara keheranan. Ia pikir hanya mereka berdua yang datang ke sana. Rupanya, Tini sudah mengajak seseorang untuk karaoke bersama mereka.Yang awalnya Nara setuju, kini ia mulai diragukan seseorang yang tidak diketahuinya
Ego yang terlalu tinggi membuat Ardhan gengsi untuk menghubungi Nara. Walaupun perasaan di dalam hatinya terasa tidak nyaman. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres saat ini.Pada saat yang sama, ponselnya berdering. "Itu pasti Nara, merasa bersalah karena tidak izin dahulu," ucap Ardhan dengan percaya dirinya.Karena dalam isi kepala hanya tertuju pada Nara, sehingga ketika ponsel berdering pun hanya Nara yang langsung ada di teringatnya.Namun, begitu melihat ke ponsel. Wajahnya langsung berubah kecewa karena ternyata bukan dari orang yang diharapkannya tersebut.[Halo, Tuan?] [HALO. ADA APA?][Tuan, saya melihat ada orang yang mencurigakan di depan rumah.] Sebuah penjelasan singkat yang terdengar jelas. Itu adalah telepon dari rumah dan dari salah seorang bodyguard yang berjaga.Kakek Roland memang belum pergi ke mana-mana. Ia masih belum menyerah dengan perjuangannya untuk menemui Nara yang sudah lama sekali tidak ia jumpai.[Ada orang yang mencurigakan. Dia terus menunggu di dep
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-