Tini menepikan mobil tepat di depan sebuah tempat karaoke. Di sana, Ardhan pun menepikan mobilnya. Sedangkan Ardhan, ia tertinggal di belakang dan kini tengah mencari mobil dengan flat mobil yang diikutinya. Karena terlalu jauh, dirinya sampai tertinggal. "Ke mana perginya mereka? Sekarang saya tertinggal!" Ardhan menggebrak setir mobilnya dengan kesal.Nara baru pertama kali datang ke tempat karaoke. Ia hanya duduk di mobil sembari memandangi bagian depan dari tempat karaoke tersebut."Ini tempatnya?" tanya Nara sembari menoleh.Tini mengangguk semangat. "Iya. Ayo!" ajaknya.Karyawan sekantor dengan Nara yang bernama Tini itu keluar dari sana dan langsung membukakan pintu mobil untuk Nara keluar."Ayo, cepat! Kita sudah ditunggu di sana!" ajaknya sekali lagi."Lho!" Nara keheranan. Ia pikir hanya mereka berdua yang datang ke sana. Rupanya, Tini sudah mengajak seseorang untuk karaoke bersama mereka.Yang awalnya Nara setuju, kini ia mulai diragukan seseorang yang tidak diketahuinya
Ego yang terlalu tinggi membuat Ardhan gengsi untuk menghubungi Nara. Walaupun perasaan di dalam hatinya terasa tidak nyaman. Ia merasakan sesuatu yang tidak beres saat ini.Pada saat yang sama, ponselnya berdering. "Itu pasti Nara, merasa bersalah karena tidak izin dahulu," ucap Ardhan dengan percaya dirinya.Karena dalam isi kepala hanya tertuju pada Nara, sehingga ketika ponsel berdering pun hanya Nara yang langsung ada di teringatnya.Namun, begitu melihat ke ponsel. Wajahnya langsung berubah kecewa karena ternyata bukan dari orang yang diharapkannya tersebut.[Halo, Tuan?] [HALO. ADA APA?][Tuan, saya melihat ada orang yang mencurigakan di depan rumah.] Sebuah penjelasan singkat yang terdengar jelas. Itu adalah telepon dari rumah dan dari salah seorang bodyguard yang berjaga.Kakek Roland memang belum pergi ke mana-mana. Ia masih belum menyerah dengan perjuangannya untuk menemui Nara yang sudah lama sekali tidak ia jumpai.[Ada orang yang mencurigakan. Dia terus menunggu di dep
Wanita yang tengah duduk di sofa dengan kaki menyilang pun kemudian mengambilkan minuman rasa jeruk ke hadapan Nara."Minum dulu ini. Kamu pasti haus, 'kan?" ucapnya dengan lembut.Wanita dengan rambut digerai dan pakaian seksi sepaha berwarna mereka itu bersikap begitu ramah.Nara melirik ke arah minuman itu. Dirinya memang merasa haus, pulang dari kantor langsung ke tempat karaoke tersebut. Ketika di perjalanan pun tidak sempat membeli apapun."Itu jus jeruk!" ujar Tini saat melihat Nara yang hanya menatap minuman itu saja tanpa mau menyentuhnya.Dari matanya, Tini melihat bahwa Nara tampak ragu dengan minuman yang diberikan wanita asing itu kepadanya.Nara menoleh ke arah Tini. Lalu, Tini pun mengedipkan matanya. "Tidak apa-apa. Ini cuma minuman biasa saja. Sengaja aku sendiri yang memesan ini kepada Valen, karena kita mungkin akan merasa haus.""Kalau mau, camilan juga sudah tersedia banyak. Tinggal ambil saja apa yang kamu mau!" tambah Tini.Setelah mendengar hal itu, barulah Na
Pria hidung belang itu terus memandangi lekuk tubuh Nara yang tampak seksi dan meningkatkan gairah seksualnya. Ia hendak menciumnya, tetapi ...."Tunggu dulu! Bawa dia ke kasur! Aku perlu foto kalian!" ujar Valencia menahan.Valencia tidak mau jika rencananya sampai terlambat hanya gara-gara mesum bejat pria hidung belang yang tak terkendali. Ia sudah mengatur fose sendiri untuk Nara dan pria hidung belang itu."Cepat bawa dia ke sana!"Lantas, pria hidung belang pun memangku Nara dalam pelukannya. Ia merasa kesal dengan teguran Valencia tadi, tetapi demi menikmati tubuh yang diinginkannya, ia rela melakukan apa saja.Mereka berjalan sedikit saja dari sana menuju tempat tidur. Di sana, Nara dibaringkan. Pria hidung belang itu tidur di sampingnya."Lucuti pakaiannya!" Tentu saja dengan senang hati, pria hidung belang itu membuka pakaian Nara. "Buka juga pakaianmu dan berposelah! Yakinkan kalau kamu ini pacarnya!" Perintah Valencia sembari mengarahkan kamera ke arah mereka.Mereka be
Malam semakin larut, Nara memegang kepalanya. Walaupun masih terasa agak berat, tetapi Nara memaksakannya. Kali ini, ia bisa bangun, walau masih kliyengan.Ia membuka kedua matanya perlahan. Melihat suasana berbeda dari tempat tinggalnya."Ini di mana?" gumam sembari melihat ke langit-langit apartemen. Kepalanya terus mendongak, mencoba mengenali tempat itu. Tetapi, ruangan itu tidak ia kenal sama sekali. Terasa asing. Bahkan, aroma ruangannya sungguh berbeda.Dalam keheningan itu, Nara turun dari tempat tidur. Ia berjalan terhuyung-huyung menuju pintu untuk keluar dari sana. Tetapi ....Klek Klek KlekNara berusaha membuka pintu itu. Tetapi sangat sulit sekali. "Pintu dikunci!" umpat Nara kesal.Di sana pun dirinya tidak dapat melihat keberadaan kunci tersebut. "Bagaimana ini?" Dengan kepala yang masih dalam keadaan tidak nyaman, Nara dengan cepat langsung bersembunyi di bawah kolong meja ketika terdengar suara orang dari luar. Suara yang sepertinya mengarah masuk ke kamar tersebut
Dering ponsel berbunyi. Valencia mengambil ponsel itu dan melihatnya sebentar. Tanpa berlama-lama, ia pun langsung me-reject panggilan itu. "Ciihh! Sudah kuduga!" umpat Valencia.Ia menaruh kembali ponsel itu di meja sebagaimana sebelumnya.Ardhan yang merasa terabaikan pun semakin kesal."Sejak kapan dia mulai berani menolak panggilanku, heh!!!" umpat Ardhan kesal.Tanpa sepengetahuannya, rupanya kini ponsel Nara ada Valencia, agar Nara tidak dapat menghubungi keluarganya untuk meminta tolong.Ardhan yang merasa sudah diabaikan Nara pun tambah kesal. Ia pun melangkah pergi menaiki tangga untuk menuju kamar. "Harusnya tidak usah saya tunggu dia! Biarkan saja dia pergi!" umpat Ardhan sembari mendengus kesal.Klek! Ardhan membuka pintu, ia melemparkan tubuhnya pada kasur empuk. Sembari terbaring, Ardhan memandangi langit-langit kamar yang mana di dalamnya pun terasa sepi tanpa ada Nara.Ketika itu, Kakek Heraldo pun sedang tidak ada di sana. Ia sedang berada di rumahnya. Dilihatnya
Kini, Nara telah selesai mandi. Ia pun mengenakan baju handuk wanita yang memang sudah tersedia di sana. "Apa dia selalu membawa wanita ke apartemen ini, sampai-sampai baju handuk saja dimilikinya!" gumam Nara ketika berjalan keluar dari kamar mandi.Lalu, ia pun berjalan menuju ruangan lain yang tampaknya sering digunakan sebagai tempat santai. Pria itu ternyata tidak ada di sana. "Pyuuuhh untungnya," gumam Nara sembari mengeluarkan nafas lega.Ia akan merasa tidak nyaman jika harus berganti pakaian di depan pria lain. Di depan suaminya saja terkadang Nara masih malu-malu, apalagi jika harus berhadapan dengan pria yang baru dikenalnya dalam semalam saja."Pakaian sudah disiapkan! Pakai itu, jangan mengenakan baju yang kemarin!" ucapnya tiba-tiba dari ruangan sebelah.Nara langsung terhenyak kaget begitu mendengarnya. Ia takut jika pria itu mendadak datang ke sana ketika dirinya tengah berhenti baju.Ia refleks menoleh ke belakang untuk memastikan. Tetapi, ternyata tidak ada siapa-sia
Ardhan dan Nara sama-sama menuju perjalanan yang sama. Mereka tengah berada dalam mobil. Entah siapa yang akan datang lebih dahulu ke rumah Rivanto.Tetapi, yang jelas keduanya selalu teringat walau hanya sekilas. Ardhan mengingat Nara karena khawatir jika terjadi sesuatu kepada istrinya. Sedangkan Nara, ia mengingat Ardhan karena takut dimarahi, sehingga memilih untuk pulang ke rumah orang tuanya saja."Semoga Mas Ardhan tidak marah padaku," batin Nara. Ia sendiri tidak tahu entah ada pesan atau panggilan masuk ke ponselnya. Yang jelas, semuanya menjadi kabur semenjak ponsel tidak ada di tangannya. Ia tidak dapat mengetahui sesuatu."Aku tidak menyangka Tini bisa merencanakan hal selicik ini," batin Nara, kesal.Sepanjang perjalanan, Nara hanya terdiam sembari memendam kekesalan yang membeku. Ia pun bertekad untuk lebih hati-hati dan tidak lagi percaya pada sembarang orang. Termasuk pada pria baik yang ada di sampingnya."Sebenarnya, apa maksud ini juga menolongku dan memberikan per
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-