[Kamu betulan lupa atau cuma pura-pura lupa sama Mama dengan janji kamu pagi tadi?]Ardhan terdiam sejenak. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Menata ulang apa yang tersimpan di dalam isi kepalanya. Sampai pada akhirnya ia ingat dengan apa yang sempat ia katakan secara terburu-buru.[Oh ya, Maaf, Ma.]Selepas itu, Ardhan pun membuka salah satu aplikasi digital. Ia menggunakan aplikasi itu untuk mentransfer uang itu ke nomor rekening Sarah. [Sudah, Ma.]Sarah yang mendengar hal itu pun langsung mengecek aplikasi mobile dari salah satu perusahaan bank tersebut. Setelah betulan masuk, Sarah pun menjadi tersenyum ceria. Bibirnya tidak lagi kecut. [Iya, sudah Mama terima jumlahnya. Terima kasih banyak, Nak, walaupun jumlahnya masih agak kurang. Tapi tidak masalah.][Pakai dulu yang ada itu, Ma. Tapi cobalah untuk mengatur pengeluaran lebih baik lagi, Ma. Karena hidup tidak akan selalu sama.]Satu peringatan yang Ardhan tunjukkan khusus untuk Sarah lewat telepon itu. Nam
"Ra, kenapa malah bengong lagi? Kita karaokean saja, yuk, nanti!" ajaknya sekali lagi dengan antusias.Tetapi, Nara tetap merasa lemas tanpa gairah. Dirinya tidak bersemangat untuk melakukan hal itu."Gimana nanti saja, ya, Tin.""Ya sudah, deh. Sepertinya lagi gak mau diganggu," celetuk Tini, lalu melangkah pergi dari hadapan Nara.Saat ini bukan Nara tidak membutuhkan hiburan. Hanya saja ia lebih tertarik untuk menyelesaikan masalahnya. Walaupun begitu, ia belum memberikan keputusannya karena memang bisa saja sewaktu-waktu berubah. "Kalau aku pergi ke tempat karaoke, nanti Mas Ardhan marah," gumam Nara.Sementara itu, kini Ardhan tengah berada di salah satu butik yang ada di kota tersebut. Dirinya membeli baju karena memang sedang tidak ingin bolak-balik ke rumah. "Sepertinya pakaian ini cocok untukmu. Bagaimana, mau coba?" tanya pemilik butik tersebut.Ardhan melihatnya sejenak dan kemudian mengambilnya. Ia pergi ke tempat ganti baju untuk mengganti pakaiannya tersebut.Saat ten
Perjalanan kali ini begitu terasa melelahkan, Ardhan berjalan memasuki ruangannya dengan tubuh yang tampak kurang bersemangat. Ia bahkan tidak menyapa Nara kala melewatinya."Pak Ardhan!" seru Nara.Namun, Ardhan terus berjalan menuju kursi dan langsung terduduk di sana. Ia membuka laptopnya -- berusaha mengalihkan pikiran tidak karuannya dengan lebih terfokus pada pekerjaannya."Apa dia masih marah?" gumam Nara sembari melihat Ardhan yang tampak dingin.Sebelumnya, sikap Ardhan memang terlihat dingin, tetapi masih menyahut apa yang ia katakan. Walaupun tidak sepenuhnya mendapat respon.Nara yang dalam keadaan itu kembali dibuat bingung. Tetapi, karena dirinya harus bersikap profesional, sehingga membuatnya memberanikan diri untuk mendekat ke arah Ardhan.Tuk Tuk Tuk.Suara sepatu hak tinggi yang terdengar di telinga Ardhan membuatnya melirik. Tetapi, lirikan itu tidak lebih dari sepuluh detik.Lalu, Nara berdiri di samping Ardhan. "Pak Ardhan, saya mau memberi tahukan jadwal kita h
[Tapi, kamu janji tidak akan marah sama Papa?]Nara semakin merasa aneh mendengarnya. [Kenapa harus marah, Pa, kalau Papa tidak melakukan sesuatu yang buruk?]Namun, Nara mikir-mikir lagi. Ia berpikir, mungkin saja Rivanto memang melakukan sesuatu niat jahat yang selama ini telah direncanakannya. Tetapi, rencana apa?"Tidak! Sebaiknya tidak aku katakan apa yang sebenarnya terjadi!" pikir Rivanto memutuskan. Yang awalnya hendak ia katakan apa yang sebenarnya telah terjadi, kini dirinya memilih untuk menyembunyikan hal itu dari Anaknya.Nara yang tengah berdiri sembari menunggu kepastian pun ia bersedia mendengar cerita yang memberinya harapan seolah akan diceritakan kepada Nara mengenai sebuah kebenaran. Namun, nyatanya ....[Jadi, Papa meminta tolong sama kamu. Papa sudah menemukan orang yang menculik kamu, sekarang Papa minta supaya kamu mau melepaskan orang yang terkena tuduhan itu!]Ucapan Rivanto terlalu berkelok, Nara harus berpikir keras untuk mencernanya. [Maksud Papa apa? T
Tuk Tuk TukBegitu suara langkah kaki terdengar mengarah padanya. Ardhan segera menyibukkan dirinya dengan laptop, bersikap seolah-olah tidak peduli dengan apa yang telah Nara lakukan."Siapa yang menelepon?" tanya Ardhan dengan nada dingin, tetapi pandangannya tetap pada laptop yang ada di hadapannya."Dia memang tidak berubah. Selalu ingin tahu soal apapun!" umpat Nara dalam benaknya.Ia menghentikan langkah kakinya dan berdiri dua langkah di samping Ardhan."Saya tanya sama kamu. Kenapa malah diam saja?!"Nara tersenyum tipis, ia mencoba sabar dengan pertanyaan itu. Berusaha memaklumi suaminya yang selalu ingin tahu apa saja mengenai dengan siapa saja ia berbicara."Tadi Papa saya menelepon. Biasa, ada sedikit kepentingan, Pak.""Mana mungkin selama itu," balas Ardhan dengan nada yang seakan tidak percaya dengan ucapan Nara.Tidak tahu lagi Nara harus bagaimana menjelaskan hal itu kepada suaminya. Tetapi ...."Mau percaya atau tidak, keputusan ada pada Anda. Yang penting saya sudah
"Kalau begitu, saya minta maaf karena selalu merepotkan Anda di waktu yang tidak terduga," ungkap Nara dengan tubuh agak membungkuk sopan.Ardhan yang melihat Nara semacam itu membuatnya sedikit merasa bersalah. Ia pun kemudian terdiam dan berpikir ...."Apakah perkataanku salah? Kenapa malah jadi begini? Apa dia tersinggung?" batin Ardhan.Nara segera melihat ke jam tangannya. Ia melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.20. Matanya langsung membelalak."Kenapa waktu berjalan begitu cepat?" gumam Nara."Ada apa?" tanya Ardhan begitu melihat reaksi Nara yang tampak syok."Kita harus segera menemui klien kita. Kali ini tidak boleh sampai terlambat!" ungkap Nara. Dirinya pun menyiapkan segalanya.Ardhan bangkit dari duduknya. Ia membereskan semua yang diperlukan untuk rapat nanti bersama kliennya."Bawa semua yang diperlukan. Dan ini ... Tolong bawa juga!" perintah Ardhan kepada Nara.Nara pun langsung mengambil semua yang diperlukan untuk rapat nanti.Tak lama dari itu, ponsel Nara
"Mengenai kerjasama bisnis kita kali ini, saya mau melibatkan istri Anda untuk hal ini!" kata Budiman.Ardhan langsung syok mendengarnya. Raut wajahnya seolah mengatakan. Bagaimana dia bisa mengetahui kabar pernikahanku, sedangkan aku saja tidak mengundang banyak orang ke acara pesta itu?Namun, dengan tenangnya Budiman melanjutkan kalimatnya. "Saya memang mengetahui hal ini. Tapi, saya harap Anda tidak bertanya siapa yang memberitahukan hal ini kepada saya. Jika setuju, maka saya akan langsung menandatangani perjanjian kontrak ini sekarang juga."Ardhan menoleh ke arah Nara. Ia menjadi khawatir jika hal ini sampai tersebar lebih luas lagi. Hatinya merasa geram, karena menurutnya pasti ada orang dalam keluarganya yang membocorkan hal semacam ini."Reyhan!!!" batin Ardhan sembari mengepalkan salah satu tangannya. Nara sendiri tidak tahu bagaimana orang itu bisa mengetahui hal tersebut."Kenapa sampai ada yang tahu mengenai pernikahan kami?" Nara melirik ke arah Ardhan. Lalu, perlahan
Secara perlahan, Nara menjelaskan dengan nada berbisik. Walaupun Ardhan agak memuakkan untuk dirinya, tetapi tetap saja ia berpikir bahwa ada sisi baik Ardhan yang masih teringat dan tidak mungkin hanya mengingat keburukannya saja."Pak Ardhan, tadi Anda tampak melamun. Sekarang klien kita sedang menunggu pembahasan kita selanjutnya."Di depan Nara, Ardhan tetap jaga image ketika sebelumnya ia merasa melakukan sesuatu yang memalukan dengan melamun."Kontraknya cepat berikan pada dia!" bisik Ardhan."Sudah, Pak. Klien kita sudah menandatanganinya. Sekarang dia sedang menunggu Anda," balas Nara berbisik berusaha menjelaskan perlahan akan hal itu.Ardhan yang merasa bahwa beberapa saat yang lalu dirinya telah mengabaikan Budiman pun langsung mengarahkan tubuhnya kembali pada klien tersebut."Oh ya, bagaimana kalau sekarang kita makan siang bersama di luar?" ajak Ardhan untuk mencairkan suasana kembali setelah beberapa saat membeku. Budiman mengubah posisi duduknya sebentar. Ia sedikit m
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-