Namun, Ardhan seolah tidak mendengar ucapan Nara. Pertanyaan yang terlontar keluar dari mulut Nara seolah senyap di telinga Ardhan. "Mas!" seru Nara sekali lagi.Tetapi, Ardhan masih tidak menyahut. Pria itu terus mengayunkan langkah kakinya pada seorang wanita yang ia pikir adalah wanita yang sama saat ia lihat di jalan.Melihat suaminya yang berjalan ke arah seorang wanita, Nara pun lekas menghentikan langkahnya. "Siapa wanita itu?" gumam Nara.Ardhan terus mendekat, ia menyentuh lengan wanita yang ada di hadapannya. Hal itu membuat wanita tersebut menoleh ke arah Ardhan. Namun, ...."Maaf, siapa ya?" ucap wanita itu begitu melihat sosok Ardhan yang tampak asing baginya.Ardhan yang salah orang pun langsung meminta maaf, karena ia tidak mau disangka pria cabul. "Saya minta maaf, sepertinya saya salah orang," ucap Ardhan dengan kedua tangan menyatu di depan dada.Sebelum Ardhan membalikkan badan, Nara sudah terlebih dahulu pergi. Ia kembali ke sebuah kursi pantai dan menikmati cam
Rivanto yang mendengar Notif langsung kegirangan. Dirinya pun dengan semangat langsung pergi menuju bank untuk mengambil uang tersebut.[Terima kasih, Nara. Papa kira kamu lupa karena dari kemarin belum mentransfer uangnya ke Papa] Satu pesan singkat yang masuk ke ponsel Nara. Nara langsung membacanya, lalu membalas.[Maaf, Pa, Mas Ardhan yang kelupaan. Tapi, Papa senang 'kan karena sudah mendapatkan uangnya?] [Iya, Nak. Papa sangat senang sekali. Lain kali Papa akan memberitahu kamu kalau membutuhkan uang lagi]Di sela-sela waktu senggang itu, Nara pun membalasnya kembali. Ini untuk terakhir kali setelah dirinya mentransfer uang.[Baiklah]"Ayo kita kembali ke hotel sekarang!" ajak Ardhan.Ardhan pergi begitu saja dengan Nara menuju tempat parkir. Setelah keduanya menaiki mobil, Ardhan pun memarkirkan mobil tersebut untuk pulang. Di dalam perjalanan, Nara masih dibuat bingung dengan ucapan Reyhan serta tindakan Ardhan yang tampak berbeda. "Aku harus membuktikan semuanya. Tapi, ..
Waktu terus berjalan. Kini sudah memasuki malam, Nara yang berada di dalam hotel tanpa melakukan apapun itu membuatnya bosan. "Mas, saya mau keluar sebentar," ucap Nara."Tidak boleh!" jawab Ardhan. Jawaban singkat dengan tegas. Sepertinya Ardhan memang tidak akan membiarkan Nara pergi sendirian."Tapi saya lapar, Mas. Saya mau mencari makanan sebentar saja ...."Sekali Ardhan melarang, tentu saja itu tidak bisa ditawar dengan apapun. Ardhan memang keras kepala jika sudah melarang sesuatu.Sebetulnya, saat itu Nara tidak tahu harus melakukan apa. Jika berjalan-jalan di luar, sepertinya tidak akan terlalu membosankan. Begitulah yang ada di dalam pikiran Nara."Kalau mau makan, kita bisa memesannya! Tinggal kamu bilang saja mau makan apa?!" Nara tidak punya alasan lagi, akhirnya ia pun mengatakan hal yang sebenarnya. "Saya bosan, Mas. Kamu tahu 'kan kalau malam ini mungkin akan menjadi malam yang panjang karena sampai sekarang belum juga mengantuk.""Kalau begitu, bagaimana kalau kita
Tak ada rasa lapar dalam perut Ardhan. Itu hanya ia jadikan alasan, agar Nara tidak bepergian dan dirinya bisa dengan bebas mencari tahu apa isi dari ponsel istrinya tersebut.Rasa penasaran berlebih itu yang membuatnya memutar otak. Mencari tahu dengan trik cerdiknya. Tetapi, Nara yang sejak awal sudah memiliki rencana dalam pernikahan ini. Membuatnya tidak mau kalah atau tidak mau dibodohi. Ia pun memainkan trik halusnya."Kamu saja yang dahulu makan.""Tapi kamu pesan makan sebanyak ini. Kalau tidak sama kamu, kenapa kamu pesan juga?"Ardhan masih belum berselera makan. Kalaupun makan, ia harus memastikan terlebih dahulu mengenai apa yang dicarinya. Dirinya tidak mau membuang kesempatan ini."Kalau aku makan, bagaimana kalau ponselnya mati lagi. Alasan apa lagi yang harus aku cari agar bisa mencari tahu tentang dirinya?" Itulah pemikiran Ardhan selama di samping Nara.Wanita itu tampak sangat jengkel. Rupanya, Ardhan masih sangat curiga dengan dirinya. "Ini berbahaya kalau dia teru
Nara segera bangkit dari duduknya. Ia mencuci tangannya sebentar. "Sekarang kamu malah pergi begitu saja tanpa mau tanggung jawab sama sekali!" sentak Ardhan.Namun, saat itu Nara hanya tersenyum. Ia tidak langsung tersulut emosi, karena dirinya pun mengerti bahwa Ardhan pasti merasa tidak nyaman.Nara berjalan keluar dari kamar hotel tanpa menjawab Ardhan ucapan Ardhan. Ia memasuki lift untuk kemudian pergi menuju minimarket terdekat. "Dia itu badan saja yang besar dan tinggi, tapi sama makanan pedas saja kalah," umpat Nara. Di sini, Nara pun merasa bersalah. Tetapi, saat ia mengingat apa yang dilakukan Ardhan kepadanya, itu membuatnya berpikir 'Sepertinya tidak salah, supaya dia sadar dan tidak berbuat sesuka hatinya saja'Nara keluar dari lift dan buru-buru menuju pintu keluar dari lobi tersebut. Perjalanan semakin terasa saat cuaca di luar semakin panas. Namun, hal ini tidak jadi masalah untuk Nara.Sementara itu, di kamar hotel itu Ardhan menggerutu kesal. Ia hendak menyusul, te
Malam semakin larut, tetapi Ardhan tidak dapat tidur dengan nyenyak. Perutnya terus bergemuruh meminta ke kamar mandi terus menerus. Ardhan terus memegang perutnya, menahan rasa tidak nyaman pada perut. Ia berusaha menahan agar tidak terus menerus ke kamar mandi. Tetapi, rasa mulas itu seolah terus mendobrak anusnya untuk mengeluarkan isi perutnya tersebut.Nara yang terlalu banyak makan pun membuatnya semakin cepat mengantuk. Ia tidur di sofa tanpa sempat pindah ke tempat tidur. Sampai, tidak terasa waktu sudah pagi. Cahaya matahari mulai menampakkan dirinya dan masuk melalui celah-celah jendela."Hoooaaamm!" Ardhan menguap. Jadwal mereka yang seharusnya sudah siap-siap untuk pulang, Ardhan malah dilanda rasa kantuk yang membuatnya tertidur.Pada saat yang sama, Nara terbangun. Ia menggeliat, lalu menoleh ke arah Ardhan yang masih tertidur. Nara pikir, suaminya masih tidur. Padahal, Ardhan baru bisa mengistirahatkan dirinya setelah semalaman ia bolak-balik ke kamar mandi."Padahal
"Mas, setelah makan bersiaplah, hari ini kita akan pulang!" ujar Nara sembari membereskan bekas makanannya. Nara beranjak dari duduknya, lalu melangkah menuju kamar mandi untuk mencuci tangannya sebentar."Saya akan siapkan pakaian buat kamu. Jadi, bersiaplah, Mas!" ujar Nara sekali lagi.Walaupun Nara hanya kebagian salad sayuran, tetapi Nara tetap menghabiskannya dan kini ia sudah merasa kenyang. Nara membuka tutup botol air minum dan kemudian meneguknya secara perlahan."Kenapa buru-buru sekali?" sahut Ardhan dengan santainya.Pria itu melangkah menuju kamar mandi dengan langkah malas. Ia seolah tidak mau cepat-cepat pergi dari tempat itu.Sembari menunggu Ardhan selesai mandi, Nara menyiapkan pakaian yang akan dipakai oleh suaminya hari ini. Ia menyiapkannya dengan hati-hati. "Walaupun pernikahan ini tanpa cinta, tapi aku adalah seorang istri. Bagaimanapun juga, aku harus tetap melakukan tugasku. Tapi, aku juga akan terus menjaga hatiku agar tidak mencintainya," batin Nara sembar
Setelah beberapa menit di dalam toilet untuk menenangkan gemuruh pada jantungnya, Nara pun keluar dari dalam sana.Ia berjalan menuju sebuah koper dan mengemas yang masih tersisa. Setelah semuanya siap, Nara pun mengambil ponsel dan menyeret kopernya keluar dari kamar itu. Ardhan yang melihat Nara tampak kesulitan karena barang yang dibawanya berat, membuat Ardhan antusias merebut koper itu. "Biar saya saja yang bawa. Kamu jalan saja!" "Tidak usah, Mas," sahut Nara.Tetapi, Ardhan bersikeras merebut koper tersebut dan berjalan keluar dari kamar hotelnya tersebut.Namun, keadaan berbeda dengan di rumah. Reyhan yang masih berada di rumah Ardhan itu tak kunjung pergi. Pria itu terus mendekati Kakek Heraldo. Berharap agar Kakek Heraldo mau memberikannya kepercayaan mengelola sebuah posisi tinggi di perusahaan itu.Kakek Herlado yang ingat bahwa hari ini adalah jadwal kepulangan Ardhan dan Nara dari pulau dewata, itu membuatnya bergegas pergi."Kakek mau pergi ke mana?" tanya Reyhan."Ma
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-