"Tuan memanggil Anda ke ruang kerjanya, Nyonya!" ujar Rico dengan tubuh agak membungkuk sopan."Baiklah!" sahutnya.Saat itu, Nara tampak kebingungan. Entah harus kemana ia melangkah, sedangkan dirinya baru tinggal di sana beberapa jam lamanya. Ia belum begitu mengetahui setiap tempat di rumah itu.Untungnya, Rico dengan sigap langsung paham dengan kondisi Nara. Ia menunjukkan ruang kerja Ardhan yang letaknya memang agak jauh dari arah sana."Biar saya tunjukkan tempatnya kepada Anda, Nyonya!" kata Rico dengan tangan mempersilakan. Nadanya agak berat dan tegas, hingga membuat dirinya tersentak kaget saat tengah melamun."Baiklah."Pria muda dengan rambut cepak itu berjalan dengan tegap di depan Nara, sedangkan Nara hanya mengikuti.Sampai pada akhirnya langkah kaki itu terhenti di samping sebuah pintu besar dan kokoh yang masih dalam keadaan tertutup rapat."Kita sudah sampai, Nyonya. Silakan!" Rico membukakan pintu ruang kerja Ardhan sedikit. Dengan perasaan ragu, Nara memasuki ruang
Dengan tubuh sempoyongan, Nara menyelesaikan langkah kakinya untuk menuju kamar. Nafasnya tersengkal-sengkal membuat salah satu tangannya bertumpu di pintu kamar dengan badan agak condong ke depan. Perlahan, ia mengatur nafasnya sebentar sebelum memasuki kamar."Tatapannya membuatku sulit bernafas, apalagi saat membayangkan tubuhnya yang ....""Apakah aku akan kuat jika nanti dia memintanya?"Nara kembali dihantui bayangan menakutkan saat dirinya nanti harus meladeni birahi pria itu demi memenuhi kontrak pernikahan yang sudah tertulis yang menyatakan bahwa dirinya harus melahirkan seorang bayi yang sehat.Kriieett! Pintu dibuka perlahan.Setelah sekiranya nafas kembali normal, ia pun mengayunkan kakinya memasuki kamar, lalu pintu itu ditutupnya kembali. Namun, setibanya di sana ia malah dikagetkan dengan sosok pria bertubuh tegap dengan rambut ikal yang perlahan berbalik badan sembari melontarkan sebuah senyuman kepadanya."Reyhan ...!" seru Nara dengan kaki terhenti seketika.Pria it
Nara memandangi punggung Reyhan dari belakang. Jari jemari tangannya saling meremas karena perasaan gugup sekaligus bingung yang kian menguasai pikiran."Apa pilihan aku ini benar? Apa dia memang mau membantuku?"Namun, dibalik semua itu, tanpa sepengetahuan Nara. Rupanya, saat ini Reyhan sedang tersenyum jahat karena merasa sesuatu telah berjalan sesuai rencananya."Bagus! Teruslah begini dan percayalah padaku, yakinlah bahwa aku akan membantumu. Lalu, setelah itu masuklah ke dalam perangkapku yang lebih dalam!" batin Reyhan sebelum dirinya berbalik."Baik, aku akan mendengarkan kamu, tapi ... Aku mohon ... Kembalilah untuk mengatakan semua yang kamu ketahui itu!" seru Nara.Perlahan, Reyhan memutar tubuhnya lalu menghadapkan dirinya ke arah Nara. Dengan posisi kedua tangannya masih sama, di dalam saku celana.Reyhan tersenyum. Sementara, Nara hanya terdiam bingung sembari menatap wajah mantan kekasihnya itu."Aku tidak punya waktu lagi," batin Nara."Mari duduk!" ajak Nara ke sepasan
"Bersiaplah, Kakek meminta kita untuk menemuinya!" bisik Ardhan.Bisikan kalimat singkat yang membuat Nara berhenti berpikir kotor. Ia sedikit merasa lega karena ternyata pikirannya salah. Walaupun di samping itu ia merasa malu karena telah berpikir hal semacam itu."Kenapa aku bisa berpikir ke sana, sekarang aku merasa malu," batinnya sembari memejamkan mata saat ucapannya beberapa menit yang lalu semakin terngiang-ngiang di kepala. Ketika itu, mukanya sampai memerah. Ia terus menahan malu di depan suami sekaligus atasannya tersebut."Bersiap-siaplah!" Ardhan berjalan menuju walk in closet dan segera mengenakan piyama hitam di depan kaca besar. Nara hanya diam tak bergeming. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya dengan hati yang terus menggerutu. "Harusnya aku tidak mengatakan hal memalukan begitu. Sekarang aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya."Namun, kemudian ia teringat pada ucapan Ardhan yang mengatakan bahwa mereka akan bertemu Kakek Heraldo. Sontak, ingatan itu m
Keduanya terperangah kaget, bahkan Ardhan sendiri pun ternyata tidak mengetahui rencana Kakeknya ini. Sengaja, Kakek Heraldo menyiapkan tiket ini untuk cucunya agar harapannya memiliki cicit dapat segera terwujud. Itu karena berpikir bahwa di masa depan membutuhkan seorang penerus yang meneruskan usaha keluarga itu."Maksudnya?" tanya Nara dan Ardhan serentak.Baru kali ini mereka berbicara kompak begitu. Padahal, keduanya tidak dekat sama sekali.Kakek Heraldo melihat kepada mereka secara bergantian. Lalu, Kakek Heraldo menyodorkan sebuah tiket liburan.Mata Nara langsung tertuju pada tiket yang ada di meja itu. "Itu tiket apa? Apa jangan-jangan ...!" Ia begitu kaget sekaligus penasaran dengan apa yang dilihatnya saat itu."Kakek mau kalian berlibur ke pulau dewata. Tiketnya sudah Kakek siapkan, jadi bersiaplah untuk hari esok!" Dan benar saja dugaan Nara, Kakek Heraldo memang menginginkan agar keduanya pergi berbulan madu."Kenapa harus sampai bulan madu? Pasti tidak akan menyenangk
Malam semakin larut dan mata seakan membawa Ardhan untuk memasuki alam mimpi. Ardhan yang sudah membaringkan tubuhnya di atas sofa pun sudah memejamkan kedua matanya. Pemandangan ini membuat Nara terpancing untuk menoleh ke arah suaminya. Terlebih, melihatnya tidur tanpa selimut."Kenapa dia bisa tidur tanpa selimut begitu?" batin Nara. Bahkan, bantal yang digunakan pun hanya bantal sofa saja. Tak satupun bantal yang ada di tempat tidur itu diambilnya."Sekarang, setelah tinggal serumah bahkan sekamar, aku baru tahu bahwa dia tidak secuek kelihatannya," batin Nara.Selama ini, Nara berpikir bahwa dirinya akan mendapatkan perlakuan yang buruk karena melihat sikap Ardhan yang memang terkesan dingin seolah tidak peduli. Pria itu pun dikenal dengan keras kepala yang membuat siapapun tidak berani membantah terhadap apa yang diinginkannya tersebut.Namun, itu pikiran Nara dulu sebelum mereka tinggal serumah dan memiliki hubungan yang lebih dekat."Sepertinya dia memang tidur," gumam Nara pe
Mimpi buruknya semalam membuatnya ingin membersihkan dirinya dengan shower. Sampai tangannya keriput, ia baru menyadari bahwa dirinya telah begitu lama di kamar mandi.Nara segera menyelesaikan mandinya, lalu memakai baju handuk secara perlahan pada tubuhnya. Ia juga tidak lupa mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil.Cklek! Pintu kamar mandi pun terbuka.Nara mengangkat wajahnya, tetapi di sana rupanya Ardhan pun sudah berpakaian rapi. Di tangannya ada sebuah majalah dengan secangkir kopi yang ia seruput perlahan."Mas, kamu sudah mandi?" tanya Nara.Ardhan pun menaruh kopi itu kembali dan menjawab pertanyaan Nara. "Kamu habis ngapain di kamar mandi selama itu?" tanya Ardhan dengan wajah serius. "Saya mandi sekaligus keramas, Mas. Maaf, tadi saya tidak sadar kalau ternyata selama itu."Mata Ardhan pun seolah langsung membidik rambut Nara yang memang tampak basah. "Ya sudah, sana ganti baju!"Nara pun kemudian pergi dari hadapan Ardhan dan langsung bergegas menuju walk in closet ya
Mereka menikmati makanan yang tersaji itu dengan lahap. Hingga, suara langkah kaki mulai berayun memasuki ruang makan dari sepasang kaki seorang asisten rumah tangga. Ia diam, berdiri sopan dan menghadap ke arah Ardhan.. "Tuan, mohon maaf jika saya mengganggu waktu sarapan Anda, saya hanya ingin menyampaikan ... Tuan besar meminta Anda agar segera pergi ke bandara. Sekarang dia sudah menunggu Anda di teras!" ucapnya dengan tubuh membungkuk dan kedua tangan terlipat di depan perut.Ardhan menoleh ke arah Suminah. Garpu yang ada di tangan kiri dan sendok di tangan kananya segera ia taruh di atas piring putihnya."Ma, saya harus pergi dulu! Mama lanjutkan makannya sendiri saja!" ujar Ardhan sembari beranjak dari duduknya. Ia tidak mempedulikan sisa makanan yang masih tersisa di atas piringnya tersebut.Ardhan pun melangkahkan kakinya menuju Kakek Heraldo. Suminah yang tadi memberitahu pun ikut berjalan di belakang Ardhan."Tuan, katanya dia akan mengantarkan Anda dan Nyonya muda sampai k
"Papa mau ketemu dengan istriku. Apa dia ada di sini?" tanya Rivanto."Ada, Pa. Tunggu sebentar biar saya panggilkan dulu!" sahut Ardhan sembari bangkit dari duduknya.Ardhan pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu. Ia membuka pintu itu perlahan. Rupanya, di depan pintu sana sudah ada Nara yang tampak khawatir sekaligus penasaran dengan pembicaraan antara Ardhan dengan Rivanto -- Ayahnya."Bagaimana kondisinya sekarang, Nak?" tanya Verra dengan antusias."Dia bicarakan soal apa sama kamu, Mas?" tanya Nara dengan serius.Ardhan pun perlahan menjawabnya satu persatu."Ma, katanya Papa mau ketemu."Tanpa mendengarkan kalimat lanjutan dari Ardhan, Verra pun bergegas masuk untuk melihatnya.Nara menarik tangan Ardhan dan mengajaknya untuk bicara sambil duduk di kursi tunggu itu."Mas, ceritakan sama saya, apa yang Papa katakan sama kamu. Dia tidak mengatakan hal yang aneh-aneh, 'kan?"Ardhan tersenyum senang. Ia menatap lekat-lekat sepasang mata Nara."Papamu sepertinya sudah sanga
Kakek Roland yang yang menyaksikan Verra terduduk lemas di lantai pun bergegas menghampiri."Ada apa? Kenapa?" tanyanya dengan santai. Verra merasa kesal. Dalam hati ia menggerutu sembari menatap wajah Kakek Roland yang penuh ambisi itu.'Kalau bukan karenamu, dia pasti tidak akan mengalami ini? Kenapa dia memiliki Ayah seperti dirimu?' Hidungnya berkerut dengan tangan mengepal di lantai.Air mata itu disekanya dengan tangan. Ia memegang ujung meja dan berusaja bangkit dari duduknya. Walaupun tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia berusaha bangkit untuk pergi menemuinya suaminya yang terbaring di rumah sakit."Kenapa malah diam saja? Beritahu aku kenapa? Ada apa ini?"Verra menoleh. "Suamiku mengalami kecelakaan!" jawabnya ketus.Alih-alih peduli dengan Rivanto, Kakek Heraldo yang mengetahui musibah ini malah menyalahkan Ardhan atas apa yang terjadi."Ini semua karena pria itu! Kalau saja tidak membawa Nara pergi, pasti suamimu tidak akan menyusul mereka sampai mengalami kecelakaan
Setelah suara kecelakaan itu terdengar sangat nyaring, orang-orang yang berseliweran di sana pun langsung terhenti dan menghampiri korban kecelakaan. Terutama mereka berkerumun hingga membentuk lingkaran sembari melihat kondisi Rivanto yang jauh lebih parah dibanding yang mengemudikan mobil.Darah bercucuran dengan banyak robekan pada kulitnya yang membuat orang-orang bersimpati. Tetapi, untungnya dengan gesit ada salah seorang di antara mereka yang langsung menghubungi ambulance."Mas, ayo kita lihat!" ajak Nara dengan antusias.Tanpa menyahut, Ardhan keluar dari mobil itu untuk mengikuti keinginan Nara. Dirinya akan mengusahakan apapun yang Nara inginkan, asalkan itu masih dalam batas wajar.Nara dengan cepat langsung berjalan memasuki kerumunan untuk melihat korbannya. Begitu melihatnya dengan jelas di depan mata. Sontak, tubuh Nara lemas dengan air mata mengalir deras melihat Ayahnya yang dalam keadaan tak berdaya.Ardhan yang mendengar suara tangisan Nara itu segera menghampiri
Tanpa mempedulikan apapun lagi, Nara berlari keluar dari rumah itu. Di susul oleh Ardhan yang melihat istrinya tengah dilanda kekecewaan yang mendalam.Rivanto yang tidak mau Nara benar-benar pergi sampai tidak bisa lagi ia temui pun membuatnya bergegas menyusul. Nara sudah memasuki mobil, begitu juga dengan Ardhan yang terus mengikuti istrinya, karena dirinya tidak mau jika sampai terjadi sesuatu kepada Nara tanpa sepengetahuan dari dirinya."Mas, tolong cepat jalankan mobilnya! Saya tidak mau kalau mereka mengejar saya dan tidak membiarkan saya menemui Mas lagi!" pinta Nara dengan gelisah.Rasa yang semakin tidak karuan membuat Nara seakan ingin menyalakan mobil itu sendiri. Tetapi, sayangnya yang saat itu menyetir adalah Ardhan.Begitu selesai menyalakan mesin mobil, Ardhan langsung tancap gas pergi. Bukan maksud Ardhan membuat Nara durhaka kepada orang tuanya, hanya saja ia juga tidak rela jika melihat Nara tersiksa. Terlebih lagi keadaan istrinya sedang hamil muda."Saya tahu ka
Rico yang ada di luar rumah itu hanya menyimak. Dirinya sama sekali tidak berani ikut campur atas masalah keluarga majikannya."Pokoknya aku tidak setuju! Aku cuma mau Nara menikah dengan pilihanku!" Kakek Heraldo tetap menentang pilihan Nara. "Kamu tahu 'kan Kendra itu seperti apa orangnya? Dia itu anak yang baik dan lebih terpandang! Berasal dari lulusan ternama di luar negeri! Lalu, suamimu apa kelebihannya? Dia belum tentu sehebat Kendra!" sanjung Kakek Roland untuk Kendra di depan Nara, Rivanto dan Verra.Verra yang merasa hanya seorang wanita tidak berani membantah ataupun angkat bicara. Ia hanya terdiam ketika Ayah mertuanya cukup membuatnya geram."Kek! Kenapa Kakek ikut campur dengan urusan pernikahan aku? Tidak bisalah membiarkan aku bahagia dengan pilihanku? Aku mencintai Mas Ardhan, aku juga tidak mau kehilangan dia! Apapun keputusan Kakek, Kakek tidak bisa semena-mena mengatur hidupku! Aku ini juga manusia, bukan piala bergilir yang dapat dengan bebas diperebutkan oleh
Nara memegang perutnya, lalu ia mengelus-elusnya secara perlahan. Rivanto terdiam, ia terus memperhatikan anaknya yang bertingkah aneh baginya."Kamu .... Jangan hilang kamu ....?" Rivanto mulai menduganya. Tetapi, ia belum berani untuk mengatakan hal tersebut."Benar, Pa. Papa tidak salah lagi kalau mengira aku lagi hamil. Sekarang ini aku memang lagi mengandung janin dari Mas Ardhan. Setelah tahu ini, aku harap Papa tidak lagi memikirkan dendam lama Papa. Aku hanya ingin keluarga kita tenang dan damai!" tutur Nara dengan lirih. Nada bicaranya sudah terdengar pasrah. Nara hanya mengusahakan, agar dirinya menjadi tenang. "Tidak Nara! Papa 'kan sudah memperingatkanmu supaya jangan sampai hamil anaknya!"Verra yang tak sengaja mendengar kabar kehamilan Nara itu langsung mendekat dan duduk di samping Nara. "Benarkah, Nak?" Berbeda dengan Rivanto yang kecewa karena Nara mengandung anak Ardhan, Verra malah tampak senang karena dirinya akan memiliki cucu. Sudah sekian lama ia menantikan k
"Bagaimana kalau saya pergi ke rumahmu sekarang untuk membuktikan?" tanya Budiman. Ia tidak sabar untuk membuktikan apa yang sempat Ardhan katakan kepadanya."Baik. Kita pergi sekarang!" Budiman dan Ardhan pun berjalan beriringan menuju lift. Mereka keluar dari lift ketika sudah sampai di lantai paling bawah dan lanjut menuju tempat parkir.Sementara Ardhan dan Budiman perjalanan menuju ke rumah, Nara yang sudah sekitar tiga menit yang lalu pergi. Ia berusaha fokus dan terkadang agak menaikkan kemudi mobilnya, karena ia bepergian tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Ardhan.Ardhan tidak tahu jika Nara sedang pergi. Ia hanya berpikir bahwa Nara beristirahat di rumah.Di jalanan, mobil Ardhan dan Budiman kadang berdampingan karena jalanan sedang tidak begitu ramai. Tetapi, kadang juga Ardhan menyusul dan Budiman hanya mengikuti di belakang mobil Ardhan.10 menit lengang.Ardhan sampai di rumahnya. Mereka menepikan mobilnya masing-masing di halaman rumah itu. Perlahan, Ardhan menu
"Saya serahkan sisanya kepada Anda, Pak! Kalau begitu saya permisi!" ungkap Ardhan. Ia pun melangkah keluar dari sana menuju mobil. Kini, waktunya ia pergi ke kantor karena proyek yang sebelumnya belum selesai.Namun, Nara yang dalam keadaan hamil dan tidak pergi ke kantor pun membuatnya hanya sendirian saja.Setibanya di kantor ....Di kantor itu, sudah ada Budiman -- kliennya yang selalu menginginkan kehadiran Nara di kantor itu."Selamat siang, Pak. Tadi ada klien kita yang ingin bertemu!" ungkap salah seorang karyawan kantor yang mendapat titipan pesan lisan dari Budiman."Baiklah." Ardhan melihat ke sekitar. "Tapi sekarang dia ada di mana?" tanya Ardhan. "Ada di ruang rapat.""Baik, terima kasih."Ardhan pun melanjutkan langkah kakinya untuk menaiki lift yang sebelumnya hendak ia naiki, namun sempat sedikit terganggu oleh karyawan itu.Selama di dalam lift, Ardhan hanya terdiam dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.Ting! Pintu lift terbuka.Ardhan keluar dari san
Hari berganti, Ardhan kembali melanjutkan rencananya. Kini, ia pergi kembali ke kantor polisi untuk menyerahkan rekaman untuk memperkuat bukti yang ada. Dirinya tidak mau membuang-buang waktu dan menunggu lebih lama lagi. Ia mengemudikan mobilnya lebih cepat, hingga tak lama kemudian sampai di tempat tujuannya.Tak lama dari itu, telepon dari Rico masuk. Ia pun lekas menjawabnya.[Tuan, orangnya sudah berhasil ditemukan!]Atas kecerdikan ajudan pribadinya, Rico dapat membawa pria itu ke hadapan Ardhan. Pria itu tidak menyadari jika dirinya sedang dicari, sehingga tidak menyembunyikan dirinya.[Bawa dia ke kantor polisi!]Ardhan memerintahkan itu sewaktu dirinya berada di kantor polisi sendirian. Ia duduk sebentar dan hatinya seolah mengatakan untuk tidak pergi terlebih dahulu.[Baik, Tuan!]Tuuutt. Panggilan berakhir.Ardhan kembali melanjutkan pembicaraannya dengan salah seorang polisi. "Pak, saya sudah memiliki bukti yang lebih kuat dari kemarin. Sekarang Anda tidak boleh berlama-