*Happy Reading*Kenapa sih, datang lagi? Udah mau nikah juga, masih aja gangguin? Maunya apa coba tuh duda sableng? Nyebelin banget. Aku rasa, pertanyaan kita akan kelakuan si papah itu sama. Ya, kan? Sama halnya dengan kalian para readerku tersayang. Aku pun juga kesel banget sama si papah. Entah maunya apa lagi pria ini? Atau mungkin lebih tepatnya. Entah mau apalagi si author ini, yang masih aja mempertemukan aku dan si duda. Mungkin, authornya sedang gabut. Atau sedang ingin dilempar sendal sama reader. Coba, deh kalian jewer kupingnya. Siapa tahu gak iseng lagi gangguin hidup aku. Padahal pas awal. Si author janji mau bikin ceritaku ini cuma ringan konflik. Lah, ngapa jadi njelimet gini, ya? Pusing loh aku jalaninnya. "Nah, kebetulan kamu datang. Saya sedang ingin sekali main catur. Sini, kamu temani saya main catur." Menahan kekesalan yang sama. Papa pun buka suara pura-pura menyambut Pak Vino dan Tita. "Eh, main catur?" beo Pak Vino kemudian. Melirikku dengan bingung. Beb
*Happy Reading*"Aduh! Aduh, Nur! Lutut Papa lemes." Papa merintih seraya merayap ke arah sisi tempat tidurku, saat Reyn sudah pergi membawa serta Pak Vino untuk di obati.Lucu, ya? Dia yang bikin si papah babak belur. Dia juga yang nganterin ke suster jaga untuk di obati. Huft ... gak habis pikir aku. Aku sih berdoa. Semoga saja si papah gak berulah lagi, atau memancing kemarahan Reyn saat diperjalanan. Takutnya, nanti bukannya sampe ke suster jaga. Si papah malah salah jalur ke ruang operasi gegara patah tulang. Ugh ... ngeri, sista!"Si Reyn tuh bener-bener turunan preman pasar kayaknya, ya. Dari pukulan-pukulannya, papa yakin dia udah biasa berantem. Eh, atau malah demenannya, ya?" Papa masih mengoceh saja. Mengomentari kelakuan Reyn meski sambil mengurut lutut yang katanya mendadak lemes melihat perkelahian Reyn dan Papa. "Kemaren Papa bilang dia mafia, loh. Sekarang kok jadi turun ke preman pasar?" Aku membantu memijat-mijat lututnya. "Ya, kan kalau mafia, setahu papa maena
*Happy Reading*Apa yang kalian harapkan? Bella adu mulut sama Reyn? Owh, kalau gitu maaf. Sepertinya kalian harus kecewa. Karena apa? Ya, karena seperti yang aku bilang di part sebelumnya. Reyn itu meski sangar dan dingin kek kulkas baru. Tetapi kalau sama anak kecil, tetap gak berkutik. Iya, benar. Herannya, si Reyn itu meski tampilannya angker kek kuburan baru. Kalau sama anak kecil itu sabar bet. Mau nemenin mereka main dan nurut aja diatur para bocah. Bahkan, kemaren diajak main barbie dan masak-masakan pun sama Tita, hayuk aja. Lah, coba itu kalian bayangkan. Tampang udah cool, tapi mainannya barbie. Lagi masak pula itu sii barbienya. Mungkin barbienya mau buka warteg kali, ya?Lain Tita, lain pula Bella. Jika Tita mainannya masih Barbie dan masak-masakan. Maka Bella setingkat di atasnya. Yaitu main ayah bunda.Beneran main papa mama. Reyn yang jadi papanya, Bella yang jadi mamanya. Nah, Tita jadi anaknya. Kesempatan banget, kan? Dengan begitu si Bella bebas gerayangin Reyn se
*Happy Reading*"Reyn pergi? Ke mana?" Tanya itu pun langsung saja hadir. Saat hari ini tidak menemukan Reyn di sekitarku, dan malah terganti oleh Tylor, anak buah Ammar. "Tuan Reyn sedang ada acara keluarga," jawab Tylor dengan sopan."Acara keluarga apa?" Bukannya aku kepo atau ingin mencampuri kehidupan Reyn. Hanya saja, bukannya sekarang aku adalah majikan Reyn. Jadi, wajar kan kalau aku ingin tahu. Lagipula, kenapa Reyn tidak pamit, sih? Ijin gitu. Atau setidaknya basa basi sebelum tiba-tiba menghilang begini. Kan, aku jadi nyariin--Eh, maksud aku. Kalau si Duda sableng itu datang lagi, gimana? Nah, jangan salah paham ya, gaes!"Maaf, tapi saya kurang tahu, nona." Jawaban Tylor tidak membantu sama sekali. Yang ada malah aku jadinya makin kepo, ya kan?Apa ... jangan-jangan Reyn mau tunangan? Atau ... nikah? Atau .... haish! Ngapa jadi mikirnya ke situ sih? Ada apa sebenarnya dengan diriku? Kenapa aku malah jadi perduli gini tentang ke beradaan Reyn? Aneh!"Kurang tahu, atau me
Beken 59*Happy Reading*Aku Muak!Sungguh!Perasaan, Malvino Alexander yang aku kenal itu seorang pengusaha. Bukan selebgram, Influencer, Tiktoker, apalagi aktor Film. Tetapi, kenapa sukanya bikin sensasi, sih?Heran aku! Gak habis pikir dan ... aneh! Parahnya, setiap sensasi yang dia buat selalu membawa serta aku. Membuat aku makin Virall dan mulai dikenal sebagai enemy publik. Padahal, salahku apa? Justru aku di sini korban, kan? Kenapa sih, malah aku yang dihujat sana-sini? Pengen nangis aku, loh. Kalau gak inget udah gede. Pasti aku udah goser-goser di lantai rumah sakit.Lebay? Biarin! Namanya juga lagi sedih. Jadi ya, tolong dimaklumin."Jadi, bagaimana tanggapan kamu soal berita terbaru dari pengusaha Aksa Malvino. Benarkah dia membatalkan pernikahannya karena lebih memilih kamu daripada calon istrinya."Menahan geram di hati akan pertanyaan si wartawan cantik, yang tidak sesuai rencana awal. Aku mencoba tetap tersenyum dan menjawab. "Aduh! Kalau itu saya gak tahu, ya? Saya
*Happy Reading*"Bagaimana Devia, apa penjelasan kamu tentang chat ancaman ini?"Mengatur napas agar tetap tenang, aku pun berusaha mempertahankan senyum, seraya memutar otak mencari alasan tepat sebagai jawaban. Okeh! Maybe this time.Menarik napas panjang sejenak. Aku mulai menatap si wartawan dengan sendu. Ekspresi wajah sengaja aku buat selelah mungkin. Seakan aku punya beban yang teramat di pundakku. "Seperti yang aku bilang di awal. Aku tuh lelah di sangkut pautkan dengan sensasi yang di timbulkan Pak Aksa. Karena apa? Karena hujatan dan ancaman bukan cuma aku dapatkan dari pesan di medsos. Tapi sampai ke pribadi. Entah dari mana mereka mendapat nomor ponselku. Jujur saja, itu sangat mengganggu. Padahal aku butuh ketenangan dalam pengobatan yang akan dijalani. Tapi kalau begini terus, apa bisa aku tenang? Mental aku bisa ikutan down lama-lama." Menarik napas panjang sekali, dan membuangnya secara perlahan. Benar-benar seperti orang yang sudah sangat lelah jiwa dan raga. Terny
*Happy Reading*"Don't like me. You will definitely get hurt."Eh? Apa aku baru saja ditolak?Satu detikDua detikTiga detik, dan ...."Ekhem!" Aku berdehem refleks demi menghilangkan hening yang tiba-tiba menyapa. "Reyn, kamu baik-baik saja di sana?""Maksudnya?" Reyn bertanya balik. "Ya ... gitu, kamu tadi lagi ngomong sama siapa?""Tentu saja kamu, Devia. Siapa lagi? Bukankah kita sedang bertelepon?" Reyn bertanya setelah beberapa saat terdiam."Aku?!" Pura-pura terkesiap. "Wah, kalau gitu fix. Di sini bukan cuma aku yang tidak fokus, tapi kamu juga!""Maksudnya?" Reyn bertanya cepat."Ya, gitu. Kamu lagi gak fokus juga, ya? Soalnya omongan kamu gak nyambung."Tidak ada jawaban dari seberang sana. Hanya hening saja. Sepertinya, Reyn sedang berpikir dan mencerna ucapanku. Karena itulah, aku memilih melanjutkan ucapanku. "Padahal tadi kita lagi ngomongin nomor telepon si pengirim ancaman, loh. Kok, kamu malah tiba-tiba bilang 'Don't like me'. Kan gak nyambung, Reyn. Apalagi, kamu
*Happy Reading*Pada akhirnya. Meski aku sudah merajuk, merayu, bahkan menangis kejer seperti anak kecil, tapi gak pake goser-goser di lantai karena masih sakit punggung. Aku tetap ditinggalkan di tempat terpencil ini. Memang sih, tidak sendirian seperti dalam bayanganku sebelumnya. Ada beberapa pelayan dan penjaga berbaju serba hitam yang menemani. Juga ... Lika sebagai teman dan asisten khususku. Ya. Entah bagaimana ceritanya hingga Lika bisa di rekrut lagi jadi asisten aku di sini. Kata gadis itu sih, Reyn sendiri yang menelpon dan meminta tolong. Nah, kalau gitu ... ngapain juga kemarenan aku mewek-mewek pisahan sama dia, kalau ujung-ujungnya ketemu lagi. Ih, mubajir dah air mataku. Untung aku bukan duyung. Kalau duyung, lebih rugi lagi. Bisa buat beli kapal pesiar air mataku kemarenan."Huh dasar medusa kang drama. Muka lo bokis banget. Playing victimnya gak natural. Belajar ekting lagi sono!"Aku hanya melirik malas pada Lika, yang saat ini mengomeli ponselnya sendiri. Gak usa
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum