*Happy Reading*
Menanggapi pernyataan Pak Aksa aku pun memutar mata jengah, seraya menyandarkan diri dengan kasar pada sandaran kursi.
"Saya juga heran sama Bapak. Sudah tahu ditolak, masih aja gigih maksa. Kek gak ada cewek lain aja diluaran sana. Kenapa? Situ kurang laku?" balasku dengan berani, membuat mata Pak Aksa melotot horor setelahnya.
'Nah, kan? Emang enak di balikin! Pokoknya, lo jual gue borong, Bang!'
"Kamu jangan sembarangan, ya! Gini-gini yang ingin jadi istri saya banyak!"
Akhirnya dia pun marah. Namun, aku sudah tidak perduli. Karena aku sudah malas berurusan dengan pria pemaksa seperti dia.
"Ya, kalau gitu. Kenapa Bapak gak pilih wanita-wanita itu aja? Kenapa harus maksa saya, yang jelas-jelas nolak?"
"Karena Tita hanya mau kamu!"
"That's the poin!" sahutku cepat, menjentikan jari dengan keras, sebelum menunjuk wajahnya.
"Dari awal saya sudah bisa menebak niat bapak sebenarnya apa, hingga meminta saya menjadi pacar, bahkan menikah dengan Bapak? Semuanya karena Tita, kan? Bukan karena Bapak sendiri menginginkan saya!" terangku dengan gamblang.
"Lalu masalahnya di mana? Wajar kan kalau saya lebih mengutamakan kebahagiaan anak saya?" jawabnya enteng sambil melipat tangan di atas dada dengan jumawa.
"Memang wajar, tidak ada yang salah kok, dengan hal itu. Hanya saja coba Bapak pikir. Dalam rumah tangga itu, bukan hanya ada ibu dan anak saja. Tapi ada juga suami dan hari tua." Aku mencoba menjelaskan.
"Nah, sekarang Bapak bayangkan. Jika Bapak menikahi saya hanya karena Tita. Saat Tita sudah beranjak dewasa dan pergi jauh dengan keluarga kecilnya. Yang tertinggal itu hanya saya dan Bapak saja. Tapi jika dari awal saja Bapak tidak menginginkan saya, akan bagaimana saya melanjutkan rumah tangga itu dengan Bapak? Bercerai diusia senja jelas itu bukan pilihan bijak. Tapi tetap bertahan pun rasanya .... Haaah ...." Aku membuang napas kasar dan menggeleng pelan tak habis pikir. "Saya gak akan sanggup menjalani hidup seperti itu, Pak. Jadi sorry. Saya tetap menolak tawaran Bapak!" Finalku Akhirnya, membuat Pak Aksa terdiam cukup lama.
Entah apa yang sedang dia pikirkan. Yang jelas, aku berharap dia mengerti tentang keputusanku ini. Semoga.
"Saya akan belajar mencintai kamu."
Kukira, dia sudah menyerah. Ternyata dia masih bersikukuh. Membuat aku kembali mendesah lela untuk kesekian kalinya.
Susah memang kalau ngomong sama karet gelang yang dikasih nyawa. Gak akan ada yang mempan. Mental semua!
Karet gelangnya punya duit banyak lagi. Makin susah deh, untuk dibuat mengerti. Arogan!
"Gak usah sesumbar. Kalau memang Bapak bisa melakukannya. Lakukan saja dan berikan bukti. Simple, kan?"
Semerdeka dia aja lah. Sudah capek aku ngadepinnya.
Pak Aksa malah menaikan alisnya sebelah, sambil menatapku dengan lekat. Wajahnya seperti meremehkan ucapanku barusan.
"Memang kamu mau bukti apa dari saya? Katakan saja. Saya--"
"Papa!"
"Eh, Tita. Ya ampun!"
Belum sempat Pak Aksa melanjutkan ucapannya. Tita tiba-tiba sudah menerobos masuk. Diikuti Mbak Laras yang tadi di minta menjaganya.
Duh, kloningnya si Bella. Sama-sama suka bikin rusuh!
"Maaf, Pak. Tadi saya sudah berusaha melarang Tita masuk. Tapi Tita--"
"Tidak apa-apa," sela Pak Aksa cepat, mengangkat tangan ke arah Mbak Laras, kemudian menempatkan Tita pada pangkuannya.
"Kenapa, Tita? Sepertinya hari ini kamu kesulitan mendengar dan mematuhi permintaan Papa, ya? Ada apa? Tita mau apa?"
Pak Aksa pun mengalihkan perhatiannya pada Tita, dan bertanya dengan nada lembut sekali. Membuat malah Mbak Laras yang kayaknya ikutan baper.
'Lah, Mbak Laras kenapa? Tita yang ditanya lembut. Dia yang mesem sendiri. Situ sehat, Mbak?' Aku hanya bisa membatin melihat hal menggelikan itu.
"Abis Papa lama. Tita kan pengen main sama Tante Artis."
Eh? Kok, aku?
"Tapi Tante juga mau kerja abis ini, Tita. Jadi, kayaknya gak bisa nemenin Tita." Aku pun ikut buka suara. Karena namaku sudah dibawa-bawa.
"Loh, katanya kita mau beli batangan? Tante gimana, sih?"
Waduh!
"Batangan? Maksudnya?" Pak Aksa bertanya seraya menautkan alisnya dengan bingung.
"Iya, Pah. Tadi pas Tita sampai ruangan Tante Artis. Tita dengar, Tante suka batangan. Makanya Tita ajakin beli bareng. Kan Tita juga suka batangan."
Mampus gue!
Pak Aksa pun lalu melirikku penuh arti. Dan mengulum senyum dengan menjengkelkan dibelakang tubuh Tita.
Sial! Mikir apa dia?
"Kenapa? Saya memang suka coklat batangan, kok. Ada masalah?" Aku pun mau tak mau memberi penjelasan dengan gamblang. Agar otak dudanya tidak travelling ke mana-mana.
"Okeh ... okeh. Saya mengerti kok, Devia. Saya juga punya batangan kalau kamu mau."
Uhuk!
Seketika Mbak Laras pun terbatuk-batuk di tempatnya. Syok dengan jawaban frontal dari Pak Aksa barusan.
Sementara aku? Langsung melotot penuh peringatan pada duda gila itu. Mentang-mentang sudah pernah menikah. Nyambungnya ke mana-mana kalau bahas batangan.
"Eh, astaga! Maksud saya coklat batangan. Jangan salah paham, okeh!" Dia meralat ucapannya dengan segera. Namun, tidak terlihat merasa bersalah sama sekali.
Yang ada. Pria itu malah dengan berani mengedip nakal padaku. Membuat aku ingin sekali mencolok mata jahilnya barusan.
Dasar duda sableng!
"Ah, bapak bisa saja."
Bukan aku yang menjawab. Melainkan Mbak Laras, yang kini wajahnya sudah merona merah. Dengan senyum malu-malu seperti anak perawan baru bertemu gebetan.
Fix! Aku rasa Mbak Laras pasti suka dengan Pak Aksa. Tapi, wajar sih. Mbak Laras juga janda dan ....
Eh, kenapa tidak aku jodohkan saja mereka, ya?
"Papa ayo, pulang! Sama Tante artis juga. Tita gak suka ada di sini."
Aku lupa. Masih ada Tita yang harus aku taklukan dan sebisa mungkin aku alihkan agar tidak lagi mengincarku sebagai mama barunya. Karena di sini, memang dialah alasan utama kegilaan Pak Aksa.
Jadi, jika Tita sudah berubah haluan. Aku yakin Pak Aksa pun akan ikut ke mana Tita menjatuhkan pilihan.
"Eh, gak suka kenapa, Tita?" Mbak Laras tampak penasaran.
"Soalnya Tante genit banget lirikin Papa Tita." Tita menunjuk Mbak Laras dengan berani. "Kan, nanti Tante artis cemburu," lanjutnya lagi. Seketika membuat aku terserang sesak napas dadakan.
Hancur sudah karierku!
*Happy Reading*"Ba-cot.""Bha ... bha ....""Bukan Baba, tapi Ba-cot!""Bha ... bha ... bha ...""Ck, bukan baba, Quen. Tapi ba-cot. Ayo! Kamu pasti bisa! Ba-cot. Ba-cot, Ba--"Pletak!"Akh" Aku sontak mengaduh kesakitan saat tiba-tiba sebuah sendok makan melayang ke kepalaku dari arah samping."Sakit, bego! Rambut gue abis di blicing ini. Sembarangan aja lo cium sendok bekas makan. Kan kotor!" Tidak lupa, aku pun memberikan hardikan keras, pada pelaku yang saat ini sudah berkacak pinggang dengan mata melotot. Intan, siapa lagi? Di antara kami bertiga, kan, yang udah jadi emak-emak dia doang."Lagi lo rese! Ngajarin anak gue yang ngadi-ngadi!" tukasnya tak kalah sengit."Ngadi-ngadi apa, sih? Orang gue cuma ngajarin dia ngomong. Masa gak boleh. Ya Quen?" sahutku santay, kembali melirik Quenee, yang sedang mengoceh tak jelas.Saat ini, aku memang sedang berkunjung ke tempat Intan, di tengah jadwal k
*Happy Reading*"Dev, tangkep!"Aku pun refleks mengangkat tangan, untuk menangkap sesuatu yang dilemparkan Lika, saat baru saja sampai ruangan para model.Hap!Tentu saja berhasil. Karena memang aku lumayan berbakat di bidang tangkap menangkap. Apalagi menangkap kebusukan mantan dan tukang hutang yang mendadak menghilang, ugh ... pokoknya aku paling jago!Ada yang butuh bantuan?"Apa, nih?" Setelah benda itu ada ditanganku, aku pun sontak bertanya. Sebab sesuatu itu dibungkus cantik sekali."Gak tahu. Tapi kalau dilihat dari pengirimnya, paling jatah batangan hari ini."Wew, ternyata masih tentang batangan. Melirik nama pengirim yang tertera, aku pun hanya bisa mendesah panjang, ikut mengaminkan ucapan Lika barusan.Thalita Euginia Alexander. Alias Tita. Siapa lagi memang? Yang paling getol mengirimi aku batangan selain dia. Sampai-sampai orang sekitarku sudah hafal betul kelakuannya itu. Mes
*Happy Reading*ARTIS CANTIK N DEVIA MUTIARA TERTANGKAP KAMERA TENGAH BERBUAT MESUM DENGAN SEORANG PEBISNIS SUKSES DI SELA PEMOTRETAN. APAKAH INI RAHASIA KARIERNYA YANG CEPAT NAIK?"Aarrggg ....Rasanya, aku ingin sekali menjambak rambutku sendiri saat ini, melihat sebuah headline berita gosip di salah satu akun lambe-lambean.Untungnya, aku ingat jika rambutku baru saja keluar dari salon, dan menghabiskan banyak uang untuk perawatannya. Jadinya ... gak aku jambak, lah. Sayang-sayang duit yang udah keluar, dong. Namun, sumpah demi sempak pink petrik yang tidak pernah di ganti. Aku kesel sampai ubun-ubun melihat kabar tersebut. Karena ... ya, sembarangan aja bilang itu rahasia karierku! Lah, ketemu si papa aja aku baru berapa minggu doang, kan? Ah, Netizen mah suka ngadi-ngadi!Rahasia ketenaranku mah bukan si papah. Tetapi doa si Nurbaeti dan Intan yang teraniaya oleh orang dekatnya. Nur oleh titik-titik, baca di nove
Beken 8*Happy Reading*"Mama mau, gak? Ini enak lho."Haduh ... anak ini!Aku hanya bisa mengerang kesal diam-diam, saat anak si Paduka Raja memanggilku seperti itu. "Tita, bisa gak, jangan panggil Tante Mama?" pintaku Akhirnya, mencoba meminta belas kasiahannya.Kenapa belas kasihan? Ya, coba aja kalian bayangin. Gak sengaja nomprok Bapaknya aja, gosip yang berseliweran udah kek apaan tahu. Apalagi setelah kedatangan Tita dan dramanya. Rasanya, pengen banget ngungsi ke planet Mars. Nah, coba, apa kalian gak kasian sama aku?"Kenapa gak boleh panggil Mama?" tanya Tita dengan polosnya.Ya, karena gue bukan emak lo, bocah!Pengen banget aku nyaut sambil ngegas poll kayak gitu. Apa daya, Tita bukan Bella yang udah biasa di gas sana-sini. Tita anak sultan yang pasti biasanya diperlakukan manis dan lembut. Auto jantungan nanti dia.Lagipula, aku juga gak tega kali ngegas sama anak seimut
Beken 9*Happy Reading*"Nur?""Hm ....""Lagi ngapain sih, Anteng banget di pojokan?""Lagi ngevet."Hah?!Nyonya Ammar pun langsung melirik cepat, saat mendengar jawaban terakhirku barusan. "Ngaco, lo! Ngevet apaan? Gak ada lilinnya gitu," tukasnya kemudian kembali menghitung uang di kasir.Saat ini aku memang tengah berada di toko donat. Usaha pertama yang aku rintis, dengan menggaet Nurbaeti, alias Nyonya Ammar. Sebagai partner usahaku. Yang udah baca Novel Mak Kanjeng mah, pasti tahu hal ini. Yang belum baca, ya ... baca dulu sono. Biar enak kita ghibahnya."Gue kan ngevet milenial, udah gak butuh lilin lagi," sahutku asal, seraya terus fokus pada layar laptop, di mana dari sana terpampang rentetan kabar berita tentang si Papah. Yups! Sebenarnya aku lagi stalking si Papah. Bukan ngevet seperti yang aku sebutkan tadi pada di Nyonya Ammar. Hust! Diem-diem aja tapi, ya?
Beken 10*Happy Reading*"Akhirnya kamu menelpon saya juga," sahut pria itu, pada dering kedua panggilan yang aku lakukan.Eh? Maksudnya apa, nih? Dia ... nungguin telpon aku, gitu?Berdehem sejenak, aku pun mencoba bersikap santai, dan menjawab sapaan Pak Aksa."Jadi, Bapak nungguin telpon saya, ceritanya." Bukan mau sombong. Tapi dari sapaan jelas mengartikan hal itu, benar, kan?"Enggak juga."Eh? Kok? Salah, ya, aku?Berusaha tak ingin memikirkan jawaban Pak Aksa yang entah mengarah kemana sekarang, aku pun kembali bersikap santai, seraya meraih cangkir kopi yang mulai dingin.Sebenarnya dulu, aku lebih suka coklat hangat daripada kopi. Tetapi gara-gara sering dikirimin batangan sama Tita. Aku pun jadi gumoh dengan rasa coklat sekarang.Jangankan memakannya. Denger namanya aja auto sakit gigi aku. Sebosen itu aku memang sekarang sama coklat. Khususnya yang batangan."Teru
*Happy Reading*"Bagaimana keadaannya?""Tidak ada masalah serius, kok. Selain sedikit memar dibagian belakang dan sikut tangan. Tidak ada yang perlu di khawatirnya.""Anda yakin? Benar tidak ada patah tulang, atau ... mungkin butuh di oprasi?""Astagfirullah ... sumpah ya? Doa Bapak jelek banget!" Akhirnya, setelah sekian lama memilih menyimak obrolan Si Papah dan Dokter pribadinya. Aku pun tidak bisa menahan mulutku untuk bersuara, saat si papah mengucapkan pertanyaan terakhirnya. Bukan apa-apa. Aku cuma takut tuh omongan jadi doa. Soalnya, udah untung ini juga cuma memar katanya, kan? Malah di tawarin operasi. Hih! Kebanyak duit emang dia mah."Bisa diam dulu, Devia. Saya sedang bicara dengan Dokter," ucapnya tegas dan datar. Lah? Tumbenan banget? Biasanya juga sableng. Kenapa dia? Abis keselek donat. Sok serem!"Ya, tapi kan yang lagi kalian bicarakan itu saya, jadi--""Jadi, benar tidak
*Happy Reading*"Ternyata kalian tidak terlalu mirip."Hah? Maksudnya?"Tidak terlalu mirip? Sama siapa?" tanya itu pun lolos begitu saja dari bibirku, karena penasaran dengan maksud pernyataan Pak Aksa barusan."Mirip sama Song Hye Kyu lah, sama siapa lagi? Bukannya, selama ini netizen selalu menggaungkan kemiripan kalian?"Wew! Bangke tenan! Aku mah udah nyimak serius, jawaban nih cowok ternyata membagongkan sekali. Huft ... salah aku memang terlalu percaya padanya. Lagipula, siapa suruh dia percaya sama netizen? Pake segala nyamain aku sama jandanya oppa Song jong ki pula. Lah? Aku kan kembarannya Han Soo Hee. Huh! Mainmu kurang jauh, Pak!"Semerdeka Bapak ajalah, saya lelah debat sama Bapak. Dahlah, saya tidur aja." Aku pun memilih mengalah, sebelum kerutan di wajah benar-benar menumpuk akibat debat sama dia. Kok ada ya, cowok modelan begini? Ganteng, sih. Tapi bikin penuaan d
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum