*Happy Reading*
ARTIS CANTIK N DEVIA MUTIARA TERTANGKAP KAMERA TENGAH BERBUAT MESUM DENGAN SEORANG PEBISNIS SUKSES DI SELA PEMOTRETAN. APAKAH INI RAHASIA KARIERNYA YANG CEPAT NAIK?"Aarrggg ....Rasanya, aku ingin sekali menjambak rambutku sendiri saat ini, melihat sebuah headline berita gosip di salah satu akun lambe-lambean.Untungnya, aku ingat jika rambutku baru saja keluar dari salon, dan menghabiskan banyak uang untuk perawatannya. Jadinya ... gak aku jambak, lah. Sayang-sayang duit yang udah keluar, dong.Namun, sumpah demi sempak pink petrik yang tidak pernah di ganti. Aku kesel sampai ubun-ubun melihat kabar tersebut. Karena ... ya, sembarangan aja bilang itu rahasia karierku! Lah, ketemu si papa aja aku baru berapa minggu doang, kan?Ah, Netizen mah suka ngadi-ngadi!Rahasia ketenaranku mah bukan si papah. Tetapi doa si Nurbaeti dan Intan yang teraniaya oleh orang dekatnya. Nur oleh titik-titik, baca di novelnya sendiri. Intan oleh ... siapa lagi kalau bukan Si Bella.Nah, kalau si papah mah cuma bintang tamu. Ngapain dibawa-bawa? Meski ...."Wah, Dev! Pesona Pak Alex memang luar biasa, ya? Baru kayak gini aja, udah bikin lo jadi haedline di mana-mana. Keren! Bakal mendadak virall lo! Yosh! Gue harus mempersiapkan diri menghadapi serbuan endors dan kerjasama buat lo kayaknya."Nah, ini! Ini yang sebenarnya aku takutkan sejak awal. Kehadiran Pak Alex yang terlalu anak sultan. Eh, bukan. Anak sultan mah si Tita, ya? Kalau gitu Pak Alex berarti paduka raja. Bener, gak?Nah, jika deket sama anak sultan bisa bikin virall berkepanjangan. Apalagi deket paduka rajanya, coba? Mau setenar apa aku?Karierku pasti akan meroket tiada tara, ya kan? Namun, entah kalian mau percaya atau tidak, justru aku paling benci hal kayak gini.Sebab apa? Sebab nanti usaha kerasku sampai di titik ini tidak ada harganya!Orang akan mengenal aku sebagai artis yang menggunakan orang dalam untuk terkenal, dibanding artis berprestasi yang layak untuk dikenal.Meski ... aku belum punya prestasi apapun, sih? Masih berupa bubuk sagon, yang ngebul kalau kalian makan sambil ngomong.Namun kembali lagi ke topik. Apapun dan bagaimana pun aku sekarang. Aku punya cerita dan perjuangan sendiri bisa sampai ke titik ini."Berisik deh lo, Lik. Jangan ngadi-ngadi. Gue akan minta Pak Alex bikin konfirmasi bantahan tentang hal ini. Lo tahu kan, gue gak suka hal kontroversi kek gini," bantahku kesal, saat Lika malah dengan seenaknya membayangkan tumpukan kerjaan, yang pasti bikin aku kek kembali ke jaman romusa."Eh, jangan, Bego! Mayan buat pansos!" larang Lika tak setuju."Pansos mata lo belekan! Karier gue gak sengenes itu, sampai butuh pansos kek gini! Bikin kesel aja tahu, gak?" Aku pun menghardik kesal."Ya tapi ... kan mayan, Dev. Dengan begini lo bakal--""Pokoknya gue gak mau, Lik! Titik gak pake koma," selaku cepat, dengan ketegasan yang tidak kaleng-kaleng.Asli! Aku tuh kesel banget sama berita itu. Karena baru sehari tayang aja, udah bikin aku diragukan semua orang.Apaan katanya? Rahasia ketenaran? Ugh ... pengen aku ajak ngerujak aja tuh yang nulis berita. Biar nanti sekalian aku ulek jadiin sambelnya."Dev, ayolah. Jangan terlalu keras kepala. Gosip itu tuh bagus buat karier elo. Nih, liat. Begini aja udah banyak banget yang ngundang lo ke podcast, bintang tamu di acara gosip dan--""Awas aja kalau lo terima!" tukasku sengit setelahnya. Membuat Lika lumayan terkesiap."Harus berapa kali gue bilang sama lo, Lik. Gue gak mau jadi artis kek gitu. Gue gak mau virall karena sebuah kontroversi. Gue cuma mau, orang-orang kenal gue karena prestasi gue, bukan gosip murahan kek gitu!" Aku menambahkan dengan sungguh-sungguh, berharap Lika mengerti apa yang aku rasakan saat ini."Tapi--""No coment, Lik! Pokoknya sampai ada yang lo terima tuh tawaran. Gue pecat lo!" Finalku akhirnya, memilih merebahkan diri pada kursi mobil, dan memejamkan mata.Aku lelah!***"Dev, noh ada yang minta waktu lo."Melirik arah tunjuk Lika sejenak, aku pun hanya bisa mendesah lelah, saat lagi-lagi melihat kerumunan wartawan yang menungguiku saat sesi pemotretan.Ya, Rob! Sampai kapan ini berakhir."Gue gak mau!""Tapi, Dev--""Daripada itu, lo sendiri gimana? Udah berhasil bikin janji temu sama Pak Alex belum?" selaku cepat, sengaja mengalihkan pembicaraan. Membuat Lika menggaruk tengkuknya yang ku tahu sebenarnya tidak gatal.Ah, tidak usah dijawab pun aku tahu. Pasti dia gagal lagi. Ck, maunya apa sih tuh si papah. Setelah seenaknya bikin gosip buat aku, orangnya malah raib gitu aja.Aku memang meminta Lika mengatur pertemuan pribadi dengan Pak Aksa, untuk membuat konfirmasi bantahan serempak, agar gosip ini tidak makin menyebar.Sebenarnya, bisa saja, sih. Aku bikin bantahan sendiri. Namun Mbak Laras menolaknya. Karena sama seperti Lika, di otak atasanku itu hanya ada uang, uang, dan uang.Jadi, selama gosip ini menghasilian cuan untuk agensinya, dia tidak masalah dengan gosip yang sebenarnya sudah membuat aku selalu naik darah ini.Beruntung Pak Aksa bukan orang sembarangan. Makanya Mbak Laras tidak bisa berbuat seenaknya menjual namaku dan nama Pak Aksa untuk kepentingan bisnis. Salah langkah, habis sudah usahanya.Makanya, Mbak Laras pun menyuruh aku menemui Pak Aksa dan membuat klarifikasi bersama. Atau menunggu saja sampai gosip ini berhenti sendiri.Akan tetapi ... sampai kapan? Aku capek dikejar awak media terus. Kan, aku jadi gak bebas main ke tempat Intan sama Nur lagi.Kangen ghibah sambil ngeliwet aku, tuh."Apa gak sebaiknya, lo telpon sendiri aja Pak Alex? Siapa tahu, kalau lo sendiri yang nelpon, dia mau ketemu?" usul Lika.Sebenarnya itu bukan usul yang buruk, hanya saja ... males banget sih harus nelpon duluan. Nanti kalau Pak Alex besar kepala, gimana? Lagian aku gak bisa telpon cowok duluan."Males.""Tapi, Dev--""Dahlah biarin aja. Abis ini seperti biasa, cariin gue jalan tikus biar bisa pulang tanpa ketemu mereka," selaku kemudian, seraya bersiap melakukan sesi photo kedua.Kali ini, tema pemotretannya garden party, jadinya aku harus berpose bersama teman-temanku di kebun buatan, yang di tata seapik mungkin."Okeh, Dev. Bersiap, ya," seru Toto memberi titah.Aku sudah siap, sudah memasang gaya terbaik, saat tiba-tiba seruan kecil itu datang. Membuat semua mata yang ada di sana menoleh pada sumber suara."Mama?"Eh? Apa?Tita pun lalu berlari riang ke arahku, sambil membawa sebuah buket bunga yang kemudian dia serahkan dihadapan orang-orang."Dari Papa. Katanya, maaf belum bisa ketemu. Soalnya Papa masih ada perjalanan bisnis. Nanti kalau udah balik, kita dinner sekalian sama Oma dan Opa."Aduh, makin virall gue!Beken 8*Happy Reading*"Mama mau, gak? Ini enak lho."Haduh ... anak ini!Aku hanya bisa mengerang kesal diam-diam, saat anak si Paduka Raja memanggilku seperti itu. "Tita, bisa gak, jangan panggil Tante Mama?" pintaku Akhirnya, mencoba meminta belas kasiahannya.Kenapa belas kasihan? Ya, coba aja kalian bayangin. Gak sengaja nomprok Bapaknya aja, gosip yang berseliweran udah kek apaan tahu. Apalagi setelah kedatangan Tita dan dramanya. Rasanya, pengen banget ngungsi ke planet Mars. Nah, coba, apa kalian gak kasian sama aku?"Kenapa gak boleh panggil Mama?" tanya Tita dengan polosnya.Ya, karena gue bukan emak lo, bocah!Pengen banget aku nyaut sambil ngegas poll kayak gitu. Apa daya, Tita bukan Bella yang udah biasa di gas sana-sini. Tita anak sultan yang pasti biasanya diperlakukan manis dan lembut. Auto jantungan nanti dia.Lagipula, aku juga gak tega kali ngegas sama anak seimut
Beken 9*Happy Reading*"Nur?""Hm ....""Lagi ngapain sih, Anteng banget di pojokan?""Lagi ngevet."Hah?!Nyonya Ammar pun langsung melirik cepat, saat mendengar jawaban terakhirku barusan. "Ngaco, lo! Ngevet apaan? Gak ada lilinnya gitu," tukasnya kemudian kembali menghitung uang di kasir.Saat ini aku memang tengah berada di toko donat. Usaha pertama yang aku rintis, dengan menggaet Nurbaeti, alias Nyonya Ammar. Sebagai partner usahaku. Yang udah baca Novel Mak Kanjeng mah, pasti tahu hal ini. Yang belum baca, ya ... baca dulu sono. Biar enak kita ghibahnya."Gue kan ngevet milenial, udah gak butuh lilin lagi," sahutku asal, seraya terus fokus pada layar laptop, di mana dari sana terpampang rentetan kabar berita tentang si Papah. Yups! Sebenarnya aku lagi stalking si Papah. Bukan ngevet seperti yang aku sebutkan tadi pada di Nyonya Ammar. Hust! Diem-diem aja tapi, ya?
Beken 10*Happy Reading*"Akhirnya kamu menelpon saya juga," sahut pria itu, pada dering kedua panggilan yang aku lakukan.Eh? Maksudnya apa, nih? Dia ... nungguin telpon aku, gitu?Berdehem sejenak, aku pun mencoba bersikap santai, dan menjawab sapaan Pak Aksa."Jadi, Bapak nungguin telpon saya, ceritanya." Bukan mau sombong. Tapi dari sapaan jelas mengartikan hal itu, benar, kan?"Enggak juga."Eh? Kok? Salah, ya, aku?Berusaha tak ingin memikirkan jawaban Pak Aksa yang entah mengarah kemana sekarang, aku pun kembali bersikap santai, seraya meraih cangkir kopi yang mulai dingin.Sebenarnya dulu, aku lebih suka coklat hangat daripada kopi. Tetapi gara-gara sering dikirimin batangan sama Tita. Aku pun jadi gumoh dengan rasa coklat sekarang.Jangankan memakannya. Denger namanya aja auto sakit gigi aku. Sebosen itu aku memang sekarang sama coklat. Khususnya yang batangan."Teru
*Happy Reading*"Bagaimana keadaannya?""Tidak ada masalah serius, kok. Selain sedikit memar dibagian belakang dan sikut tangan. Tidak ada yang perlu di khawatirnya.""Anda yakin? Benar tidak ada patah tulang, atau ... mungkin butuh di oprasi?""Astagfirullah ... sumpah ya? Doa Bapak jelek banget!" Akhirnya, setelah sekian lama memilih menyimak obrolan Si Papah dan Dokter pribadinya. Aku pun tidak bisa menahan mulutku untuk bersuara, saat si papah mengucapkan pertanyaan terakhirnya. Bukan apa-apa. Aku cuma takut tuh omongan jadi doa. Soalnya, udah untung ini juga cuma memar katanya, kan? Malah di tawarin operasi. Hih! Kebanyak duit emang dia mah."Bisa diam dulu, Devia. Saya sedang bicara dengan Dokter," ucapnya tegas dan datar. Lah? Tumbenan banget? Biasanya juga sableng. Kenapa dia? Abis keselek donat. Sok serem!"Ya, tapi kan yang lagi kalian bicarakan itu saya, jadi--""Jadi, benar tidak
*Happy Reading*"Ternyata kalian tidak terlalu mirip."Hah? Maksudnya?"Tidak terlalu mirip? Sama siapa?" tanya itu pun lolos begitu saja dari bibirku, karena penasaran dengan maksud pernyataan Pak Aksa barusan."Mirip sama Song Hye Kyu lah, sama siapa lagi? Bukannya, selama ini netizen selalu menggaungkan kemiripan kalian?"Wew! Bangke tenan! Aku mah udah nyimak serius, jawaban nih cowok ternyata membagongkan sekali. Huft ... salah aku memang terlalu percaya padanya. Lagipula, siapa suruh dia percaya sama netizen? Pake segala nyamain aku sama jandanya oppa Song jong ki pula. Lah? Aku kan kembarannya Han Soo Hee. Huh! Mainmu kurang jauh, Pak!"Semerdeka Bapak ajalah, saya lelah debat sama Bapak. Dahlah, saya tidur aja." Aku pun memilih mengalah, sebelum kerutan di wajah benar-benar menumpuk akibat debat sama dia. Kok ada ya, cowok modelan begini? Ganteng, sih. Tapi bikin penuaan d
*Happy Reading*"Mama dia siapa?""Ih, kok kamu ngikutin omongan aku!""Eh, bukan aku, ya. Kamu tuh yang ngikutin!""Kamu!""Kamu!""Kamu!"Stooopppp!!!" Mau tak mau aku pun berseru lantang, karena kesal sekali dengan dua bocah yang saling tunjuk dihadapanku ini.Mana ngomongnya kompakan lagi kek anak kembar. Kan, aku gemes, ya? Kalau beda gender, gue kawinin juga mereka. Biar gelud di ranjang sekalian. Mayan kan, bisa menghasilkan cucu buat Intan dan Pak Aksa."Berisik tahu, Mah! Tuh kan, kita jadi tontonan orang, kan?" Bella berdesis kesal. Lah, Sueb! Gue begini juga gegara elo bacot mulu!"Eh, kok kamu malah marahin Mama, sih? Kan kamu yang mulai duluan." Tita membelaku."Dih, siapa yang mulai duluan? Kamu tuh! Seenaknya aja ngakuin Mama aku jadi Mama kamu," sahut Bella dengan sinis. "Tapi Mama Devia memang bakal jadi Mama aku!" Tita bersikukuh."Baru ba
*Happy reading*Akibat kabar dari Tita, malam itu aku pun sukses tidak bisa tidur memikirkan Pak Aksa yang katanya demam gara-gara kehujanan. Bukan aku sudah mulai care atau ada hati pada pria itu. Tetapi ... oh ayolah, secara gak langsung aku penyebab dia sakit, lho. Karena aku yang membuatnya jadi hujan-hujanan hari itu. Jadi ... aku hanya ... ya ... merasa bersalah saja padanya. Hanya itu. Jadi, gak usah banyak berharap, okeh! Kecuali kalian bisa rayu author, mungkin aku bisa menjadikan harapan kalian jadi kenyataan."Wih ... muka lo kenapa, Nur? Kecut banget kek keteknya Mak Kanjeng," sindir Nyonya Ammar saat berkunjung ke Apartemen. Dia pasti lagi gabut di toko donat. Makanya mampir ke mari mau rusuhin aku, atau menguras isi kulkas di dapur. Ah, udah biasa aku mah di rampok Nyonya Ammar."Gak usah gangguin gue. Lo kalau mau ngerampok cemilan, ambil aja sono! Gue lagi gak mood," cebikku kesal, seraya menghempaskan diri di
Yuk kasih tahu amih jam berapa kalian baca part ini?******Happy Reading*"Ya, Dev. Bagus!"Cekrik!"Matanya mainini lagi, Dev. Iya, begitu. Cakep!"Cekrik!"Tatapannya di perdalam lagi. ya, ya, Okeh!"Cekrik!"Senyumnya jangan lupa. Okeh, nice!"Cekrik!"Amazing, Devia! Sempurna! Kamu boleh istirahat."Akhirnya aku bisa menghela napas lega, setelah sesi pemotretan hari ini selesai. Belum sepenuhnya selesai, tapi lumayan buat ngelempengin pinggang mah. "Minum, Dev." Lika datang memberikan sebotol minuman dingin padaku, yang dengan senang hati aku terima. "Gila, hari ini panas banget! Neraka rembes apa gimana, sih?" Aku mengeluh seraya menenggak minumanku dengan rakus. "Yah, namanya juga udah masuk musim kemarau, Dev. Maklumin aja kenapa? Jangan lupa pake sunblock lo." Lika menyahut dengan santai. Lalu menyerahkan tabir surya padamu. Tak bany
*Happy Reading*"Ada elu, Nur? Kapan pulang? Betah banget lo di negeri orang? Eh, gue ngomong begini lo masih ngarti, kagak?" celoteh Mak Kanjeng, saat menemukan aku di Rumah Nurbaeti. Nanti sore akan ada acara perayaan ulang tahun Arshaka, anaknya Nurbaeti. Makanya aku ceritanya sedang bantu-bantu di sini, gaes. Mumpung aku sedang di Indonesia. Mendengar celotehan Mak Kanjeng. Aku nyengir saja. Lalu menghampirinya dan mencium punggung tangannya dengan hormat. "Ngerti dong, Mak. Bahasa betawi kan udah mendarah daging di Nur. Yee kan? Lagian Nur kan nikahnya sama orang Indo juga. Jadi sekalipun tinggal di luar negeri. Kami tetep menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian.""Owh ... gitu." Mak Kanjeng bergumam. "Syukur dah kalau gitu. Jadi gue gak usah buka kamus kalau ngomong sama lo. Soalnya gue pan gak ngerti bahas bule. Taunya yess sama no, doang. Eh, sama money dah gue juga tahu."Dasar Mak Kanjeng. Kalau soal cuan aja. Mau pake bahasa apa pun ngerti aja. Dasar emak-emak. "I
*Happy Reading*"Bang, kayaknya kamu harus mulai miara tuyul, deh.""Tuyul? Buat apa?""Buat tambah-tambah penghasilan biar bisa beli pabrik celana dalam. Aku capek loh beli banyak bisa seminggu sekali. Kamu robekin terus," omelku, seraya memungut kain segitiga yang tadi Aaron robek saat percintaan. Menunjukannya pada pria itu yang kini malah tertawa terbahak di tempatnya."Maaf, Sayang." Aaron menarik pinggangku posesif. "Habisnya tadi udah gak tahan." Dia mencium pipiku dengan mesra. Hilih! Alesan saja. Perasaan mau slow motion atau grasak-grusuk motion pun. Tetap aja memang dia mah sukanya robekin celana aku. Bikin aku keabisan semvak mulu!"Turunin CD gak sampai dua jam loh, Bang.""Tetep lama buat aku, Sayang. Namanya udah gak tahan gimana, sih? Aku gak mau buang satu detik pun buat merasakan kamu, sayang.""Hih! Otakmu itu emang isinya nana nina mulu kalau sama aku." Aku mencibirnya dengan kesal."Emang!" Aaron tak menampik. "Kalau liat kamu, otak aku emang auto pengen ngungkep
*Happy Reading*"Ya! Cukup untuk hari ini. Terima kasih dan see u tomorrow."Akhirnya hari ini berakhir. Aku mendesah lega kemudian segera merenggangkan tubuh sejenak demi untuk meredakan lelah yang menggelayuti tubuh. "Dev?" Celine, asistenku menghampiri seraya menyerahkan ponselku. "Aaron sejak tadi menghubungi," beritahunya, kemudian membuka botol kemasan yang dibawanya untukku. Senyumku pun langsung terurai lebar."Thanks, Celine." Aku menerima minuman darinya dengan senang hati, seraya mengecek ponsel. Ada lima panggilan tak terjawab dari Aaron. Sepuluh chat dari orang yang sama. Sisanya spam operator dan chat-chat dari sahabat, keluarga, dan beberapa nomor baru yang ingin memakai jasaku untuk produk mereka. Ya! Sebulan setelah menikah. Aku memang sudah kembali ke depan kamera. Menjadi model seperti sebelumnya, sekaligus menjadi Brand ambasador prodak kecantikan milik Aika. Mengabaikan nomor-nomor yang mencoba menjalin bisnis, yang pastinya sudah mendapat auto replay untuk
*Happy Reading*"Ya ampun. Beneran gak bisa berenti nangis, ya? Udahan kenapa, Yang? Kasian loh mata kamu." Aaron kembali memberikanku sehelai tissu kering, saat lagi-lagi air mataku mengalir tanpa bisa ku tahan. "Aku juga maunya berenti, Bang. Capek tahu, nangis kayak gini terus. Capek juga benerin riasannya. Tapi ... tapi ... mau gimana lagi. Aku masih gak percaya sama semua yang terjadi. Aku terharu parah. Kamu sih, ngasih kejutannya gak kira-kira! Kan aku ... aku ....""Nah? Nah? Kan? Minum dulu, minum dulu." Aaron lalu memberikan aku sebuah minum di botol. "Udah tahu suara hampir ilang. Masih aja ngomel," tambahnya disela kegiatan membantu aku minum lewat sedotan. "Aku gak ngomel, Abang!" Aku melayangkan protes dengan suara yang sebenarnya udah sengau. Kebanyakan nangis tadi bersama Intan dan Nurbaeti. "Lalu?""Menyuarakan kekesalan sama Abang aja.""Lah? Jadi, gak suka nih sama kejutan dari aku?" tuduh Aaron."Sukalah! Ya kali!" Aku menyahut cepat."Terus?""Gak ada terus-ter
*Happy Reading*Aku sudah siap! Sudah cantik sekali dengan gaun mahal yang Aika bawa, serta riasan sempurna hasil tangan MUA profesional yang juga Aika bawa. Pokoknya, aku sudah siap muncul menghipnotis semua tamu undangan malam ini. Akan tetapi, sayang mempelaiku tak kunjung datang menjemput. Meski ini sudah tiga jam berlalu sejak kepergiannya. Sang mempelai pria masih belum diketahui rimbanya. Membuat aku harus menunggu dengan hati gusar luar biasa. "Ck, ke mana, sih? Perasaan tadi bilangnya gak nyampe dua jam. Tapi ini kok malah gak muncul-muncul? Mana sekarang gak ada yang aktif lagi nomor-nomornya. Minta diuleg emang nih para pria berbiji."Lihat saja! Bahkan Aika yang awalnya santai, kini mulai emosi dan ngomel-ngomel pada ponselnya. Pun Papa yang sudah tidak bisa duduk tenang di tempatnya. Sementara para ibu-ibu, terlihat saling merangkul untuk saling menguatkan.Tolong jangan ditanya bagaimana kondisiku. Karena meski tampilanku sudah cetar membahana mengalahkan ratu sejagad.
*Happy Reading*Seperti yang sudah-sudah. Setelah puas menangis, aku tertidur. Akan tetapi tidak lama. Karena tiga puluh menit kemudian, bunda membangunkanku dan menyuruh bersiap untuk resepsi pernikahan yang akan segera di mulai. Entahlah. Aku gak tahu lagi harus bilang apa sekarang. Aku bingung harus sedih atau senang menerima pernikahan ini. Di satu sisi, tentu saja aku senang. Akhirnya bisa menikah dan melepas masa lajangku dengan pria sebaik Aaron. Akan tetapi di sisi lainnya. Aku juga sedih karena harus menikah secepat ini, tanpa kehadiran sahabat-sahabatku, juga merasakan euforia pranikah seperti mereka. Dari mulai lamaran, menunggu ijab kabul, dan pusing mengurusi pesta pernikahan. Aku kehilangan semua momen itu. Bagaimana tidak. Seingatku aku hanya pingsan seharian, pas bangun semua udah jadi aja. Rasanya kayak ... gimana, ya? Pokoknya aku gak merasakan euforia apa pun dalam pernikahan ini. Meski aku tahu dan mengerti pasti kenapa harus begini jalannya. Tetap saja, rasanya
*Happy Reading*Saat mendengar suara Malvino. Aku refleks mencari pegangan dan meremas tangan Bunda yang kutemukan di pangkuan. Aku takut! Takut sekali!"Coba saja kalau bisa. Gue tunggu!" Berbeda denganku. Sepertinya ancaman Malvino tidak berpengaruh apa pun untuk Aaron. Pria itu menjawab lugas tanpa rasa takut sedikit pun. "Kamu? Siapa kamu? Kenapa ponsel Devia ada pada kamu?" Malvino yang mendengar sahutan ternyata bukan dariku. Tentu saja langsung bertanya dengan penasaran. "Gue suaminya Devia." Aaron masih menjawab dengan santainya. Sementara aku makin gusar di tempatku. Bunda bahkan sampai harus merangkul dan membisikan kata tenang berkali-kali. Karena tanpa sadar tubuhku sudah bergetar hebat mendengar percakapan itu. Sepertinya Malvino sudah membuat aku trauma parah. Bahkan hanya mendengar suaranya saja, aku sudah ketakutan seperti ini. Kepalaku mulai pusing lagi jadinya. "Suami? Jangan bermimpi kamu! Devia itu milik saya! Selamanya akan jadi milik saya!"Tuhan ... pria it
*Happy Reading*"Memang itu tujuannya," sahut Aaron tanpa beban."Eh?"A-apa maksud kamu?" Aku bertanya dengan terbata. Sayangnya, bukannya menjelaskan. Aaron malah tersenyum manis dan mengangkat bahu dengan acuh. Membuat aku kesal sekali. Apa-apaan sih dia. "Ron, jangan becanda. Ini bukan hal yang bisa kami jadikan lelucon!" Tak ayal aku pun langsung menghardiknya. "Siapa juga yang sedang becanda? Aku serius, kok.""Lalu, kenapa--""Serahin aja semuanya sama aku. Aku punya cara sendiri buat ngadepin pria brengsek itu."Sayangnya, jawaban Aaron barusan. Meski disuarakan dengan sungguh-sungguh. Tetap saja tidak bisa membuat aku tenang. Karena Aaron tidak tahu seberapa gila si duda sableng itu. "Serahin semuanya sama kamu? Jangan gila, Ron! Kamu gak tahu seberapa nekadnya dia. Khanza, anaknya dan Tita sudah menjadi korbannya. Aku gak mau kamu juga ... ikut jadi korbannya, Ron. Aku ... gak mau." Aku mencoba menyuarakan kekhawatiranku. Tanpa sadar air mataku menetes lagi. Membayangkan
*Happy Reading*"Eugh ..." Aku melenguh pelan. Saat ingin membuka mata, tetapi tersita oleh denyut nyeri yang berasal dari kepalaku. Sakit dan pusing sekali. Rasanya benar-benar tidak nyaman. Tak lama, aku merasa sebuah tangan memijat-mijat kepalaku. Menghantarkan rasa hangat yang membuat nyaman.Setelah cukup lama. Aku pun bisa membuka mataku. Bunda lah yang pertama aku lihat dengan senyumnya yang sehangat mentari. Namun, matanya membengkak khas orang baru nangis. Kenapa? Ada apa?"Alhamdulilah, Nur. Akhirnya kamu bangun juga," ucap Bunda. Bangun? Aku emang kenapa? Aku melirik sekitarku, dan baru sadar jika ini bukan di kamarku yang ada di rumah Papa. Ini ... kayaknya di kamar rumah sakit. Lah? Kenapa aku di sini? "Bun, akh--ekhem!" Baru saja aku ingin menyuarakan rasa penasaran dalam diri. Tiba-tiba aku tercekat. Tenggorokanku sakit sekali. Seperti kekeringan dan butuh air segera. Seakan mengerti, bunda dengan cepat meraih gelas berisi air putih di nakas, dan membantuku minum