“Di mana Elena?”Suara Gio menggema di dalam restoran yang mulai sepi. Langkah kakinya terdengar berat saat ia masuk dengan ekspresi penuh amarah dan frustasi.Sudah kesekian kalinya ia datang ke sini, tapi hasilnya tetap sama. Bukan Elena yang ia temui, melainkan Maia—yang kini hanya bisa menghela napas lelah, seolah sudah muak dengan kehadiran pria itu.“Sudah kubilang padamu, Gio,” ucap Maia, suaranya terdengar tegas dan tanpa ragu. “Elena tidak datang ke restoran bahkan sejak dua minggu yang lalu!”Gio memicingkan mata, rahangnya mengencang. “Dan kau pasti tahu ke mana dia pergi, kan?” matanya menatap tajam, penuh kecurigaan.“Aku tahu Karl juga tidak datang ke kantor selama dua minggu ini. Mereka pasti sedang pergi bersama, kan?”Maia tetap berdiri tegak, menatap pria di depannya dengan ekspresi datar. Sudah berapa kali dia harus menghadapi Gio yang keras kepala ini?“Gio,” Maia menarik napas dalam, mencoba tetap tenang. “Elena sudah tidak mau kembali padamu—”“Karena otaknya sud
Langkah Federick terdengar mantap saat ia memasuki gedung The Blue Company. Setelan hitamnya rapi, namun ada ketegangan tersirat dalam gerak-geriknya.Ia tidak membuang waktu, langsung menuju ruang kerja Karl yang berada di lantai tertinggi.Di dalam ruangan luas dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan kota, Karl tengah duduk di kursinya, jemarinya menari di atas meja, seolah sedang tenggelam dalam pikirannya.Namun, begitu mendengar suara langkah Federick mendekat, ia mengangkat kepalanya.“Ada yang ingin aku sampaikan padamu.”Karl menatap Federick sekilas, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, seolah sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan pria itu.“Kau ingin memberitahuku bahwa Gio datang kembali ke restoran Elena, kan?”Federick menahan ekspresinya, meskipun sedikit terkejut dengan ketajaman insting Karl. Ia mengangguk. “Ya. Dia menyerang Maia secara personal karena tidak ingin memberitahu di mana Elena berada.”Karl menghela napas, matanya menyipit s
Elena bergegas menuju pengadilan dengan langkah cepat. Hatinya masih berkecamuk dengan berbagai emosi—antara kegelisahan karena sidang yang akan segera dimulai dan rasa penasaran tentang apa yang ingin disampaikan Thomas.Begitu tiba di gedung pengadilan, ia langsung menuju ruang pertemuan yang telah disiapkan. Di sana, Thomas sudah menunggunya, duduk dengan tenang di balik meja yang dipenuhi dokumen-dokumen penting."Halo, Thomas," sapa Elena, mencoba terdengar tegar meskipun hatinya masih sedikit bergetar.Thomas mengangkat kepalanya dan menyambutnya dengan senyum profesional. "Halo, Nona Elena. Silakan duduk dulu."Elena menurut, menarik kursi dan duduk di hadapan pengacara yang dipercaya Karl untuk menangani kasusnya.Ruangan itu terasa begitu sepi, hanya ada mereka berdua—tanda bahwa pembicaraan ini sangat penting dan tidak boleh sembarangan didengar orang lain."Ada apa, Thomas?" tanya Elena, tidak sabar ingin mengetahui alasan Thomas memintanya datang lebih awal.Thomas menatap
“Selamat siang, Tuan Karl.”Karl, yang duduk di belakang meja besar dari kayu ek, mengangkat kepalanya dari dokumen yang tengah dibacanya.Matanya menyipit sedikit sebelum bibirnya melengkung tipis, seolah menunggu kabar yang sudah ia duga sebelumnya."Bagaimana sidangnya, Thomas?" tanyanya, nada suaranya santai namun penuh arti.Thomas tersenyum lebar, melangkah lebih dekat dengan keyakinan penuh. "Sudah selesai, Tuan Karl. Seperti yang sudah saya janjikan pada Anda, semuanya beres dalam sehari, bahkan hanya tiga jam." Suaranya mengandung kebanggaan yang tak bisa disembunyikan.Karl menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Thomas dengan tatapan penuh penilaian."Aku tidak percaya jika bukan dari Elena langsung yang memberitahuku, kau tahu?" ujarnya, separuh bergurau.Thomas hanya mengangkat bahunya santai sebelum merogoh map cokelat dari tas kerjanya."Yeah, bahkan saya membawakan salinan akta cerainya untuk Anda," ucapnya seraya meletakkan dokumen itu di atas meja.Karl menatap do
Karl menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam, rahangnya mengatup rapat. Setiap detik yang berlalu tanpa balasan dari Elena semakin menambah kecemasannya.“Elena tidak menjawab panggilanku. Dan aku tidak tahu pergi ke rumah sakit mana dia,” ucap Karl, suaranya terdengar geram dan penuh kegelisahan.Federick yang sedang duduk di seberangnya menaikkan alis, wajahnya tampak bingung. “Elena sakit? Sakit apa? Bukankah dia sedang sidang cerai?”“Ya. Thomas bilang padaku jika Elena pamit ke rumah sakit dan tidak bisa ikut dengannya ke kantorku. Tapi, sampai saat ini Elena masih belum menerima panggilan dariku. Ada apa dengannya?”Karl semakin gelisah. Pikirannya penuh dengan skenario buruk yang terus-menerus bermain di kepalanya. Apa yang terjadi padanya? Apakah dia baik-baik saja? Mengapa tidak ada kabar sedikit pun darinya?Karl mencoba sekali lagi menghubungi Elena, menunggu dengan sabar sambil mendekatkan ponsel ke telinganya. Tapi, panggilan itu tetap berakhir tanpa jawaban.Federic
"Kau ... hanya memikirkan kondisi janinnya saja? Kau benar-benar hanya mengharapkan anak saja dariku?" suaranya bergetar, setengah tersedak oleh emosi yang bergulung di dadanya.Karl mengusap wajahnya dengan telapak tangan, napasnya berat. Dia sadar betul Elena telah salah paham, dan ia tak bisa menyalahkannya.Nada suara dan kata-kata yang terlontar darinya tadi memang terdengar seolah dia hanya peduli pada janin itu, bukan Elena."Maaf," ucapnya dengan pelan, suaranya sarat dengan penyesalan. "Aku hanya panik dan terkejut mendengar kabar ini."Elena membuang muka, enggan melihat Karl lebih lama. Ia merasa hatinya telah tergores, perih oleh kekhawatiran yang menurutnya tidak pada tempatnya.Karl tahu bahwa Elena masih marah, masih menaruh ganjalan di hatinya karena pertanyaannya tadi. Ia menghela napas dalam, mencoba menata pikirannya yang semrawut."Maafkan aku, Elena," ulangnya dengan suara lebih lembut. Tangannya perlahan meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan erat seakan ingi
“Jangan terlalu memikirkan ucapan orang lain, Elena. Kau bisa stres, dan itu akan mengganggu perkembangan janinmu,” ucap Karl, suaranya penuh ketulusan dan kekhawatiran.Elena memejamkan matanya sejenak, berusaha menenangkan diri. Napas panjang dihembuskannya perlahan, seolah mencoba mengusir kepenatan yang menyesakkan dadanya.“Masalahnya adalah … aku baru cerai, Karl,” lirihnya, suaranya bergetar. Ada kesedihan yang sulit disembunyikan di sana. Luka yang masih menganga, perasaan kehilangan yang masih menusuk hatinya.Karl mengangguk, memahami beban yang dipikul wanita itu. “Ya, aku tahu. Tapi, mau bagaimana lagi? Kau tidak akan mungkin menggugurkan kandungannya, kan?”Elena menatapnya, matanya berkabut. “Hanya wanita gila yang berani menggugurkan kandungannya.”Karl tersenyum tipis, lega mendengar jawaban itu. Ia kemudian mendekat, menatap wajah Elena dengan penuh keyakinan. “Kalau begitu, dengarkan aku.” Nada suaranya dalam, penuh kepastian.“Kita akan baik-baik saja. Kau akan baik
Pagi itu, cahaya matahari masih enggan menyelinap ke dalam kamar yang tirainya tertutup rapat.Suasana hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napas teratur Elena yang masih terlelap di tempat tidur.Namun, keheningan itu segera terusik ketika Karl mulai menjejali wajahnya dengan kecupan bertubi-tubi, membuat Elena menggeliat pelan sebelum akhirnya mengerang kecil.“Ah, Karl. Kau mengganggu tidurku,” gumamnya dengan suara berat khas orang yang baru bangun tidur.Matanya masih malas untuk terbuka, hanya kepalanya yang sedikit bergerak mencari posisi lebih nyaman.Karl tersenyum kecil melihat ekspresi mengantuk istrinya. Dengan penuh kelembutan, ia mengusapkan telapak tangannya ke perut Elena yang masih rata itu, seolah sedang menyapa kehidupan kecil yang mungkin belum hadir sepenuhnya.Setelah itu, tanpa ragu, ia mengecup perutnya dengan penuh kasih.“Aku mau pamit ke kantor. Tapi, kau masih tidur. Ya sudah, aku bangunkan saja,” ujar Karl dengan nada main-main.Elena menghela
Dua hari telah berlalu sejak Karl mengklarifikasi semua tuduhan yang Gio lemparkan padanya. Semua telah berjalan lebih baik dari yang ia bayangkan.Tidak ada lagi tatapan curiga dari orang-orang, tidak ada lagi bisik-bisik di belakangnya. Segala fitnah yang pernah menyesakkan dadanya kini telah menguap bersama kenyataan.“Hari ini kau yakin tidak ingin kuantar?” tanya Karl, yang berdiri bersandar di pintu kamar dengan tangan menyilang di dada. Tatapannya penuh perhatian, meski tersirat nada pasrah dalam suaranya.Elena menoleh dan tersenyum kecil. “Aku yakin. Di sana ada Maia dan staf lainnya. Lagipula, aku bisa menjaga diri.”Karl menghela napas, lalu berjalan mendekat, mengusap lembut pipi istrinya. “Aku tahu kau bukan anak kecil yang harus kujaga dua puluh empat jam, tapi tetap saja… aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja.”Elena menepuk lembut tangan Karl yang masih bertengger di pipinya. “Aku akan baik-baik saja. Aku janji.”Karl masih tampak ragu, tetapi akhirnya mengangg
“Argh! Berengsek! Karl sialan!”Gio menghantam vas bunga ke dinding, pecahannya beterbangan, menghiasi lantai apartemennya yang sudah berantakan.Napasnya memburu, dadanya naik turun dalam gelombang amarah yang tak terbendung. Meja di depannya dihantam dengan satu pukulan keras, menyebabkan gelas dan piring berhamburan, pecah menjadi serpihan kecil."Bajingan!" pekiknya penuh amarah, matanya merah menyala seperti bara api.Tangannya meraih bingkai foto yang ada di rak, dilemparkannya dengan kasar hingga kaca fotonya pecah berantakan. Rahangnya mengeras, otaknya terus dipenuhi satu pertanyaan: Dari mana Karl tahu?Selama ini, ia menyimpan rapat-rapat fakta bahwa ia mandul. Tak ada seorang pun yang tahu, tak ada seorang pun yang seharusnya tahu! Namun entah bagaimana Karl menemukan kelemahannya. Berengsek!“Kau sudah menyulutkan api dalam hidupku, Karl. Apa kau tahu, aku sangat membencimu, semakin membencimu karena sudah membuatku hancur!” pekiknya dengan dada naik turun karena amarahny
Tiga hari yang lalu …."Kau tahu apa yang telah dilakukan anakmu, Vero?" suara Karl bergetar menahan amarah, matanya menusuk tajam ke arah pria yang kini berdiri di hadapannya.Vero menarik napas panjang. Ia sudah mendengar kabar itu. Sudah terlambat untuk menghentikan Gio. "Aku minta maaf, Karl. Aku sungguh tidak tahu kalau Gio akan melakukan hal ini. Aku—""Omong kosong!" Karl membanting gelas di atas meja, pecahannya berhamburan di lantai. "Kau pikir maaf bisa menyelesaikan semuanya? Apa kau bahkan pantas disebut ayah jika kau tidak bisa mengendalikan anakmu sendiri?!"Vero mengatupkan rahangnya. Ia tahu Karl benar. Gio telah menyebarkan berita buruk yang menuduh Elena berselingkuh dengan Karl.Berita itu telah mengguncang banyak pihak, terutama Elena yang kini dicap sebagai perempuan murahan karena dugaan perselingkuhan itu."Aku... aku tidak tahu kalau Gio akan seberani ini," suara Vero lirih, sarat dengan penyesalan. "Aku
Di sebuah ruangan dengan pencahayaan redup, Gio duduk di atas sofa kulit berwarna hitam dengan wajah yang terlihat lelah.Tangannya meremas pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang sejak tadi tak kunjung reda. Di hadapannya, layar televisi menampilkan berita yang terus menerus menyudutkan dirinya. Semua yang ia rencanakan telah berantakan.Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat Gio mendongak. Alma melangkah masuk dengan tatapan tajam. Wanita itu menutup pintu dengan kasar, lalu berjalan cepat mendekati Gio dengan wajah yang merah padam oleh amarah."Kau!" suara Alma melengking, penuh emosi."Kau bilang semua akan berjalan sesuai rencana! Tapi lihat ini!"Ia menunjuk layar televisi yang menampilkan namanya sebagai biang keladi dari seluruh kekacauan yang terjadi."Tidak ada dampaknya sama sekali! Berita yang kau sebar tidak menghancurkan Karl! Justru namamu yang kini hancur!"Gio mendesah panjang, mengusap wajahnya
Kilatan lampu kamera menyala bergantian saat Karl akhirnya keluar dari ruang kerjanya.Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, namun ekspresinya tetap tenang saat ia berdiri di hadapan para awak media yang sudah menunggu dengan penuh antusiasme di lobi.Suara bisikan dan pertanyaan dari para wartawan menggema di ruangan itu, namun Karl tetap tegap, tangannya terlipat di depan dada.Dia menghela napas perlahan sebelum akhirnya berbicara, suaranya dalam dan tegas."Sebelum saya mulai memberikan klarifikasi, saya ingin menyampaikan permintaan maaf kepada semua pihak atas keterlambatan saya dalam memberikan tanggapan terkait berita yang beredar selama tiga hari terakhir.“Bukan karena saya menghindar, tetapi saya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya."Ruangan itu mendadak hening. Semua wartawan menajamkan telinga mereka, bersiap mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Karl."Hari ini, saya akan meluruskan segala kesalahpahaman dan fitnah yang tela
Hening menyelimuti apartemen setelah kepergian Karl. Elena duduk di sofa dengan tenang, membiarkan pikirannya melayang dalam diam.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika suara ketukan pintu terdengar, memecah keheningan yang baru saja terbentuk.Elena beranjak, membuka pintu dengan sedikit waspada. Namun, matanya membulat saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Maia? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, terkejut melihat kedatangan sahabatnya.Maia hanya tersenyum tipis sebelum melangkah masuk, menyerahkan kotak pizza yang ia bawa. Aroma keju yang menggoda segera memenuhi ruangan."Karl yang memintaku menemanimu di sini, Elena," ujar Maia sambil berjalan ke ruang tengah. Ia duduk santai di sofa empuk, menatap sekeliling apartemen dengan ekspresi kagum.Matanya menyapu setiap sudut ruangan—perabotan modern yang tertata rapi, pencahayaan hangat yang menenangkan, serta aroma lavender yang samar menguar di udara."Sangat luas, rapi, wangi, dan nyaman. Karl membeli
"Sekarang pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi ke rumahku!" suara Karl menggelegar, menggema di setiap sudut apartemen yang luas namun terasa sempit oleh ketegangan.Tatapannya tajam, penuh kebencian, seperti belati yang siap mengoyak siapa pun yang berani melawan.Di hadapannya, Alma—wanita yang melahirkannya, namun tak pernah benar-benar menjadi seorang ibu—memandangnya dengan mata yang membelalak tak percaya.Rasa marah dan terhina berbaur dalam ekspresinya yang memucat."Kau … mengusir kami demi wanita ini? Kau benar-benar terobsesi oleh satu wanita yang tidak tahu diri sepertinya!" seru Alma, suaranya melengking tinggi, menusuk telinga Karl seperti siulan angin badai.Karl tertawa tipis, penuh sinisme. Tawa itu lebih mirip erangan luka yang telah lama membusuk.Ia menatap ibunya dengan sorot mata yang tidak lagi mencari kasih, melainkan penuh dengan penolakan."Aku tidak peduli. Bukankah ini yang selalu kalian ajarkan padaku? Pernahkah kalian menghargai aku sebagai seora
Suara bel yang terus-menerus berdengung memenuhi ruang apartemen Karl, menambah pusing di kepalanya yang sudah dipenuhi dengan notifikasi email dan pesan di ponselnya.Sebagian besar menanyakan tentang skandal yang baru saja mencuat ke permukaan. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan ketegangan di sorot matanya."Aku saja yang buka," ujar Elena, bangkit dari duduknya dengan ragu-ragu.Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, Karl menahannya dengan satu gerakan tangan yang tegas.Tatapan matanya tajam saat menelusuri wajah Elena, seolah memastikan bahwa perempuan itu tetap aman bersamanya."Aku saja," katanya, suaranya terdengar dalam dan mantap. "Kita tidak tahu siapa yang datang. Meskipun tidak banyak orang yang tahu tempat tinggalku di sini, aku tetap tidak bisa lengah."Karl menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak berdegup tak menentu.Perlahan, ia berjalan menuju pintu, merasakan ketegangan merayap di tengkuknya. Begitu pintu terbuka, matan
Karl memasuki apartemen tanpa tergesa-gesa. Langkahnya mantap, namun ada ketegangan samar di wajahnya.Vincent telah mengatur segalanya dengan cermat sehingga ia bisa lolos dari kejaran wartawan yang masih berkerumun di depan kantor The Blue Company.Di dalam, Elena sudah menunggunya. Matanya berbinar lega begitu melihat pria itu berdiri di hadapannya tanpa luka atau gangguan berarti. Tapi ada kegelisahan yang mengintai di balik tatapannya."Siapa yang sudah menyebarkan berita itu, Karl?" tanyanya langsung, suaranya terdengar menahan cemas.Karl melepaskan jasnya dengan santai, lalu melemparkannya ke sofa sebelum melonggarkan dasinya. Tatapannya kelam, tapi ada kilatan analitis dalam sorot matanya."Pasti Gio," jawabnya tenang, seolah jawaban itu sudah mutlak."Keluargaku tidak mungkin membuat namaku buruk, karena mereka masih bergantung pada karirku. Tapi, jika mereka bersatu, bisa saja."Karl berhenti sejenak, lalu menatap Elena dalam-dalam, mencari respons di wajahnya. "Gio selalu