“Selamat siang, Tuan Karl.”Karl, yang duduk di belakang meja besar dari kayu ek, mengangkat kepalanya dari dokumen yang tengah dibacanya.Matanya menyipit sedikit sebelum bibirnya melengkung tipis, seolah menunggu kabar yang sudah ia duga sebelumnya."Bagaimana sidangnya, Thomas?" tanyanya, nada suaranya santai namun penuh arti.Thomas tersenyum lebar, melangkah lebih dekat dengan keyakinan penuh. "Sudah selesai, Tuan Karl. Seperti yang sudah saya janjikan pada Anda, semuanya beres dalam sehari, bahkan hanya tiga jam." Suaranya mengandung kebanggaan yang tak bisa disembunyikan.Karl menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Thomas dengan tatapan penuh penilaian."Aku tidak percaya jika bukan dari Elena langsung yang memberitahuku, kau tahu?" ujarnya, separuh bergurau.Thomas hanya mengangkat bahunya santai sebelum merogoh map cokelat dari tas kerjanya."Yeah, bahkan saya membawakan salinan akta cerainya untuk Anda," ucapnya seraya meletakkan dokumen itu di atas meja.Karl menatap do
Karl menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam, rahangnya mengatup rapat. Setiap detik yang berlalu tanpa balasan dari Elena semakin menambah kecemasannya.“Elena tidak menjawab panggilanku. Dan aku tidak tahu pergi ke rumah sakit mana dia,” ucap Karl, suaranya terdengar geram dan penuh kegelisahan.Federick yang sedang duduk di seberangnya menaikkan alis, wajahnya tampak bingung. “Elena sakit? Sakit apa? Bukankah dia sedang sidang cerai?”“Ya. Thomas bilang padaku jika Elena pamit ke rumah sakit dan tidak bisa ikut dengannya ke kantorku. Tapi, sampai saat ini Elena masih belum menerima panggilan dariku. Ada apa dengannya?”Karl semakin gelisah. Pikirannya penuh dengan skenario buruk yang terus-menerus bermain di kepalanya. Apa yang terjadi padanya? Apakah dia baik-baik saja? Mengapa tidak ada kabar sedikit pun darinya?Karl mencoba sekali lagi menghubungi Elena, menunggu dengan sabar sambil mendekatkan ponsel ke telinganya. Tapi, panggilan itu tetap berakhir tanpa jawaban.Federic
"Kau ... hanya memikirkan kondisi janinnya saja? Kau benar-benar hanya mengharapkan anak saja dariku?" suaranya bergetar, setengah tersedak oleh emosi yang bergulung di dadanya.Karl mengusap wajahnya dengan telapak tangan, napasnya berat. Dia sadar betul Elena telah salah paham, dan ia tak bisa menyalahkannya.Nada suara dan kata-kata yang terlontar darinya tadi memang terdengar seolah dia hanya peduli pada janin itu, bukan Elena."Maaf," ucapnya dengan pelan, suaranya sarat dengan penyesalan. "Aku hanya panik dan terkejut mendengar kabar ini."Elena membuang muka, enggan melihat Karl lebih lama. Ia merasa hatinya telah tergores, perih oleh kekhawatiran yang menurutnya tidak pada tempatnya.Karl tahu bahwa Elena masih marah, masih menaruh ganjalan di hatinya karena pertanyaannya tadi. Ia menghela napas dalam, mencoba menata pikirannya yang semrawut."Maafkan aku, Elena," ulangnya dengan suara lebih lembut. Tangannya perlahan meraih tangan Elena, menggenggamnya dengan erat seakan ingi
“Jangan terlalu memikirkan ucapan orang lain, Elena. Kau bisa stres, dan itu akan mengganggu perkembangan janinmu,” ucap Karl, suaranya penuh ketulusan dan kekhawatiran.Elena memejamkan matanya sejenak, berusaha menenangkan diri. Napas panjang dihembuskannya perlahan, seolah mencoba mengusir kepenatan yang menyesakkan dadanya.“Masalahnya adalah … aku baru cerai, Karl,” lirihnya, suaranya bergetar. Ada kesedihan yang sulit disembunyikan di sana. Luka yang masih menganga, perasaan kehilangan yang masih menusuk hatinya.Karl mengangguk, memahami beban yang dipikul wanita itu. “Ya, aku tahu. Tapi, mau bagaimana lagi? Kau tidak akan mungkin menggugurkan kandungannya, kan?”Elena menatapnya, matanya berkabut. “Hanya wanita gila yang berani menggugurkan kandungannya.”Karl tersenyum tipis, lega mendengar jawaban itu. Ia kemudian mendekat, menatap wajah Elena dengan penuh keyakinan. “Kalau begitu, dengarkan aku.” Nada suaranya dalam, penuh kepastian.“Kita akan baik-baik saja. Kau akan baik
Pagi itu, cahaya matahari masih enggan menyelinap ke dalam kamar yang tirainya tertutup rapat.Suasana hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara napas teratur Elena yang masih terlelap di tempat tidur.Namun, keheningan itu segera terusik ketika Karl mulai menjejali wajahnya dengan kecupan bertubi-tubi, membuat Elena menggeliat pelan sebelum akhirnya mengerang kecil.“Ah, Karl. Kau mengganggu tidurku,” gumamnya dengan suara berat khas orang yang baru bangun tidur.Matanya masih malas untuk terbuka, hanya kepalanya yang sedikit bergerak mencari posisi lebih nyaman.Karl tersenyum kecil melihat ekspresi mengantuk istrinya. Dengan penuh kelembutan, ia mengusapkan telapak tangannya ke perut Elena yang masih rata itu, seolah sedang menyapa kehidupan kecil yang mungkin belum hadir sepenuhnya.Setelah itu, tanpa ragu, ia mengecup perutnya dengan penuh kasih.“Aku mau pamit ke kantor. Tapi, kau masih tidur. Ya sudah, aku bangunkan saja,” ujar Karl dengan nada main-main.Elena menghela
“Argh! Sial, sial!” Jesika memasuki apartemennya dengan langkah terburu-buru, membanting pintu keras hingga suara dentuman menggema di dalam ruangan.Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras menahan amarah yang membuncah. Ia baru saja menerima ucapan menohok dari Karl, yang membuatnya merasa diremehkan begitu saja.“Bisa-bisanya dia malah memarahiku? Apakah matanya dipenuhi oleh Elena, sampai tak bisa melihat penampilanku hari ini?” gerutunya dengan suara tinggi.Dengan kasar, ia melempar tas tangannya ke sofa, membuat isinya sedikit berhamburan.Helaan napas panjang terdengar saat dirinya menjatuhkan tubuh ke sofa, melipat tangan di dadanya, dan menatap langit-langit dengan kesal.Rasa geram masih membakar dadanya setelah Karl mengusirnya dari pertemuan tadi hanya karena ia kehilangan fokus.Namun, kekesalannya mendadak berubah menjadi keterkejutan saat sebuah suara yang tak asing menyelusup ke telinganya.“Apa yang terjadi, Jesika?”Jantung Jesika berdegup kencang. Ia menoleh dengan
"Aku tidak menyangka jika Jesika berani memakai pakaian seperti itu demi menggodamu," ucap Federick seraya mengangkat alisnya, mencoba menangkap ekspresi dari pria yang sejak tadi lebih banyak diam.Karl hanya duduk bersandar di kursinya dengan lengan terlipat di dada. Wajahnya tetap tenang, nyaris tidak menunjukkan emosi apa pun.Mereka berdua telah selesai membahas proyek terbaru yang akan mereka jalankan di bawah perusahaan mereka, namun pembicaraan malah beralih pada sesuatu yang lebih bersifat pribadi."Dalam satu bulan ini, dia terlihat lebih gila dari biasanya. Selalu bertanya kapan pergi ke The Blue Company. Sepertinya wanita itu benar-benar terobsesi padamu, Karl," lanjut Federick, kali ini dengan nada sedikit menggoda.Namun, pria yang dipanggilnya itu masih belum juga menyahut. Karl tetap diam, matanya menatap kosong ke atas meja, seolah-olah tenggelam dalam pikirannya sendiri.Federick menghela napas, sedikit frustrasi dengan kurangnya respons dari sahabatnya itu. "Karl?"
“Hi!”Karl menghampiri Elena yang tengah duduk di sofa ruang tengah sembari menonton televisi. Lelaki itu baru saja pulang dari kantor, dengan jas yang sudah ia lepas dan kemeja yang sedikit kusut.Wajahnya tampak lelah, tetapi matanya tetap tajam ketika menatap wanita yang kini tersenyum menyambutnya.Elena mengulas senyum saat melihat Karl sudah kembali. Matanya berbinar meski raut wajahnya tetap lembut seperti biasa.“Kau sudah pulang. Bagaimana meeting hari ini? Lancar?” tanyanya, suaranya terdengar hangat dan penuh perhatian.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di hadapan Elena, memperhatikan setiap detail wajah wanita itu dengan seksama.Seolah ingin mengukir setiap garis lembut di pipinya, kilauan matanya yang mencerminkan kehangatan, dan senyum yang selalu terasa menenangkan. Tanpa aba-aba, Karl mendekat hingga wajahnya berada sangat dekat dengan Elena.“Apa kau selalu menanyakan tentang pekerjaan seperti ini pada Gio saat kau masih menjadi istrinya?” tanyanya tiba-
Tidak ada jawaban, hanya jeritan bahagia Elena yang membuat Maia terkejut. "Kau bahagia sekali, El. Ada apa di sana, kau dalam keadaan baik-baik saja dan sehat 'kan?"Elena langsung berteriak begitu keras hingga suara bahagianya terdengar melebihi jangkauan. Maia dengan cepat menjauhkan ponselnya dari telinga, namun setelah beberapa detik, ia mendekatkannya lagi, penasaran."Terbanglah ke Roma, Mai, jika kau ingin melihat keponakanmu lahir!" jerit Elena dengan kegirangan, suaranya pecah dengan kebahagiaan yang tak terkira.Maia terdiam beberapa saat, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Tubuhnya melompat kegirangan, seakan disambar petir. “Kau serius, El?” tanyanya, hampir tidak percaya."Heem," jawab Elena singkat namun penuh keyakinan.Di seberang sana, Maia terdiam sejenak, mencerna kata-kata sahabatnya. Takdir ternyata membawa mereka ke titik ini, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Kehidupan yang penuh dengan kejutan, dan kini sahabatnya, yang selama ini selalu ada u
Karl berdiri, menahan emosi. “Aku tidak peduli. Lakukan segera apa yang aku inginkan!”Namun suara lembut Elena memecah ketegangan, “Karl... jangan seperti itu dong. Biarkan semua berjalan normal, jangan memaksakan.”Karl menoleh dan menatap Elena yang kini sudah duduk di ranjang, wajahnya tenang, namun matanya penuh harap.Setelah perdebatan panjang dan beberapa pembicaraan tambahan, akhirnya pihak maskapai menyetujui perubahan jadwal dengan syarat tertentu. Karl menyetujui semuanya.Senyum puas mengembang di wajah Elena. Ia segera berdiri dan memeluk suaminya. “Yey, akhirnya bisa ke Roma... Yang baik dan nurut ya, Sayang,” bisiknya sambil mengusap perutnya yang masih rata namun telah membawa kehidupan.Karl membalas pelukannya, kemudian menatap perut Elena dengan perasaan campur aduk. “Perjalanan ini cukup jauh dan melelahkan, Sayang. Apakah tidak berbahaya?”Elena menggeleng dengan senyum penuh keyakinan. “Aku dalam keadaan sehat. Dokter juga bilang ini waktu yang masih aman. Dan k
Malam itu, langit dihiasi bintang dan bulan purnama menggantung dengan indah. Halaman belakang rumah Karl disulap menjadi pesta kecil nan hangat. Tema garden wedding mereka tampil sederhana namun elegan.Lampu-lampu gantung memancarkan cahaya kekuningan yang lembut, bunga-bunga mekar di setiap sudut taman, dan aroma hidangan lezat memenuhi udara malam.Karl dan Elena berdiri di tengah-tengah, tangan saling menggenggam, mata saling menatap dalam. Tidak butuh pesta megah, karena cinta mereka telah cukup menjadi pusat perhatian.Di sisi lain, Maia berdiri dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajahnya. Federick mendekat, berdiri di sampingnya. Ia tidak berkata banyak, hanya sesekali memandang Maia dengan sorot mata yang penuh misteri.Di antara tawa, doa, dan janji yang terucap malam itu, cinta Karl dan Elena pun diikat dalam sakralnya komitmen.Tanpa dendam masa lalu, tanpa luka yang menahan—hanya ada harapan, keteguhan, dan perjalanan baru yang segera dimulai.“Kau sangat cantik, El
“Sudahlah, kapan kalian melangsungkan pernikahan? Rasanya sudah waktunya, apalagi setelah semua yang kalian lewati.”Elena terdiam sejenak sebelum menjawab dengan suara pelan, “Tunggu semua selesai dan aku sudah boleh pulang.”Maia tersenyum dan mengangguk kecil. Keduanya pun larut dalam percakapan ringan soal rencana pernikahan Elena dan Karl, bercanda tentang tema pesta, gaun pengantin, dan siapa saja yang akan diundang.Namun di balik semua itu, mata Maia masih menyimpan kebingungan atas kata-kata Federick sebelumnya.Sementara itu, di sisi lain kota, Karl dan Federick sudah sampai di kantor kepolisian. Mereka berjalan cepat melewati lorong-lorong panjang dan redup hingga tiba di depan ruang interogasi.Begitu matanya menangkap sosok Gio di balik kaca satu arah, napas Karl langsung berubah berat. Tatapannya menggelap, penuh kebencian. Gio terlihat santai, bahkan nyaris tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.Ia menjawab pertanyaan penyidik dengan malas, acuh tak acuh, bahkan seseka
“Sejak kapan wanitaku harus menatapmu dengan kelembutan?” balas Karl, nadanya tenang tapi tegas, nada kepemilikan yang tak bisa ditawar.Federick menggaruk kepalanya yang jelas tidak gatal, menghela napas pasrah atas protes Karl. “Bukan begitu maksudku… setidaknya kembalilah ke mode awal, jangan setegang ini. Kau tampak seperti hendak menginterogasiku.”Elena hanya menyeringai. Lalu tanpa memberi sinyal lain, bibirnya bergerak, melontarkan pertanyaan, “Di mana Maia?”Seketika Federick menghembuskan napas panjang, seolah beban di pundaknya sedikit terangkat. Senyuman manis mengembang di wajahnya, “Di hatiku.”Elena hanya melirik sambil mengangkat alis, tidak menanggapi rayuan kecil itu dan langsung masuk pada topik utama.“Apakah kabar yang aku dengar benar bahwa pelaku utama adalah Gio? Lalu bagaimana kabarnya?”Ia menghela napas panjang, lalu lanjut, “Apakah dia sudah tertangkap? Aku ingin dia merasakan dinginnya udara prodeo.”Karl yang duduk di sampingnya menatap Elena penuh kelemb
Panggilan pun berakhir. Gio berjalan masuk ke sebuah rumah kayu sederhana yang selama ini dia jadikan tempat persembunyian saat keadaan genting.Rumah itu tampak usang, dengan jendela tua yang berderit dan cat dinding yang mulai mengelupas. Dia masuk dengan langkah berat dan penuh amarah.“Ini semua gara-gara kau, Karl... Kalian harus hancur menggantikan aku!” gerutunya sambil melempar jaket ke lantai.Gio berjalan mondar-mandir, tangannya mengepal, matanya menyala penuh dendam. Kariernya telah hancur, semua aset penting disita, dan perusahaan kebanggaannya kini berada di tangan Karl.Bahkan wanita yang dulu sangat ia inginkan, Elena, kini juga meninggalkannya.“Dasar wanita tidak tahu diuntung. Dulu saat aku berjaya, mendekat seperti ulet keket. Sekarang saat aku terpuruk, kau melesat laksana wurung walet! Sialan! Sungguh sial!”Suara pintu dibanting keras hingga seluruh kusen bergetar. Gio seperti kehilangan kendali. “Elena... harusnya kau masih milikku!”Tiba-tiba, ponselnya berder
Keduanya berjalan bersisian menuju area parkir. Angin siang menerpa wajah mereka, namun langkah mereka tak goyah. Saat sampai di depan mobil masing-masing, mereka berhenti.Tatapan mereka bertemu. Tidak ada kata yang langsung keluar. Hanya diam. Tapi bukan diam kosong.“Apakah Tuan Federick kembali ke rumah sakit?” tanya Vincent seraya menoleh singkat ke arah pria yang tengah membuka pintu mobilnya.“Iya, aku harus menjemput Maia. Dia kutinggalkan begitu saja di sana,” jawab Federick, suaranya terdengar sedikit menyesal.“Baiklah jika begitu, aku harus kembali ke perusahaan dan ke restoran baru milik Nona Elena,” jelas Vincent sambil membenahi jasnya yang sempat kusut.“Baik, jika begitu kita berpisah di sini. Selamat jalan, Vincent. Lancar selalu.”“Begitu juga dengan Anda, Tuan,” sahut Vincent, memberikan sedikit anggukan hormat sebelum Federick menutup pintu mobilnya.Federick pun segera melangkah menuju kendaraan pribadinya, membuka pintu, masuk, dan dalam sekejap mobilnya melaju
Karl tersenyum hangat. Ia mendekat, mengusap rambut Elena perlahan, lalu menatap matanya dalam-dalam, seakan tak ada lagi siapa pun di ruangan itu selain mereka berdua.“Bersabarlah dulu sebentar, Sayang. Kita selesaikan dulu masalah kebakaran restauran kamu. Satu atau dua bulan ke depan, semua pasti siap. Aku janji.”Elena mengangguk pelan. “Baik.”Mata Karl berbinar, dan ia pun bertanya dengan nada lebih ringan, mencoba mengangkat suasana, “Tema bagaimana yang kau inginkan untuk pernikahan kita nanti?”Elena terdiam beberapa saat, mengalihkan pandangannya dari Karl dan memutar kepala perlahan ke arah Maia yang masih berdiri tidak jauh dari ranjang.Tatapannya serius, mengiris keheningan dengan nada datar namun jelas, “Maia, bagaimana perkembangan kasus restoran kita?”Maia tersentak kecil. Ia tidak menyangka pertanyaan seberat itu akan muncul saat atmosfer sebelumnya masih hangat membahas pernikahan.Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menata jawaban, “Pindahan sudah beres… mengena
Pagi hari yang cerah menyambut dengan sinar lembut yang menembus celah tirai. Udara kamar inap menjadi lebih hangat, dan aroma makanan menyebar perlahan.Wajah Elena terlihat jauh lebih segar. Pucat memang masih tersisa, tapi ada semburat kehidupan yang kembali ke pipinya. Karl duduk di sampingnya, seperti sejak tadi malam, tak pernah benar-benar meninggalkan.Dengan penuh perhatian, Karl menyuapi Elena yang kini bersandar santai di atas bantal besar. Ia menatap wanita itu seolah Elena adalah harta paling berharga yang tak boleh tergores sedikit pun."Makan yang banyak, kau tahu, makanan ini aku sendiri yang buat!" ucap Karl dengan bangga, mengangkat sendok seperti seorang koki profesional yang baru saja menciptakan mahakarya.Elena mengerjap pelan, mengernyit kecil. "Sejak kapan kau bisa masak, Karl?""Sejak kau terbaring di sini," jawab Karl enteng, tersenyum.Namun Elena menyipitkan matanya, seakan tak mudah percaya."Tapi masakan ini... rasanya seperti dari restoranku. Aku tidak p