Tiga hari telah berlalu sejak pertemuannya dengan Jesika, namun bara amarah masih membara di dada Elena.Ia memutuskan untuk menemui Vero, pria yang seharusnya berdiri di sisinya, yang seharusnya membelanya dari penghinaan dan pengkhianatan ini. Namun, yang membuatnya bertanya-tanya adalah…“Mengapa hingga kini dia tetap diam?” gumamnya pelan, tatapannya terpaku pada jalanan yang terbentang di depan kaca mobilnya.Apakah Vero sudah mengetahui segalanya? Apakah ia tahu bahwa putranya berselingkuh di belakangnya?Elena menghela napas panjang, kedua tangannya mencengkeram kemudi erat, seolah berusaha meredam kemarahan yang menggelegak di dadanya.“Jika dia tahu, kenapa dia tidak melakukan apa pun? Kenapa tidak meminta Gio untuk menceraikanku?” Suaranya tercekat oleh getir yang menyesakkan.Keluarga itu benar-benar aneh. Bahkan Diana, yang paling vokal dalam mencerca dan menghina, tidak pernah menyuruhnya untuk berpisah dari Gio—hanya makian yang ia terima, seolah dirinya adalah satu-satu
"Apa kau bilang?" desis Karl, rahangnya mengetat, otot-ototnya menegang di bawah kulit seperti kawat baja yang siap putus.Sorot matanya yang semula teduh kini membara, menyiratkan amarah yang nyaris meledak.Diana berdiri di hadapan mereka dengan postur penuh superioritas, kepalanya terangkat tinggi, seolah-olah dunia tunduk pada keberadaannya.Matanya menyipit, memancarkan penghinaan yang tidak tersamarkan sedikit pun."Perempuan ini… murahan!" Ucapannya menghempas udara seperti cambuk api yang membakar. "Tidak tahu diri! Dia tidak pantas mengkhianati anakku seperti ini. Harga diri Gio jatuh karena menikahi wanita ini, dan sekarang dia telah mengkhianatinya! Apa lagi namanya jika bukan murahan?"Ucapan itu menusuk hati Elena seperti ribuan pecahan kaca yang menghujani dadanya. Luka yang telah lama menganga kini kembali dirobek, tanpa ampun, tanpa belas kasihan.Namun, kali ini ia tidak menangis. Tidak ada air mata yang jatuh. Yang ada hanyalah kepahitan yang mengental di tenggorokan
“Kau akan menyebarkan berita tentang perselingkuhan Gio dan Jesika ke media?” tanya Elena, suaranya mengandung getar samar yang nyaris tak terdengar, seolah pertanyaan itu pun menyakitinya.Karl menoleh, matanya tajam menelusuri wajah Elena, membaca setiap keraguan yang tersirat dalam sorot matanya.“Menurutmu?” bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh arti.“Apa aku harus diam saja setelah melihat Diana yang masih saja tidak percaya bahwa anaknya selingkuh?”Elena terdiam, pikirannya berkelindan dalam simpul yang sulit diurai. Diana memang masih terpaku dalam ilusi, menolak menerima kenyataan bahwa darah dagingnya sendiri adalah pengkhianat sejati.Karl mendekat, sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. “Permainan ini harus segera dimulai, Elena. Kau sendiri yang bilang akan bertindak tegas. Tapi, kenapa sepertinya kau masih tidak yakin?” Nada bicaranya menyelidik, seakan ingin menelusuri celah dalam hati Elena yang masih menyimpan keraguan.Ia menyipitkan mata, menelusuri w
“Kau memang sama saja!” Elena mendengkus, suaranya dipenuhi bara yang tertahan.Seulas senyum miring terbentuk di bibir Karl, seakan menikmati amarah yang menyala di mata wanita di hadapannya.“Untuk apa menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, Karl?” Elena menghembuskan napas kasar, dadanya naik-turun seperti ombak yang bergulung-gulung di lautan badai.“Kenapa tidak minta saja pada wanita yang dijodohkan oleh orang tuamu itu?”Nada sinis menyelinap di setiap suku kata yang ia lontarkan, namun di baliknya, ada luka yang menganga, mengiris lebih dalam dari yang ia sadari.Karl mendekat, matanya menatap Elena dengan intensitas yang mampu melelehkan bongkahan es paling dingin sekalipun.“Aku tahu, cintamu tulus untukku. Tapi, tidak dengan Ericka.” Bibirnya melengkung tipis, menyiratkan kepahitan.“Dia hanya mengincar kekayaanku, ketenaranku. Akan menumpang tenar di hidupku. Sedangkan kau…”Ia mendekat lagi, tangannya terangkat untuk menyapu rambut Elena ke belakang, ujun
Gio kembali ke gedung The Blue Company, langkahnya mantap namun diselimuti bara amarah yang tertahan.Jemarinya menggenggam erat sebuah dokumen, senjata terakhirnya dalam permainan yang semakin memanas.Sorot matanya tajam saat ia menatap kemegahan gedung itu, seolah sedang bersiap menghancurkan fondasinya dengan satu keputusan."Aku ingin bertemu dengan Karl. Apa dia ada di dalam?" tanyanya, suaranya datar namun mengandung ketegangan yang membara, kepada Vincent yang berdiri tegap di belakang meja kerjanya.Vincent menatapnya sekilas sebelum meraih telepon. "Saya konfirmasi terlebih dahulu, mohon tunggu sebentar," ujarnya sopan, lalu dengan suara tenang menghubungi Karl, menyampaikan kedatangan Gio yang tampaknya tidak membawa kabar baik.Tak butuh waktu lama, Vincent kembali dengan jawaban. "Silakan masuk, Tuan," ucapnya, tangannya mengisyaratkan pintu menuju ruangan Karl yang kini terasa seperti medan tempur.Gio melangkah masuk dengan aura superior yang berusaha mengimbangi domina
“Gio baru saja membatalkan kontrak kerja samanya denganku.” Karl meletakkan dokumen yang baru saja diberikan Gio di atas meja, tatapannya berkilat penuh arti saat menatap Elena yang duduk anggun di hadapannya.Karl sengaja mendatangi restoran tempat Elena bekerja, mengabaikan sorot mata penasaran para pelanggan yang mengenal sosoknya. Ia ingin menyampaikan langsung kabar gila yang baru saja dilakukan Gio.“Berani sekali dia membatalkan kontrak sebesar ini,” gumam Elena, menggeleng pelan, jari-jarinya yang ramping menelusuri lembaran dokumen dengan tatapan tajam. Mata cokelatnya berkilat tajam di bawah cahaya lampu kristal yang memancarkan kilauan hangat.Karl mengedikkan bahunya dengan santai. “Mungkin dia merasa sudah cukup kuat berdiri sendiri. Atau mungkin, dia terlalu bodoh untuk memahami konsekuensi yang akan datang. Padahal ini adalah tahap terakhir sebelum menikmati hasil besar.”“What?” Elena menatap Karl dengan ekspresi tidak percaya. “Jadi, dia membatalkan kontrak ini di saa
“Tentu saja.” Mata Elena menatap Karl dengan tatapan setenang lautan sebelum badai, datar namun menyimpan pusaran emosi yang tak terlukiskan.Kilatan cahaya dari lampu-lampu bar membingkai wajahnya yang tanpa ekspresi, namun di baliknya, ada kegamangan yang tak tersentuh.“Aku tidak akan membiarkanmu memiliki anak denganku jika aku tidak tahu alasan sebenarnya.”Karl menghela napas, kasar dan berat, seolah udara yang ia embuskan pun dipenuhi dengan beban yang enggan ia akui.Matanya yang tajam menelisik Elena, tapi tak ada celah di wajah perempuan itu yang bisa ia masuki. Ia lelah membahas topik ini, terlalu berbahaya untuk dibiarkan terlalu lama di permukaan.“Bagaimana dengan proses perceraianmu? Kapan sidang itu dimulai?” tanyanya, suaranya terjalin dengan nada malas yang berusaha menyingkirkan percakapan yang tak diinginkannya.Elena menyilangkan tangan di dadanya, posturnya penuh keangkuhan yang membentengi perasaannya dari pria di hadapannya.“Kau selalu mengubah topik pembicara
"Apa kau gila?!" Pekikan Vero menggema di dalam ruangan, mengguncang udara seperti petir yang menyambar di tengah badai.Rahangnya mengeras, dan kedua matanya menatap Gio dengan kemarahan yang mendidih.Gio berdiri dari duduknya, sorot matanya dingin, nyaris tak beremosi, tetapi ada bara yang berkobar di balik tatapan gelapnya."Dad. Pria itu telah merebut Elena dariku," ucapnya dengan ketegasan yang menggigit."Elena berselingkuh dengan Karl dan memberikan dana padanya!"Vero mengerutkan kening, napasnya terdengar berat saat ia menatap putranya seolah tengah menilai kewarasan pikirannya."Apa kau pikir Elena wanita seperti itu?" suaranya merendah, namun mengandung ketajaman yang menusuk."Karl adalah pengusaha terkenal di kota ini. Skandal seperti itu sudah pasti akan menjadi santapan media jika memang benar dia menjalin hubungan dengan istrimu, Gio!"Gio mengepalkan tangannya, buku-buku jarinya memutih saat mendengar ayahnya malah membela Karl.Sesuatu di dalam dadanya terasa semaki
Malam telah tiba. Langit pantai dihiasi bintang-bintang yang redup, sementara gelombang laut memecah keheningan dengan suara lembut yang teratur.Aroma garam bercampur dengan bau minuman alkohol yang tumpah, menguar dari gelas-gelas pesta yang berserakan.Lampu-lampu warna-warni berkilauan, menari-nari di atas pasir, menciptakan ilusi yang kontras dengan kegelapan malam.Musik dari DJ berdentum memekakkan telinga, membuat detak jantung terasa berpacu dengan irama bass yang menghentak.Orang-orang tertawa, menari liar, dan melupakan dunia sejenak dalam euforia pesta yang tak mengenal batas.Namun, di sudut yang agak sepi, di bawah bayang-bayang pohon kelapa yang bergoyang ringan diterpa angin, Elena dan Karl berdiri dalam ruang kecil yang seolah terpisah dari hiruk-pikuk.Hanya ada mereka berdua, terjebak dalam keheningan yang jauh lebih bising daripada suara musik yang memekakkan.Mata Elena menatap Karl, sorotnya tajam tetapi rapuh. Ia menarik napas pelan, tetapi berat—seperti sedang
“Kau mau membawaku ke mana, Karl?” tanya Elena, suaranya sedikit terangkat untuk melawan suara deru mesin speedboat yang membelah permukaan laut biru.Karl menoleh sejenak, matanya yang tajam namun hangat memandang Elena sebelum kembali fokus pada kemudi.“Pergi ke beach club yang tak jauh dari pulau ini,” jawabnya ringan.Elena terdiam. Ia memandangi buih ombak yang terpecah di sisi speedboat, sementara angin membawa aroma asin laut yang khas.Beach club… sudah lama sekali ia tidak menginjakkan kaki di tempat seperti itu. Kesibukannya mengelola restoran miliknya seolah telah menelan seluruh waktunya.Bertahun-tahun ia larut dalam ambisi dan kerja keras hingga melupakan hal sederhana seperti menikmati hidup.Setengah jam berlalu. Perlahan, di hadapan mereka mulai terlihat bangunan berarsitektur tropis dengan atap jerami yang menjulang, diapit oleh deretan pohon kelapa yang menari-nari di bawah belaian angin.Musik chill-out berdentum lembut dari kejauhan, berpadu dengan suara tawa dan
Cahaya matahari keemasan menyelinap masuk melalui celah tirai, menari lembut di atas kulit Elena yang masih terasa hangat. Dengan mata yang masih sedikit berat, ia mengerjap pelan, membiarkan pikirannya kembali ke kenyataan setelah malam panjang yang penuh dengan gelora dan kelembutan.Tangannya terulur, meraba sisi tempat tidur yang kosong. Dingin.Karl sudah tidak ada di sana.Elena menghela napas panjang. Bagaimana mungkin dia sudah bangun? Kita baru tidur pukul lima tadi.Rasa heran bercampur kekaguman mengisi benaknya. Ia tahu Karl bukan tipe pria yang bisa berdiam diri terlalu lama, tetapi tetap saja, hanya tidur dua jam lalu langsung bangun untuk beraktivitas seperti biasa? Itu di luar nalar.Dengan enggan, ia menyibakkan selimut, duduk di tepian ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Pandangannya turun ke lantai, di mana lingerie tipisnya masih tergeletak begitu saja—salah satu bukti dari malam yang menguras energi mereka. Pipinya sedikit merona saat mengingat
Setelah menempuh perjalanan panjang selama sebelas jam tiga puluh menit, akhirnya mereka tiba di sebuah pulau kecil yang dikelilingi lautan biru yang jernih. Dari atas jet, Elena sudah bisa melihat hamparan pasir putih yang bersih, ombak yang berkejaran dengan lembut, serta pepohonan hijau yang menghiasi pulau bak surga tersembunyi.Namun, yang paling mengejutkan adalah fakta bahwa hanya ada satu bangunan di seluruh pulau—sebuah villa mewah yang berdiri megah di tengah-tengah hamparan alam yang masih asri.Saat melangkah masuk ke dalam villa, Elena hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Interiornya begitu elegan—lantai marmer dingin menyambut telapak kakinya, lampu gantung kristal menggantung anggun di tengah ruangan, dan jendela besar terbuka lebar, memperlihatkan pemandangan laut yang begitu luas seolah tak berujung.Elena melayangkan pandangan ke sekeliling, lalu menatap Karl dengan dahi berkerut. “Kenapa hanya ada satu villa saja di sini?” tanyanya penuh rasa ingin ta
“Ka—kau bercanda, kan?” suara Elena terdengar ragu, nyaris berbisik. Matanya membulat, menatap Karl dengan campuran keterkejutan dan ketidakpercayaan.Karl tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menyunggingkan senyum tipis—senyum yang sarat akan misteri, seolah menyimpan banyak rahasia yang hanya dirinya sendiri yang tahu. Matanya menatap Elena dengan sorot tajam, seakan menguliti setiap reaksi yang terpancar dari wajah perempuan itu.“Apa aku terlihat bercanda, Elena?” tanyanya pelan, suaranya berat namun penuh keyakinan.Elena hanya bisa menelan ludah, dadanya sedikit terasa sesak. Tatapan pria di depannya begitu dingin, begitu tegas—dan dia tahu, Karl bukan tipe pria yang sekadar mengucapkan ancaman kosong. Dengan ragu, ia menggeleng pelan.Karl mendekat, membiarkan suaranya menjadi bisikan yang menusuk. “Listen to me. Aku tidak suka basa-basi pada orang yang menghalangi jalanku. Jika mereka terus menerus mengusik, maka jangan harap mereka akan hidup dalam damai.”Kata-kata itu t
“Kenapa kau mengenalkanku sebagai calon istrimu di depan kolegamu?” tanya Elena dengan nada tajam setelah mereka keluar dari hotel tersebut.Langkah mereka melambat ketika mencapai taman kota. Malam sudah semakin larut, tapi lampu-lampu taman yang redup menciptakan suasana tenang. Air mancur di tengah danau buatan memancarkan bias cahaya keemasan, membentuk kilauan indah di permukaan air. Semilir angin malam menggoyangkan dedaunan, membawa serta aroma bunga yang samar.Karl berhenti di tepian danau, menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap wajah Elena dengan ekspresi yang sulit diterka. Matanya berkilat, bukan karena cahaya lampu, tapi ada sesuatu yang lebih dalam di sana—sebuah rahasia yang selama ini ia pendam.“Kau tidak penasaran siapa yang menjadi selingkuhan dari istri Taylor tadi?” tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi menyimpan sesuatu di baliknya.Elena mengernyit, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya sebelum akhirnya bertanya dengan nada hati-hati, “Memangn
“Ikut aku.”Elena yang tengah duduk di tepi ranjang mengangkat kepalanya, menatap pria itu dengan ragu. Sorot matanya mencari-cari petunjuk di wajah Karl, berharap bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Namun seperti biasa, pria itu tetap sulit ditebak.“Ke mana?” tanyanya akhirnya, suaranya terdengar samar di tengah keheningan kamar.Karl tidak langsung menjawab. Ia hanya mengulurkan tangannya, memberi isyarat agar Elena segera berdiri. Dengan enggan, Elena bangkit, menyapukan tangannya ke gaun sutra yang ia kenakan. “Aku masih packing, Karl.”Senyuman tipis menghiasi bibir Karl, tetapi bukan senyuman lembut yang menghangatkan—melainkan senyuman penuh kendali. “Aku tidak memintamu untuk packing, Elena. Ada pelayan yang akan menyiapkan semuanya. Jadi, sekarang ikut aku.”Elena menghela napas panjang, rasa pasrah menyelimuti dirinya. Percuma mencoba menolak Karl. Kata tidak mau bukan bagian dari kamusnya jika berurusan dengan pria itu. Karl bukan hanya mendominasi dirinya, teta
“Kau datang?” Suara Federick terdengar datar, tetapi matanya memancarkan sedikit keheranan saat melihat Karl memasuki ruang kerjanya. “Hm.” Karl melangkah santai, jasnya masih rapi tanpa satu pun kerutan, meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah.Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa empuk di sudut ruangan, lalu menyandarkan kepala ke belakang sebelum akhirnya menatap Federick yang masih berdiri di dekat mejanya. “Ada yang ingin kusampaikan padamu.”Federick menautkan kedua alisnya sebelum berjalan mendekat. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Karl, tubuhnya sedikit condong ke depan. “Ada apa?” tanyanya dengan nada waspada.Karl menghela napas panjang, seolah tengah mencari cara terbaik untuk menyampaikan sesuatu yang akan memicu reaksi besar dari lawan bicaranya. Pandangannya menelisik wajah Federick sebelum akhirnya berkata, “Aku akan pergi ke Hawaii.”Sejenak, ruangan itu hening. Federick menatap Karl dengan mata membesar, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya. Kemu
Hening.Elena membeku di tempatnya. Tangannya yang semula hendak meraih parfum di atas meja berhenti di udara.Ada sesuatu dalam nada suara Karl yang membuat dadanya sesak. Sebuah tuduhan, sebuah peringatan, dan yang lebih menyakitkan… kebenaran yang tak ingin ia akui.Karl tetap menatapnya, ekspresinya tak terbaca. Namun, jemarinya yang besar terangkat, perlahan menyentuh bahu Elena sebelum turun ke lengannya.Ia tidak mengatakan apa pun lagi, tapi genggamannya yang sedikit menekan di kulitnya mengisyaratkan bahwa pembicaraan ini belum selesai.Elena menghela napas panjang, dadanya naik turun dengan berat seakan beban yang menghimpitnya enggan enyah.Tatapannya menerawang, menembus batas ruang dan waktu, seolah berusaha mencari jawaban di balik gemerlap lampu kamar yang samar.“Sampai aku dan Gio resmi berpisah,” suaranya lirih, hampir tenggelam di antara detak jam dinding yang terasa lebih nyaring daripada biasanya.Ia menutup mata sesaat, sebelum bibirnya kembali bergerak, kali ini