"Aku ingin bicara denganmu, Jesika." Suara Elena terdengar datar, namun di baliknya tersimpan gelombang badai yang siap menghantam.Jemarinya menggenggam ponsel lebih erat, seolah menyalurkan seluruh amarah yang bergejolak di dalam dirinya."Temui aku di Liu Café. Aku tidak punya banyak waktu, Elena." Jesika menjawab tanpa basa-basi, lalu dengan cepat memutus sambungan telepon, meninggalkan senyap yang terasa menggantung di udara.Elena menghela napas panjang. Matanya menerawang, menatap layar ponsel yang kini telah sunyi."Sepertinya dia tahu... bahwa aku telah mengetahui perselingkuhannya dengan Gio," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.Hatinya mengeras, kepedihan menjalar seperti racun perlahan menyusupi nadinya, tetapi ia menepis segala kelemahan. Tidak. Ia tidak akan mundur.Langkahnya mantap, seolah jalanan yang membentang di hadapannya adalah panggung takdir yang telah menantinya. Ia harus bertemu Jesika."Kau mau ke mana, El?" Maia tiba-tiba muncul di ambang pintu, tatapan
“Tidak bisa.” Suara Jesika terdengar datar, nyaris tanpa emosi, tetapi sorot matanya memancarkan kilatan tajam yang menusuk Elena.“Aku tidak bisa hamil anak Gio karena dia harus menunggu warisan itu jatuh ke tangannya dulu, Elena. Apa kau tidak mengerti, huh?”Nada suaranya menggertak, seperti kilat yang menyambar tepat di atas kepala Elena. Udara di antara mereka seolah bergetar, dipenuhi ketegangan yang menggumpal pekat.Jesika menghela napas kasar, jemarinya mengetuk perlahan permukaan cangkir kopi yang mulai mendingin.“Jika aku hamil anak Gio dan dia ketahuan selingkuh, maka warisan itu tidak akan jatuh ke tangannya.” Kata-kata itu jatuh ke udara seperti serpihan kaca yang menusuk kulit, memperjelas kenyataan yang selama ini tertutup kabut.Elena menegang. Seketika dadanya sesak, seolah oksigen di ruangan ini menguap begitu saja.Jadi, ini alasan sebenarnya? Bukan hanya karena cinta, bukan karena ikatan yang penuh gairah—mereka hanyalah dua manusia yang terjerat dalam jebakan ke
Tiga hari telah berlalu sejak pertemuannya dengan Jesika, namun bara amarah masih membara di dada Elena.Ia memutuskan untuk menemui Vero, pria yang seharusnya berdiri di sisinya, yang seharusnya membelanya dari penghinaan dan pengkhianatan ini. Namun, yang membuatnya bertanya-tanya adalah…“Mengapa hingga kini dia tetap diam?” gumamnya pelan, tatapannya terpaku pada jalanan yang terbentang di depan kaca mobilnya.Apakah Vero sudah mengetahui segalanya? Apakah ia tahu bahwa putranya berselingkuh di belakangnya?Elena menghela napas panjang, kedua tangannya mencengkeram kemudi erat, seolah berusaha meredam kemarahan yang menggelegak di dadanya.“Jika dia tahu, kenapa dia tidak melakukan apa pun? Kenapa tidak meminta Gio untuk menceraikanku?” Suaranya tercekat oleh getir yang menyesakkan.Keluarga itu benar-benar aneh. Bahkan Diana, yang paling vokal dalam mencerca dan menghina, tidak pernah menyuruhnya untuk berpisah dari Gio—hanya makian yang ia terima, seolah dirinya adalah satu-satu
"Apa kau bilang?" desis Karl, rahangnya mengetat, otot-ototnya menegang di bawah kulit seperti kawat baja yang siap putus.Sorot matanya yang semula teduh kini membara, menyiratkan amarah yang nyaris meledak.Diana berdiri di hadapan mereka dengan postur penuh superioritas, kepalanya terangkat tinggi, seolah-olah dunia tunduk pada keberadaannya.Matanya menyipit, memancarkan penghinaan yang tidak tersamarkan sedikit pun."Perempuan ini… murahan!" Ucapannya menghempas udara seperti cambuk api yang membakar. "Tidak tahu diri! Dia tidak pantas mengkhianati anakku seperti ini. Harga diri Gio jatuh karena menikahi wanita ini, dan sekarang dia telah mengkhianatinya! Apa lagi namanya jika bukan murahan?"Ucapan itu menusuk hati Elena seperti ribuan pecahan kaca yang menghujani dadanya. Luka yang telah lama menganga kini kembali dirobek, tanpa ampun, tanpa belas kasihan.Namun, kali ini ia tidak menangis. Tidak ada air mata yang jatuh. Yang ada hanyalah kepahitan yang mengental di tenggorokan
“Kau akan menyebarkan berita tentang perselingkuhan Gio dan Jesika ke media?” tanya Elena, suaranya mengandung getar samar yang nyaris tak terdengar, seolah pertanyaan itu pun menyakitinya.Karl menoleh, matanya tajam menelusuri wajah Elena, membaca setiap keraguan yang tersirat dalam sorot matanya.“Menurutmu?” bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh arti.“Apa aku harus diam saja setelah melihat Diana yang masih saja tidak percaya bahwa anaknya selingkuh?”Elena terdiam, pikirannya berkelindan dalam simpul yang sulit diurai. Diana memang masih terpaku dalam ilusi, menolak menerima kenyataan bahwa darah dagingnya sendiri adalah pengkhianat sejati.Karl mendekat, sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. “Permainan ini harus segera dimulai, Elena. Kau sendiri yang bilang akan bertindak tegas. Tapi, kenapa sepertinya kau masih tidak yakin?” Nada bicaranya menyelidik, seakan ingin menelusuri celah dalam hati Elena yang masih menyimpan keraguan.Ia menyipitkan mata, menelusuri w
“Kau memang sama saja!” Elena mendengkus, suaranya dipenuhi bara yang tertahan.Seulas senyum miring terbentuk di bibir Karl, seakan menikmati amarah yang menyala di mata wanita di hadapannya.“Untuk apa menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, Karl?” Elena menghembuskan napas kasar, dadanya naik-turun seperti ombak yang bergulung-gulung di lautan badai.“Kenapa tidak minta saja pada wanita yang dijodohkan oleh orang tuamu itu?”Nada sinis menyelinap di setiap suku kata yang ia lontarkan, namun di baliknya, ada luka yang menganga, mengiris lebih dalam dari yang ia sadari.Karl mendekat, matanya menatap Elena dengan intensitas yang mampu melelehkan bongkahan es paling dingin sekalipun.“Aku tahu, cintamu tulus untukku. Tapi, tidak dengan Ericka.” Bibirnya melengkung tipis, menyiratkan kepahitan.“Dia hanya mengincar kekayaanku, ketenaranku. Akan menumpang tenar di hidupku. Sedangkan kau…”Ia mendekat lagi, tangannya terangkat untuk menyapu rambut Elena ke belakang, ujun
Gio kembali ke gedung The Blue Company, langkahnya mantap namun diselimuti bara amarah yang tertahan.Jemarinya menggenggam erat sebuah dokumen, senjata terakhirnya dalam permainan yang semakin memanas.Sorot matanya tajam saat ia menatap kemegahan gedung itu, seolah sedang bersiap menghancurkan fondasinya dengan satu keputusan."Aku ingin bertemu dengan Karl. Apa dia ada di dalam?" tanyanya, suaranya datar namun mengandung ketegangan yang membara, kepada Vincent yang berdiri tegap di belakang meja kerjanya.Vincent menatapnya sekilas sebelum meraih telepon. "Saya konfirmasi terlebih dahulu, mohon tunggu sebentar," ujarnya sopan, lalu dengan suara tenang menghubungi Karl, menyampaikan kedatangan Gio yang tampaknya tidak membawa kabar baik.Tak butuh waktu lama, Vincent kembali dengan jawaban. "Silakan masuk, Tuan," ucapnya, tangannya mengisyaratkan pintu menuju ruangan Karl yang kini terasa seperti medan tempur.Gio melangkah masuk dengan aura superior yang berusaha mengimbangi domina
“Gio baru saja membatalkan kontrak kerja samanya denganku.” Karl meletakkan dokumen yang baru saja diberikan Gio di atas meja, tatapannya berkilat penuh arti saat menatap Elena yang duduk anggun di hadapannya.Karl sengaja mendatangi restoran tempat Elena bekerja, mengabaikan sorot mata penasaran para pelanggan yang mengenal sosoknya. Ia ingin menyampaikan langsung kabar gila yang baru saja dilakukan Gio.“Berani sekali dia membatalkan kontrak sebesar ini,” gumam Elena, menggeleng pelan, jari-jarinya yang ramping menelusuri lembaran dokumen dengan tatapan tajam. Mata cokelatnya berkilat tajam di bawah cahaya lampu kristal yang memancarkan kilauan hangat.Karl mengedikkan bahunya dengan santai. “Mungkin dia merasa sudah cukup kuat berdiri sendiri. Atau mungkin, dia terlalu bodoh untuk memahami konsekuensi yang akan datang. Padahal ini adalah tahap terakhir sebelum menikmati hasil besar.”“What?” Elena menatap Karl dengan ekspresi tidak percaya. “Jadi, dia membatalkan kontrak ini di saa
Tiga hari yang lalu …."Kau tahu apa yang telah dilakukan anakmu, Vero?" suara Karl bergetar menahan amarah, matanya menusuk tajam ke arah pria yang kini berdiri di hadapannya.Vero menarik napas panjang. Ia sudah mendengar kabar itu. Sudah terlambat untuk menghentikan Gio. "Aku minta maaf, Karl. Aku sungguh tidak tahu kalau Gio akan melakukan hal ini. Aku—""Omong kosong!" Karl membanting gelas di atas meja, pecahannya berhamburan di lantai. "Kau pikir maaf bisa menyelesaikan semuanya? Apa kau bahkan pantas disebut ayah jika kau tidak bisa mengendalikan anakmu sendiri?!"Vero mengatupkan rahangnya. Ia tahu Karl benar. Gio telah menyebarkan berita buruk yang menuduh Elena berselingkuh dengan Karl.Berita itu telah mengguncang banyak pihak, terutama Elena yang kini dicap sebagai perempuan murahan karena dugaan perselingkuhan itu."Aku... aku tidak tahu kalau Gio akan seberani ini," suara Vero lirih, sarat dengan penyesalan. "Aku
Di sebuah ruangan dengan pencahayaan redup, Gio duduk di atas sofa kulit berwarna hitam dengan wajah yang terlihat lelah.Tangannya meremas pelipisnya, mencoba meredam sakit kepala yang sejak tadi tak kunjung reda. Di hadapannya, layar televisi menampilkan berita yang terus menerus menyudutkan dirinya. Semua yang ia rencanakan telah berantakan.Pintu ruangan tiba-tiba terbuka dengan kasar, membuat Gio mendongak. Alma melangkah masuk dengan tatapan tajam. Wanita itu menutup pintu dengan kasar, lalu berjalan cepat mendekati Gio dengan wajah yang merah padam oleh amarah."Kau!" suara Alma melengking, penuh emosi."Kau bilang semua akan berjalan sesuai rencana! Tapi lihat ini!"Ia menunjuk layar televisi yang menampilkan namanya sebagai biang keladi dari seluruh kekacauan yang terjadi."Tidak ada dampaknya sama sekali! Berita yang kau sebar tidak menghancurkan Karl! Justru namamu yang kini hancur!"Gio mendesah panjang, mengusap wajahnya
Kilatan lampu kamera menyala bergantian saat Karl akhirnya keluar dari ruang kerjanya.Sorot matanya tajam, rahangnya mengeras, namun ekspresinya tetap tenang saat ia berdiri di hadapan para awak media yang sudah menunggu dengan penuh antusiasme di lobi.Suara bisikan dan pertanyaan dari para wartawan menggema di ruangan itu, namun Karl tetap tegap, tangannya terlipat di depan dada.Dia menghela napas perlahan sebelum akhirnya berbicara, suaranya dalam dan tegas."Sebelum saya mulai memberikan klarifikasi, saya ingin menyampaikan permintaan maaf kepada semua pihak atas keterlambatan saya dalam memberikan tanggapan terkait berita yang beredar selama tiga hari terakhir.“Bukan karena saya menghindar, tetapi saya hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya."Ruangan itu mendadak hening. Semua wartawan menajamkan telinga mereka, bersiap mencatat setiap kata yang keluar dari mulut Karl."Hari ini, saya akan meluruskan segala kesalahpahaman dan fitnah yang tela
Hening menyelimuti apartemen setelah kepergian Karl. Elena duduk di sofa dengan tenang, membiarkan pikirannya melayang dalam diam.Namun, ketenangan itu tak berlangsung lama ketika suara ketukan pintu terdengar, memecah keheningan yang baru saja terbentuk.Elena beranjak, membuka pintu dengan sedikit waspada. Namun, matanya membulat saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu."Maia? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, terkejut melihat kedatangan sahabatnya.Maia hanya tersenyum tipis sebelum melangkah masuk, menyerahkan kotak pizza yang ia bawa. Aroma keju yang menggoda segera memenuhi ruangan."Karl yang memintaku menemanimu di sini, Elena," ujar Maia sambil berjalan ke ruang tengah. Ia duduk santai di sofa empuk, menatap sekeliling apartemen dengan ekspresi kagum.Matanya menyapu setiap sudut ruangan—perabotan modern yang tertata rapi, pencahayaan hangat yang menenangkan, serta aroma lavender yang samar menguar di udara."Sangat luas, rapi, wangi, dan nyaman. Karl membeli
"Sekarang pergi dari sini dan jangan pernah datang lagi ke rumahku!" suara Karl menggelegar, menggema di setiap sudut apartemen yang luas namun terasa sempit oleh ketegangan.Tatapannya tajam, penuh kebencian, seperti belati yang siap mengoyak siapa pun yang berani melawan.Di hadapannya, Alma—wanita yang melahirkannya, namun tak pernah benar-benar menjadi seorang ibu—memandangnya dengan mata yang membelalak tak percaya.Rasa marah dan terhina berbaur dalam ekspresinya yang memucat."Kau … mengusir kami demi wanita ini? Kau benar-benar terobsesi oleh satu wanita yang tidak tahu diri sepertinya!" seru Alma, suaranya melengking tinggi, menusuk telinga Karl seperti siulan angin badai.Karl tertawa tipis, penuh sinisme. Tawa itu lebih mirip erangan luka yang telah lama membusuk.Ia menatap ibunya dengan sorot mata yang tidak lagi mencari kasih, melainkan penuh dengan penolakan."Aku tidak peduli. Bukankah ini yang selalu kalian ajarkan padaku? Pernahkah kalian menghargai aku sebagai seora
Suara bel yang terus-menerus berdengung memenuhi ruang apartemen Karl, menambah pusing di kepalanya yang sudah dipenuhi dengan notifikasi email dan pesan di ponselnya.Sebagian besar menanyakan tentang skandal yang baru saja mencuat ke permukaan. Wajahnya tetap dingin, tetapi ada kilatan ketegangan di sorot matanya."Aku saja yang buka," ujar Elena, bangkit dari duduknya dengan ragu-ragu.Namun, sebelum sempat melangkah lebih jauh, Karl menahannya dengan satu gerakan tangan yang tegas.Tatapan matanya tajam saat menelusuri wajah Elena, seolah memastikan bahwa perempuan itu tetap aman bersamanya."Aku saja," katanya, suaranya terdengar dalam dan mantap. "Kita tidak tahu siapa yang datang. Meskipun tidak banyak orang yang tahu tempat tinggalku di sini, aku tetap tidak bisa lengah."Karl menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang mendadak berdegup tak menentu.Perlahan, ia berjalan menuju pintu, merasakan ketegangan merayap di tengkuknya. Begitu pintu terbuka, matan
Karl memasuki apartemen tanpa tergesa-gesa. Langkahnya mantap, namun ada ketegangan samar di wajahnya.Vincent telah mengatur segalanya dengan cermat sehingga ia bisa lolos dari kejaran wartawan yang masih berkerumun di depan kantor The Blue Company.Di dalam, Elena sudah menunggunya. Matanya berbinar lega begitu melihat pria itu berdiri di hadapannya tanpa luka atau gangguan berarti. Tapi ada kegelisahan yang mengintai di balik tatapannya."Siapa yang sudah menyebarkan berita itu, Karl?" tanyanya langsung, suaranya terdengar menahan cemas.Karl melepaskan jasnya dengan santai, lalu melemparkannya ke sofa sebelum melonggarkan dasinya. Tatapannya kelam, tapi ada kilatan analitis dalam sorot matanya."Pasti Gio," jawabnya tenang, seolah jawaban itu sudah mutlak."Keluargaku tidak mungkin membuat namaku buruk, karena mereka masih bergantung pada karirku. Tapi, jika mereka bersatu, bisa saja."Karl berhenti sejenak, lalu menatap Elena dalam-dalam, mencari respons di wajahnya. "Gio selalu
‘Breaking News!’‘Pengusaha besar, kaya raya, dan sangat terkenal rupanya menyimpan skandal yang selama ini tidak pernah terendus oleh media. Karl Alexander Smith—pria tampan dengan sejuta pesona itu rupanya memiliki skandal dengan istri orang!’Kalimat itu berulang kali terpampang di berbagai layar berita, menggaung di internet, dan menjadi tajuk utama yang menggemparkan dunia bisnis.Di dalam ruangannya yang luas dan megah, Karl duduk di kursinya dengan wajah yang nyaris tanpa ekspresi.Tangannya yang menggenggam ponsel sedikit mengetuk permukaan meja kayu mahoni di hadapannya, menciptakan irama pelan yang berulang.Di hadapannya, Vincent berdiri tegap, menyampaikan informasi dengan nada penuh kehati-hatian."Berita itu sudah tersebar sekitar dua jam yang lalu, Tuan."Karl mengangkat wajahnya, menatap Vincent dengan sorot mata kelam yang sulit diartikan. Tatapan itu tajam, tetapi sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kepanikan atau keterkejutan."Media mana saja yang sudah menye
Ericka melangkah lebih dekat, matanya menyipit tajam saat menatap Alma. Ia tidak suka menunggu, apalagi jika itu menyangkut masa depannya bersama Karl."Aku akan mendapatkan apa yang aku inginkan setelah ini, kan? Aku dan Karl akan tetap menikah, kan?" suaranya dipenuhi tuntutan, seolah ia tidak akan menerima jawaban selain "ya."Alma tetap diam. Tatapannya menusuk ke arah Ericka, seakan menimbang sesuatu di dalam kepalanya. Ia paham ambisi Ericka terhadap Karl, tapi baginya, ada hal yang lebih penting saat ini.Melihat Alma tidak segera menjawab, Ericka menggertakkan giginya, mulai kehilangan kesabaran. "Bibi. Kenapa kau diam saja? Kau akan menikahkan aku dengan Karl, kan?" tanyanya lagi, kali ini lebih menekan.Alma akhirnya menghela napas panjang, lalu menatap Ericka dengan ekspresi datar namun penuh arti."Tentu saja," katanya akhirnya. "Tapi, untuk saat ini fokusku adalah memisahkan wanita sialan itu dari Karl. Aku tidak rela memiliki menantu