Braaakk ...! Pintu markas ditutup dengan rapat. Seseorang di dudukkan di kursi, dengan dua orang yang berjaga di sampingnya.Harshil masuk dan mengunci pintu. Ia duduk tepat di hadapan pria yang kini hanya menunduk, tak berani menatapnya. Badannya gemetar. Sudah tau, dia pasti akan diadili atau bahkan dihabisi?Cukup lama terdiam, tak ada satu patah kata apapun yang keluar dari mulutnya."Ehemm ...! Sampai kapan kamu diam?" tanya Harshil penuh penekanan."Ma-ma-af Tuan, a-apa maksud anda?" Dia bertanya dengan nada gagap dan bergetar.Harshil tersenyum sinis, melihat kelakuan pria di hadapannya. Seolah kini seperti pengecut, kerupuk melempem setelah majikannya pergi dari rumah."Ohooo ...! Haruskah aku mengingatkan semuanya? Bahwa kau yang sudah menculik Inara saat sehari sebelum pernikahan kami tiba?" ujar Harshil dengan nada mengintimidasi, penuh penekanan, membuat orang yang ada di hadapannya tak bisa berkutik.Pria itu makin menunduk, melihat aura kemarahan Harshil yang begitu be
"Kalau kau ingin selamat, jangan pernah mengganggu istriku. Atau kau akan rasakan akibatnya!" Cakra menepis pegangan tangan Harshil, ada sedikit rasa nyeri yang membekas."Sorry Harshil, gue tidak sedang mengganggu istrimu, hanya ingin menjadi teman saja. Lagian kita ini saudara bukan? Kalau terasa asing bukannya--""Tidak ada pertemanan antara lelaki dan wanita. Dan lagi, istriku itu tahu batasannya, kau terlalu lancang. Minggirlah sebelum kupatahkan kakimu."Cakra beringsut menepi. "Sorry Harshil, jangan dimasukkan ke hati, gue cuma bercanda aja kok!" ujarnya lagi.Harshil dan Inara berlalu meninggalkannya begitu saja. Sementara Cakra mengepalkan tangannya kesal. "Kamu kenapa sih, Sayang? Kok kesal gitu?" tanya Diandra, tiba-tiba muncul dari dalam."Istri Harshil belagu banget, Sayang. Masa dia fitnah aku kalau aku sudah mengganggunya. Harshil tadi mengancamku gara-gara itu.""Apa?? Awas saja, Inara! Aku akan bikin pelajaran untuknya, hingga dia tidak betah tinggal di sini!"Cak
Harshil tersenyum kecut dan langsung menanggapi ucapan Putri. "Bukan belagu, tapi istriku ini memanglah sangat cantik tidak ada duanya. Kalian yang julid itu sebenarnya iri dengannya kan?""Ada apa nih ribut-ribut?" Tante Sandra muncul dari dalam. Semuanya terdiam dan hanya saling pandang. "Harshil, Inara, memangnya kalian mau kemana sih? Kok rapi begitu?" tanyanya lagi."Apa Tante lupa, hari ini adalah pernikahan Lila, putri Tante sendiri?" sahut Harshil, ia benar-benar heran dengan Tante Sandra yang benar-benar tega pada anaknya."Tante gak punya anak lagi selain Putri," sahutnya dengan nada emosi tertahan."Ya walaupun di bibir Tante mengatakan hal itu, tapi aku yakin hati Tante pasti merasakan sebaliknya. Meski tante tak menganggapnya ada, tapi hubungan darah takkan pernah putus sampai kapanpun. Aku sih hanya menyarankan saja, maafkan Lila, Tan. Semua orang pasti punya kesalahan."Wajah Tante Sandra memerah, antara marah maupun kecewa campur aduk jadi satu. Putri pun tampak shoc
Inara merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Hari ini dia benar-benar lelah karena seharian beraktivitas. Piyama tidur sudah membalut tubuh rampingnya. "Capek ya?" tanya Harshil. Ia menoleh ke arah istrinya sejenak. "Hmmm, iya mas. Kamu sibuk?" tanya Inara. Memandang sang suami yang tak beranjak dari tadi. Harshil tersenyum, lalu netranya kembali fokus ke layar laptop yang tengah ia pangku di atas pahanya. Kali ini Inara cemberut, melihat suaminya saat ini begitu cuek. Ia berbalik memunggungi sang suami. Ingin memejamkan mata, tapi tetap tak bisa. Entah kenapa kali ini ia merindukan pelukan hangatnya."Halo, iya, nanti kita atur waktu lagi. Skema rencana sudah kukirimkan ke email kalian. Untuk pertemuan selanjutnya rencana kita harus benar-benar matang, agar tak ada kegagalan lagi," ucap Harshil melalui panggilan telepon.Dia mengakhiri panggilan grup itu. Meletakkan ponsel dan laptopnya di atas meja. Menghirup udara dalam-dalam lalu membuang nafas panjangnya melalui mulut. Ia merega
"Tuan, Nona, awaaaaaaasss ....!" Ettan berlari cepat menghampiri sang majikan hingga menjadi sasaran tembak.Doooorrrr! Seketika terdengar suara gaduh dan histeris pengunjung mall bersamaan dengan darah yang mengalir dari tubuhnya.Aaaaaaa ... Jeritan orang-orang menambah panik suasana. Tubuhnya terhuyung dan dan terkulai. Inara shock, begitu pula dengan Harshil. Ia tak menyangka Ettan justru menjadi tameng mereka untuk hidup. Mempertaruhkan nyawanya demi bosnya sendiri. Punggungnya yang dulu pernah terluka, kini tertembak.Pihak mall langsung menghubungi beberapa pihak terkait karena telah terjadi kekacauan di area mall."Cepat bantu saya! Bawa dia ke mobil," teriak Harshil. Semua orang tampak panik, sebagian langsung berlarian ke mobilnya masing-masing dan pulang, sebagian lagi masuk ke dalam mall dan meminta pintu mall untuk ditutup sementara waktu. Beberapa orang langsung membantu Harshil mengangkat tubuh Ettan dan membawa ke mobilnya. Pandangan Ettan mulai mengabur. Ia merinti
"Dulu, aku kagum padamu, karena kau orang yang pekerja keras. Tapi sekarang rasa kagumku telah luntur, berganti kebencian. Engkau sudah merenggut semua yang kumiliki, kuharap kau akan mendapatkan hukuman yang setimpal."Pram hanya menatap ke arah Harshil dengan pandangan sayu. Antara sadar dan tidak sadar karena sudah terkena tembakan obat bius."Kupastikan kau akan membusuk di penjara. Dihukum seberat-beratnya di sana."Para petugas langsung membawa mereka ke mobil tahanan. Semuanya tak mampu berkutik lagi. Hanya menundukkan kepala, dan berjalan dengan langkah berat karena terpaksa. Semua akan diadili sesuai dengan porsi kejahatannya."Terima kasih Pak Harshil, berkat anda kami bisa meringkus para penjahat ini. Sudah sejak lama kami memang mengincar organisasi preman ini tapi sayangnya mereka bisa berkelit dan tak bisa dilacak.""Iya sama-sama, Pak. Saya juga berterima kasih laporan saya ditanggapi dan bapak sekalian rekan-rekan sudah membantu kami untuk melumpuhkan kejahatan musuh y
"Ettan, bangunlah ... Kami semua menunggumu."Inara mengisik bahu sang suami. Ia tahu betul perasaan Harshil, selama ini Ettan lah yang membantunya keluar dari kesulitan. Ya, Ettan menjadi satu-satunya seorang ajudan yang paling setia, tidak meninggalkan saat Harshil membutuhkan uluran tangan. Walaupun banyak yang sudah terjadi, tapi Ettan tetap bekerja pada Harshil.Jari tangan Ettan mulai bergerak pelan. Matanya mulai terbuka. Harshil terkesiap melihat sang ajudan bangun. "Ettan syukurlah kau sudah sadar," ucap Harshil sambil tersenyum. Matanya tampak berkaca-kaca.Dia langsung memencet bel untuk memberi tahu perawat."Tuan ..." lirihnya."Ya, cepat sembuh Ettan. Kami semua menunggumu."Ettan tersenyum simpul. "Terima kasih Tuan ada di sini." Lelaki itu berusaha bangkit meski dengan kepayahan."Jangan dipaksakan, kau istirahat saja. Tiduran tidak apa-apa," tukas Harshil kembali.Ettan mengangguk, wajahnya terlihat begitu pias."Aku yang seharusnya berterima kasih padamu, Ettan. Kau
Harshil terdiam melihat pemandangan penuh haru itu. Netranya sudah dipenuhi oleh kaca-kaca. Apalagi adik-adik Ettan menangis sesenggukan di samping jenazahnya. Tak ada yang bisa menutupi kesedihannya. Semuanya nampak berduka. Duka yang mendalam."Maaf ya, Bu. Jenazah Ettan harus segera dimandikan dan dimakamkan," tukas seorang ustadz di kampungnya. Ibu Ettan mengangguk lesu, melepaskan Ettan untuk yang terakhir kalinya. Bukan hanya keluarganya saja yang merasa kehilangan, begitu pula dengan Harshil dan Inara. Mereka merasa bersalah, karena kejahatan seseorang yang menginginkan nyawa mereka, tapi justru Ettan yang menjadi korban.Inara menangis di samping Harshil. Ia menggamit lengan sang suami dan menyembunyikan wajah sedihnya di sana. Bulir-bulir bening di kedua bola mata Inara tak mampu terbendung lagi. Melihat pemandangan yang begitu menyesakkan dada. Apalagi kejadian kemari masih membekas dalam ingatan saat Ettan berlari dan menyelamatkan mereka hingga tertembak dan darah itu men
Harshil masih menenangkan diri di ruang perawatan bayi. Ia masih belum sanggup menemui Inara dalam keadaan yang menyedihkan. Berulang kali ia menghapus jejak genangan air mata. Nyatanya dia yang biasa tegar kini terlihat begitu rapuh. Bahkan sangat rapuh akan kehilangannya. Cukup lama, bayinya itu kembali tenang, sudah tak menangis lagi. Harshil bersiap menemui Inara. Di ruangan serba putih itu, Inara masih terbaring lemah. Ia sudah tak lagi memakai mesin ventilator hanya selang oksigen dan juga selang infus. Ia masih terdiam, belum mampu berucap satu patah kata. Harshil membuka pintu ruang perawatan. Inara menoleh ke arah suaminya, pandangan mereka bersirobok. Tanpa banyak kata, Harshil langsung menghambur ke arahnya, memeluk sang istri dan menciuminya berkali-kali. Dengan tangan gemetar, Inara mengangkat tangannya lalu berusaha mengusap genangan embun di kedua mata Harshil. Lalu membelai lembut bibir sang suami, membuat lelaki itu makin tak kuasa menahan air mata.Inara tersenyum
Jika yang datang bisa pergi, lantas akankah yang pergi bisa kembali?***"Bangun sayang, kamu gak boleh pergi. Inara, banguuuun. Kau dengar aku kan?! Jangan tinggalkan aku sendiri di sini, Inara!! Aku sangat mencintaimu Inara, aku mencintaimu. Kumohon kembalilah, jangan pergiii .... Inaraku, bangunlah sayaaaaang."Inara masih bergeming meski Harshil berteriak dengan histeris. Harshil menghapus jejak air mata yang jatuh berderai. Ia bangkit dan kembali mencium puncak kepala Inara. Walaupun matanya terpejam, ia terlihat begitu damai dan teduh. Berkali-kali Harshil menelan saliva. Berharap ini hanya mimpi semata. Ia takkan pernah bisa terima bila Inara sudah tiada."Ah aku tau cara membangunkanmu, tunggu aku sayang ... Aku akan membawamu kembali."Harshil membuka pintu ruang perawatan dan kembali menutupnya. Sontak semua orang menatap ke arahnya. Keluarganya satu persatu sudah datang, mereka pun tengah menunggu kepastian, termasuk Chelsie yang didampingi oleh kedua orang tuanya datang.
"Ya, Tuan. Keadaan nona ..."'Ada apalagi dengan Inara?' Batin Harshil. Jantungnya makin berdegup dengan kencang. "Ada apa dengan Inara?" tanya Harshil dengan suara bergetar. Matanya sudah panas seolah kristal bening itu hendak berjejalan keluar."Tuan, keadaan nona kritis lagi."Tes ... Air mata itupun akhirnya jatuh tak tertahankan. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya. Hatinya mendadak gusar."Van, kita ke rumah sakit sekarang!" titah Harshil dengan pandangan kosong. Perasaannya berubah tak enak. Khawatir, panik, cemas bercampur aduk menjadi satu. Apa yang terjadi pada Inara? Pertanyaan itu terus berputar-putat di pikirannya."Baik, Tuan." Vano memperhatikan sang majikan, merasa iba dengan keadaannya. 'Kasihan sekali, Tuan Muda."Vano memacu mobilnya dengan kecepatan kencang. Sepanjang perjalanan Harshil hanya diam, dengan perasaan yang berkecamuk begitu dahsyat.Terbayang kembali kenangan-kenangan manis bersama Inara. Kenangan yang takkan pernah bisa ia lupakan. Kepingan-
"Nak Harshil, gimana keadaan Inara?" Tiba-tiba Abah datang, wajahnya tampak begitu cemas. Teddy-lah yang sudah membawanya kemari.Harshil bangkit dan langsung menyalami tangan ayah mertuanya. "Abah bisa ikut aku ke dalam," ujar Harshil. Dia mengantarkan abah melihat kondisi putrinya. Di atas bed pasien, Inara tampak tertidur pulas dan damai. Wajah yang putih dan terlihat sangat pucat, membuat siapapun yang melihatnya melelehkan air mata. Abah menatap sang menantu, pandangannya seolah meminta penjelasan."Abah, maafkan saya karena tak bisa melindunginya dengan baik. Kata dokter, Inara mengalami koma akibat pendarahan hebat dan benturan keras yang dialaminya." Harshil mengambil nafas dalam-dalam, berusaha menenangkan gejolak hatinya. "Tapi beruntung bayi dalam kandungan Inara masih bisa diselamatkan. Abah sudah punya cucu. Cucu yang sangat tampan," lanjut Harshil lagi dengan pandangan berkaca-kaca.Abah langsung mendekat ke arah putrinya. Bahu itu tampak berguncang. Abah menangis. Me
Tanpa terasa butiran bening menitik di kedua sudut matanya. "Inara bangun, Inara! Bertahanlah sayang! Bertahanlah!"Beberapa orang langsung berkerumun. Bahkan ada yang hendak menolong Inara."Berhenti! Jangan sentuh istriku!" teriak Harshil. Emosi dan kesedihannya sudah memuncak bercampur padu menjadi satu.Mereka saling berpandangan, melihat kondisi Inara yang tampak begitu menyedihkan. Harshil meraih ponselnya dan menelepon Teddy supaya segera mempersiapkan mobil. Teddy berlari ke arahnya. "Tuan mobilnya sudah siap!" tukas Teddy, wajahnya pun ikut panik melihat kondisi nona majikannya.Dengan hati yang runtuh, Harshil mengangkat tubuh Inara. Dan berlari menuju mobil yang sudah dipersiapkan di depan mall. Tak peduli dengan tatapan orang-orang yang melihatnya iba. "Sayang, kumohon bertahanlah." Harshil terus menciumi sang istri, berharap ada keajaiban dan dia bisa sadarkan diri.Harshil duduk memangku tubuh Inara. Tak peduli rembesan darah itu sudah menodai bajunya. Ia mengusap peru
"Mas, mau pilih yang mana? Kiri apa kanan?" Inara memberikan pilihan seraya menyodorkan kedua tangannya yang mengepal."Wah, kejutan apa lagi nih?" tanya Harshil. Dia beranjak duduk dengan pandangan yang antusias."Ayo mau pilih yang mana?" tanya Inara lagi."Yang kanan apa, Sayang?" Inara membuka kepalan tangannya. "Yeay makan jagung bakar," jawabnya seraya memperlihatkan sebuah tulisan di tangannya."Kalau yang kiri?" tanya Harshil. Inara membuka kepalan tangannya yang sebelah kiri. "Jalan-jalan ke pantai.""Ya udah aku pilih yang kanan dan kiri juga. Ayo kita jalan-jalan ke pantai sambil makan jagung bakar!""Hah? Beneran?""Iya, kalau bisa dua-duanya kenapa tidak?" Harshil menaik-turunkan alisnya menggoda."Beneran, Mas?" Inara kembali bertanya seolah masih tak percaya."Iya. Anniversary kita yang ke berapa tadi?""Sepuluh bulan!"Harshil mengulum senyum. "Oh iya, ayo. Siap-siap! Mandi dulu gih!""Eeh kan aku udah mandi dari sebelum subuh! Mas sih, habis subuhan malah tidur lagi
"Inara, hari ini kita jalan-jalan yuk! Biar aku sendiri yang nyetir. Spesial hari ini khusus untuk kita berdua," ajak Harshil. Hari ini dia ada sedikit waktu. Rasanya ingin bersenang-senang bersama sang istri. Kaos warna marun dan celana jeans membalut tubuhnya yang atletis."Kemana?""Kamu maunya kemana?""Makan.""Makan lagi?" Kening Harshil mengernyit. Pasalnya mereka baru saja makan siang bersama keluarga, kurang lebih satu jam yang lalu.Inara mengangguk cepat. Semenjak kehamilannya menginjak ke trimester ketiga, entah kenapa nafsu makannya bertambah berlipat-lipat. Jadi doyan makan dan pengen makan lagi. Harshil menatap istrinya dengan pandangan takjub. Merasa heran dengan perubahan sang istri."Badan kecil begini tapi kok doyan makan ya!" celetuk Harshil."Kan permintaan dedek bayi.""Jadi dedek bayi lagi yang minta?""Heem.""Terus mau makan apa?""Emmmh bentar-bentar, aku komunikasi sama dedek bayi dulu."Harshil mengulum senyum melihat tingkah Inara yang menurutnya lucu dan
Menginjak usia kandungan yang ke tujuh bulan. "Mas, hari ini antar aku check-up ke dokter lagi ya.""Iya, tentu saja, Sayang. Bulan ini bisa tahu ya jenis kelaminnya apa?""Semoga bisa ya, Mas.""Aku sudah tidak sabar lagi menunggu hari kelahirannya."Inara tersenyum manis. "Kau benar, Mas. Aku juga sudah tidak sabar lagi. Rasanya pasti menyenangkan akan menjadi orang tua.""Apa ada yang kamu keluhkan?" tanya Harshil. Ia ingin memastikan kondisi istrinya baik-baik saja."Hanya satu yang jadi keluhanku saat ini, Mas.""Apa?" "Gak bisa tengkurap, Mas.""Hahahaha ..." Harshil justru tertawa mendengar jawaban konyol Inara. Ia tak menyangka sang istri yang lugu dan polos bisa bercanda juga."Kok ketawa, Mas? Aku kan ngomong bener. Cuma bisa miring kanan, capek miring kiri. Pinggangku juga makin pegel, Mas, gampang capek. Sesekali aku pengen tengkurep, tapi gak bisa."Harshil mengacak rambut Inara yang masih tergerai panjang. "Kamu ini ada-ada saja. Namanya juga lagi hamil, pasti rasanya
"Mas, hari ini enam bulan pernikahan kita," ujar Inara ragu-ragu."Hmmm, terus?" Harshil masih menatap layar laptop di hadapannya."Kok terus sih? Mas gak mau ucapin apapun padaku?" tanya Inara, bibirnya cemberut.Harshil menoleh, menatap Inara yang tengah kesal memandangnya. Pandangan Harshil bertanya-tanya. Ia pun bangkit, lalu menghampiri sang istri. "Kamu butuh apa, Sayang?"Inara menggeleng pelan, membuat Harshil makin tak mengerti. "Ayo coba katakan padaku, apa yang kamu inginkan? Kalau kamu gak ngomong, aku gak bakalan tau."Inara menghela nafas dalam-dalam. "Mas, apa kamu gak mau memastikan pernikahan kita?""Apanya yang perlu dipastikan? Kan semuanya sudah pasti, kau milikku dan aku milikmu. Oh, kamu masih ragu tentang perjanjian itu?"Inara mengangguk lemah. Harshil justru tersenyum seraya membuang nafas panjangnya. Dituntunnya sang istri untuk duduk di tepi ranjang. Lelaki itu membenarkan rambut Inara ke belakang telinga. "Kenapa kamu masih takut dengan hal itu? Aku kan