Malik sudah berada di kantornya. Hatinya sedikit ringan meninggalkan perempuan yang kini berani ia sebut sebagai istri itu setelah ia berhasil meyakinkan Laila. Laila harus menenun lagi rasa percaya dirinya saat menghadapi sang mama, pikirnya. Dan bersama-sama dengannya membuktikan bahwa mereka pantas untuk sama lain. Bagaimanapun, mereka sudah menikah dan mamanya harus menerima itu.Dan Malik sendiri sadar benar apa yang dia lakukan, meskipun pada awalnya niatnya menikahi Laila sudah salah. Tapi dia seserius itu akan pernikahannya. Dia tidak akan pernah mempermainkan sesuatu yang sangat sakral itu. harusnya dari awal kan. seandainya Laila tahu pikirannya, pasti Laila akan mengeluarkan semua umpatannya.Ah, gadis itu terlalu mudah mengumpat. Malik kira gadis dari desa itu sangat polos dan lurus-lurus saja. Ternyata Laila beda. Istrinya beda.Soni, si asisten sudah sejak tadi berada di belakang Malik menyusul langkahnya dan siap melaporkan semua tugas-tugasnya.“ada perkembangan?” tany
Laila kembali ke kamarnya setelah hampir setengah hari ia berada di lantai satu rumah besar itu. Menghabiskan waktu berkeliling dengan terseok menyusuri dapur, taman belakang, kolam renang dan berlama-lama duduk di sisi kolam ikan. Kata Mbak Yani, koleksi ikan itu adalah milik Pak Agung. Koleksi ikan koi dengan warna mayoritas hitam, putih dan merah. Dan pasti bukan sembarang koi murahan.Pada kesempatan itu, Laila juga banyak mencari tahu tentang ibu mertuanya. Tentang hal-hal yang disukai mertuanya itu. Seperti kata Malik, Laila harus belajar menegakkan dagunya. Percaya diri yang harus pelan-pelan dibangunnya agar tidak selalu direndahkan oleh mertuanya sendiri.Laila mengambil ponselnya yang ada di atas nakas. Mengeceknya, tidak ada satu pun pesan dari Malik.Laila menggigit bibirnya.Sebagai bentuk kepercayaan dirinya yang berusaha pelan-pelan ia bangun, Laila memutuskan mengirim pesan terlebih dahulu pada suaminya itu. Iya, Malik sudah menegaskan bahwa dia adalah sebenar-benarnya
Di tempat lain. Di salah satu ruangan private di sebuah restaurant korea yang terkenal di bilangan Jakarta Selatan. Bu Lina bersama kawan-kawan sosialitanya tengah berkumpul. Ada 15 orang yang ikut perkumpulan itu sedang duduk memutari meja panjang. Dan semuanya memang memilki strata sosial di atas rata-rata. Ibu-ibu itu baru saja menyelesaikan makan siangnya dan pelayan baru saja selesai meletakkan kopi-kopi di depan ibu-ibu itu. Percakapan dalam setiap pertemuan bulanan itu terdengar sangat membosankan dan…norak. Hanya seputar membahas capaian suami mereka, anak mereka, hubungan asmara anak mereka dan juga barang mewah apa yang sedang menjadi trend di kalangan sosial atas seperti mereka. Dan kali ini ibu-ibu itu sedang membicarakan tentang tas mewah merk terkenal yang baru saja merilis series terbarunya. Bu Ambar juga termasuk di dalamnya. Dia lah yang menginisiasi pertemuan itu, membentuk kelas-kelas nya sendiri dan memproklamirkan kelompoknya sebagai kelompok eksklusif. “Jadi ka
Matanya terbuka begitu mendengar Laila yang hendak menghindarinya. Sebenarnya maksud Laila bukan menghindar, dia tahu wajah lelah mama mertuanya. Dia hanya tidak ingin mengganggu mama mertuanya yang mungkin ingin sendirian atau beristirahat.Tapi, sergahan dari mama mertuanya tidak bisa diabaikannya. Laila duduk sesuai perintah sang mertua. Nafasnya tercekat. Laila gugup luar biasa, karena ini kali pertamanya ia duduk berhadapan dengan sang mertua hanya berdua. Hanya ada mereka berdua kali ini. Tidak ada Malik atau Papa mertuanya yang senantiasa menjadi tamengnya.“Sebenarnya apa motif kamu menikahi anakku?” Tanyanya. Nada suaranya datar, tapi dia sudah mengubah mode garang sejak membuka matanya tadi. Sejak perempuan ini memasuki rumahnya, ia bahkan tidak pernah bertegur sapa. Sejauh yang dia ingat, ia hanya banyak menghinanya. Dia merasa perlu mengorek latar belakang pernikahan anaknya dengan gadis desa ini.“Motif bagaimana maksud mama?”“Sudah berani kamu panggil aku ‘mama’?” Mata
Malik mendudukkan Laila di atas ranjangnya. Lalu beputar mengelilingi ranjang itu untuk mengambil di atas nakas di belakang Laila. Tidak lupa menarik kursi ke hadapan Laila. Laki-laki itu sedang akan mengganti perban istrinya. Sementara mata Laila terus mengamati gerakan laki-laki itu, dibarengi dengan gerutuan yang hanya berani ia ucapkan dalam hati. Wanita itu sedang menggerutui dirinya sendiri. Berkali-kali mengatai dirinya sendiri sebagai wanita gampangan yang mudah tergoda dengan laki-laki. Pasalnya, saat ini jantung Laila tidak berhenti berdegup sejak kemunculan Malik di ambang pintu tadi. Ditambah genggaman tangan yang mantap oleh laki-laki itu. Dan sekarang laki-laki itu sedang memperlihatkan perhatiannya soal luka di lengannya.“Kok pulang cepet?” Tanya Laila memecah keheningan. Sejak tadi mereka hanya terdiam canggung. Masih belum terbiasa harus berbicara apa dan membicarakan hal apa.“Bukankah kamu yang minta aku pulang cepat?” Goda Malik. Ia menahan senyumnya melihat reaks
Dering ponsel Malik berbunyi nyaring menyentakkannya dari konsentrasi pekerjaannya. Nama seseorang dari instansi kepolisian tertera di layar itu. Malik memang sudah menunggu-nunggu kabar dari instansi tersebut terkait kecelakaan yang menimpa istrinya. Selama beberapa hari mendekam di rumah bekerja dari sana sekaligus menemani istrinya, cukup membuat dirinya frustasi karena justru membuat dirinya banyak menduga-duga dan was-was tentang siapa dibalik kecelakaan yang menimpa istrinya itu. Semakin melihat Laila, rasa bersalah Malik semakin besar dan lebih. Malik segera menerima panggilan itu karena sudah tidak sabar dengan berita yang akan diterimanya. “Selamat siang pak Malik.” “Siang, Pak. Kabar baik apa yang akan saya terima?” Todong Malik tanpa basa-basi. “Terkait kecelakaan istri anda, pelaku sudah berhasil kami amankan dan kami minta Bapak dan Ibu untuk datang ke kantor untuk dimintai keterangan sebagai saksi.” “Baik. Sore ini saya dan istri akan datang ke sana. Terimakasih ata
Malik sudah berjanji akhir pekan ini mereka akan pulang ke kampungnya, ke tanah Cianjur tempat orang tua Laila tinggal. Selepas sarapan tadi, Malik belum ada masuk ke kamarnya lagi. Entah apa yang dilakukannya, Laila cukup lama menunggu untuk menanyakan baju-baju apa yang akan dibawa laki-laki itu saat pulang nanti.Sementara Laila sedang menyiapkan keperluan mereka selama disana, ia hanya membawa travel bag kecil berukuran kabin pesawat yang berisi dua pasang baju Malik dan Laila. Tapi semenjak tadi, Malik bahkan belum ada menegurnya. Belum menyapanya. Belum menanyakannya tentang persiapan mereka. Wajah laki-laki itu terlihat gelisah dan takut-takut sejak memasuki kamarnya. Ada gurat kemarahan pula yang tergambar di wajahnya. Entah apa yang baru saja ia lakukan dan dengar, yang jelas pagi itu suaminya itu sangat berbeda. Padahal saat sarapan tadi, laki-laki itu masih baik-baik saja.Laila beranjak dari tempatnya, meninggalkan tumpukan baju yang sedang akan dipilihnya. Lalu menghampir
Malik tidak pernah membayangkan hubungannya akan menjadi serumit ini. Ia seperti dihadapkan pada pilihan antara orang tuanya atau istrinya. Laki-laki mana yang sanggup dihadapkan pada pilihan seperti itu.Mamanya selalu mengatakan bahwa perempuan itu yang melahirkannya. Memang benar wanita itu yang melahirkannya, tapi seorang wanita lain yang ia ambil dari orang tuanya dengan cara yang sangat menakjubkan, yaitu dengan sebuah perjanjian dengan Tuhan. Wanita itu ia ikat dengan ucapan janji kepada Tuhan yang menciptakan semesta. Harusnya, Malik lebih tegas lagi untuk itu. Harusnya Malik segera sadar bahwa Laila juga butuh pengakuannya. Harusnya Laila lebih berhak atas Malik sekarang ini.Sayangnya, Malik belum mampu. Laki-laki yang katanya arogan itu ternyata lembek jika di depan Mamanya. Laila tentu tak bisa menyalahkannya. Suaminya hanya berusaha berbakti pada orang tuanya. Tanpa mengerti batasan-batasan apa yang seharusnya jika sudah menyangkut istrinya.Malam itu, lagi-lagi Malik tam
Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg
Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg
Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t
Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk
“Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru
Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa
Tok tok tokPintu kamar Lina diketuk lembut dari luar. Sudah hampir tiga hari ia tak keluar kamar dan menolak ditemui Dika, anak sulungnya.Lina mendengus. Sejujurnya ia sudah terlalu tua untuk merajuk, tapi apa yang dilakukan Mahardika menurutnya telah keterlaluan dan menyakitinya.“Ma.. Dika mohon buka pintunya.” Seru Dika dari balik pintu.“Temui dia, Ma. Sudah berhari-hari mama enggak keluar kamar. Dika juga berhari-hari seperti orang gila karena terkurung di dalam rumah. Padahal dia harus ke kantor membantu Papa.” Bujuk Pak Agung.“Papa yakin dia sudah benar berubah? Dia enggak akan pergi lagi?” Bu Lina menelisik mata suaminya mencari kesungguhan disana. Meminta keyakinan dan diyakinkan sebenarnya.“Papa yakin.” Jawab Pak Agung.Bukan apa-apa, Bu Lina hanya ingin di usianya senjanya semua anak-anaknya berada di dekatnya. Rejeki bisa nanti dicari, dan pengalaman, dia rasa sudah cukup bagi Dika menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari pengalaman itu di luar belantara sana.Tok tok
“Apa maksudmu?” Tanya Lina pelan-pelan. Sejujurnya dadanya sudah bergejolak marah karena anak sulungnya ternyata menyembunyikan berita besar.“Dika sudah pernah menikah.” Jawab Dika singkat.Dika sudah tak mungkin lagi berkelit. Ia harus jujur sekarang juga atau mamanya akan terus menuntutnya soal menikah. Namun, reaksi mamanya sungguh diluar dugaan.“Bicara yang benar, Mahardika! Mamamu yang tua ini enggak ngerti. Menikah dengan siapa? Dimana? Kenapa enggak bilang sama mama dan papamu?” Bentak Lina yang sudah sabar dengan sikap Dika yang santai dan cuek.“Maafin Dika, Ma.”“Siapa? Siapa yang kamu nikahi? Dimana dia sekarang?” Cecar Lina lagi. Melihat Dika hanya diam, membuat kesabaran Lina semakin menipis.“Katakan Dika! Jangan diam saja? Mau ditaruh mana muka mama kalau sampai kamu menelantarkan anak gadis orang!”“Dika tidak pernah menelantarkannya, Dika mencintainya, tapi orang tuanya yang tidak menyukai Dika karena menurutnya Dika menelantarkan anaknya karena Dika terlalu lama pe
Satu bulan kemudian.“Sudah siap?”Laila mengangguk merona. Sambil terus menyunggingkan senyum mereka akan melakukan perjalanan ke Bali karena ingin menikmati baby moon sekaligus honey moon mereka yang tak pernah terlaksana.Malik menyeret koper di tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam tangan Laila erat. Berjalan menyusuri lorong resort tempat mereka menginap. Mereka memilih daerah uluwatu dan kintamani untuk menghabiskan masa baby moon mereka selama satu minggu.Menyewa resort di tepi pantai untuk menikmati masa-masa tinggal berdua dan memperdalam hubungan mereka setelah berbagai badai yang menyambut awal rumah tangga mereka.Malik sudah sepenuhnya pulih, ia memutuskan untuk sebentar mengambil libur sebelum kembali benar-benar terjun mengurusi perusahaan sang papa.Lagi-lagi, Dika lah yang dijadikannya tumbal. Terpaksa masih harus memenuhi permintaannya yang seperti tak kunjung ada ujungnya. Dika bahkan tak bisa menikmati waktu kencan berdua.Ya, kencan. Dika sudah memantapk