Malik tidak pernah membayangkan hubungannya akan menjadi serumit ini. Ia seperti dihadapkan pada pilihan antara orang tuanya atau istrinya. Laki-laki mana yang sanggup dihadapkan pada pilihan seperti itu.Mamanya selalu mengatakan bahwa perempuan itu yang melahirkannya. Memang benar wanita itu yang melahirkannya, tapi seorang wanita lain yang ia ambil dari orang tuanya dengan cara yang sangat menakjubkan, yaitu dengan sebuah perjanjian dengan Tuhan. Wanita itu ia ikat dengan ucapan janji kepada Tuhan yang menciptakan semesta. Harusnya, Malik lebih tegas lagi untuk itu. Harusnya Malik segera sadar bahwa Laila juga butuh pengakuannya. Harusnya Laila lebih berhak atas Malik sekarang ini.Sayangnya, Malik belum mampu. Laki-laki yang katanya arogan itu ternyata lembek jika di depan Mamanya. Laila tentu tak bisa menyalahkannya. Suaminya hanya berusaha berbakti pada orang tuanya. Tanpa mengerti batasan-batasan apa yang seharusnya jika sudah menyangkut istrinya.Malam itu, lagi-lagi Malik tam
Laila terpaksa melepas suaminya dengan kekecewaan luar biasa. Lalu terlintas bayangan-bayangan Malik akan duduk berdampingan dengan perempuan bernama Gladis itu. Lalu mereka tertawa-tawa tanpa mengingat bahwa laki-laki itu sudah beristri. Bayangan itu berlebihan. Harusnya Laila percaya bahwa suaminya bisa menjaga marwahnya sendiri saat berhadapan dengan perempuan lain. Tapi rasa cemburunya menutup semua pikiran positif tentang suaminya. Laila tentu tak hanya berdiam diri. Kakinya sudah lebih dari mampu jika harus diajak berjalan jauh. Hanya lengannya yang terkadang masih terasa ngilu. Dan masih ada beberapa hari lagi jadwal kontrol ke dokter sekaligus melepas jahitan di tangannya. Laila menyambar ponselnya di atas ranjang. Mengecek sesuatu di sana yang terlihat bergerak. Lalu ia pun ikut bergerak. Mengambil tas dan memastikan bahwa kartu ATM nya aman di dalamnya. Setelah berpamitan pada Bi Mina, ia segera keluar menghampiri taksi online yang sebelumnya sudah dipesannya. Wanita tua i
Dan yang terjadi di restoran beberapa saat lalu.. Ambar benar-benar geram pada rekan sosialitanya itu. Bagaimana bisa Lina menyembunyikan status Malik yang ternyata sudah menikahi perempuan lain. Dan yang lebih membuatnya geram, berani-beraninya Lina masih ingin meneruskan perjodohan Gladis dan Malik. Bagaimanapun Ambar tak akan mau anaknya menjadi yang kedua ataupun diduakan. Dia tidak akan rela. “Heh, kamu diam aja dari tadi. Jangan-jangan kamu udah tau soal Malik?” Hardik Ambar pada anaknya. Gladis masih terlihat santai dan memainkan ponselnya. Sesekali ia menyeringai riang seolah ada sesuatu yang menyenangkan di sana. “Hmmm..” “Apa? Jadi cuma aku yang nggak tahu? Jeng? Benar-benar keterlaluan.” Pekik Ambar. Ia memelototi Lina dan Gladis bergantian. “Apa sih, Ma, santai aja kali.. Lagipula mereka menikah juga karena kepaksa. Enggak beneran nikah.” Kata Gladis santai. Matanya masi terfokus pada layar gawai yang menyala redup. Jari-jarinya tak berhenti mengetik sejak tadi. “Apa
Di dalam rumah keluarga Agung Bagaskara. Seorang laki-laki tak menyerah untuk merayu wanitanya. Diamnya Laila ternyata membuat Malik tak tenang dan semakin tenggelam dengan rasa bersalahnya dan berimbas pada banyak hal. Ia benar-benar takut kalau Laila bercerita pada orang tuanya. Pasalnya, setiap malam istrinya selalu bertelefon dengan orang tuanya. Laila mendiamkannya. Benar-benar diam. Perempuan itu seperti tak menganggap Malik ada. Sebenarnya Malik bukanlah tipe laki-laki yang pandai merayu. Apalagi mengucapkan kalimat cinta yang sangat klise bagi seorang wanita. Baginya, perbuatan lebih bermakna daripada hanya sekedar kata-kata bualan. Nyatanya, sekarang ini Malik justru berubah seratus delapan puluh derajat berbeda. Sejak tiga hari yang lalu laki-laki itu tak berhenti membual. Merayu Laila dengan segala macam cara agar perempuan itu mau bicara padanya dan diajak bicara. Guyonan ala bapak-bapak jaman dulu pun tak terlewatkan olehnya. Namun, Laila tetap bergeming. Sepertinya ke
Lina tengah membolak-balikkan majalah fashionnya ketika melihat Laila melintas menuju dapur. Laila yang sudah sejak tiga hari lalu tak dilihatnya, sejak malam itu wanita kampung itu mengurung diri di kamar anaknya.Lina geram. Semakin geram saat menyadari bahwa terdapat bercak merah-merah di sekitar leher Laila yang terkespos. Rambut wanita itu diikat tinggi layaknya ekor kuda sehingga menampakkan leher jenjang yang putih dengan bekas merah-merah yang Lina yakin bahwa itu adalah perbuatan anaknya. Lina bersumpah dalam hatinya bahwa ia tak akan menerima cucu yang dikandung perempuan itu.Lina segera menyeret Laila yang baru saja keluar dari dapur. Laila sudah berdandan rapi karena sesuai permintaan Malik, suaminya itu akan membawanya ke rumah sakit untuk kontrol luka di lengannya. Tapi tiba-tiba mertuanya menyeretnya ke kamar wanita enam puluh tahun itu. Laila sempat terkejut dan membelalak dengan langkah terseret.Tangan Laila dihempaskan begitu pintu kamar itu menutup dengan meningga
“Aneh apa sih, Mas. Biasa aja. Ayo, nanti keburu malam.” Laila buru-buru melepas seatbeltnya. Masing memalingkan muka dari suaminya agar tak ketahuan menyembunyikan sesuatu.Sementara Malik masih mengernyit mengikuti gerakan Laila yang serampangan. Wanita itu jelas sedang menyembunyikan sesuatu, dan ia tidak bisa memaksa Laila untuk mengungkapkannya padanya. Bisa jadi, Laila akan semakin tidak nyaman nantinya.Malik melepaskan seatbeltnya dengan cepat lalu dengan cepat pula mensejajari langkah Laila. Menggandeng tangan wanitanya hingga membuat Laila sempat berjengit.“Tahan sakitnya sebentar ya, Mbak. Akan sakit karena beberapa bulu ikut menempel di plesternya.” Kata seorang perawat yang sedang akan membuka perban luka Laila.Sedangkan wanita yang diajak bicara hanya melamun sambil sesekali meringis. Sakitnya karena bulu tangannya yang ikut tercabut rasanya tak sepadan dengan sakit di hatinya karena hinaan sang ibu mertua. Kilasan ingatan tentang dilemparnya amplop cokelat bersama kat
Di sepanjang jalan dari Jakarta menuju cianjur, kata-kata yang dilontarkan Laila hanya seputar perpisahan, ditinggalkan atau meninggalkan dan juga pengkhianatan. Perempuan itu seolah sedang memberikan kode-kode pada setiap ucapannya yang tidak dimengerti oleh Malik. Tapi berhasil membuat Malik gelisah sepanjang perjalanan itu.Ucapannya yang kemarin pun masih memenuhi kepala Malik. Tentang Malik yang akan berpaling darinya jika ia tidak berada di sampingnya. Ucapan itu terus terngiang di kepalanya tanpa mampu dicegahnya. Perasaannya makin diperjelas saat Laila terus-menerus menceritakan soal kepergian – ditinggal atau meninggalkan-.Malik terkesiap saat Laila tiba-tiba tersedu begitu berpelukan dengan ibunya. Wanita itu seakan mengatakan bahwa dirinya tidak baik-baik saja selama tinggal di kota. Atau hanya perasaan malik saja. Mungkin seperti itu biasanya jika anak perempuan jauh dari orang tuanya. Dia tak mengerti karena tidak memiliki saudara perempuan.Malik bertambah bingung saat
“Kok jadi diam? Lail ganggu ya? Ya udah dilanjut lagi ngobrolnya. Lail ke belakang lagi.” Katanya sembari mendekap nampan di depan dadanya. Malik mengusap lembut lengannya agar Laila mau memandangnya. Mata hitamnya ia ubah selembut mungkin saat menatap sang istri. Seakan ingin menyalurkan kegelisahannya pada istrinya yang pada dasarnya adalah penyebab kegelisahan itu.“Bantu Ibu siapkan makan siang. Sudah lewat waktunya sebenarnya. Kalian belum makan apa-apa dari tadi?” Pinta Bapak pada Laila dan dibalas anggukan darinya.Rasanya Malik sudah tak tahan ingin berduaan dengan Laila. Dia begitu banyak membuang waktu hingga istrinya terasa semakin menjauh darinya walaupun raganya menempel padanya. Setelah penyatuan yang mereka lakukan kemarin, Malik merasa menyentuh istrinya saja tidak pernah cukup baginya.Sebenarnya, usapan pada Laila beberapa saat yang lalu saja sudah menggetarkan dadanya, sentuhan itu seperti sengatan listrik yang mengenai ujung-ujung syaraf di jarinya hingga mengalirk
Beberapa bulan kemudian.Tangis balita memenuhi ruangan. Suaranya menggema riuh rendah, padahal hanya satu bayi. Cucu kebanggaan Keluarga Bagaskara telah hadir di tengah-tengah kesunyian yang melanda rumah besar itu.Bu Lina bahagia luar biasa, ingin rasanya terus menimang-nimang kalau saja ia bisa. Sayangnya, ia sudah harus beristirat tidak diperbolehkan terlalu lelah oleh dokter. Sejak sebulan yang lalu Bu Lina harus kembali menggunakan tongkat untuk membantu berjalan dan kursi roda jika diperlukan, beliau terpeleset sewaktu di kamar mandi, dan riwayat patah tulang dahulu kala menjadikan kecelakaan kali itu bukan hanya terpeleset biasa. Tapi membuka luka lama dan memperparahnya.Padahal ingin sekali ia menikmati waktu menimang-nimang cucu satu-satunya saat itu.Sambil terus bersemoga agar Mahardika dan Raisa segera diberi keturunan.Ya. Mahardika berhasil meyakinkan orang tua Raisa bahwa ia benar-benar menginginkan Raisa dan mencintainya.Beberapa bulan yang lalu.Dengan tangan berg
Malik memegang ponselnya diputar-putar lalu berhenti dan mencari aplikasi pesan. Menatapnya lama, lalu kembali memainkan ponselnya.Sekian kalinya lalu ia berhenti dan mantap mengirimkan sebuah pesan.‘Wanita memang butuh kepastian, Bang. Tapi mereka juga tidak akan suka dengan kesemena-menaan. Aku udah pernah melakukan itu, jadi Abang tidak perlu mengulangi kesalahanku. Dia ada di rumahku sekarang kalau Abang mau meluruskan masalah kalian.’Pesan yang cukup panjang. Lalu Malik tutup dengan helaan nafas panjang. Ia tidak tahu masalah apa yang Dika lalui hingga mendapatkan status duda itu. Tapi melihat kesembronoan Dika, rasanya Malik segera mengerti bagaimana sikap Mahardika jika berhadapan dengan perempuan.Benar-benar mirip dengannya. Beruntungnya, Laila cukup mau bersabar menghadapinya dan mau memaafkan semua tingkah lakunya hingga ia tidak jadi menyandang status duda itu. Jika saja… Ah, jangan sampai. Malik tak mau berandai-andai.Laila dan Raisa bercengkerama sekian lamanya hingg
Laila disambut pelukan hangat suaminya begitu tubuhnya muncul dari balik pintu besi lapas yang menjulang tinggi. Gurat kekhawatiran sangat jelas di wajah suamiya, sebab takut kalau-kalau Gladis gelap mata dan menyerang istrinya yang tengah berbadan dua. “Kamu enggak apa-apa kan, Sayang?” Tanya Malik segera setelah melepaskan pelukannya. Meraba-raba wajah dan tubuh istrinya memastikan tidak ada yang kurang dan bertambah. Bertambah ada luka atau lebam. “Enggak apa-apa Mas. Kami cuma ngobrol kok.” “Aku takut kalau sampai dia nekad.” Katanya sambil menuntun Laila memasuki mobil. “Mbak Gladis kasihan sekali, Mas. wajahnya tirus dan kelihatan sangat tertekan. Tubuhnya kurus sementara perutnya menggembung buncit.. Aku enggak tega.” Ia kembali mengingat rupa Gladis sebelum dan sesudah peristiwa itu. Dulu, Gladis adalah perempuan yang cantik. Tubuhnya tinggi dan montok. Wajahnya merah segar tidak seperti yang ia lihat baru saja. Matanya yang belok terlihat semakin belok karena semakin t
Suasana rumah besar keluarga Bagaskara kini semakin akrab untuk Laila terlebih ketika mama mertuanya sudah berubah untuknya. Sudah menerimanya dan semakin sayang padanya.Bermacam-macam hadiah yang diberikan sang mertua untuknya, terutama untuk kebutuhan ibu hamil dan menyusui.Sepulangnya dari Bali, Laila dan Malik tidak langsung ke rumahnya sendiri. Tapi terlebih dulu ke rumah orang tuanya, melepas rindu sekaligus memberikan oleh-oleh yang dibawanya.Ternyata, bukan hanya dia yang memberikan oleh-oleh itu, Laila juga menerima hadiah yang telah disebutkan tadi dari ibu mertuanya.“Ini banyak sekali, Ma..” Kata Laila terharu sekaligus terperangah.Lina mengeluarkan semua belanjaannya berkarton-karton paper bag untuk Laila.“Mama tadinya ingin sekalian belanja baju bayi untuk anakmu, karena kamu pasti lelah setelah perjalanan dari Bali. Kandungan mu juga semakin besar. Tapi Mama enggak mau lancang, ini anak pertama kalian, pasti kalian antusias ingin belanja kebutuhannya sendiri.” Ungk
“Kamu jangan main-main! Lamar-lamar anak orang! Siapa dia, siapa orang tuanya, dari mana asalnya kita enggak tahu. Hanya karena dia adalah teman Laila kemudian kita akan menerimanya? Apa orang tuanya tahu kamu membawanya kemari?” Cecar Mama Lina sepeninggal Raisa.Meski dalam hati ia ikut tergelak sebab anak sulungnya meminta dilamarkan seorang gadis. Namun. Ia tetap tidak bisa menerima sikap sembrono Dika, anaknya.“Kamu itu sudah tua, Dika. Jangan main-main soal menikah.” Lanjutnya ketika jawaban yang diharapkan tak kunjung keluar.“Dika enggak main-main, Ma.” Jawab Dika sungguh-sungguh.Pak Agung hanya duduk mendengarkan celotehan istrinya yang ditanggapi anak sulungnya biasa-biasa saja. Benar-benar duplikat Agung Bagaskara.“Lalu dimana rumahnya? Siapa orang tuanya?” Tanya Lina lagi.Dika menggeleng. “Dika hanya tau apartemennya, tapi rumah orang tuanya Dika belum tanya.”“Lihat anakmu, Pa. Papa sebut dia dewasa? Umurnya saja yang tua, tapi pikirannya, ya ampun… Papa saja yang uru
Surya sore menyemburat menembus pohon-pohon di taman itu hingga menciptakan bias dan pendar yang menyapa dua insan yang duduk di sana. Duduk berjauhan bak orang asing. Satu perempuan dan satu laki-laki, tidak saling menatap tapi gesture mereka mengisyarakatkan bahwa mereka serasi menjadi sepasang kekasih. Tatapan mengernyit dari si perempuan dan wajah datar si laki-laki mempertegas bahwa hubungan mereka memang sedang berjarak. “Maksudnya apa?” Tanya Raisa tak sabar. “Ikutlah ke rumahku.” “Iya, tapi untuk apa? Ngomong yang jelas! Bisa enggak sih jadi laki-laki yang tegas gitu. Ngomong sepotong-potong bikin aku bingung. Sikapmu itu bikin aku bingung tau enggak. sebentar ngasih perhatian, sebentar ngilang.. Sekarang tiba-tiba ngajak ke rumah? Untuk apa? Aku sudah pernah ke rumahmu dan sudah kenal orang tuamu ngomong-ngomong, kalau itu maumu. Enggak perlu kalau setelah ini kamu akan tiba-tiba ngilang lagi.” Cecar Raisa. Ia sudah tak tahan lagi bermain tarik ulur seperti ini. Ia merasa
Tok tok tokPintu kamar Lina diketuk lembut dari luar. Sudah hampir tiga hari ia tak keluar kamar dan menolak ditemui Dika, anak sulungnya.Lina mendengus. Sejujurnya ia sudah terlalu tua untuk merajuk, tapi apa yang dilakukan Mahardika menurutnya telah keterlaluan dan menyakitinya.“Ma.. Dika mohon buka pintunya.” Seru Dika dari balik pintu.“Temui dia, Ma. Sudah berhari-hari mama enggak keluar kamar. Dika juga berhari-hari seperti orang gila karena terkurung di dalam rumah. Padahal dia harus ke kantor membantu Papa.” Bujuk Pak Agung.“Papa yakin dia sudah benar berubah? Dia enggak akan pergi lagi?” Bu Lina menelisik mata suaminya mencari kesungguhan disana. Meminta keyakinan dan diyakinkan sebenarnya.“Papa yakin.” Jawab Pak Agung.Bukan apa-apa, Bu Lina hanya ingin di usianya senjanya semua anak-anaknya berada di dekatnya. Rejeki bisa nanti dicari, dan pengalaman, dia rasa sudah cukup bagi Dika menghabiskan bertahun-tahun untuk mencari pengalaman itu di luar belantara sana.Tok tok
“Apa maksudmu?” Tanya Lina pelan-pelan. Sejujurnya dadanya sudah bergejolak marah karena anak sulungnya ternyata menyembunyikan berita besar.“Dika sudah pernah menikah.” Jawab Dika singkat.Dika sudah tak mungkin lagi berkelit. Ia harus jujur sekarang juga atau mamanya akan terus menuntutnya soal menikah. Namun, reaksi mamanya sungguh diluar dugaan.“Bicara yang benar, Mahardika! Mamamu yang tua ini enggak ngerti. Menikah dengan siapa? Dimana? Kenapa enggak bilang sama mama dan papamu?” Bentak Lina yang sudah sabar dengan sikap Dika yang santai dan cuek.“Maafin Dika, Ma.”“Siapa? Siapa yang kamu nikahi? Dimana dia sekarang?” Cecar Lina lagi. Melihat Dika hanya diam, membuat kesabaran Lina semakin menipis.“Katakan Dika! Jangan diam saja? Mau ditaruh mana muka mama kalau sampai kamu menelantarkan anak gadis orang!”“Dika tidak pernah menelantarkannya, Dika mencintainya, tapi orang tuanya yang tidak menyukai Dika karena menurutnya Dika menelantarkan anaknya karena Dika terlalu lama pe
Satu bulan kemudian.“Sudah siap?”Laila mengangguk merona. Sambil terus menyunggingkan senyum mereka akan melakukan perjalanan ke Bali karena ingin menikmati baby moon sekaligus honey moon mereka yang tak pernah terlaksana.Malik menyeret koper di tangan kirinya dan tangan kanannya menggenggam tangan Laila erat. Berjalan menyusuri lorong resort tempat mereka menginap. Mereka memilih daerah uluwatu dan kintamani untuk menghabiskan masa baby moon mereka selama satu minggu.Menyewa resort di tepi pantai untuk menikmati masa-masa tinggal berdua dan memperdalam hubungan mereka setelah berbagai badai yang menyambut awal rumah tangga mereka.Malik sudah sepenuhnya pulih, ia memutuskan untuk sebentar mengambil libur sebelum kembali benar-benar terjun mengurusi perusahaan sang papa.Lagi-lagi, Dika lah yang dijadikannya tumbal. Terpaksa masih harus memenuhi permintaannya yang seperti tak kunjung ada ujungnya. Dika bahkan tak bisa menikmati waktu kencan berdua.Ya, kencan. Dika sudah memantapk