Cilla menakup wajah sang suami dengan kedua tangannya. Air mata pria itu turun dari matanya. Wanita itu semakin gusar melihat keadaan sang suami."Tian kamu kenapa? Jangan buat aku takut!" Bastian akhirnya memeluk tubuh sang istri. Kini ketegaran tak lagi mampu ia tunjukkan pada istrinya. Sisi rapuh seakan-akan tidak berdaya telah, ia perlihatkan. Detik ini ia gagal bersikap seperti dirinya biasanya."Kopi…" panggil Tian dalam dekapannya.Ia memeluk Cilla begitu kuat. Seakan sakit di dadanya begitu membuncah menyiksa jiwanya. Jangankan berkata, bernafas saja seakan-akan ia tak mampu."Bastian, pelan-pelan. Katakan, ada apa?" Cilla mengurai pelukan, tangannya menghapus air mata Bastian yang sudah mengalir tiada henti di wajahnya. Tangannya mengusap-usap punggung prianya ini. Setelah Bastian mengambil nafas panjang. Ia mencoba menjawab pertanyaan sang istri."Eyang…" jawabannya itu yang mampu keluar dari mulutnya.Tak butuh kelanjutan dari kalimat prianya. Cilla memeluk erat sang suam
Pagi itu tepat saat matahari mulai terbit. Suasana mendung pekat menyelimuti suasana berkabung. Mobil jenazah sudah siap untuk mengantarkan Adjeng ke makam. Bastian dengan kacamata hitam dan kaos berwarna hitam tampak menatap keranda dengan pikiran entah. Diam dan diam, sepanjang malam ia juga tidak bisa memejamkan sedetikpun."Bas, sudah ditungguin Bapak," ucap Maura memberitahu.Ali di balik kemudi akan membawa keluarganya ke makam. Seperti mimpi buruk, suasana seperti tidak memiliki warna. Hanya ada hitam dan putih di mata Bastian. Wajah pria muda itu pucat sedang Cilla memeluk lengan sang suami dengan keadaan lemas. Semua berputar sebagaimana mestinya, prosesi pemakaman telah usai. Bastian dan semua orang kembali ke rumah. "Bas, apa kamu tidak makan?" kata Cilla.Diam, pria itu tak menjawab sang istri. Ia hanya memandang kosong dinding di depannya. Saat ini Bastian dan Cilla sudah kembali ke rumah sendiri. "Bisakah aku menelan nasi, Cilla? Bahkan rasanya aku ingin menyusul Eyang
Cilla seakan dihantam benda keras tepat di kepalanya. Mereka berciuman sungguh seakan sangat menikmati kegiatan itu. Bastian suaminya dan Elka sahabat sedari SMP pria itu, saling memejamkan mat. Dengan posisi Bastian duduk di kursinya sedang Elka bertumpu memeluk pria yang berstatus suaminya itu."Tian," panggil Cilla lebih keras.Sesaat mereka melepas tautan mereka. Bastian berdiri dan Elka merapikan bajunya. Bastian menghampiri sang istri yang ada di ambang pintu."Kopi, aku bisa jelasin." ujar Bastian.Cilla merasa dadanya terasa berat, seolah-olah sedang ditusuk rasa kecewa yang begitu dalam. Air mata menyelinap di pipinya tanpa bisa ia cegah. Perasaan sedih begitu mendominasi hatinya saat melihat suaminya, Bastian, berciuman dengan sahabatnya, Elka.Perasaan kecewa yang melanda Cilla begitu mendalam. Ia merasa dikhianati oleh dua orang yang seharusnya paling ia percayai. Kepercayaan yang selama ini ia bangun dengan susah payah hancur begitu saja dalam sekejap. Segala perjuangan m
Hari-hari berlalu, Cilla masih berada di rumah Maura yang di kota. Sang ibu memenuhi wasiat eyang Adjeng agar tinggal di rumah itu. "Dari kemarin aku nyium baunya Bastian," gerutu Cilla.Semenjak pagi itu saat ia meminta cerai pada Bastian. Pria yang masih berstatus sebagai suaminya itu sama sekali tidak menghubunginya. Ada rasa rindu yang terlintas di hati Cilla, tetapi ia selalu mengingkari perasaan itu. "Apa aku kangen sama biang kerok?" tanya Cilla mencium sarung bantal di samping tempatnya tidur. Dia menggelengkan kepalanya. Hari ini ia merasa tidak sehat. Sehingga hanya di tempat tidur saja. Sedangkan di kantor, Bastian usai memarahi semua karyawannya sebab pekerjaannya dinilai tidak maksimal. Beberapa proyek yang mereka tangani mendapatkan komplain. Ia masih mengeraskan rahangnya saat berada di ruangannya.Tak lama Elka masuk tanpa mengetuk pintu lebih dulu."Kamu kenapa, Bas?" tanya Elka.Pria itu menatap tajam sang sahabat. "Kamu bisa profesional tidak di kantor? Kamu mem
"Astaghfirullah, jam lima!" seru Cilla saat ia tidak bangun tepat saat adzan subuh.Saat bangun ia mengernyitkan dahinya, bajunya terbuka. Ia samar-samar ingat seperti bermimpi bercinta bersama sang suami, tanpa ia tahu jika hal itu benar-benar terjadi."Aku benar-benar sudah tidak waras. Bermimpi basah sampai seperti ini." gerutu wanita bermata bulat ituCilla lantas mandi dan segera salat subuh. Sedang di ruang makan, Maura sang ibu menyiapkan sarapan. Hari berangsur pagi Cilla duduk di meja makan seperti hari biasanya. Sang ibu melihat rambut lembab sang anak."Cilla, apa kamu tidak menghubungi Bastian?" tanya Maura memancing putrinya itu untuk bercerita.Cilla menggelengkan kepalanya lantas mengambil nasi goreng "Kamu belum kasih tau Bastian kalau kamu hamil?" lanjut Mauran bertanya."Belum, Bu. Biarkan saja dia tidak tau. Dia lebih nyaman sama Elka. Biar dia senang." jawab Cilla dengan wajah muram."Lebih baik kamu awali saja, kamu temui Bastian, Cilla." saran sang ibu."Nanti
Cilla menarik selimut sebatas dada. Ia masih berkeringat akibat olahraga malam yang dipelopori Bastian. Bastian menggunakan celana dalamnya dan mengambil celana pendek. Pria itu bergabung ke ranjang bersama sang istri."Jadi adek udah jalan empat bulan, Sayang?" tanya Bastian.Cilla menganggukkan kepalanya mendengar pertanyaan sang suami. Ia masih malu sebelumnya ia begitu liar saat bercinta dengan suaminya itu. Padahal, ia sangat kesal dengan Bastian. Namun, saat digoda ia justru yang begitu semangat melakukan sesi ranjang mereka."Kamu ngerasain apa?" kata Bastian sambil memandang foto USG di tangannya."Kenapa tanya begitu? Tentu aku merasakan puas saat bercinta denganmu. Aku…." jawaban Cilla terhenti saat Bastian beralih memandang dirinya."Maksudnya, apa kamu ngidam atau ada keluhan apa begitu?" kata Bastian menjelaskan pertanyaan yang ia lontarkan barusan.Cilla justru membahas tentang percintaannya. Wanita itu sampai berbalik badan memunggungi sang suami. Ia menggerutu atas keb
“Kamu berangkat ke rumah sakit duluan ya, aku ada tinjau proyek urgent, Sayang.”Kalimat itu seakan mengiang di telinga Cilla. Wanita muda itu memegang buku berwarna merah muda seraya duduk di ruang tunggu. “Mereka terlihat senang sekali,” kata Cilla di dalam hati.Melihat pasangan muda bercanda tawa duduk di dekatnya. Beberapa ibu hamil lainnya juga ditemani suaminya. Namun, tidak dengan dirinya. Semua berputar sendiri tanpa Cilla sadari pemeriksaannya selesai, ia akan ke dokter spesialis THT untuk melanjutkan pemeriksaan. Seharusnya, ia hanya ke dokter THT, tetapi Bastian ingin Cilla memeriksakan kandungannya lagi, walaupun awalnya ia tidak mau.“Dia yang nyuruh, dia juga yang batalin janjinya nemenin. Biang kerok menyebalkan!” gerutu Cilla usai dari periksa.Kakinya terus melangkah keluar rumah sakit. Namun, di tengah jalan ia bertemu sang mantan kekasih yang notabene bekerja di rumah sakit ini.“Dilla,” panggil Randi.Sang pemilik nama menoleh dan menghentikan langkahnya. Mata bu
“Aku sangat mencintainya, Dan. Sangat mencintai istriku, aku tidak ingin bercerai,” kata Bastian seraya dipapah berjalan keluar mobilnya.Danilo dengan susah payah memaksa Bastian yang sudah teler. Pria itu awalnya menolak pulang dari kafe. Sebelum ia berhasil membuka pintu, Vika sepupu Bastian datang.“Mas, ada apa?” tanya Vika khawatir melihat sang sepupu berjalan sempoyongan.“Vika, ini Bastian mabuk. Tolong bantu aku masuk rumah.” pinta Danilo yang tentu mengenal Vika.Gadis itu sering ke kantor Bastian untuk mengunjungi sang sepupu. Juga mereka sudah berteman dekat.“Astaghfirullah, dasar!” omel Vika. “Hmmm… Sayang, aku kangen… Aku mencintaimu.” ucap Bastian dengan mata terpejam.“Cinta, cinta. Harusnya Mas katakan waktu sadar! Dasar!”Vika masih saja mengomel ketika melihat Bastian dalam keadaan menyedihkan begini.“Mas pasti habis bertengkar lagi sama mbak Cilla. Mas memang gak bisa mengekspresikan perasaan Mas sendiri. Gak sadar aja baru bisa bicara cinta!” ujar Vika.Mereka
Di bahu jalan, mobil Bastian yang kosong menjadi tempat Danilo dan Vika berbicara. Mereka datang bersamaan. Vika mencari bapaknya untuk melakukan upaya penyelamatan. Sang ibu, Arum sudah lebih dulu pergi. Namun, Vika justru datang sendiri sebab Ali dari kota segera ke Polsek untuk melapor dan akan membawa polisi datang.“Jadi ibu udah ke dalam Dek?” tanya Danilo.“Iya, Mas. Tadi aku coba telpon mas Bastian. Tapi gak diangkat. Gak taunya udah ke sini.” kata Vika dengan tangan terus bergerak gelisah.Tentu Vika merasakan kekhawatiran yang begitu hebat. Sang ibu sedang menolong Cilla dan ibunya di sana. Sedang dirinya hanya bisa menunggu atas perintah ibunya. “Kamu gak usah khawatir, bentar lagi bapak datang.”Tak lama berselang, mobil polisi beserta Ali datang. Mereka segera menghampiri Vika. Kemudian bersama-sama menuju tempat yang sudah diinformasikan Arum sebelumnya.Sebelumnya, Arum sampai di lokasi Cilla disekap. Dia menghubungi Elka sebelumnya. Mengapa Arum bisa mendapatkan titik
Pov Bastian“Aku menyukaimu saat pertama kali kita berciuman gak sengaja. Itu first kiss yang sangat membekas, Tian. Sampai membuatku ragu untuk melanjutkan hubunganku saat itu. Dari situlah, pada akhirnya aku bisa menerima lamaran kamu.”“Jadi, kalau tidak ada acara ciuman waktu itu. Kamu gak akan terima lamaranku?”Wanita yang sejak kecil menempati ruang di hatiku itu menggelengkan kepala. Wanita itu merubah posisinya untuk menatap diriku yang tak lepas memperhatikan ekspresinya. Kami sedang berbicara sebelum tidur. Biasanya orang menyebutnya pillow talk.“Bisa iya, bisa tidak.” jawabnya sambil tersenyum.“Terus, misal eyang saat itu gak dateng di warung bakso, jawaban kamu menolak aku gitu?” balasku bertanya lagi.“Hemm, tidak juga. Sebenarnya aku mengajak kamu untuk berpacaran terlebih dahulu. Tapi….” Jawaban menggantung wanita bermata bulat itu membuatku penasaran.“Justru, Eyang menyuruh kita menikah.” sambungnya.“Terus nyesel yah?” sahutku.“Justru bikin aku seneng karena kit
“Apa yang Mbak bilang tadi?”Wanita cantik dengan wajah yang tampak muram terlonjak saat mendengar pengakuan sang kakak. Hasti, adik Elka datang setelah acara tiga hari sang ibu, Ratri. Wanita itu menatap sang kakak dengan tatapan tajam.“Iya, ibu marah karena aku masih memiliki perasaan sama Bastian.” kata Elka mengaku pada sang adik. Wanita itu duduk menatap ke arah jendela. “Astaga, Mbak. Kamu itu udah punya suami yang tampan, punya segalanya. Pikiranmu kemana Mbak, ha?” “Semuanya karena Cilla,” imbuh Elka.Tanpa mereka sadari, pertengkaran ini didengarkan dengan seksama oleh seseorang. “Jadi ibumu meninggal karena bertengkar sama kamu, Elka?” tanya seorang pria yang tiba-tiba datang dari pintu utama. Suami Elka dengan wajah muram berjalan mendekat pada posisi mereka. Aura kesedihan yang sudah ada sedari tadi kini seakan bertambah tebal. “Selesaikan masalah kalian, aku tunggu di luar.” kata Hasti hendak melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Namun, kakinya berhenti mendenga
“Bude, gimana kabarnya?” tanya Vika sesaat datang. Gadis itu segera datang sesaat mendapatkan kabar. Maura mempersilahkan anak kandung mantan suaminya itu untuk duduk.“Alhamdulillah, sehat Vika. Kamu gimana, Nak?” Maura memang sudah terbiasa dengan Vika. Sejak permasalahan yang datang terus membuka tabir keburukan sang mantan suami, wanita itu tidak sekalipun marah pada Vika. Mereka mengobrol alakadarnya sambil menunggu Danilo mengeluarkan mobil dari garasi. Setelahnya mereka bersama menuju rumah Elka untuk melayat.*Cilla menumpu motor dengan posisi berdiri. Dia melempar helmnya secara reflek. Teriakan dan bunyi helm yang jatuh membuat Bastian segera berbalik badan dan membantu sang istri.“Maaf, Sayang.” ucap Bastian sambil menarik standar motor menggunakan kakinya.“Iya aku gak apa-apa kok, motor kamu gak apa-apa juga. Gak jatuh!” ujar Cilla kesal dengan memungut helmnya di bawah .Bastian lupa menarik standar motor. Sehingga, motor nyaris jatuh. Pria itu tampak diam dengan waj
Pagi itu, Bastian baru pulang dari sawah. Pria itu menggunakan kaos rumahan dipadu bawahan celana selutut berbahan kaos. Cilla melihat sang suaminya menaruh kunci motor di meja makan.“Masak apa Bunda?” tanya Bastian.Cilla mengangkat sebelah alisnya, sedang Bastian tersenyum tipis berakhir bibirnya tersenyum lebar gagal menahannya.“Bunda apa sih? Aneh banget!” ketus Cilla.Wanita itu sudah cantik dengan baju dress selutut khas dirinya. Corak warna kecoklatan dengan bahu telanjang. Dia akan menggunakan kardigan saat keluar rumah.“Katanya gak mau dipanggil…”“Oh jadi ganti panggilan gitu?”Cilla memasukkan masakannya di piring setelahnya menatap malas sang suami yang berdiri di dekat meja dapur.“Yah, kan nanti anak kita lahir panggil kamu Bunda gitu kan?” kata pria itu menarik tisu dan membersihkan tangannya yang basah.“Dih!” dengus Cilla, wanita itu menatap tajam saat Bastian mencomot tempe tepung yang ada di piring. “Kenapa? Gak mau? Makanya, sih gak usah protes. Panggilan Kopi
“Mas, es penangkal badai kemarahan istri ada ya?” tanya Bastian menyindir Cilla yang sedari tadi tidak menjawab pertanyaan darinya.Wanita itu selalu berkata terserah saat ditanya hendak pesan apa. Di sebuah kafe yang terletak di jantung kota, Bastian membawa sang istri.“Hehehe, untuk minuman best seller di tempat kami ini Pak, blue ocean karnival. Ada selasih dan rasanya segar asam manis, apakah mau mencobanya?” saran sang pelayan berwajah Jawa khas itu.Bastian tampak memperhatikan gambar menu yang ditunjuk oleh pelayan. Dari ekor matanya melirik sang istri yang mengambil ponsel di tasnya.“Boleh, sama ramen level dua saja ya. Kalau panas gini biar sekalian terbakar,” ucap Bastian.Sang pelayan menulis pesanannya dengan tersenyum. “Ohya masing-masing dua ya, sama tambah ini coba wafel coklat. Biar manis sedikit gak pahit seperti suasana saat ini,” lanjut Bastian.“Baik, Pak. Apakah ada pesanan yang lain?” kata sang pelayan.“Sudah cukup, terimakasih.” tukas pria itu. Mata sipit Ba
Pagi itu Cilla menyiapkan makanan di meja. Tidak ada pembicaraan yang berarti setelah mereka duduk menyantap sarapan masing-masing. Cilla melihat Bastian tampak gelisah. Beberapa kali pria itu berdecak sebal usai melihat ponsel. “Nanti sore pulang sendiri bisa ya, Kop?” tanya Bastian memecah keheningan. Cilla mengangguk masih dengan kegiatannya mengunyah nasi goreng. Sampai usai sarapan dan mereka berangkat bekerja. Sesekali Cilla menatap sorot mata Bastian yang sedang sibuk fokus menyetir. Pria itu terlihat tidak seperti biasanya. Setidaknya, itulah hal yang ditafsirkan oleh wanita itu.“Aku turun dulu,” pamit Cilla setelah mobil berhenti di halaman toko. Tidak ada jawaban dari Bastian, setidaknya itu yang Cilla tau. Pria itu justru menelepon seseorang. Cilla menoleh menatap lewat kaca mobil depan Bastian. Terlihat pria itu serius menghubungi seseorang.“Mungkin menghubungi Elka.” katanya di dalam hati.Sungguh, hari ini terasa amat berat. Bayangan semalam berputar di kepalanya ter
“Singkirkan tanganmu itu!” sergah Bastian setelah datang pada sang istri. Pria itu berdiri di samping sang istri. Sorot matanya tajam mengintimidasi pria di depannya.“Ma, maaf.” ucap pria di hadapannya dengan wajah kaku. Sedangkan Cilla tiba-tiba membuka suara. “Kenapa harus marah, Sayang?”Kedua pria itu menatap pada direksi yang sama. Bastian mengernyitkan alisnya. Sang istri bukanlah orang yang mudah berkata manis, apalagi panggilan sayang itu jarang sekali ia ucapkan.“Ayo kita pulang!” ajak Bastian.“Kok pulang sih, Sayang. Bukannya kamu mau nemenin sahabat kamu di pernikahannya?”Bastian tampak terkejut dengan sikap dan perkataan sang istri. Tangannya menggenggam tangan sang istri erat. Semua mata tertuju pada mereka berdua. Termasuk sang pasangan pengantin.“Kamu mabuk, ya? Minum apa kamu sampai kayak gini.” Bastian mengomel seraya terus menarik sang istri. Cilla dengan mata sayu mengikuti suaminya. Wanita itu beberapa kali tertawa dan meracau tidak jelas. Bastian dan Cilla
Cilla menata buku yang tergeletak di meja. Wanita itu meniup debu yang melapisi permukaan sampul buku berwarna merah hati itu.“Kasihan yah, Mbak. Padahal dia orang baik, Kopi.” ucap Bastian seraya meletakkan cangkir kopi yang ia buat barusan. Bastian berjalan membuka jendela. Semalam, ia dan Cilla pulang ke rumah kampung. Mereka datang sebab mendapatkan kabar penjaga rumah sekaligus asisten rumah tangga telah berduka. Suami dan anaknya meninggal secara bersamaan akibat kecelakaan. “Aku masih ingat rasanya kehilangan seperti itu, Tian.” imbuh Cilla sesaat menepuk telapak tangannya yang terasa berdebu.“Ya, aku juga.” balas Bastian dengan menatap ke arah jalan raya lewat jendela kamarnya.“Tapi, mungkin lebih berat Mbak. Dia secara bersamaan kehilangan suami dan anak.” ungkap Cilla dengan suara lirih. Bastian menarik tangan sang istri dan mencium punggung tangan lentik itu.“Iya, karena gak ada satupun orang di dunia ini yang mau merasakan kehilangan.” kata pria bermata sipit itu.C