Setelah pembahasan Evan, tidak ada lagi yang saling berbicara hingga mobil memasuki area rumah sakit. Serena cukup terkejut dengan keputusan Kendrick yang membawanya ke rumah sakit, terutama dalam keadaan Kendrick yang masih marah padanya.
Tapi, Kendrick justru membawa Serena ke rumah sakit untuk menjenguk Ibunya, membuat Serena merasa terharu dan bersyukur. Kendrick tanpa berkata turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Serena, membiarkannya keluar dari mobil dengan lembut.Mereka langsung menuju ke kamar VIP dimana Lydia dirawat. Sebelum membuka pintu kamar rawat inap, Serena meraih tangan Kendrick membuat Kendrick menatapnya.“Jangan marah lagi.”Kendrick tak berkata apapun, dia langsung menarik tubuh Serena untuk masuk ke dalam pelukannya. “Jangan pernah membahas ataupun memikirkan pria lain, aku tak suka.”“Maaf.”Kendrick mengecup kening Serena membuat Serena mendongakkan wajahnya setelah kecupan singkat itu. “Ayo masukSerena berada di meja kerjanya. Tangannya sibuk mengetik laporan hingga tiba-tiba suara seseorang memanggil namanya.“Serena.”Serena mendongak dan mendapati Evan berdiri di depan mejanya. Hatinya mencelos, jantungnya berdetak lebih cepat. “Pak Evan?” Serena mencoba bersikap profesional, meskipun gelombang kecemasan menyapu dirinya.“Saya mau bicara,” kata Evan, suaranya langsung membuat Serena merasa tegang.Serena meneguk ludah. “Tapi saya sedang—”“Sebentar saja,” potong Evan, membuatnya merasa terjepit dalam situasi yang tidak diinginkan. Dia tidak mungkin menghindari Evan lagi. Serena menatapnya ragu, lalu berdiri dan mengikuti Evan ke ruangan Evan. Suasana di sekitar mereka terasa semakin mencekam, seolah dinding-dinding ruangan menyaksikan mereka.Evan menyilangkan tangan di dada. “Aku hanya ingin mendengar semuanya dari kamu, karena aku sama sekali tidak percaya dengan apa yang Kakakku katakan.”Serena mengatur nafasnya, berusaha meredakan kecemasan yang mengganggu. “Aku dan
Siang itu, Serena dan ketiga rekannya, Melody, Sofia, dan Luna sedang asyik menikmati makan siang di kantin yang ramai. Tawa canda mereka pecah mengiringi lezatnya makanan di depan mata. Tiba-tiba, suasana menjadi sedikit tegang saat Melody melihat Evan berjalan memasuki kantin. Langkah Evan yang biasanya berhenti untuk menyapa Serena kali ini hanya berlalu begitu saja, melewati meja mereka tanpa sepatah kata pun.Ketiga teman Serena itu seakan serentak menoleh ke arah Serena, mencari sebuah penjelasan. Raut wajah mereka bercampur antara keheranan dan kekhawatiran. Serena, yang menyadari perubahan suasana, hanya mengangkat kedua bahunya dengan ekspresi acuh. Bibirnya mengatup, matanya menatap lembut ke arah piringnya, seolah ingin menghindari mata penasaran teman-temannya.Melody, tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya, membuka pembicaraan dengan nada rendah, "Kok tumben Pak Evan tidak menyapamu?” Sofia dan Luna juga mendekatkan kepala mereka, menunggu jawaban dari Serena.Seren
Serena merasakan getaran di ponselnya, refleks tangannya segera menyambar benda itu dari atas meja. Matanya membelalak saat membaca pesan dari Kendrick. Isi pesan singkat itu menginformasikan tentang perayaan ulang tahun perusahaan Kendrick yang ke-100, di mana seluruh keluarga Kendrick akan hadir. Sekejap, jantungnya berdegup kencang, tak karuan. Nafasnya tercekat, pikirannya melayang pada semua kemungkinan yang bisa terjadi jika ia bertemu dengan keluarga besar Kendrick. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba meredakan kegugupan yang melanda. Serena lalu mencondongkan tubuhnya ke arah Melody. “Kak Melody,” panggil Serena membuat Melody menoleh. “Iya kenapa?” “Ulang tahun perusahaan memangnya selalu ada pesta?” “Tidak, kami tahun lalu membuat perlombaan dengan berbagai hadiah untuk para karyawan. Kenapa? Memangnya tahun ini ada pesta?” Serena menganggukan kepalanya dan itu justru membuat Meloy terlihat senang. “Oh iya aku baru ingat ini ulang tahun ke seratus tahun, bukan
Matahari terbenam di ufuk barat, memancarkan cahaya keemasan yang menyebar di sepanjang jalan raya. Melody, yang menyetir mobil, tersenyum santai sambil sesekali bercanda dengan Serena yang duduk di sampingnya. Serena tertawa dan merespons cerita Melody dengan antusias, membuat suasana di dalam mobil menjadi lebih ceria.Sementara itu, Sofia dan Luna di belakang terlibat dalam percakapan yang hangat tentang rencana akhir pekan mereka. Mereka berdiskusi tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi dan aktivitas-aktivitas yang ingin mereka lakukan.“Eh by the way kita mau makan dimana sih?” tanya Melody. “Gimana kalau kita ke mall, masa kita cuman keluar makan,” usul Sofia. “Boleh juga,” timpal Serena. “Sekalian belanja mumpung dapat bonus,” ucap Luna. Mereka pun setuju untuk ke mall, setelah beberapa menit berkendara mereka akhirnya tiba di mall yang telah mereka rencanakan sebelumnya. Sesampainya di sana, keceriaan mereka
Malam itu, cahaya lampu jalan menyinari area parkiran mall yang mulai sepi. Sinar itu terpantul pula dari bodi mobil mewah yang tiba-tiba berhenti dengan elegan di depan Serena dan ketiga sahabatnya. Jantung mereka kompak berdegup kencang, terkejut oleh kehadiran tak terduga tersebut. Kendrick, dengan setelan jas yang sempurna, melangkah keluar dari mobil dengan senyuman yang memikat. Dia mengarahkan pandangannya langsung ke Serena yang masih terkejut dengan kehadiran Kendrick. Kendrick mengambil paper bag yang Serena bawa untuk dia masukan ke dalam mobil. Lalu dia membukakan pintu mobil untuk Serena, sikapnya penuh perhatian dan sopan.“Sayang,” panggil Kendrick membuat Serena tersadar. Melodi dan Sofia, yang sudah lama mengetahui hubungan Serena dengan Kendrick segera menundukkan badan, memberi hormat dengan penuh penghormatan. Rasa kagum dan sedikit iri tergambar jelas di wajah mereka.Di sisi lain, Luna, yang masih belum menyadari situasi se
Evan mengusap matanya, berusaha fokus pada sinar matahari yang menyelinap masuk ke kamar melalui celah tirai. Tubuhnya terasa kaku dan pegal, sementara otaknya berusaha keras mengingat kejadian tadi malam. Dia menoleh ke sisi kirinya, dan terkejut melihat seorang wanita yang masih terlelap di sampingnya. Dengan hati yang berdebar, Evan segera terduduk, mengamati wajah wanita itu yang tersembunyi di balik lembutnya rambut coklat. Rachel. Namanya terlintas dalam benaknya bersamaan dengan ingatan mereka berdua di klub. Ingatan Evan kemudian terhenti pada saat dia mengira Rachel adalah Serena Ketakutan mulai memenuhi pikiran Evan saat ia menyadari mereka berdua berada di ranjang yang sama, tanpa selembar pakaian pun yang menutupi tubuh mereka. Jantungnya berdetak semakin cepat, tangannya gemetar. Apa yang telah ia lakukan? Evan mencoba mengumpulkan keberaniannya, namun rasa bersalah dan kepanikan memenuhi setiap sudut pikirannya. Tiba-tiba,
Serena sedang sibuk mengatur rambutnya di depan cermin. Pintu kamar terbuka pelan dan Kendrick, masuk dengan senyuman yang manis. Langkahnya ringan mendekati Serena yang tengah berkonsentrasi dengan rambutnya."Kamu selalu tahu cara untuk terlihat memukau, Sayang," ujar Kendrick sambil mencium lembut pipi Serena. Dia lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya dan membukanya perlahan di hadapan Serena. Terdapat sebuah kalung yang sangat indah dengan batu permata yang berkilauan di tengahnya.Serena tercengang, matanya membelalak tak percaya melihat hadiah yang tidak terduga itu. "Ken?” Kendrick tersenyum lebar, mengambil kalung tersebut dan dengan lembut memakaikannya di leher Serena. Serena memegang kalung itu, merasakan dinginnya batu permata di jari-jarinya. "Ini sangat cantik," katanya sambil memeluk Kendrick erat. Pujian dan hadiah dari Kendrick selalu berhasil membuat hati Serena berbunga-bunga, menambah kehangatan di pagi yang baru saja dimul
Serena masuk ke ruangan Kendrick, dan langsung disambut oleh tatapan yang mendalam dari Kendrick. Kendrick, yang sedang duduk di belakang meja kerjanya, segera menutup dokumen yang ia pelajari dan menatap Serena dengan suara yang sedikit berat."Aku belum sempat pesan makan siang," ujarnya, mencerminkan kelelahan dari beban kerja pagi itu. "Kamu mau makan apa, sayang?"Serena, yang masih berdiri di ambang pintu, segera menutup pintu dan menjawab, "Apa saja, Kendrick, aku tidak terlalu lapar."Kendrick mengangguk dan segera mengambil ponselnya, mengirim pesan cepat ke Julian untuk memesan makanan. Sambil menunggu, Kendrick berdiri dan berjalan menghampiri Serena.Dengan gerakan yang hampir bisa dianggap manja, ia merebahkan kepalanya di pangkuan Serena, membuatnya sedikit terkejut. "Maaf, aku hanya... lelah," gumamnya, suaranya teredam oleh kain celana Serena.Tangan Serena secara naluriah mengelus rambut Kendrick, mencoba memberi kenyaman
"Aku senang kalau kamu sudah mulai tersenyum lagi," kata Kendrick akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, seperti mendengarkan alunan lagu yang merdu.Serena terdiam, merenungkan kata-kata Kendrick. Ia menyadari perubahan dalam dirinya sendiri. Rasanya seperti menemukan secercah cahaya di ujung lorong gelap yang tak berujung.Namun, meskipun ada perubahan positif, ia masih tidak yakin dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Apakah ini hanya ilusi dari rasa rindu akan kebahagiaan yang sudah lama menghilang, ataukah ada sesuatu yang nyata?Kendrick tidak berbicara untuk beberapa saat, hanya menemani Serena dalam diam. Serena menghela nafas pelan, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, mencoba meredakan pikirannya yang terus berputar."Aku ingin kamu tetap disisiku, Sayang," kata Kendrick tiba-tiba, membuay suasana tenang yang sebelumnya ada di antara mereka. Serena langsung menegang. Ia menoleh menatap Kendrick, tetapi pria itu tetap menatap lurus ke depan, seolah-olah sedang b
Pagi itu, Kendrick memutuskan untuk Angin sejuk menerpa wajahnya. Dia memperhatikan sekeliling—anak-anak bermain di kejauhan, pasangan muda berjalan bergandengan tangan, dan beberapa orang tua duduk menikmati sore dengan segelas kopi. Semua orang tampak... menjalani hidup.Serena menggenggam lengan bajunya sendiri, merasa terasing di antara mereka. Kendrick berdiri di sampingnya, diam, memberi Serena waktu untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar yang terasa asing."Ayo duduk," katanya akhirnya, menunjuk bangku kayu di bawah pohon rindang. Serena menurut, meskipun hatinya masih berat. Mereka duduk berdampingan dalam keheningan, hanya suara burung dan tawa anak-anak yang terdengar."Kamu tahu," Kendrick akhirnya membuka suara, "Aku dulu benci tempat kayak gini." Serena menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa?" Kendrick mengangkat bahu. "Karena terlalu ramai. Terlalu banyak orang dengan kehidupan mereka masing-masing, sementara aku sIbuk dengan kehidupanku yang berantakan."Serena terdia
Hujan turun dengan rintik halus, seolah langit ikut berkabung atas kepergian Lydia. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga melati yang tertata di sekitar pusara. Serena berdiri di sana, mengenakan gaun hitam sederhana, matanya sembab karena terlalu banyak menangis sejak semalam. Dia menggenggam erat ujung syal milik Ibunya—satu-satunya kenangan yang masih bisa dia peluk. Nafasnya bergetar saat menatap nisan yang kini terukir nama Lydia Quirino, Ibunya, satu-satunya keluarga yang pernah dia miliki.Melody, Sofia, dan Luna berdiri sedikit di belakangnya, memberikan ruang tetapi tetap ada di sana untuknya. Mereka tahu betapa sulitnya hari ini bagi Serena. "Aku masih tidak percaya, Serena…" suara Melody terdengar pelan, dipenuhi kesedihan yang tulus.Sofia meremas lembut bahu Serena. "Tante sudah tidak sakit lagi sekarang. Tabte bisa tenang."Serena mengangguk kecil, meski hatinya masih terasa kosong. Seberapa pun dia mencoba meyakinkan diri, kenyataan bahwa Ibunya sudah pergi sel
"Bu… bangun, aku di sini… Ibu, tolong jangan tinggalkan aku!"Serena mengguncang tubuh Ibunya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Suaranya bergetar, nafasnya tersengal, seolah mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Kenyataan yang menyakitkan ini terasa terlalu berat untuk diterima.Tidak ada respons. Tidak ada gerakan.Hanya keheningan yang mengerikan. Keheningan itu seperti pisau, mengiris hati Serena, membuatnya merasa seolah dunia di sekelilingnya mendadak gelap."Ibu, kumohon!" Suara Serena pecah. Tangisannya meluap tanpa kendali. Ia menggenggam tangan Ibunya erat-erat, berharap ada kehangatan yang masih tersisa. Tapi dingin. Terlalu dingin. Dunia yang biasanya hangat dan penuh cinta kini terasa seperti ruang yang membeku.Seorang perawat yang berdiri di dekatnya menunduk, matanya berkaca-kaca. Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Lydia hanya bisa menarik napas berat sebelum menatap Serena dengan penuh belas kasih. Rasa empati di mata mereka me
"Kalau kamu mau pulang, aku tidak akan maksa kamu buat tetap di sini," suara Serena terdengar pelan, tapi nadanya jelas menunjukkan kelelahan.Kendrick, yang berdiri di dekat jendela kamar rumah sakit, hanya meliriknya sebelum berjalan ke menghampirinya. "Aku tidak akan ninggalin kamu di sini sendirian."Serena menghela napas. Matanya memandang tubuh Ibunya yang terbaring lemah di ranjang, wajah Lydia terlihat begitu pucat di bawah cahaya redup lampu rumah sakit. Dadanya terasa sesak. Sejak dokter mengatakan kalau kondisi Ibunya sudah tidak bisa diharapkan, Serena tahu waktu yang tersisa sudah tidak lama lagi. Kepanikan dan kesedihan menyelimuti pikirannya, membuatnya sulit untuk berpikir jernih.Kendrick berjalan mendekat, meletakkan tangannya di punggung kursi tempat Serena duduk."Sayang.""Hm?""Kalau kamu butuh sesuatu, bilang padaku ya.”Serena menoleh ke arahnya, menatap mata gelap pria itu yang terasa begitu tajam. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuatnya sedikit lebih tena
Mobil melaju cepat menembus jalanan kota yang masih basah akibat hujan tadi malam. Di dalamnya, Serena duduk diam di kursi penumpang dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuannya. Dadanya terasa sesak, dan pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit. Perasaan cemas menyelimuti dirinya, seolah setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan pada kenyataan yang tak ingin dihadapi.Dari sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan Kendrick yang sesekali meliriknya. Lelaki itu tidak banyak bicara, hanya memberikan kehadiran yang menenangkan. Namun, Serena tahu, dalam diamnya, Kendrick pasti memperhatikannya lebih dari yang ia sadari. Kendrick selalu bisa merasakan ketegangan di antara mereka, bahkan tanpa kata-kata."Aku di sini," suara Kendrick akhirnya terdengar, lembut namun tegas. "Apapun yang terjadi nanti, kamu tidak sendirian." Kalimat itu terasa seperti pelukan hangat yang meredakan sedikit kegelisahan di hatinya.
Serena masih bisa merasakan hangatnya sentuhan Kendrick di kulitnya. Dadanya naik turun dengan napas yang masih belum sepenuhnya stabil, dan pikirannya berkecamuk dengan banyak hal yang baru saja terjadi di antara mereka. Perasaannya campur aduk—antara kebahagiaan dan ketakutan. Hangatnya sentuhan Kendrick membuatnya merasa aman, tetapi ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya membuatnya sulit untuk sepenuhnya menikmati momen itu.Dia menoleh ke samping, melihat wajah Kendrick yang begitu dekat. Mata tajam pria itu kini terlihat lebih lembut, memandangnya dengan intensitas yang belum pernah Serena lihat sebelumnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa dihargai dan diinginkan, tapi di sisi lain, ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya membuatnya merasa terjepit."Kau masih tidak percaya padaku?" suara Kendrick terdengar pelan, tetapi tetap penuh tekanan. Suaranya seperti sebuah mantra yang berusaha meredakan badai yang mengamuk di dalam diri Serena.Serena m
Serena masih terdiam, pikirannya melayang ke peristiwa tadi. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Kendrick muncul dengan nampan makanan di tangannya."Sayang, ayo makan," ujarnya lembut, suaranya menghangatkan ruangan yang sempat terasa dingin oleh kesunyian.Serena menoleh, senyum tipis menghias wajahnya yang pucat. Dia perlahan beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti Kendrick ke sofa.Di sana, Kendrick dengan penuh perhatian menyuapi Serena, sesekali matanya menatap lembut ke arah Serena, memastikan bahwa ia menghabiskan makan malamnya."Kamu tidak perlu memikirkan apa yang terjadi tadi," kata Kendrick, suaranya penuh kepastian. "Aku janji, kamu akan aman di sini, di sampingku."Serena menatap mata Kendrick mencari kebenaran di sana. "Aku sudah memerintahkan Julian untuk mengurus Ibu pulang," tambah Kendrick."Aku sungguh akan melakukannya, Ken?" tanya Serena, masih ragu-ragu."Tentu saja, apa kamu pikir aku hanya bercanda?" jawab Kendrick, tersenyum."Tapi biayanya?" tanya Serena
“Aku mengenalmu dengan baik Kendrick. Apa kamu gelisah karena wanitamu?” Pertanyaan itu terlontar dari bibir Calvin membuat Kendrick seketika menegang. “Jadi benar kamu memiliki wanita?”“Jangan bicara omong kosong, Kek. Aku sedang tidak ingin membahas pernikahan.”“Sampai kapan kamu akan diam disaat Evan telah mengenalkan Nona Quirino sebagai pasangannya.”“Aku tidak peduli dengan mereka.”“Apa kamu juga tidak peduli dengan jabatanmu itu? Kamu bisa saja tersisih Kendrick.”“Jika seperti itu maka aku akan lihat bagaimana cucumu itu memimpin perusahaan,” Kendrick berkata dengan meremehkan Evan. Dia lalu pergi dari sana tak ingin melanjutkan pembicaraan dengan kakeknya yang hanya akan menyulut emosinya itu. Kendrick mencari keberadaan Julian dia sejak tadi menunggu Julian kembali. Hingga dia melihat sosok Julian yang masuk ke area pesta membuat Kendrick segera menghampirinya. Julian menundukkan badannya memberi hormat ke