Malam itu, Serena akhirnya tiba di mansion dengan perasaan campur aduk. Hujan deras yang mengguyur kota sepanjang hari membuat udara terasa dingin, menyisakan jejak embun di dedaunan di sekitar taman mansion. Nadia sudah menunggunya di dekat pintu masuk, seperti biasa. Gadis itu menyambutnya dengan senyum hangat.“Selamat datang kembali, Nona. Apa Anda mau teh hangat?” Nadia bertanya. Serena tersenyum kecil. “Boleh.”Nadia mengangguk, wajahnya penuh perhatian. “Baiklah Nona, saya akan segera mengantarnya ke kamar.”Serena mengangguk. “Terima kasih, Nadia.”Ia berjalan menuju kamarnya di lantai tiga dengan langkah perlahan. Malam ini, ia merasa sedikit lebih tenang, tetapi pikirannya masih dipenuhi bayangan dari apa yang terjadi selama rapat tadi. Penyelidikan Julian, bukti yang diajukan Kendrick, dan keterlibatan Rachel tumpang tindih di dalam pikirannya. Setelah melewati semua itu, ia ingin malam ini berlalu tanpa gangguan.Suara ketukan terdengar, “Masuk aja Nadia.”Nadia pun langs
“Mama.”Suara Kendrick membuat Teresa menoleh, “Apa yang Mama lakukan disini?”“Dimana wanita itu?”“Wanita siapa?”“Mama mendengar dari Evan jika kamu memiliki wanita di rumah.”Mendengar ucapan Teresa membuat Kendrick tertawa. “Dan Mama langsung percaya begitu saja? Apa dia mengatakan itu karena Mama tidak merestui dia dekat dengan Serena?”Tebakan Kendrick tentu saja benar seratus persen membuat Teresa tidak berkutik. Mata Teresa menyisir setiap sudut, mencari tanda-tanda keberadaan orang lain. Ruangan itu tampak steril, tidak ada barang pribadi yang terselip atau sembunyi. Hanya furnitur klasik yang teratur rapi dan seprai putih yang terlipat sempurna di atas tempat tidur.Terasa kecewa, Teresa menghela napas panjang. "Evan, kau benar-benar membuatku terbakar jengkel," gumamnya pelan. Evan sebelumnya dengan yakin berkata bahwa Kendrick menyembunyikan seorang wanita di mansion ini, tapi kenyataannya tidak ada siapa-siapa.Dinding-dinding kamar itu berbisik hampa, seolah-olah menert
Kendrick terbangun tengah malam dengan suara dering telepon yang tidak berhenti. Dia langsung meraih ponselnya dan menjawab panggilan itu, berusaha untuk tidak membangunkan Serena yang tidur di sampingnya."Ya?" Kendrick berkata, dengan suara yang sedikit kasar.Di seberang telepon, Julian, asisten Kendrick, berkata, "Maaf, Tuan. Saya memiliki kabar buruk. Ada masalah di Italia."Kendrick langsung duduk tegak, dengan perhatian yang penuh. "Apa yang terjadi?" dia bertanya.Julian menjelaskan, "Serangan semalam itu belum selesai, Tuan. Perusahaan di Italia terbakar."Kendrick merasa marah dan frustasi. Dia tidak bisa mempercayai bahwa hal seperti ini bisa terjadi. "Bagaimana bisa ini terjadi?" dia bertanya, dengan suara yang meninggi.Julian menjelaskan, "Api itu segera dipadamkan, tapi kerusakan sudah terjadi. Kami sedang menyelidiki penyebabnya."Kendrick mengambil napas dalam-dalam, berusaha untuk mengendalikan emosinya. Dia tahu bahwa dia harus tetap tenang dan berpikir jernih untuk
Serena duduk nyaman di dalam mobil, merasa puas dengan perawatan yang dia lakukan di salon. Dia tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak beres.Candra, memandang ke kaca spion dan melihat sebuah mobil yang mengikuti mereka. Dia tidak memberitahu Serena atau Nadia tentang hal ini, karena dia tidak ingin membuat mereka khawatir.Sebaliknya, Candra segera memberi kode kepada bodyguard yang berada di mobil lain untuk mengecoh mobil yang mengikuti mereka. Bodyguard itu segera memahami kode tersebut dan mulai melakukan manuver untuk mengalihkan perhatian mobil yang mengikuti.Candra terus memantau situasi tersebut, siap untuk mengambil tindakan jika diperlukan. Dia tidak ingin Serena atau Nadia terlibat dalam situasi yang tidak aman.Sementara itu, Serena tidak menyadari apa yang sedang terjadi.***Mobil mewah itu berhenti di depan sebuah mansion yang besar dan mewah. Serena melihat sekeliling dan merasa bahwa mansion itu tidak familiar baginya."Kita sudah tiba, Nona," Nadia, maid pri
Kendrick duduk di atas tempat tidur, wajahnya tidak menunjukkan rasa sakit meskipun dia baru saja mengalami luka tusuk. Dokter pribadinya sedang mengobati luka tersebut dengan hati-hati."Tidak terlalu dalam, tapi tetap harus diobati dengan baik," dokter itu berkata, sambil membersihkan luka dengan antiseptik.Kendrick tidak mengeluarkan suara, dia hanya menatap dokter itu dengan tenang. Julian berdiri di sampingnya, wajahnya menunjukkan kekhawatiran.Setelah selesai diobati, dokter itu membalut luka Kendrick dengan perban. "Anda harus istirahat beberapa hari, dan tidak boleh melakukan aktivitas yang berat," dokter itu berkata.Kendrick mengangguk, wajahnya masih tenang. Julian membantu dokter itu mengumpulkan peralatan medisnya, kemudian mereka berdua keluar dari kamar Kendrick."Pastikan Tuan Kendrick istirahat dengan baik," dokter itu berkata kepada Julian sebelum mereka berdua keluar dari kamar.Julian mengangguk, kemudian menutup pintu kamar Kendrick, membiarkannya istirahat deng
Nadia berlari ke kamar Serena dan membangunkannya dengan lembut. Nadia mengetuk pintu kamar Serena, berharap Serena segera bangun. Dia tak berani masuk begitu saja ke kamar Serena. Suara ketukan itu membuat Serena terbangun, dia malas Serena pun terduduk. “Masuklah Nadia, ada apa?” tanya Serena dengan mata yang masih terpejam. "Maaf, Nona Serena. Saya harus membangunkan Anda. Tuan Kendrick akan datang dan dia terluka."Serena membuka matanya dengan terkejut dan memandang Nadia dengan mata yang masih mengantuk. "Apa? Tuan Kendrick terluka? Seberapa parah lukanya?"Nadia menggelengkan kepala. "Saya tidak tahu, Nona. Pak Julian hanya mengatakan bahwa Tuan Kendrick terluka dan membutuhkan perawatan. Tapi jika Pak Julian mengatakannya, maka kemungkinan luka itu cukup parah."Serena langsung panik dan melompat dari tempat tidurnya. Dia berlari ke lemari pakaian dan mengambil lingerie yang biasa dikenakan ketika Kendrick bersamanya. Dia berganti pakaian dengan cepat dan mengenakan jubah un
Serena turun dari taxi dan berjalan ke arah lobby gedung kantor. Dia bergabung dengan karyawan lain yang menunggu di depan lift. Mereka semua berbicara dengan pelan dan menunggu lift tiba.Tiba-tiba, Kendrick muncul dari pintu masuk lobby. Para karyawan langsung menoleh dan membungkukkan badannya sebagai tanda hormat. Serena pun melakukan hal yang sama, membungkukkan badannya dan menundukkan kepala.Namun, Kendrick tidak memperhatikan karyawan lain, matanya langsung tertuju pada Serena. Dia memandang Serena dengan intens, seolah-olah tidak bisa lepas dari pandangannya.Julian, menyadarkan Kendrick bahwa pintu lift sudah terbuka. "Tuan Kendrick, lift sudah siap," kata Julian.Kendrick akhirnya melepaskan pandangannya dari Serena dan memasuki lift khusus bersama dengan Julian. Lift tersebut langsung tertutup dan meninggalkan para karyawan yang masih membungkukkan badannya.Dia benar-benar tidak terlihat kesakitan. Batin SerenaSerena dan karyawan lain pun masuk ke lift, menunggu pintu l
“Ibumu itu belum mati, bukan?” Pertanyaan Leo membuat darah Serena naik, mata Serena memerah menatap ke arah Leo. “Karena jika mati maka aku gagal mendapatkan lima miliar,” sambung Leo membuat Serena mengerutkan alisnya. “Aku mendapatkan sumsum tulang yang cocok, dan Tuanmu mau membayar lima milyar tanpa negosiasi lagi.”“Kamu gila!”“Kenapa? Tuan Kendrick saja tidak masalah, kenapa kamu marah,” ucap Leo dengan entengnya. “Berhenti mendapatkan uang dari memanfaatkanku, Leo!”Leo tertawa melihat Serena yang marah, dia begitu puas melihat ekspresi Serena. Serena akan membuka mulut lagi tetapi tiba-tiba pintu lift terbuka membuat dia mengurungkan niatnya. Apalagi terlihat Evan yang berdiri tak jauh dari sana, dan Evan melihat mereka. Leo langsung keluar dari lift meninggalkan Serena, Evan pun langsung menghampiri Serena. Dia masuk ke dalam lift setelah Leo pergi. “Apa yang terjadi?” tanya Evan dengan panik. “Tidak ada, Pak Evan,” jawab Serena berbohong dan Evan bisa melihatnya jelas
Mentari pagi menerobos masuk melalui celah gorden, membekukan lembut wajah Serena. Ia mengerjap, merasakan kehangatan di sekitarnya. Kendrick. Pria itu sudah bangun, menatap dengan senyum teduh yang selalu berhasil menghangatkan hatinya."Selamat pagi, sayang," bisik Kendrick, mengecup bibir Serena singkat namun penuh kasih. Serena membalas senyumannya."Pagi, Ken. Mandi sana, nanti telat ke kantor." Kendrick menggeleng, senyumnya semakin lebar."Tidak ada kantor hari ini untukku." Serena sedikit mengerutkan keningnya. “Maksudmu?”"Aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu." "Tidak bisa, Ken. Aku juga harus ke kantor." Raut kekhawatiran langsung tergambar di wajah Kendrick."Kamu yakin Sayang?” Serena mengangguk, dia lalu berkata. “Aku ingin kembali bekerja. Aku tidak bisa terus menerus berdiam diri di rumah,bukan?” Suaranya lirih, namun terdapat ketegasan di dalamnya.Kendrick menatap Serena dengan lembut dan penuh pengertian. Mungkin benar, kembali ke rutinitas seperti biasa akan me
"Aku senang kalau kamu sudah mulai tersenyum lagi," kata Kendrick akhirnya, suaranya lebih lembut dari biasanya, seperti mendengarkan alunan lagu yang merdu.Serena terdiam, merenungkan kata-kata Kendrick. Ia menyadari perubahan dalam dirinya sendiri. Rasanya seperti menemukan secercah cahaya di ujung lorong gelap yang tak berujung.Namun, meskipun ada perubahan positif, ia masih tidak yakin dengan apa yang sebenarnya ia rasakan. Apakah ini hanya ilusi dari rasa rindu akan kebahagiaan yang sudah lama menghilang, ataukah ada sesuatu yang nyata?Kendrick tidak berbicara untuk beberapa saat, hanya menemani Serena dalam diam. Serena menghela nafas pelan, menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi, mencoba meredakan pikirannya yang terus berputar."Aku ingin kamu tetap disisiku, Sayang," kata Kendrick tiba-tiba, membuay suasana tenang yang sebelumnya ada di antara mereka. Serena langsung menegang. Ia menoleh menatap Kendrick, tetapi pria itu tetap menatap lurus ke depan, seolah-olah sedang b
Pagi itu, Kendrick memutuskan untuk Angin sejuk menerpa wajahnya. Dia memperhatikan sekeliling—anak-anak bermain di kejauhan, pasangan muda berjalan bergandengan tangan, dan beberapa orang tua duduk menikmati sore dengan segelas kopi. Semua orang tampak... menjalani hidup.Serena menggenggam lengan bajunya sendiri, merasa terasing di antara mereka. Kendrick berdiri di sampingnya, diam, memberi Serena waktu untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar yang terasa asing."Ayo duduk," katanya akhirnya, menunjuk bangku kayu di bawah pohon rindang. Serena menurut, meskipun hatinya masih berat. Mereka duduk berdampingan dalam keheningan, hanya suara burung dan tawa anak-anak yang terdengar."Kamu tahu," Kendrick akhirnya membuka suara, "Aku dulu benci tempat kayak gini." Serena menoleh, keningnya berkerut. "Kenapa?" Kendrick mengangkat bahu. "Karena terlalu ramai. Terlalu banyak orang dengan kehidupan mereka masing-masing, sementara aku sIbuk dengan kehidupanku yang berantakan."Serena terdia
Hujan turun dengan rintik halus, seolah langit ikut berkabung atas kepergian Lydia. Aroma tanah basah bercampur dengan wangi bunga melati yang tertata di sekitar pusara. Serena berdiri di sana, mengenakan gaun hitam sederhana, matanya sembab karena terlalu banyak menangis sejak semalam. Dia menggenggam erat ujung syal milik Ibunya—satu-satunya kenangan yang masih bisa dia peluk. Nafasnya bergetar saat menatap nisan yang kini terukir nama Lydia Quirino, Ibunya, satu-satunya keluarga yang pernah dia miliki.Melody, Sofia, dan Luna berdiri sedikit di belakangnya, memberikan ruang tetapi tetap ada di sana untuknya. Mereka tahu betapa sulitnya hari ini bagi Serena. "Aku masih tidak percaya, Serena…" suara Melody terdengar pelan, dipenuhi kesedihan yang tulus.Sofia meremas lembut bahu Serena. "Tante sudah tidak sakit lagi sekarang. Tabte bisa tenang."Serena mengangguk kecil, meski hatinya masih terasa kosong. Seberapa pun dia mencoba meyakinkan diri, kenyataan bahwa Ibunya sudah pergi sel
"Bu… bangun, aku di sini… Ibu, tolong jangan tinggalkan aku!"Serena mengguncang tubuh Ibunya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Suaranya bergetar, nafasnya tersengal, seolah mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini semua hanya mimpi buruk. Kenyataan yang menyakitkan ini terasa terlalu berat untuk diterima.Tidak ada respons. Tidak ada gerakan.Hanya keheningan yang mengerikan. Keheningan itu seperti pisau, mengiris hati Serena, membuatnya merasa seolah dunia di sekelilingnya mendadak gelap."Ibu, kumohon!" Suara Serena pecah. Tangisannya meluap tanpa kendali. Ia menggenggam tangan Ibunya erat-erat, berharap ada kehangatan yang masih tersisa. Tapi dingin. Terlalu dingin. Dunia yang biasanya hangat dan penuh cinta kini terasa seperti ruang yang membeku.Seorang perawat yang berdiri di dekatnya menunduk, matanya berkaca-kaca. Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisi Lydia hanya bisa menarik napas berat sebelum menatap Serena dengan penuh belas kasih. Rasa empati di mata mereka me
"Kalau kamu mau pulang, aku tidak akan maksa kamu buat tetap di sini," suara Serena terdengar pelan, tapi nadanya jelas menunjukkan kelelahan.Kendrick, yang berdiri di dekat jendela kamar rumah sakit, hanya meliriknya sebelum berjalan ke menghampirinya. "Aku tidak akan ninggalin kamu di sini sendirian."Serena menghela napas. Matanya memandang tubuh Ibunya yang terbaring lemah di ranjang, wajah Lydia terlihat begitu pucat di bawah cahaya redup lampu rumah sakit. Dadanya terasa sesak. Sejak dokter mengatakan kalau kondisi Ibunya sudah tidak bisa diharapkan, Serena tahu waktu yang tersisa sudah tidak lama lagi. Kepanikan dan kesedihan menyelimuti pikirannya, membuatnya sulit untuk berpikir jernih.Kendrick berjalan mendekat, meletakkan tangannya di punggung kursi tempat Serena duduk."Sayang.""Hm?""Kalau kamu butuh sesuatu, bilang padaku ya.”Serena menoleh ke arahnya, menatap mata gelap pria itu yang terasa begitu tajam. Ada sesuatu di sana—sesuatu yang membuatnya sedikit lebih tena
Mobil melaju cepat menembus jalanan kota yang masih basah akibat hujan tadi malam. Di dalamnya, Serena duduk diam di kursi penumpang dengan tangan saling menggenggam erat di pangkuannya. Dadanya terasa sesak, dan pikirannya terus dipenuhi dengan bayangan ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit. Perasaan cemas menyelimuti dirinya, seolah setiap detik yang berlalu semakin mendekatkan pada kenyataan yang tak ingin dihadapi.Dari sudut matanya, ia bisa merasakan tatapan Kendrick yang sesekali meliriknya. Lelaki itu tidak banyak bicara, hanya memberikan kehadiran yang menenangkan. Namun, Serena tahu, dalam diamnya, Kendrick pasti memperhatikannya lebih dari yang ia sadari. Kendrick selalu bisa merasakan ketegangan di antara mereka, bahkan tanpa kata-kata."Aku di sini," suara Kendrick akhirnya terdengar, lembut namun tegas. "Apapun yang terjadi nanti, kamu tidak sendirian." Kalimat itu terasa seperti pelukan hangat yang meredakan sedikit kegelisahan di hatinya.
Serena masih bisa merasakan hangatnya sentuhan Kendrick di kulitnya. Dadanya naik turun dengan napas yang masih belum sepenuhnya stabil, dan pikirannya berkecamuk dengan banyak hal yang baru saja terjadi di antara mereka. Perasaannya campur aduk—antara kebahagiaan dan ketakutan. Hangatnya sentuhan Kendrick membuatnya merasa aman, tetapi ketidakpastian yang menggelayuti pikirannya membuatnya sulit untuk sepenuhnya menikmati momen itu.Dia menoleh ke samping, melihat wajah Kendrick yang begitu dekat. Mata tajam pria itu kini terlihat lebih lembut, memandangnya dengan intensitas yang belum pernah Serena lihat sebelumnya. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa dihargai dan diinginkan, tapi di sisi lain, ketakutan akan apa yang akan terjadi selanjutnya membuatnya merasa terjepit."Kau masih tidak percaya padaku?" suara Kendrick terdengar pelan, tetapi tetap penuh tekanan. Suaranya seperti sebuah mantra yang berusaha meredakan badai yang mengamuk di dalam diri Serena.Serena m
Serena masih terdiam, pikirannya melayang ke peristiwa tadi. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Kendrick muncul dengan nampan makanan di tangannya."Sayang, ayo makan," ujarnya lembut, suaranya menghangatkan ruangan yang sempat terasa dingin oleh kesunyian.Serena menoleh, senyum tipis menghias wajahnya yang pucat. Dia perlahan beranjak dari tempat duduknya dan mengikuti Kendrick ke sofa.Di sana, Kendrick dengan penuh perhatian menyuapi Serena, sesekali matanya menatap lembut ke arah Serena, memastikan bahwa ia menghabiskan makan malamnya."Kamu tidak perlu memikirkan apa yang terjadi tadi," kata Kendrick, suaranya penuh kepastian. "Aku janji, kamu akan aman di sini, di sampingku."Serena menatap mata Kendrick mencari kebenaran di sana. "Aku sudah memerintahkan Julian untuk mengurus Ibu pulang," tambah Kendrick."Aku sungguh akan melakukannya, Ken?" tanya Serena, masih ragu-ragu."Tentu saja, apa kamu pikir aku hanya bercanda?" jawab Kendrick, tersenyum."Tapi biayanya?" tanya Serena