Perlahan tangan Jack melepaskan leher Debora dan terjatuh. Debora masih memejamkan mata, dia masih takut akan kenyataan yang akan dia lihat nanti."Sampai kapan kau akan berdiri di sana!" ucap Harry, pria bertopi hitam.Debora mulai membuka mata, dia melihat orang-orang yang berkaos hitam berlarian mendekatinya. Pandangannya beralih pada orang yang tersungkur di kakinya.Matanya terbelalak ketika melihat tidak ada darah sedikit pun di sekitarnya. Bahkan tubuh Jack bersih, tidak ada luka. Hanya ada panah kecil yang menancap di lengannya."Bawa dia pulang dan kurung, untuk perintah selanjutnya tunggu aba-abaku." Herry memasukkan pistolnya ke jas dan melangkah pergi.Empat orang membawa Jack ke dalam mobil dan pergi. Debora berlari kecil mengikuti pria yang bernama Harry."Lalu aku bagaimana?" tanya Debora panik."Suamimu akan menjemputmu, tunggu baik-baik di sini. Kau bisa melanjutkan tidurmu." Pria tersebut naik ke dalam mobil dan melaju meninggalkan Debora sendiri."Ini benar-benar gi
Alexander dan Debora sampai ke istana mereka. Pagar hitam yang menjulang tinggi terbuka secara otomatis. Mobil mereka segera masuk sebelum para paparazi mengambil gambar.Debora adalah artis papan atas. Bila mereka tau mobilnya remuk dan di tambah ada mayat dengan luka tembak di dalam mobil yang saling bertabrakan itu, pastinya akan menggemparkan seluruh kota.Di dalam seolah wanita paruh baya menunggu di teras rumah dengan cemas. Berulang kali dia mondar-mandir sambil meremat jemarinya.Kekhawatirannya hilang seketika saat melihat mobil putranya masuk ke area rumah. Dia segera berlari kecil menuju mobil Alex."Di mana menantuku?" tanya Lidya tidak sabar."Menantu Mama masih menikmati perannya," Alex tersenyum kecil.Lidya menautkan alisnya, mencoba mencerna ucapan Putranya."Aku di sini Mama, tidak perlu cemas. Aku baik-baik saja," jawab Debora dari dalam. Kepalanya muncul dari balik tubuh Alex."Mama tenang saja, dia kan artis. Jadi hanya pura-pura pingsan saja para penjahat akan me
Bibir Debora mengatup rapat, dia tidak menyangka semua akan kacau seperti ini. Dia hanya ingin membalaskan dendam. Namun semua bagai boomerang baginya.Bukan kemenangan yang dia dapat, malah malaikat maut yang bisa menjemputnya kapan saja. Angannya teringan pada sosok malaikat mungil yang selalu menguatkan hatinya.Debora segera meraih tasnya dan mengambil ponsel, dia memencet sebuah kontak dan menggeser tombol hijau.Hanya suara operator yang dia dengar, berulang kali dia mencoba menghubungi nomor tersebut. Sayangnya nihil, tak ada jawaban.Saat ini hatinya mulai kacau, dia tidak mau terjadi papan pada malaikat kecil yang selama ini dia sembunyikan identitasnya.Alex melihat kegelisahan Debora dan mencoba menerka. Bila dia khawatir dengan Stevi, pasti dirinya akan bertanya pada Suaminya ini bukan?Tangan Debora sudah memutar ganggang pintu, Alex mulai bangkit dari duduknya."Kau mau kemana?" tanya Alex."Kau tidak perlu tau, yang jelas aku tidak mau ada korban lagi!" sahut Debora, di
"Lepas! Aku tidak sejahat yang kau pikirkan. Adalah kau bisa memuaskan ku, maka anak itu akan aman," ucap Alex mendongakkan wajah Debora ke atas.Alex menatap mata indah Debora yang berkaca. Dia merasakan kesedihan yang istrinya rasakan saat ini. Pria itu segera menurunkan wajah wanita itu dan bangkit."Untuk saat ini jangan keluar rumah, situasi belum aman. Anak buahku akan berjaga-jaga di sampingmu dan semoga kau bisa bekerja sama dengan mereka." Alex memakai jasnya lagi dan melangkah keluar kamar.Sesaat Alex melempar pandangannya kebelakang sebelum dia melanjutkan langkahnya. Entah mengapa hatinya merasa perih melihat semua ini.Sepertinya ada ikatan kuat antara wanita dan anak kecil itu. Alex memutuskannya untuk mencari informasi lebih dalam lagi.Stevi bertemu Debora saat dia menjadi seorang pegawai bar dan hendak di lecehkan. Adiknya juga bilang kalau dia sebatang kara.Alex melanjutkan langkahnya keluar kamar dan menuruni tangga menuju mobil yang sudah di siapkan oleh anak bua
Saat ini Stevi sudah berpindah ke ruangannya dia di temani oleh kakak tercintanya. Sang Dokter sudah pergi beberapa menit yang lalu.Gadis itu sudah bisa duduk dengan baik karena efek obat bius sudah sedikit menghilang. Rasa sakit akibat benang yang menyatukan dagingnya sudah mulai terasa."Siapa sebenernya Debora?" tanya Alex. Matanya masih menatap langit-langit kamar Stevi yang dominan berwarna putih.Stevi memutar bola matanya ke atas, apakah Kakaknya tidak mengenali istrinya sendiri? Bukankah dia yang dapat lebih leluasa mempertanyakan siapa jati diri wanita yang dia nikahi."Stevi," panggil Alex dengan anda dingin."Kak, apa kakak tidak bisa bertanya langsung pada orangnya? Bahkan waktu kakak dan Debora lebih banyak dari pada denganku," keluh Stevi dan mulai merebahkan tubuhnya di kasur."Ternyata percuma aku datang ke sini!" Alex bangkit dari duduknya dan hendak melangkah pergi."Selidiki Tuan Michael, sepertinya ada yang tidak beres padanya." Stevi menarik selimut dan menutupi
Lidya menarik napas panjang, dia melempar pandangan ke arah lain. Dengan berat hati bibirnya mulai mengucap satu kata."Dia adalah pemimpin kelompok hitam di negara ini, banyak yang mengincarnya. Sehingga orang yang berada di dekatnya akan selalu di jaga olehnya." Lidya melempar pandangannya kembali ke Debora.Kenyataan ini terlalu lucu untuk di ketahui Debora. Dia benar-benar di permainan oleh takdir. Mana bisa seorang gay memimpin sebuah kelompok hitam, terutama dengan lingkup negara. Ini terlalu konyol untuk di percaya. Debora menggelengkan kepalanya lirih. Bibirnya terbuka mengatup. Dirinya tidak bisa memberi komentar. Entah saat ini dia harus bahagia atau sedih."Mama, kau tidak bercanda?" tanya Debora masih tidak percaya dengan kenyataan ini.Lidya membelai lembut rambut panjang Debora yang berwarna pirang itu. Matanya masih memancarkan keteduhan khas seorang ibu menatap anaknya."Percayalah Alex adalah orang yang baik. Dia hanya sedikit sulit mengungkapkan perasaannya. Lingkun
Alex duduk bersandar di bangku belakang mobil. Angannya melayang kembali ke menit sebelumnya. Dia tidak tau mengapa coretan kecil mampu memberikan rasa haru padanya.Deringan ponsel yang terselip di kantong jasnya membuyarkan lamunan. Dia segera merogoh jas tersebut dan menempelkan benda pipih itu ke telinga kanan."Ada apa?" tanya Alex dengan suara dingin khasnya."Komjen Desta, ingin menemui Tuan, apakah Anda ingin mengatur waktu?" tanya sekertaris Alex di ujung sambungan."Baiklah. Aku akan kesana sekarang," ucap Alex memutuskan sambungan sepihak.Alex menarik napas panjang. Kenapa banyak orang yang mencari masalah padanya akhir-akhir ini. Apakah dengan pangkatnya dia tidak bisa membereskan masalah mudah seperti ini? Menyebalkan."Kita ke kantor polisi," lanjut Alex memberikan perintah pada sopir.Mobil Alex melaju meninggalkan asrama. Di saat yang bersamaan ada seorang anak kecil yang baru saja tersadar dari tidurnya.Dia mengucek matanya dan memanggil wanita yang masih duduk bers
Alex tidak peduli dengan deringan ponsel yang terus berbunyi. Dia sudah muak melihat orang berpangkat yang mengandalkan jabatannya hanya demi kepentingannya sendiri.Jangan tanya apa yang dilakukan oleh Alex. Pastinya dia memiliki satu alasan untuk membungkam mulut kotor itu. Salah satunya adalah pembunuhan saksi dari aksi bejat salah satu pejabat di negaranya itu.Nyalinya terlalu besar. Alex tidak percaya seorang polisi ecek-ecek mampu mengancamnya.Mobil Alex melaju menuju sebuah jalan yang cukup jauh dari hiruk-pikuk kota. Jalan ini di penuhi pepohonan pinus yang cukup tinggi.Karena cuaca sudah mendekati senja. Beberapa kabur mulai menutupi jalanan yang di lewati. Alex sudah menyiapkan beberapa pistol di balik jasnya.Mobil terus melaju dengan kecepatan sedang hingga bertemu sebuah pertigaan dan memilih untuk berbelok ke arah kanan.Kurang lebih membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Mobil terlah sampai di sebuah bangunan tua yang sudah lapuk.Dindingnya hanya terbuat dari kayu yang
Debora masuk ke kamar mandi. Di sana sudah ada Alex yang memejamkan mata dan menikmati air hangat yang merendam sebagai tubuhnya. Harum aroma lili memenuhi seluruh ruangan."Alex, aku beri waktu lima menit untuk menjelaskan sertifikat yang ada di tasmu," ucap Debora dengan suara lantang.Pria itu tidak merespon. Dia masih memejamkan mata. Bahkan dia tidak bergerak sedikitpun."Alexander Vernandes, apakah kau mendengar suaraku?" Debora mulai sebal.Amarah Debora tak membuatnya bergeming. Pria itu masih berada di posisi ternyaman nya. Karena habis kesabaran, Wanita itu masuk kedalam bak mandi dan menepuk pipi Alex.Pria itu masih tidak merespon sampai Debora menarik paksa seekor naga yang sedang tertidur nyenyak."Argh, apakah kau sudah gila. Jangan sentuh asetku seperti itu," ucap Alex mengerang kesakitan."Kau yang memulai," jawab Debora cemberut."Aku! Kau yang menyiapkan semua ini, apa salah kalau aku menikmati semua ini?" Alex memicing."Sekarang jelaskan kenapa ada sertifikat ruma
Debora dan Lidya duduk di halaman belakang. Mereka duduk menemani Angel yang sedang sibuk dengan buku gambar dan crayonya.Lidya tak henti-hentinya memuji hasil coretan tangan mungil itu. Debora mendaratkan kecupan di ujung kepala Angel."Apakah aku menganggu?" tanya Alex yang baru saja bergabung.Ketiga orang itu menyambut hangat ke datangan Alex. Angel segera bangkit dan berhamburan menuju Paman baiknya.Alex meraih Angel dan mengangkatnya dalam gendongan. Keduanya sudah seperti sepasang Dady dan putrinya."Paman baik, aku puny gambar untgukmu," ucap Angel memeluk Alex."Terima kasih Sayang, Paman baik juga punya kejutan untumu," ucap Alex menatap bahagia mata bulat yang saat ini menatapnya."Yey ... apa itu Paman?" tanya Angel penasan.Alex menurunkan gadis kecil itu dan merogoh saku jas bagian belakang. Dia mengeluarkan sebuah amplop putih yang bertuliskan nama salah satu sekolah terbaik di kota tersebut.Karena penasaran, Debora dan Lidya melangkah mendekat. Mata Debora berkaca k
Stevi duduk di atas kasur. Matanya melihat bintang yang bertaburan di langit malam. Terdengar suara pintu di ketuk."Masuk," ucap Stevi dengan suara lantang.Joe masuk membawa nampan yang berisi makan malam dan beberapa obat. Dengan hati-hati dia menaruh nampan itu di atas meja.Stevi turun dari ranjang dan memeluk Joe dari belakang. Wajah pria itu memerah. Dia tidak bisa menahan rasa bahagianya. Walau wanita ini bukan melihat dia yang sebenarnya."Kau harus makan dan minum obat," ucap Joe memutar tubuhnya dan mencubit pipi Stevi."Suapin dong," sahut Stevi manja."Oke, asal harus minum obat ya," jawab Joe menuntun Stevi untuk duduk di sofa.Pria itu menyodorkan sepotong steak yang sudah di potong kecil-kecil. Dengan semangat Stevi membuka mulut dan melahap daging tersebut.Joe menatap dalam wanita yang selama ini dia cintai. Sepertinya penyamaran ini tidak buruk juga. Dia bisa dekat dengan Stevi tanpa harus cek-cok setiap pagi."Ada apa?" tanya Stevi menatap dalam Joe.Joe menggeleng
Debora duduk di hamparan rumputb hijau. Di hadapannya ada sebuah batu yang bertuliskan nama orang yang paling berarti di hidupnya.Orang itu rela berkorban untuk dirinya. Mengesampingkan kesenangannya demi dirinya. Memberi apapun yang dia miliki untuknya.Namun apa yang bisa dia berikan, dia tidak pernah memberi apapun pada wanita tua itu selain kesengsaraan. Tidak pernah ada kebahagiaan sdikitpun.Satu per satu orang meninggalkan pemakaman. Di sana hanya meninggalkan Alex dan Debora. Keduanya duduk dan menatap nanar batu yang di penuhi dengan kelopak bunga itu."Kenapa aku begitu tidak berguna Alex? Lihatlah, bahkan aku belum memberi kebahagiaan sedikitpun pada Bibi," ucap Debora pedih."Bibi sudah menganggapmu sebagai anak, melihatmu bahagia, dia juga merasakan hal yang sama Baby," jawab Alex memeluk pundak Debora."Ini tidak adil untuknya Alex, dia menjual segalanya demi kehidupanku dan Angel. Dia pergi sebelum aku membayar semuanya," ucap Debora dengan air mata yang terus berlina
Seorang gadis kecil menangis di depan pintu ruang IGD. Di sampingnya ada dua orng tua yang sedari tadi mencoba menenagkannya. Tak jauh dari mereka ada sekitar lima orang berpakaian serba hitam yang berdiri di depan lorong.Wanita gendut itu meraih gadis kecil dan mendekapnya dalam pangkuan. Berulang kali dia mengelus pucuk kepala anak itu. Mencob menghentikan tangisnya."Tenanglah Nak, Bibimu pasti akan baik-baik saja," ucap Wanta gendut itu."Bibi sakit Apa Nek, kenapa dia pingsan?" tanya Angel sambil menghapus air mata yang terus mengalir."Bibimu hanya kecapekan. Sebentaar lagi pasti dia akan sadar dan kembali bermain-main denganmu," ucap Nenek gendut yang memeluknyaa.Sementara Kakek gendut masih memperhatikan kelima orang yang berjaga di depan lorong. sesekali dia menatap Angel dan orang-orang itu bergantian.Dia hanya tak menyangka akan menyelamatkan seorang anak yang oraang tuanya memiliki kedudukan tinggi. Mereka pasti bukan orang biasa saat melihat penjagaan seketat ini.Seda
"Kakak tidak bisa datang?" tanya Stevi menatap Lidya penuh harap."Dia sedang dalam perjalanan bisnis. Mereka akan segera kembali," ucap Lidya mengelus pucuk kepala putrinya.Wanita yang baru saja tersadar dari depresinya itu melempar pandangannya kesamping. Dia menatap pria yang amat dia cintai duduk di sana.Pria itu memasang wajah sedih sebelum melempar senyum hangat padanya. Sama seperti sebelumnya, dia selalu bisa merubah mimik wajah dengan cepat."Kau membutuhjan sesuatu?" tanya Keanu menatap Stevi teduh."Aku lapar," jawab Stevi manja."Baiklah tunggu sebentar, aku akan membelikan makanan untukmu," jawab Keanu bangkit dari kursi dan melangkah menjauh.Lidya menatap pedih pria itu. Semua pengorbanan dan penantiannya selama ini tidak ada artinya. Dia yang beerjuang tetapi orang lain yang memetik manisnya."Tunggu sebentar, Mama mau pesan beberapa barang," ucap Lidya berlari kecil menyusul pria yang baru saja pergi."Joe!" panggil Lidya.Pria itu menghentikan langkanya. Sesaat Joe
Di tempat yang begitu tenang, Bibi Lauren duduk sambil memegang sebotol susu. Ujung matanya melihat seorang anak kecil melangkah mendekatinya.Matanya menyipit, dia melihat dengan seksama siapa yang datang. Buliran bening terjatuh saat lansia itu mengetahui siapa yang datang."Halo Nenek?" sapa Angel.Bibi Lauren mematung. Dia mencoba menahan laju air mata yang hendak melaju deras."Halo Nak, kau kembali?" tanya Bibi lauren.Anak itu mengangguk lirih dan duduk di samping sang Nenek. Dia melihat ada tiga botol susu di samping Nenek itu. Bertanada kalau dia sudah duduk di sini begitu lama."Apakah Nenek menungguku?" tanya Angel yang melihat Nenek itu menatapnya dalam.Bibi Lauren tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Tangan keriputnya membelai pipi chubby yang dulu sering dia cium.Tuhan begitu baik padanya. Dia melindunginya, bahkan memberinya hadiah yang sangat istimewa."Apakah aku boleh memelukmu?" tanya Bibi Lauren masih terpaku menatap angel.Angel mengangguk lirih. Dia berges
Joe melangkah memasuki ruang rawat. Di sana masih ada Nyonya besarnya yang duduk meringkuk di kursi. "Anda bisa pulang Nyonya, biar Saya yang menjaga Nona Stevi," ucap Joe ramah.Lidya menggelengkan kepalanya. Dia memutar kursinya menghadap Joe. matanya menatap pria yang begitu tulus pada putrinya."Sejak kapan kau mengenal Stevi?" tanya Lidya seriussss."Nona Stevi membantu Saya masuk ke dalam Klan Tuan Alex, di sini saya menemukan keluarga yang tidak pernah saya miliki sebelumnya," jawab Joe membalas tatapan Lidya.Joe teringat saat pertama bertemu Stevi. Saat itu dia berjalan di tengah keputusasaan. Dia mencari keberadaan Sang Kakak yang entah ada di mana.Dia telah mencari Sang kakak di setiap bar besar. Tidak jarang kehadirnnya membuat keributan dan pada akhirnya dirinya babak belur.Saat itu dia meringkuk di emperan toko. Bajunya penuh noda darah yang mengering. Tak hanya itu, wajahnya sudah tidak berbentuk karena banyak luka lebam."Kalau mau jadi jagoan bukan seperti itu cara
Lidya menatap kepergian Putra dan menantunya. Terlihat senyum haru di wajah cantiknya. Seperti pepatah mengatakan, pasti ada pelangi setelah badai datang.Alex menggandeng tangan Debora dan melangkah pergi. Langkah panjang Alex terhenti saat menatap ketiga orang yang berdiri di depan pintu."Sepertinya aku sudah terlalu sabar denganmu belakangan ini," ucap Alex melempar pandangan ke arah Joe.Seketika Joe menundukkan kepala diikuti oleh kedua temannya. Mereka meneguk liur dan berdoa semoga Tuannya dalam mood yang baik."Kau meninggalkan tugasmu, dan mengejar cintamu di sini. Kau pikir aku akan simpati padamu dan tidak menghukum semua keteledoraamu ini?" ucap Alex melepaskan tangan Debora dan mendekati Joe.Debora mengkerutkan alisnya. Dia mulai menampakkan wajah protesnya. Wanita itu menghalang langkah Alex."Apa kau gila, Lihatlah! Dia sudah menjaga Adikkmu dengan tulus. Kau masih ingin menghukumnya?" Tanya Debora tidak percaya.Alex menggeser tubuh Debora dan menghentikan langkah ka