Terjatuhnya Edgar dari atap kamar menggagalkan penyatuan Barta dan Bella di atas tempat tidur. Barta terlihat murka, terlebih dia melihat anaknya kabur dari dalam penjara bawah tanah. Dengan cepat ia memakai piyama tidur lalu mendekati pintu kamar lalu membuka pintu. "Cepat keluar dari kamar ini! Anak brengsek!" amuk Barta berteriak kencang. Bella yang masih berada di atas tempat tidur terlihat shock berat, ia menarik selimut untuk menutupi tubuh polosnya sambil menatap Edgar yang berbaring dengan posisi tengkurap. "Anak kurang ajar!" bentak Barta kemudian mendekati Edgar yang diam membisu. "Tuan, sepertinya Edgar pingsan. Kepalanya berdarah," ucap Bella sambil menggerakkan tubuh Edgar. "Pingsan?" Barta naik ke atas tempat tidur lalu menggerakkan tubuh anaknya.Tak ada gerakan sama sekali. Ia melompat dari ranjang lalu mendekati anaknya. Barta menarik lengan Edgar hingga anaknya tersebut terjatuh dari atas tempat tidur. "Edgar! Kamu kenapa?" pekik Barta dengan wajah panik. I
"Tuan, ini sudah hampir pagi. Tuan tidak ingin pulang dan beristirahat?" tanya anak buah Barta. Barta yang saat ini tengah duduk di kursi tunggu rumah sakit sambil menundukkan kepala, tidak menjawab pertanyaan anak buahnya itu. "Maaf Tuan. Sepertinya Tuan sudah sangat lelah. Sebaiknya kami saja yang menjaga Tuan Muda Edgar." Kali ini, Barta mengangkat kepalanya ke atas menatap anak buahnya tersebut. "Aku belum bisa tenang kalau aku belum tahu keadaan anakku. Dia masih berjuang di dalam sana dan kalian memintaku untuk pulang? Apa kalian gila? Bangsat!" amuk sang rentenir kejam. "Maaf Tuan, saya hanya tidak tega melihat Tuan tidur di kursi tunggu seperti ini," ucap Yoman yang langsung menundukkan tubuh. "Tidak tega katamu? Yang membuatku harus berada di tempat ini siapa? Kalian semua bodoh! Dungu! Brengsek! Kalian semua tidak becus dalam menjaga anakku hingga anakku masuk ke dalam rumah sakit. Andai kalian tidak lengah, tidak mungkin anakku sampai masuk ke ruang operasi seperti ini
Barta pulang ke rumahnya. Ia tak mendapati istrinya di sana. Ia baru ingat kalau Bella sedang berkuliah hari ini. Rentenir itu masuk ke dalam kamar untuk beristirahat, tetapi ingatan tentang wanita yang tadi dikatakan oleh Yoman, mengusik pikirannya. Ia beranjak dari tempat tidur lalu keluar dari dalam kamar. "Yoman!" panggil Barta. Lelaki bertubuh tinggi, kekar dan berkulit kecoklatan itu berlari menghampiri Barta."Ada apa, Tuan?" tanya Yoman sambil menundukkan tubuh. "Kalian sudah ke rumah Martinus?" "Belum Tuan, kami sedang mengumpulkan beberapa catatan hutang dan juga catatan bunga dari hutang tersebut," jawab Yoman. Barta mengangguk. "Antar aku ke sana!"Yoman menegakkan tubuh, menatap bosnya. "Tuan mau ke sana? Tuan yang akan menagih hutang itu?""Ya, aku akan memberi penawaran pada Martinus agar dia mau memberikan adiknya untukku. Aku akan membawa adik Martinus ke rumah sakit untuk merawat anakku sampai sembuh.""Baik Tuan, saya akan mengantar Tuan ke sana."Barta merap
Barta semakin menggila, ia paling tidak suka keinginannya dibantah oleh siapapun. Kali ini, untuk pertama kalinya ia ditantang oleh seorang yang memiliki banyak hutang padanya. Ya, Martinus dengan keberaniannya menolak tawaran Barta untuk memberikan adik perempuannya. "Memang secantik dan spesial apa adikmu itu?" desis Barta bersiap menginjak leher Martinus. Namun, suara teriakan seorang wanita dari arah pintu menghentikan niat Barta tersebut. Barta menoleh ke belakang, menatap wanita cantik yang berdiri di ambang pintu. Ia tersenyum mesum sambil memperhatikan bagian sensitif wanita itu yang baginya terlihat sangat menggoda, karena wanita itu memakai celana jeans ketat yang membuat Miss V-nya menonjol. "Kakak," isak wanita itu lalu berlari masuk ke dalam rumah. Ia bersimpuh di samping tubuh Martinus yang sudah tak sadarkan diri. Barta tersenyum mesum. "Akhirnya kamu pulang juga. Aku akan membawamu ke rumah."Wanita itu mendongak, menatap Barta sinis. "Apa maksudnya? Kenapa And
"Kamu akan menjadi milikku. Aku akan menjadikanmu Ratu di rumah ini, sama seperti Bella. Aku yakin kali ini Edgar akan mendukungku, karena wanita muda ini akan aku berikan padanya. Tapi setelah aku menikmati tubuhnya," kekeh Barta sambil meremas dua daging kenyal di atas dada Naomi.Barta memandangi setiap inci tubuh sintal Naomi, tanpa terasa air liurnya mengalir keluar.Mendapatkan mainan baru, tentu saja membuat Barta merasakan kebahagiaan tiada tara. Baginya, uang pinjaman Martinus tidaklah besar. Ia bisa mendapatkan uang yang jauh lebih besar dari pelunasan hutang mantan CEO itu. Barta sendiri memiliki seratus cabang tempat karaoke yang menyediakan wanita wanita cantik untuk menghibur para tamu. Penghasilan Barta bisa menembus satu juta dollar setiap bulan. Baginya uang bukanlah segalanya, yang dia cari selama ini adalah kesenangan dengan meniduri wanita wanita muda yang cantik. Saat ini, di dalam kamar tamu. Ia tengah melepas satu persatu pakaian tidur yang dikenakan oleh Na
Selesai melampiaskan hasratnya pada wanita muda yang baru ia bawa. Barta memakai pakaiannya satu persatu. Perasaan puas, dan bahagia ia rasakan. Senyuman lebar terus terlukis di wajahnya setiap kali mengingat baru saja ia memecah selaput dara seorang gadis untuk pertama kalinya. "Sudah jangan menangis terus. Awalnya memang sakit, tapi setelah itu kamu pasti ketagihan rudal milikku, bahkan kamu akan mencariku setiap malam," kekehnya mesum. Mendengar itu Naomi langsung memalingkan wajahnya. Ia sudah muak dengan semua kata kata kotor yang keluar dari mulut beracun sang rentenir kejam. Barta mendekati Naomi, entah mengapa perasaannya pada wanita cantik itu berbeda dengan perasaannya pada istri terdahulu, bahkan pada Bella. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tak menginginkan Naomi disentuh oleh lelaki mana pun selain dia.Ia menundukkan tubuh setelah berada di depan Naomi. "Jangan ke mana mana, atau aku akan membunuh kakakmu!" ancam Barta.Naomi menundukkan kepalanya, kembali menangis
Bella menatap Edgar--lelaki yang kini menempati hatinya. Ia masih tak percaya kalau Edgar lupa ingatan. "Edgar, kamu benar benar tidak mengenaliku?" isak Bella duduk di tepi bed. Ia memegang lengan Edgar, lelaki itu sedang meremas rambut frustasi. Ia tahu Edgar sedang berusaha mengingat siapa dia. "Aku tidak ingat. Aku tidak tahu siapa kamu," ucap Edgar, meringis kesakitan. Bella menghela napas sesak. "Sudah, jangan dipaksakan. Aku yakin nanti kamu bisa mengingatku. Tolong jangan dipaksa, ya."Edgar menatap wanita di depannya dengan tatapan lirih. "Siapa namamu?" "Bella. Aku Bella," jawabnya. "Aku dan kamu, kita memiliki hubungan apa? Apa kamu kekasihku?" Bella terdiam, dalam hati ingin mengakui bahwa dia adalah kekasih Edgar, tetapi tidak mungkin dia mengatakan itu. Bagaimana kalau Edgar mengakuinya sebagai kekasih di depan Barta? "Katakan, siapa kamu? Apa kita sudah lama saling mengenal? Atau kamu adikku?" Bella tersenyum lirih lalu mengatakan, "Aku .... "Ia menggantung ucap
Barta mendatangi markas Julius--saingan beratnya sesama pembisnis di dunia hitam. Ya, Julius juga memiliki usaha yang sama seperti Barta, tetapi uang yang digunakan Julius untuk mendirikan beberapa klub malam dan tempat karaoke adalah uang hasil pinjamannya pada Barta. Dulunya mereka adalah sahabat, tetapi karena uang dan kekuasaan, keduanya menjadi musuh yang saling menyerang. Kedatangan Barta ke tempat itu, tak lain karena Julius sudah menggangu ketenangan tempat usahanya. Barta geram, ingin membalas Julius agar lelaki itu tidak lagi mengusik ketenangannya. "Bos, Tuan Barta datang," bisik anak buah Julius. Julius tersenyum jengah. "Biarkan dia masuk!""Tuan Barta sudah masuk ke dalam markas kita, Bos."BRUK!Julius terhenyak kaget saat melihat anak buah Barta menendang pintu ruangannya.Barta tersenyum sinis. "Apa yang kamu inginkan dariku? Uangku? Bukannya pinjaman tanpa bunga dariku belum dilunasi?" Julius mendengus kesal, ia melepas cerutu di tangannya. "Uang bukan masalah
Satu tahun kemudian, memasuki usia Bryan dan Nancy yang ke 6. Tepat hari itu pula, sebuah acara besar-besaran digelar dengan sangat meriah.Hari ini adalah hari dimana Naomi akan melangsungkan pernikahan dengan Galih. Setelah sebelumnya Edgar dan Bella berusaha untuk menjodohkan mereka, akhirnya keduanya kembali dekat dan saling mengungkapkan perasaan.Hingga akhirnya setelah satu tahun menjalin hubungan, kini Naomi dan Galih pun memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.“Sayang, aku sangat bahagia karena akhirnya Naomi dan Galih benar-benar akan menikah,” kata Bella pada Edgar, sesaat setelah mereka tiba di aula pernikahan tersebut.“Aku juga sangat bahagia, Sayang. Tidak sia-sia kita membuat kedekatan di antara mereka lagi.” Edgar mengangguk setuju.Bella hanya terkekeh mendengar perkataan sang suami. Kini mereka melanjutkan langkah mereka, menjadi saksi pernikahan antara Naomi dan Galih.Tepat di atas pelaminan, keduanya tampak bersanding dengan senyum yan
“Rencana kita pagi ini mau kemana?” tanya Edgar pada anak-anak dan istrinya.Mereka telah menyelesaikan acara sarapannya dan kini tengah bersiap untuk berangkat menuju tempat liburan.“Bagaimana kalau ke water park atau ke pantai saja, Pa?” Nancy menawarkan.“Hmm, sepertinya bagus juga. Ya sudah, kalau begitu kita pergi ke water park dulu, setelah itu baru kita pergi ke pantai.” Edgar mengangguk setuju.“Yeeii.” Bryan dan Nancy bersorak kegirangan.Kedua anak kecil itu dengan antusias segera masuk ke dalam mobil, hendak disusul oleh Bella dan Edgar. Namun sebelum mereka masuk mobil, tiba-tiba saja datang sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumah mereka.Tak lama setelah itu, terlihat seorang wanita yang melangkah masuk ke halaman dan berhenti di hadapan Bella.“Bella,” ucapnya menyapa wanita itu.Mendengar suara itu, sontak membuat Bella terkejut dan segera mengangkat wajahnya. Seketika ia tercengang, saat melihat sosok Naomi sedang berdiri di hadapannya.“Naomi!” pekik Bella kag
“Papa, ayo kita main!” Suara seorang anak laki-laki memecahkan kesunyian di pagi hari yang cerah.Bersamaan dengan itu, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras dari arah luar kamar.Tak terasa lima tahun kemudian berlalu dengan sangat cepat. Kehidupan Edgar dan Bella semakin bahagia sekarang. Mereka tinggal di rumah utama milik Barta, bersama dengan kedua anaknya dan ditemani oleh kedua asisten rumah tangga yang setia, Bi Marni dan Bi Imah yang merupakan mantan asisten rumah tangga Barta dulu.Tok! Tok! Tok!“Papa, bangun!”Edgar membuka selimutnya dengan cepat. Pria itu tampak menghembuskan nafasnya kasar. Ia memutar bola matanya malas, seraya melirik pada Bella yang sedang tertawa kecil sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Astaga, Sayang! Kenapa sepagi ini Bryan sudah mengganggu momen kebersamaan kita?” dengus Edgar pelan.“Karena dia tahu kalau hari ini kamu tidak masuk kantor, Sayang. Jadi dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk bermain denganmu,” jawab Bella sembari
Edgar menajamkan pandangannya, untuk memastikan jika pria pengemis yang dilihatnya itu memang benar-benar adalah Barta.“Iya, tidak salah lagi. Itu memang papa.” Ia mengangguk cepat.Setelah memastikan bahwa pria pengemis itu adalah Barta, maka Edgar pun lekas turun dari mobilnya. Ia berniat untuk menemui papanya itu. Dari kejauhan, Edgar sudah mengamati setiap detail penampilan papanya. Barta tampak mengenakan pakaian dan topi compang camping yang seolah menyembunyikan jati dirinya.Tak akan ada satu orang pun yang mengira jika pria itu adalah Barta Wijaya, sosok rentenir kaya raya yang terkenal kejam.Tak butuh waktu lama, kini akhirnya langkah Edgar pun tiba juga di hadapan Barta. Ia melihat pria itu terus saja membungkukkan kepalanya.Namun satu hal yang membuat Edgar merasa kebingungan, karena sejak tadi papanya itu tampak sembunyi-sembunyi memainkan sebuah ponsel mewah dari balik bajunya.“Papa,” panggil Edgar dengan keheranan.Suara panggilan dari Edgar itu pun sontak membuat
“Sudah apa, Bi?” desak Edgar merasa penasaran, karena ia merasa jika ART nya itu terlalu berbelit-belit untuk bicara padanya.“Begini, Den. Setahu bibi, Tuan Barta pernah mempunyai seorang nasabah yang tidak sanggup membayar hutangnya. Dia juga tidak punya apa-apa untuk bisa dijadikan sebagai jaminan atau penebus hutang. Jadi Tuan Barta mengirim para debt colector untuk menagih hutang nasabahnya itu. Tapi rupanya tak hanya sekedar menagih hutang saja, para debt colector itu bahkan sampai mencelakai nasabah itu dan membuatnya meninggal dunia,” terang wanita paruh baya itu dengan sedikit takut-takut.“Astaga!” Edgar membeliak, sebab rupanya pernyataan dari asisten rumah tangga di rumah papanya itu cukup membuatnya terkejut bukan main.Edgar meraup wajahnya kasar, merasa frustasi dengan apa yang sudah dilakukan oleh papanya. Pria itu bahkan tampak menghembuskan nafasnya yang terasa berat, seolah menyimpan sebuah beban besar di dadanya.“Bibi serius? Orang itu sampai meninggal dunia?” tan
Edgar merasa sangat terkejut saat melihat ada foto Brata yang terpampang di dalam sebuah artikel berita. Namun yang lebih membuatnya terkejut, yakni karena artikel itu memuat berita jika Barta masuk dalam DPO atau Daftar Pencarian Orang, alias buronan.“Ini benar papa kan? Lalu kenapa papa bisa jadi DPO?” Edgar bertanya pada dirinya sendiri, dengan kedua mata yang membelalak kaget.Pria itu terus menatap lekat ke arah foto pria yang terpampang di ponselnya tersebut. Ia ingin memastikan sekali lagi, bahwa pria di foto itu bukanlah Barta.Namun, mau sekeras apapun Edgar berusaha untuk meyakinkan dirinya, tetap saja tak bisa memungkiri bahwa pria di berita itu memanglah papanya.“Astaga! Ini memang benar-benar papa. Sebaiknya nanti aku cari dia dan tanyakan apa yang sebenarnya terjadi,” angguk Edgar pada dirinya sendiri.Jam sudah menunjuk ke angka setengah tujuh, membuat Edgar tak punya banyak waktu lagi untuk lebih berlama-lama berada di tempat perbelanjaan tersebut.Pria itu pun denga
“Aku sama sekali tidak tahu dimana Tuan Barta, Pa. Sejak semua permainan licikku terbongkar dan para polisi menangkapku, dia marah dan pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku tahu kalau dia pasti marah dan kecewa, apalagi setelah tahu bahwa anak kami bukanlah anak laki-laki seperti yang dia harapkan,” jawab Naomi dengan suaranya yang serak menahan isak tangis.“Tapi kenapa kamu sampai nekat melakukan itu, Naomi? Sedangkan kamu tahu sendiri, seperti apa Tuan Barta itu.” Mamanya Naomi ikut menimpali.Naomi kembali mengangkat wajahnya, menatap pada kedua orang tuanya itu secara bergantian. Gadis itu pun juga lekas menyeka air matanya dengan kasar.“Karena Tuan Barta berjanji untuk memberikan hartanya pada anakku, jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Ma. Kalau sampai aku melahirkan anak perempuan, maka dia pasti tidak akan mau memberikan hartanya pada kami.” Naomi masih saja menangis tanpa bisa ia bendung lagi.Kedua orang tuanya pun kini nampak saling berpandangan. Rasa iba mulai
“Bagaimana, Sayang? Apa kamu setuju?” tanya Edgar, membuat Bella segera tersadar atas pertanyaan suaminya barusan.“Tentu saja aku sangat setuju, Edgar. Lagipula aku juga sudah mulai menyayangi bayi ini, sama seperti aku menyayangi Bryan.” Bella mengangguk, setuju dengan apa yang disarankan oleh Edgar, jika mereka akan mengasuh bayi itu.“Syukurlah kalau kamu setuju. Sekarang kita harus memberi nama pada bayi ini.”“Kalau begitu, biar aku saja yang memberi nama pada bayi ini,” sahut Bella tiba-tiba.“Silahkan, Sayang.”Bella segera tersenyum manis, sembari menatap bayi mungil dalam gendongannya itu. Dibelainya pipi sang bayi yang masih merah itu, lalu dikecupnya kening bayi tersebut dengan sangat lembut.“Aku akan memberinya nama Nancy. Ya, Nancy Wijaya,” ucap Bella dengan wajah yang sangat bahagia.“Wah, nama yang sangat indah, Sayang. Mulai sekarang, kita punya sepasang bayi yang tampan dan cantik. Bryan dan Nancy.” Edgar pun turut merasa bahagia.“Iya, dan mereka adalah anak kita.
“Syukurlah karena sekarang kamu sudah kembali ke pelukan papa, sayang,” ucap Edgar sambil terus menciumi wajah baby Bryan berulang kali.Pria itu tak hentinya menitikkan air mata, tapi buru-buru menyekanya karena perasaan haru kini sudah mulai menguasainya. Edgar mengangkat wajah, menatap pada para polisi yang membawa Naomi ke mobil mereka. Lalu pandangannya kembali tertuju pada Baby Bryan yang kini nampak tertawa-tawa di pelukan Edgar.“Semuanya sudah berakhir, Sayang. Sekarang kita pulang dan temui mama kamu. Oke?”Edgar tersenyum dan menciumi wajah putranya sekali lagi. Dengan langkah tergesa, pria itu pun lekas menuju ke mobilnya yang terparkir di basement hotel tersebut.Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, kini ia pun lekas mengemudikan mobilnya menuju ke rumahnya, dimana saat ini Bella pasti sedang menunggu kedatangannya.***Di rumahnya, sejak tadi Bella terus saja mondar-mandir dengan perasaan panik. Ia terus berdecak cemas, memikirkan nasib Edgar yang kini entah berada dim