Selesai melampiaskan hasratnya pada wanita muda yang baru ia bawa. Barta memakai pakaiannya satu persatu. Perasaan puas, dan bahagia ia rasakan. Senyuman lebar terus terlukis di wajahnya setiap kali mengingat baru saja ia memecah selaput dara seorang gadis untuk pertama kalinya. "Sudah jangan menangis terus. Awalnya memang sakit, tapi setelah itu kamu pasti ketagihan rudal milikku, bahkan kamu akan mencariku setiap malam," kekehnya mesum. Mendengar itu Naomi langsung memalingkan wajahnya. Ia sudah muak dengan semua kata kata kotor yang keluar dari mulut beracun sang rentenir kejam. Barta mendekati Naomi, entah mengapa perasaannya pada wanita cantik itu berbeda dengan perasaannya pada istri terdahulu, bahkan pada Bella. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tak menginginkan Naomi disentuh oleh lelaki mana pun selain dia.Ia menundukkan tubuh setelah berada di depan Naomi. "Jangan ke mana mana, atau aku akan membunuh kakakmu!" ancam Barta.Naomi menundukkan kepalanya, kembali menangis
Bella menatap Edgar--lelaki yang kini menempati hatinya. Ia masih tak percaya kalau Edgar lupa ingatan. "Edgar, kamu benar benar tidak mengenaliku?" isak Bella duduk di tepi bed. Ia memegang lengan Edgar, lelaki itu sedang meremas rambut frustasi. Ia tahu Edgar sedang berusaha mengingat siapa dia. "Aku tidak ingat. Aku tidak tahu siapa kamu," ucap Edgar, meringis kesakitan. Bella menghela napas sesak. "Sudah, jangan dipaksakan. Aku yakin nanti kamu bisa mengingatku. Tolong jangan dipaksa, ya."Edgar menatap wanita di depannya dengan tatapan lirih. "Siapa namamu?" "Bella. Aku Bella," jawabnya. "Aku dan kamu, kita memiliki hubungan apa? Apa kamu kekasihku?" Bella terdiam, dalam hati ingin mengakui bahwa dia adalah kekasih Edgar, tetapi tidak mungkin dia mengatakan itu. Bagaimana kalau Edgar mengakuinya sebagai kekasih di depan Barta? "Katakan, siapa kamu? Apa kita sudah lama saling mengenal? Atau kamu adikku?" Bella tersenyum lirih lalu mengatakan, "Aku .... "Ia menggantung ucap
Barta mendatangi markas Julius--saingan beratnya sesama pembisnis di dunia hitam. Ya, Julius juga memiliki usaha yang sama seperti Barta, tetapi uang yang digunakan Julius untuk mendirikan beberapa klub malam dan tempat karaoke adalah uang hasil pinjamannya pada Barta. Dulunya mereka adalah sahabat, tetapi karena uang dan kekuasaan, keduanya menjadi musuh yang saling menyerang. Kedatangan Barta ke tempat itu, tak lain karena Julius sudah menggangu ketenangan tempat usahanya. Barta geram, ingin membalas Julius agar lelaki itu tidak lagi mengusik ketenangannya. "Bos, Tuan Barta datang," bisik anak buah Julius. Julius tersenyum jengah. "Biarkan dia masuk!""Tuan Barta sudah masuk ke dalam markas kita, Bos."BRUK!Julius terhenyak kaget saat melihat anak buah Barta menendang pintu ruangannya.Barta tersenyum sinis. "Apa yang kamu inginkan dariku? Uangku? Bukannya pinjaman tanpa bunga dariku belum dilunasi?" Julius mendengus kesal, ia melepas cerutu di tangannya. "Uang bukan masalah
Bella tertekan saat disudutkan oleh pertanyaan ayah dan anak. Ia memandang Edgar dengan pandangan lirih. "Cepat katakan! Brengsek!" hardik Barta. Edgar menatap ayahnya tajam. "Jangan bentak dia!" "Diam kamu Edgar! Dia ini istri Papa, Papa berhak melakukan apapun padanya!" Barta membalas tatapan Edgar lalu kembali menatap Bella. "Katakan padanya! Cepat!" Bella mengangguk pelan. "Iya, aku istri ayahmu. Aku ibu tirimu, Edgar."Mendengar pengakuan itu tiba tiba kepala Edgar menjadi sakit. Ia meremas rambutnya sangat kencang. "Akkkh! Brengsek! Bangsat! Wanita sialan!" amuk Edgar. Barta mendekati anaknya. "Kamu kenapa? Sakit? Hah? Kenapa dengan kepalamu?""Sakit! Kepalaku sakit!" teriak Edgar. Bella panik. "Sa-saya panggilkan Dokter," ucapnya. Barta berjalan mendekati pintu lalu memegang lengan Bella. "Aku tidak ingin melihatmu berada di sini! Mulai sekarang jauhi anakku!" Bella menundukkan k
Tak mendengar apapun dari dalam kamar tamu, tetapi Bella tetap mencurigai ada seseorang di dalam kamar tersebut. Seingatnya, pintu kamar itu tidak pernah dikunci. Bella membuka pintu menggunakan kunci cadangan yang biasa tersimpan rapi di laci lemari samping tempat tidur. Setelah mencocokkan kunci, akhirnya pintu tersebut terbuka lebar. Bella masuk ke kamar tamu, tetapi tak mendapati apapun di sana. "Aku yakin di sini ada orang, tapi kenapa tidak ada siapapun?" Bella menyapu pandang ke seluruh ruang kamar, memperhatikan selimut, seprai dan bantal yang berantakan. Seperti baru saja ada pertempuran hebat di atas ranjang itu. Deg!Pandang matanya tertuju pada bekas merah di atas tempat tidur, awalnya bekas merah itu tidak terlihat karena ditutupi oleh bantal. Bella menyingkirkan bantal tersebut, ia melihat dengan jelas bercak darah seperti saat pertama kali ia melakukan hubungan dengan Edgar. Ya, bercak darah itu sama persis dan ada sisa sp*rma di dekat darah tersebut. "Siapa yang
Ia tahu pikirinnya itu sangat picik, tetapi sebagai seorang wanita yang baru saja menemukan cinta ... ia ingin bisa hidup berdua dengan lelaki yang berhasil merebut hatinya, bahkan merebut malam pertamanya. Ya, Bella akan mempertahankan Naomi di rumah itu agar Barta tidak menjadikannya pelampiasan napsu.Naomi kembali memeluk sahabatnya. "Kamu yakin kita bisa membuat lelaki itu menderita?" "Aku yakin, nanti kita pikirkan cara untuk membalas dendam. Kita tidak boleh diam saja, kita harus melawannya agar tidak ada korban lagi. Dia harus mendapatkan hukuman dari kejahatannya.""Aku ingin membuatnya menderita hingga dia tidak bisa lagi menikmati hidup," desis Naomi. "Bagus, dan kita harus mengambil keuntungan dari semua ini.""Maksudnya?" tanya Naomi tidak mengerti. "Tuan Barta pasti akan memberimu uang setiap bulan, sama sepertiku dan uang itu bisa kamu kumpulkan dan kamu berikan pada kakakmu untuk membuka usaha. Setela
Kemurkaan Barta Wijaya bukan tanpa alasan, ia marah setelah mendengar pengakuan Edgar tentang apa yang anaknya itu lakukan dengan Bella di rumah sakit. "Wanita murahan sepertimu tidak pantas dimaafkan!" desis Barta. Seringai sinis terlihat jelas di wajah dingin sang rentenir kejam. "Ampun Tuan. Maafkan saya," ucap Bella. Walau ia tahu, berapa kali pun meminta maaf, Barta tidak akan mengampuninya. "Aku tidak akan memberimu kesempatan lagi. Kamu harus diberi pelajaran!" Barta semakin mendekatkan wajah Bella ke api kompor yang menyala. "Aaakkkhhh! Panas, Tuan! Panas!" teriak Bella menjerit kesakitan. "Hentikan!" pekik Naomi yang berdiri tegak menyaksikan Barta menyiksa sahabatnya. Barta tercengang melihat keberadaan Naomi di dapur rumahnya. "Kenapa kamu keluar? Apa wanita ini lupa mengunci pintu kamar itu kembali?" Barta melepas cengkramannya, mendorong tubuh Bella hingga wanita cantik itu tersungkur ke atas lantai. "Bella!" teriak Naomi berlari mendekati Bella yang tergeletak ta
Bella tersadar dari pingsannya. Ia menyapu pandang ke seluruh tempatnya saat ini. Beranjak bangun saat ia menyadari kalau ia tengah berada di tempat yang entah di mana. "Di mana ini? Kenapa aku ada di sini?" Bella memegang kepalanya yang terasa sakit, meremas rambut karena frustasi. Ia mencoba untuk berdiri, tetapi tubuhnya terasa lemas seperti tidak memiliki tenaga. "Aku ada di mana? Kenapa aku ada di sini?" isak Bella, mencoba untuk mengingat kejadian sebelum ia pingsan. Ingatan itu terlintas, tetapi samar samar. "Tadi aku pingsan di dapur, lalu kenapa sekarang aku ada di sini?" Bella kembali mencoba untuk berdiri lalu mendekati pintu yang terbuat dari baja tebal. Ada lubang kecil di pintu tersebut, ia ingin mengintip keluar. Sret! Bella tertegun saat merasakan ada sesuatu di kakinya. Kedua mata membulat sempurna saat melihat kedua kaki dirantai. "Siapa yang melakukan ini? Kenapa aku dirantai
Satu tahun kemudian, memasuki usia Bryan dan Nancy yang ke 6. Tepat hari itu pula, sebuah acara besar-besaran digelar dengan sangat meriah.Hari ini adalah hari dimana Naomi akan melangsungkan pernikahan dengan Galih. Setelah sebelumnya Edgar dan Bella berusaha untuk menjodohkan mereka, akhirnya keduanya kembali dekat dan saling mengungkapkan perasaan.Hingga akhirnya setelah satu tahun menjalin hubungan, kini Naomi dan Galih pun memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.“Sayang, aku sangat bahagia karena akhirnya Naomi dan Galih benar-benar akan menikah,” kata Bella pada Edgar, sesaat setelah mereka tiba di aula pernikahan tersebut.“Aku juga sangat bahagia, Sayang. Tidak sia-sia kita membuat kedekatan di antara mereka lagi.” Edgar mengangguk setuju.Bella hanya terkekeh mendengar perkataan sang suami. Kini mereka melanjutkan langkah mereka, menjadi saksi pernikahan antara Naomi dan Galih.Tepat di atas pelaminan, keduanya tampak bersanding dengan senyum yan
“Rencana kita pagi ini mau kemana?” tanya Edgar pada anak-anak dan istrinya.Mereka telah menyelesaikan acara sarapannya dan kini tengah bersiap untuk berangkat menuju tempat liburan.“Bagaimana kalau ke water park atau ke pantai saja, Pa?” Nancy menawarkan.“Hmm, sepertinya bagus juga. Ya sudah, kalau begitu kita pergi ke water park dulu, setelah itu baru kita pergi ke pantai.” Edgar mengangguk setuju.“Yeeii.” Bryan dan Nancy bersorak kegirangan.Kedua anak kecil itu dengan antusias segera masuk ke dalam mobil, hendak disusul oleh Bella dan Edgar. Namun sebelum mereka masuk mobil, tiba-tiba saja datang sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumah mereka.Tak lama setelah itu, terlihat seorang wanita yang melangkah masuk ke halaman dan berhenti di hadapan Bella.“Bella,” ucapnya menyapa wanita itu.Mendengar suara itu, sontak membuat Bella terkejut dan segera mengangkat wajahnya. Seketika ia tercengang, saat melihat sosok Naomi sedang berdiri di hadapannya.“Naomi!” pekik Bella kag
“Papa, ayo kita main!” Suara seorang anak laki-laki memecahkan kesunyian di pagi hari yang cerah.Bersamaan dengan itu, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras dari arah luar kamar.Tak terasa lima tahun kemudian berlalu dengan sangat cepat. Kehidupan Edgar dan Bella semakin bahagia sekarang. Mereka tinggal di rumah utama milik Barta, bersama dengan kedua anaknya dan ditemani oleh kedua asisten rumah tangga yang setia, Bi Marni dan Bi Imah yang merupakan mantan asisten rumah tangga Barta dulu.Tok! Tok! Tok!“Papa, bangun!”Edgar membuka selimutnya dengan cepat. Pria itu tampak menghembuskan nafasnya kasar. Ia memutar bola matanya malas, seraya melirik pada Bella yang sedang tertawa kecil sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Astaga, Sayang! Kenapa sepagi ini Bryan sudah mengganggu momen kebersamaan kita?” dengus Edgar pelan.“Karena dia tahu kalau hari ini kamu tidak masuk kantor, Sayang. Jadi dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk bermain denganmu,” jawab Bella sembari
Edgar menajamkan pandangannya, untuk memastikan jika pria pengemis yang dilihatnya itu memang benar-benar adalah Barta.“Iya, tidak salah lagi. Itu memang papa.” Ia mengangguk cepat.Setelah memastikan bahwa pria pengemis itu adalah Barta, maka Edgar pun lekas turun dari mobilnya. Ia berniat untuk menemui papanya itu. Dari kejauhan, Edgar sudah mengamati setiap detail penampilan papanya. Barta tampak mengenakan pakaian dan topi compang camping yang seolah menyembunyikan jati dirinya.Tak akan ada satu orang pun yang mengira jika pria itu adalah Barta Wijaya, sosok rentenir kaya raya yang terkenal kejam.Tak butuh waktu lama, kini akhirnya langkah Edgar pun tiba juga di hadapan Barta. Ia melihat pria itu terus saja membungkukkan kepalanya.Namun satu hal yang membuat Edgar merasa kebingungan, karena sejak tadi papanya itu tampak sembunyi-sembunyi memainkan sebuah ponsel mewah dari balik bajunya.“Papa,” panggil Edgar dengan keheranan.Suara panggilan dari Edgar itu pun sontak membuat
“Sudah apa, Bi?” desak Edgar merasa penasaran, karena ia merasa jika ART nya itu terlalu berbelit-belit untuk bicara padanya.“Begini, Den. Setahu bibi, Tuan Barta pernah mempunyai seorang nasabah yang tidak sanggup membayar hutangnya. Dia juga tidak punya apa-apa untuk bisa dijadikan sebagai jaminan atau penebus hutang. Jadi Tuan Barta mengirim para debt colector untuk menagih hutang nasabahnya itu. Tapi rupanya tak hanya sekedar menagih hutang saja, para debt colector itu bahkan sampai mencelakai nasabah itu dan membuatnya meninggal dunia,” terang wanita paruh baya itu dengan sedikit takut-takut.“Astaga!” Edgar membeliak, sebab rupanya pernyataan dari asisten rumah tangga di rumah papanya itu cukup membuatnya terkejut bukan main.Edgar meraup wajahnya kasar, merasa frustasi dengan apa yang sudah dilakukan oleh papanya. Pria itu bahkan tampak menghembuskan nafasnya yang terasa berat, seolah menyimpan sebuah beban besar di dadanya.“Bibi serius? Orang itu sampai meninggal dunia?” tan
Edgar merasa sangat terkejut saat melihat ada foto Brata yang terpampang di dalam sebuah artikel berita. Namun yang lebih membuatnya terkejut, yakni karena artikel itu memuat berita jika Barta masuk dalam DPO atau Daftar Pencarian Orang, alias buronan.“Ini benar papa kan? Lalu kenapa papa bisa jadi DPO?” Edgar bertanya pada dirinya sendiri, dengan kedua mata yang membelalak kaget.Pria itu terus menatap lekat ke arah foto pria yang terpampang di ponselnya tersebut. Ia ingin memastikan sekali lagi, bahwa pria di foto itu bukanlah Barta.Namun, mau sekeras apapun Edgar berusaha untuk meyakinkan dirinya, tetap saja tak bisa memungkiri bahwa pria di berita itu memanglah papanya.“Astaga! Ini memang benar-benar papa. Sebaiknya nanti aku cari dia dan tanyakan apa yang sebenarnya terjadi,” angguk Edgar pada dirinya sendiri.Jam sudah menunjuk ke angka setengah tujuh, membuat Edgar tak punya banyak waktu lagi untuk lebih berlama-lama berada di tempat perbelanjaan tersebut.Pria itu pun denga
“Aku sama sekali tidak tahu dimana Tuan Barta, Pa. Sejak semua permainan licikku terbongkar dan para polisi menangkapku, dia marah dan pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku tahu kalau dia pasti marah dan kecewa, apalagi setelah tahu bahwa anak kami bukanlah anak laki-laki seperti yang dia harapkan,” jawab Naomi dengan suaranya yang serak menahan isak tangis.“Tapi kenapa kamu sampai nekat melakukan itu, Naomi? Sedangkan kamu tahu sendiri, seperti apa Tuan Barta itu.” Mamanya Naomi ikut menimpali.Naomi kembali mengangkat wajahnya, menatap pada kedua orang tuanya itu secara bergantian. Gadis itu pun juga lekas menyeka air matanya dengan kasar.“Karena Tuan Barta berjanji untuk memberikan hartanya pada anakku, jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Ma. Kalau sampai aku melahirkan anak perempuan, maka dia pasti tidak akan mau memberikan hartanya pada kami.” Naomi masih saja menangis tanpa bisa ia bendung lagi.Kedua orang tuanya pun kini nampak saling berpandangan. Rasa iba mulai
“Bagaimana, Sayang? Apa kamu setuju?” tanya Edgar, membuat Bella segera tersadar atas pertanyaan suaminya barusan.“Tentu saja aku sangat setuju, Edgar. Lagipula aku juga sudah mulai menyayangi bayi ini, sama seperti aku menyayangi Bryan.” Bella mengangguk, setuju dengan apa yang disarankan oleh Edgar, jika mereka akan mengasuh bayi itu.“Syukurlah kalau kamu setuju. Sekarang kita harus memberi nama pada bayi ini.”“Kalau begitu, biar aku saja yang memberi nama pada bayi ini,” sahut Bella tiba-tiba.“Silahkan, Sayang.”Bella segera tersenyum manis, sembari menatap bayi mungil dalam gendongannya itu. Dibelainya pipi sang bayi yang masih merah itu, lalu dikecupnya kening bayi tersebut dengan sangat lembut.“Aku akan memberinya nama Nancy. Ya, Nancy Wijaya,” ucap Bella dengan wajah yang sangat bahagia.“Wah, nama yang sangat indah, Sayang. Mulai sekarang, kita punya sepasang bayi yang tampan dan cantik. Bryan dan Nancy.” Edgar pun turut merasa bahagia.“Iya, dan mereka adalah anak kita.
“Syukurlah karena sekarang kamu sudah kembali ke pelukan papa, sayang,” ucap Edgar sambil terus menciumi wajah baby Bryan berulang kali.Pria itu tak hentinya menitikkan air mata, tapi buru-buru menyekanya karena perasaan haru kini sudah mulai menguasainya. Edgar mengangkat wajah, menatap pada para polisi yang membawa Naomi ke mobil mereka. Lalu pandangannya kembali tertuju pada Baby Bryan yang kini nampak tertawa-tawa di pelukan Edgar.“Semuanya sudah berakhir, Sayang. Sekarang kita pulang dan temui mama kamu. Oke?”Edgar tersenyum dan menciumi wajah putranya sekali lagi. Dengan langkah tergesa, pria itu pun lekas menuju ke mobilnya yang terparkir di basement hotel tersebut.Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, kini ia pun lekas mengemudikan mobilnya menuju ke rumahnya, dimana saat ini Bella pasti sedang menunggu kedatangannya.***Di rumahnya, sejak tadi Bella terus saja mondar-mandir dengan perasaan panik. Ia terus berdecak cemas, memikirkan nasib Edgar yang kini entah berada dim