Ia tahu pikirinnya itu sangat picik, tetapi sebagai seorang wanita yang baru saja menemukan cinta ... ia ingin bisa hidup berdua dengan lelaki yang berhasil merebut hatinya, bahkan merebut malam pertamanya.
Ya, Bella akan mempertahankan Naomi di rumah itu agar Barta tidak menjadikannya pelampiasan napsu.Naomi kembali memeluk sahabatnya. "Kamu yakin kita bisa membuat lelaki itu menderita?""Aku yakin, nanti kita pikirkan cara untuk membalas dendam. Kita tidak boleh diam saja, kita harus melawannya agar tidak ada korban lagi. Dia harus mendapatkan hukuman dari kejahatannya.""Aku ingin membuatnya menderita hingga dia tidak bisa lagi menikmati hidup," desis Naomi."Bagus, dan kita harus mengambil keuntungan dari semua ini.""Maksudnya?" tanya Naomi tidak mengerti."Tuan Barta pasti akan memberimu uang setiap bulan, sama sepertiku dan uang itu bisa kamu kumpulkan dan kamu berikan pada kakakmu untuk membuka usaha. SetelaKemurkaan Barta Wijaya bukan tanpa alasan, ia marah setelah mendengar pengakuan Edgar tentang apa yang anaknya itu lakukan dengan Bella di rumah sakit. "Wanita murahan sepertimu tidak pantas dimaafkan!" desis Barta. Seringai sinis terlihat jelas di wajah dingin sang rentenir kejam. "Ampun Tuan. Maafkan saya," ucap Bella. Walau ia tahu, berapa kali pun meminta maaf, Barta tidak akan mengampuninya. "Aku tidak akan memberimu kesempatan lagi. Kamu harus diberi pelajaran!" Barta semakin mendekatkan wajah Bella ke api kompor yang menyala. "Aaakkkhhh! Panas, Tuan! Panas!" teriak Bella menjerit kesakitan. "Hentikan!" pekik Naomi yang berdiri tegak menyaksikan Barta menyiksa sahabatnya. Barta tercengang melihat keberadaan Naomi di dapur rumahnya. "Kenapa kamu keluar? Apa wanita ini lupa mengunci pintu kamar itu kembali?" Barta melepas cengkramannya, mendorong tubuh Bella hingga wanita cantik itu tersungkur ke atas lantai. "Bella!" teriak Naomi berlari mendekati Bella yang tergeletak ta
Bella tersadar dari pingsannya. Ia menyapu pandang ke seluruh tempatnya saat ini. Beranjak bangun saat ia menyadari kalau ia tengah berada di tempat yang entah di mana. "Di mana ini? Kenapa aku ada di sini?" Bella memegang kepalanya yang terasa sakit, meremas rambut karena frustasi. Ia mencoba untuk berdiri, tetapi tubuhnya terasa lemas seperti tidak memiliki tenaga. "Aku ada di mana? Kenapa aku ada di sini?" isak Bella, mencoba untuk mengingat kejadian sebelum ia pingsan. Ingatan itu terlintas, tetapi samar samar. "Tadi aku pingsan di dapur, lalu kenapa sekarang aku ada di sini?" Bella kembali mencoba untuk berdiri lalu mendekati pintu yang terbuat dari baja tebal. Ada lubang kecil di pintu tersebut, ia ingin mengintip keluar. Sret! Bella tertegun saat merasakan ada sesuatu di kakinya. Kedua mata membulat sempurna saat melihat kedua kaki dirantai. "Siapa yang melakukan ini? Kenapa aku dirantai
Naomi mulai menyukai kehidupannya sebagai wanita kesayangan Barta. Dimanjakan dan diberikan uang setiap hari. Jauh berbeda dengan kehidupannya dulu, serba susah, bahkan untuk makan saja dia harus menunggu kakaknya pulang bekerja. Setelah Martinus bangkrut hidup mereka memang berubah seratus delapan puluh derajat, menjadi miskin dan selalu dihina. Namun kini, dia merasa seperti Ratu setiap harinya. "Uang jajanmu sudah aku transfer," kata Barta setelah selesai melampiaskan hasratnya pada wanita cantik itu di dalam kamar tamu. Naomi melihat uang yang masuk. "Terima kasih, Tuan," ucapnya sambil tersenyum lebar. Ia menatap lelaki itu lekat. "Tuan mau ke mana pagi pagi begini?" "Aku ingin menjemput Edgar di rumah sakit. Hari ini dia keluar dari sana," jawab Barta. Naomi mengangguk. "Tuan, boleh saya bertanya sesuatu padamu?""Tanya apa?" Barta mendekati Naomi lalu duduk di tepi ranjang. "Katakan, apa yang ingin kamu tanyakan?"Naomi menatap lirih. "Tapi saya takut Tuan marah." Ia me
Setelah mendengar dokter menghubunginya, memberitahu tentang keadaan Edgar yang mulai membaik. Barta langsung datang untuk menjemput anaknya tersebut.Sampai di rumah sakit, Barta melihat anaknya sudah bersiap untuk pulang ke rumah. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Barta tersenyum ramah. Ia mulai menunjukan perhatiannya pada Edgar agar Edgar melupakan kejahatannya selama ini. "Seperti yang Papa lihat, aku sudah jauh lebih baik." Edgar melebarkan kedua tangan, memperlihatkan kondisi tubuhnya pada sang ayah. Barta tersenyum, merangkul bahu kekar anaknya. "Kita pulang. Udara di rumah sakit ini tidak bagus untuk kesehatan paru paru. Papa tidak ingin kamu mengalami komplikasi penyakit lain."Edgar mengangguk pelan. Meskipun ingatannya belum kembali, tetapi dia tidak lagi mempertanyakan ini dan itu. Keduanya keluar dari kamar inap menuju parkiran. Di sepanjang jalan menuju parkiran, Edgar hanya diam sambil memperhatikan sekitar. Ia melirik ayahnya yang berjalan di samping lalu bertanya, "A
Waktu begitu cepat berlalu. Tanpa terasa Naomi sudah berada di rumah Barta dan menjadi wanita simpanan sang rentenir selama satu bulan.Di dalam kamar sunyi. Kedua pasangan tanpa status itu sedang tertidur nyenyak di atas ranjang empuk. Naomi mengerjapkan saat merasakan ingin buang air kecil. Ia membuka selimut perlahan, takut membangunkan Macam tidur yang selalu menerkam tubuhnya seperti hewan kelaparan.Tubuhnya terasa remuk, karena melayani Barta setiap malam hingga beberapa kali. Ia mengambil langkah perlahan masuk ke dalam kamar mandi. Deg! Pandang matanya tertuju pada layar ponsel yang menyala. Alarm berbunyi, tanda bahwa dia sudah telat datang bulan. Naomi menghela napas panjang. "Apa mungkin aku hamil?" gumamnya pelan. Ia mengambil handuk kimono yang menggantung di pintu kamar mandi, memakainya lalu keluar. "Sayang, kamu sedang apa?" tanya Barta yang terbangun dari tidur. Ia menatap Naomi dari ujung kepala sampai kaki. "Aku ingin melihat tubuh indahmu. Jangan pakai bend
Naomi semakin menggila. Ia tidak rela Barta jatuh ke dalam pelukan Bella lagi.Di dalam kamar .... "Ugh!" Suara desahan dan lenguhan hampir setiap malam terdengar. Kini, peraduan peluh antara Barta dan Naomi tidak lagi dilakukan di dalam kamar tamu, melainkan di kamar utama. Kamar yang seharusnya menjadi kamar istimewa bagi Barta dan Bella, tetapi kini tempat Bella digeser oleh sahabatnya sendiri. Bukan hanya kamar yang berhasil dimiliki Naomi, tetapi hati Barta juga. Ya, kali ini Barta menyadari kalau dia sedang terkena puber kedua, dimana dia mulai merasakan jatuh cinta lagi untuk kedua kalinya. Cintanya itu jatuh kepada Naomi, satu satunya wanita perawan yang pernah ia tiduri. "Sayang, setelah selesai aku ingin pergi ke suatu tempat. Kamu ingin memesan apa? Makanan berat atau cemilan?" tanya Barta yang tengah memompa tubuh sintal wanita di bawah kungkungannya.Tangan nakal sang rentenir tak henti memainkan bulatan coklat paling menggoda yang bisa membuatnya makin bergairah.
"Kamu telat datang bulan?" tanya Naomi. Hatinya mulai merasa tak tenang. "Kapan terakhir kali kamu datang bulan? Apa kamu mengingatnya?" Bella terdiam, memikirkan kapan terakhir dia datang bulan dan kapan pertama kali dia melakukan hubungan badan dengan Edgar. Tak lama, Bella menjawab pertanyaan Naomi, "Iya, sepertinya aku telat datang bulan," angguknya pelan. "Tapi aku tidak tahu apa aku, hamil? Atau aku hanya stress karena harus tinggal di dalam penjara ini." Naomi mengepalkan tinjuan ke samping. Menghela napas sesak, mencoba untuk bersikap biasa saja walau rasa takut dicampakkan oleh Barta menyelimuti hati. "Aku pergi dulu. Aku takut Tuan sudah pulang," kata Naomi. "Kalau kamu ingin memastikan, nanti aku bawa testpack ke sini.""Emm, Naomi, tolong rayu Tuan agar dia mau membebaskanku. Ya." Naomi mengangguk pelan. "Tempat ini tidak enak, aku selalu ketakutan setiap malam karena aku sering mendengar suara aneh dari lorong itu," kata Bella. Naomi hanya diam. Bella menghela na
Naomi tersenyum lebar saat melihat hasil testpack itu menunjukkan kalau dia tengah berbadan dua. "Tuan pasti bahagia saat melihat hasilnya," gumam Naomi lalu keluar dari kamar mandi. Ia melihat sang rentenir sedang memainkan ponsel sambil duduk bersandar di atas tempat tidur. "Tuan," panggilnya sambil tersenyum lebar. Barta menatap Naomi dari ujung kepala sampai kaki. "Sudah? Bagaimana hasilnya?" tanya Barta. Meskipun melihat dari senyuman Naomi dia sudah tahu hasil dari pemeriksaan kandungan itu. Naomi mendekati Barta lalu naik ke atas tempat tidur, masih enggan memberitahu secara langsung. Ia memberikan testpack itu pada sang rentenir sambil tersenyum lebar. "Positif? Iya kan?" tebak Barta. "Coba lihat dulu," kata Naomi. Barta melihat garis dua di testpack tersebut. Senyuman lebar terlukis di wajah dinginnya. "Hamil? Kamu mengandung anakku?" Naomi mengangguk. Barta menarik lengan wanita di depannya, memeluk erat. "Kamu mau apa dariku? Hem? Katakan. Aku akan mengabulkannya
Satu tahun kemudian, memasuki usia Bryan dan Nancy yang ke 6. Tepat hari itu pula, sebuah acara besar-besaran digelar dengan sangat meriah.Hari ini adalah hari dimana Naomi akan melangsungkan pernikahan dengan Galih. Setelah sebelumnya Edgar dan Bella berusaha untuk menjodohkan mereka, akhirnya keduanya kembali dekat dan saling mengungkapkan perasaan.Hingga akhirnya setelah satu tahun menjalin hubungan, kini Naomi dan Galih pun memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan.“Sayang, aku sangat bahagia karena akhirnya Naomi dan Galih benar-benar akan menikah,” kata Bella pada Edgar, sesaat setelah mereka tiba di aula pernikahan tersebut.“Aku juga sangat bahagia, Sayang. Tidak sia-sia kita membuat kedekatan di antara mereka lagi.” Edgar mengangguk setuju.Bella hanya terkekeh mendengar perkataan sang suami. Kini mereka melanjutkan langkah mereka, menjadi saksi pernikahan antara Naomi dan Galih.Tepat di atas pelaminan, keduanya tampak bersanding dengan senyum yan
“Rencana kita pagi ini mau kemana?” tanya Edgar pada anak-anak dan istrinya.Mereka telah menyelesaikan acara sarapannya dan kini tengah bersiap untuk berangkat menuju tempat liburan.“Bagaimana kalau ke water park atau ke pantai saja, Pa?” Nancy menawarkan.“Hmm, sepertinya bagus juga. Ya sudah, kalau begitu kita pergi ke water park dulu, setelah itu baru kita pergi ke pantai.” Edgar mengangguk setuju.“Yeeii.” Bryan dan Nancy bersorak kegirangan.Kedua anak kecil itu dengan antusias segera masuk ke dalam mobil, hendak disusul oleh Bella dan Edgar. Namun sebelum mereka masuk mobil, tiba-tiba saja datang sebuah taksi yang berhenti tepat di depan rumah mereka.Tak lama setelah itu, terlihat seorang wanita yang melangkah masuk ke halaman dan berhenti di hadapan Bella.“Bella,” ucapnya menyapa wanita itu.Mendengar suara itu, sontak membuat Bella terkejut dan segera mengangkat wajahnya. Seketika ia tercengang, saat melihat sosok Naomi sedang berdiri di hadapannya.“Naomi!” pekik Bella kag
“Papa, ayo kita main!” Suara seorang anak laki-laki memecahkan kesunyian di pagi hari yang cerah.Bersamaan dengan itu, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras dari arah luar kamar.Tak terasa lima tahun kemudian berlalu dengan sangat cepat. Kehidupan Edgar dan Bella semakin bahagia sekarang. Mereka tinggal di rumah utama milik Barta, bersama dengan kedua anaknya dan ditemani oleh kedua asisten rumah tangga yang setia, Bi Marni dan Bi Imah yang merupakan mantan asisten rumah tangga Barta dulu.Tok! Tok! Tok!“Papa, bangun!”Edgar membuka selimutnya dengan cepat. Pria itu tampak menghembuskan nafasnya kasar. Ia memutar bola matanya malas, seraya melirik pada Bella yang sedang tertawa kecil sambil menyandarkan kepala di dadanya.“Astaga, Sayang! Kenapa sepagi ini Bryan sudah mengganggu momen kebersamaan kita?” dengus Edgar pelan.“Karena dia tahu kalau hari ini kamu tidak masuk kantor, Sayang. Jadi dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk bermain denganmu,” jawab Bella sembari
Edgar menajamkan pandangannya, untuk memastikan jika pria pengemis yang dilihatnya itu memang benar-benar adalah Barta.“Iya, tidak salah lagi. Itu memang papa.” Ia mengangguk cepat.Setelah memastikan bahwa pria pengemis itu adalah Barta, maka Edgar pun lekas turun dari mobilnya. Ia berniat untuk menemui papanya itu. Dari kejauhan, Edgar sudah mengamati setiap detail penampilan papanya. Barta tampak mengenakan pakaian dan topi compang camping yang seolah menyembunyikan jati dirinya.Tak akan ada satu orang pun yang mengira jika pria itu adalah Barta Wijaya, sosok rentenir kaya raya yang terkenal kejam.Tak butuh waktu lama, kini akhirnya langkah Edgar pun tiba juga di hadapan Barta. Ia melihat pria itu terus saja membungkukkan kepalanya.Namun satu hal yang membuat Edgar merasa kebingungan, karena sejak tadi papanya itu tampak sembunyi-sembunyi memainkan sebuah ponsel mewah dari balik bajunya.“Papa,” panggil Edgar dengan keheranan.Suara panggilan dari Edgar itu pun sontak membuat
“Sudah apa, Bi?” desak Edgar merasa penasaran, karena ia merasa jika ART nya itu terlalu berbelit-belit untuk bicara padanya.“Begini, Den. Setahu bibi, Tuan Barta pernah mempunyai seorang nasabah yang tidak sanggup membayar hutangnya. Dia juga tidak punya apa-apa untuk bisa dijadikan sebagai jaminan atau penebus hutang. Jadi Tuan Barta mengirim para debt colector untuk menagih hutang nasabahnya itu. Tapi rupanya tak hanya sekedar menagih hutang saja, para debt colector itu bahkan sampai mencelakai nasabah itu dan membuatnya meninggal dunia,” terang wanita paruh baya itu dengan sedikit takut-takut.“Astaga!” Edgar membeliak, sebab rupanya pernyataan dari asisten rumah tangga di rumah papanya itu cukup membuatnya terkejut bukan main.Edgar meraup wajahnya kasar, merasa frustasi dengan apa yang sudah dilakukan oleh papanya. Pria itu bahkan tampak menghembuskan nafasnya yang terasa berat, seolah menyimpan sebuah beban besar di dadanya.“Bibi serius? Orang itu sampai meninggal dunia?” tan
Edgar merasa sangat terkejut saat melihat ada foto Brata yang terpampang di dalam sebuah artikel berita. Namun yang lebih membuatnya terkejut, yakni karena artikel itu memuat berita jika Barta masuk dalam DPO atau Daftar Pencarian Orang, alias buronan.“Ini benar papa kan? Lalu kenapa papa bisa jadi DPO?” Edgar bertanya pada dirinya sendiri, dengan kedua mata yang membelalak kaget.Pria itu terus menatap lekat ke arah foto pria yang terpampang di ponselnya tersebut. Ia ingin memastikan sekali lagi, bahwa pria di foto itu bukanlah Barta.Namun, mau sekeras apapun Edgar berusaha untuk meyakinkan dirinya, tetap saja tak bisa memungkiri bahwa pria di berita itu memanglah papanya.“Astaga! Ini memang benar-benar papa. Sebaiknya nanti aku cari dia dan tanyakan apa yang sebenarnya terjadi,” angguk Edgar pada dirinya sendiri.Jam sudah menunjuk ke angka setengah tujuh, membuat Edgar tak punya banyak waktu lagi untuk lebih berlama-lama berada di tempat perbelanjaan tersebut.Pria itu pun denga
“Aku sama sekali tidak tahu dimana Tuan Barta, Pa. Sejak semua permainan licikku terbongkar dan para polisi menangkapku, dia marah dan pergi begitu saja meninggalkan aku. Aku tahu kalau dia pasti marah dan kecewa, apalagi setelah tahu bahwa anak kami bukanlah anak laki-laki seperti yang dia harapkan,” jawab Naomi dengan suaranya yang serak menahan isak tangis.“Tapi kenapa kamu sampai nekat melakukan itu, Naomi? Sedangkan kamu tahu sendiri, seperti apa Tuan Barta itu.” Mamanya Naomi ikut menimpali.Naomi kembali mengangkat wajahnya, menatap pada kedua orang tuanya itu secara bergantian. Gadis itu pun juga lekas menyeka air matanya dengan kasar.“Karena Tuan Barta berjanji untuk memberikan hartanya pada anakku, jika aku berhasil melahirkan anak laki-laki, Ma. Kalau sampai aku melahirkan anak perempuan, maka dia pasti tidak akan mau memberikan hartanya pada kami.” Naomi masih saja menangis tanpa bisa ia bendung lagi.Kedua orang tuanya pun kini nampak saling berpandangan. Rasa iba mulai
“Bagaimana, Sayang? Apa kamu setuju?” tanya Edgar, membuat Bella segera tersadar atas pertanyaan suaminya barusan.“Tentu saja aku sangat setuju, Edgar. Lagipula aku juga sudah mulai menyayangi bayi ini, sama seperti aku menyayangi Bryan.” Bella mengangguk, setuju dengan apa yang disarankan oleh Edgar, jika mereka akan mengasuh bayi itu.“Syukurlah kalau kamu setuju. Sekarang kita harus memberi nama pada bayi ini.”“Kalau begitu, biar aku saja yang memberi nama pada bayi ini,” sahut Bella tiba-tiba.“Silahkan, Sayang.”Bella segera tersenyum manis, sembari menatap bayi mungil dalam gendongannya itu. Dibelainya pipi sang bayi yang masih merah itu, lalu dikecupnya kening bayi tersebut dengan sangat lembut.“Aku akan memberinya nama Nancy. Ya, Nancy Wijaya,” ucap Bella dengan wajah yang sangat bahagia.“Wah, nama yang sangat indah, Sayang. Mulai sekarang, kita punya sepasang bayi yang tampan dan cantik. Bryan dan Nancy.” Edgar pun turut merasa bahagia.“Iya, dan mereka adalah anak kita.
“Syukurlah karena sekarang kamu sudah kembali ke pelukan papa, sayang,” ucap Edgar sambil terus menciumi wajah baby Bryan berulang kali.Pria itu tak hentinya menitikkan air mata, tapi buru-buru menyekanya karena perasaan haru kini sudah mulai menguasainya. Edgar mengangkat wajah, menatap pada para polisi yang membawa Naomi ke mobil mereka. Lalu pandangannya kembali tertuju pada Baby Bryan yang kini nampak tertawa-tawa di pelukan Edgar.“Semuanya sudah berakhir, Sayang. Sekarang kita pulang dan temui mama kamu. Oke?”Edgar tersenyum dan menciumi wajah putranya sekali lagi. Dengan langkah tergesa, pria itu pun lekas menuju ke mobilnya yang terparkir di basement hotel tersebut.Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, kini ia pun lekas mengemudikan mobilnya menuju ke rumahnya, dimana saat ini Bella pasti sedang menunggu kedatangannya.***Di rumahnya, sejak tadi Bella terus saja mondar-mandir dengan perasaan panik. Ia terus berdecak cemas, memikirkan nasib Edgar yang kini entah berada dim