Bugh!Hantaman renyah membuat Harger meringis dengan mata terpejam. Dia baru saja ingin mengunci gerakan sang hakim, tetapi pria itu lebih dulu membanting tubuhnya ke atas matras. Sulur – sulur di hadapan Harger, langit terlihat begitu buram. Panas. Dia diliputi keringat deras. Mencoba mengerahkan tenaga yang telah terkuras. Rasanya otot kaki Harger bergetar ketika dia mengambil kuda – kuda. Setidaknya sedikit, Harger memahami cara perlawanan diri. Sekarang dia mungkin bisa menendang bagian dada sang hakim, atau lewat niat yang buruk melumpuhkan kaki dengan mematahkan tungkai. Itu terdengar seperti bisikan jahat. Harger ingin sekali menertawakan pemikirannya yang konyol. Satu kakinya berjuang menekan posisi sang hakim. Namun, itulah bagian yang menggelikan. Harger bahkan tidak ada apa – apanya dibanding sang hakim yang sedang berkeringat seksi.“Lakukan lebih keras, Pemula!”Kata – kata sang hakim sarat nada persuasif. Harger memutar mata malas. “Jangan panggil aku pemula!” protesnya
“Pelan – pelan, Deu.”Harger merasa geli mendapati rambut di rahang sang hakim bergesek di kulit lehernya. Gerakan pria itu tentatif menyesap titik yang berdenyut di sana. “Deu ....”Harger mendengar suaranya nyaris mendesah ketika kedua tangan sang hakim menggenggam lembut gumpalan dada yang menantang. Kain – kain di tubuh Harger telah dilucuti. Bra putih berenda miliknya telah teronggok di atas mamer dingin. Semua karena perbuatan sang hakim. Dan pria itu tidak akan berhenti. Mulai menjatuhkan mulut mengecup inci demi inci tubuh Harger.Rasanya menyenangkan. Harger menggeliat saat bibir sang hakim terbuka untuk melilitkan lidah di puncak dadanya. Sementara satu tangan pria itu memberi remasan ringan, dan yang lainnya menekan pergelangan Harger bertaut di puncak kepala. Kaki Harger bergerak gelisah. Sensasi ingin meledak nyaris tak bisa dia cegah saat menghadapi penghakiman Deu di atas ranjang. Sang hakim begitu tahu bagian – bagian paling sensitif di tubuhnya, membuat Harger bergo
“Deu, kau di mana? Paket perawatan-ku sudah sampai. Aku akan mengambilnya sebentar.”Harger berteriak lantang. Suaranya menggelegar memenuhi seisi rumah. Dia tidak melihat Deu sejak sesi latihan berakhir tiga jam sebelumnya. Perlu digarisbawahi bahwa waktu berjalan nyaris tidak terasa. Sudah tiga hari berlalu dan Harger baru saja mendapat notifikasi pesan.Kurir akan mengantar sampai di depan gerbang. Dia perlu menunggu, tetapi ingin memastikan keberadaan sang hakim sebentar.“Deu ....”Sekali lagi Harger bersuara. Samar – samar dia mendengar langkah kaki seseorang berusaha mendekat. Tiba – tiba pintu di samping kamar mereka terbuka. Wajah sang hakim melonggok keluar. Beberapa saat akhirnya pintu terbuka lebar. Harger bisa melihat jelas bagaimana pria itu bertelanjang dada dengan satu tangan memegang buku tebal. Rupanya sedang membaca. Mungkin buku mengenai hukum. Harger tak begitu tahu.“Kurir sudah sampai?” tanya sang hakim ringan. Secara tidak langsung Harger melirik ke layar ponse
Satu minggu berjalan. Harger tidak merasa menyesal telah membeli paket perawatan. Dia senang, wajahnya terasa lebih ringan, dan yang paling penting. Semua yang berjalan di benaknya berjalan baik – baik saja. Ntah Harger maupun sang hakim sama sekali tidak membahas 8000 pound yang hilang di tangan Rob. Sampai detik ini sang hakim tidak pernah tahu. Sesekali Harger mungkin akan merasa bersalah telah mengatakan banyak kebohongan. Tanpa sengaja sering kali Deu terlihat lelah. Bagian paling tidak Harger suka saat pria itu akan tidur sepanjang hari; efek samping obat yang dibawa dari Amerika. Dia bersyukur kalau – kalau kemarin sore merupakan pil terakhir. Bahkan sang hakim tidak mengeluh lagi tentang sakit di kepala.Harger tersenyum tipis. Sudah pagi. Si tukang tidur, masih saja tidur. Harger tidak akan membangunkannya. Dia hanya mengulurkan tangan dengan hati – hati saat ponsel di atas nakas bergetar. Daisy terduga menghubunginya. Wanita tua itu mungkin sedang merindukan sang hakim.
Lima menit pertama yang Harger miliki terkuras oleh kebutuhan mencari resep sarapan pagi khas orang Italia. Sebuah risiko yang harus dia hadapi nyaris setiap hari. Harger harus mencocokkan bahan mentah di dapur sebelum dia bisa memilih resep mana yang sekira-nya terdengar mudah dikerjakan. Ibu jarinya masih menggeser layar ponsel dengan tentatif. Hanya ada dua pilihan yang menurutnya akan sang hakim suka. Harger beranjak ke arah kulkas. Mencari – cari bahan mentah tersusun lengkap, salah satunya mendapati tuna segar dalam wadah bening. Dia semakin yakin akan coba membuat panini, roti lapis italia. Akan tetapi sebelum itu. Dia juga harus memastikan bahan utama, apakah masih tersisa stok roti di rak terbawah. Kabar baiknya Harger bisa langsung mengeksekusi semua bahan. Dia mengeluarkan satu demi satu dan membawa apa saja yang perlu diiris ke meja bar. Pisau sudah di tangan, dan seharusnya tidak meninggalkan kesempatan mengiris tomat terlebih dahulu. Pekerjaan Harger sudah separuh j
Tanpa banyak bicara tiba – tiba tangan sang hakim mengangkut tubuh Harger, dan membiarkan Harger duduk di meja bar, sementara pria itu memilih posisi nyaris sama seperti sebelumnya. Menjulang tinggi; mereka saling berhadap - hadapan.“Sekarang katakan apa yang kau sembunyikan dariku?”Kali pertama bicara setelah bersikap aneh. Harger mendengar suara sang hakim seperti menuntutnya, ntah untuk alasan seperti apa. Dia belum sepenuhnya mengerti.“Maksudmu?”Suara Harger tercekat. Dia berusaha meneliti wajah sang hakim, tetapi pria itu cenderung menyembunyikan dengan nyaris menunduk.“Aku mendapat laporan untuk transaksi besar kedua kalinya dalam bulan ini di rekening yang kuberikan padamu.”Pria itu mulai melanjutkan.“Yang pertama anggap kau sudah meminta izinku.”Sesaat sang hakim berhenti sejenak. Iris gelap itu akhirnya menatap ke dalam diri Harger. Secara tidak langsung memancingnya merasakan ketegangan yang begitu besar.“5000 pound, Harger. Kau melakukan transaksi internasional kur
Untuk bertemu Chires, Harger dan sang hakim perlu melakukan perjalanan ke Skotlandia. Chires tinggal di sebuah kota terpencil, bukan di Edinburgh, sehingga mereka harus mempertimbangkan beberapa hal lainnya. Harger mungkin ingin bertemu Charlene, Demini, dan anak – anak panti asuhan. Terutama dia sudah sangat merindukan Sofia. Sayang sekali ini menjadi perjalanan penting. Waktu mereka tidak begitu banyak. Rob bisa saja kembali meminta uang di saat - saat tak terduga. Lagipula masa cuti sang hakim akan segera berakhir. Itu akan terlalu menyibukkan bagi suaminya.“Jadi di sini temanmu tinggal?” tanya sang hakim masih dengan menggenggam erat jari – jari tangan Harger yang mendadak mungil jika saling bertaut.Harger mengangguk pelan. Menuntun suaminya berjalan lebih cepat setelah masuk ke sebuah perkarangan. Mereka tak langsung menuju pintu depan, tetapi menyingkir ke sisi samping di mana ruang gudang sedang terbuka.Di sana Chires mengerjakan pekerjaannya sebagai seorang seniman ukir. Pa
Langkah Harger tentatif menuju satu titik di mana sang hakim duduk di sana. Menatap sebuah padang dengan rumput tua menguning. Kedua kaki pria itu menekuk, sementara lengannya menyangga di atas lutut. Deu seperti sedang memikirkan sesuatu; sorot mata yang begitu lurus masih belum meninggalkan beberapa puncak tanaman liar yang tersapu embusan angin.“Apa yang kau lihat, Yang Mulia?” tanya Harger berbisik pelan. Dia tahu tetapi pura – pura untuk memulai percakapan.Sang hakim berpaling ke arahnya. Tersenyum tipis meski tidak langsung menanggapi dengan jawaban.“Batu itu sudah dikerjakan?”“Sudah.”Harger masih memandangi wajah sang hakim. Iris gelap itu menangkap matanya, begitu lekat. Sesekali akan menyipit samar untuk membuat Harger salah tingkah.“Jangan melihatku seperti itu.”Satu tangan Harger mendorong wajah suaminya. Pria itu terkekeh ringan, tidak berusaha menentang, tetapi tidak pula membiarkan jarak antara mereka tersulut. Posisi seperti ini; dengan tangan sang hakim menarik H