“Pelan – pelan, Harger, kau mengerti?”Kegiatan lainnya dilanjutkan sesuai kesepakatan di awal. Namun, Harger harus sering kali mendengkus saat sang hakim terduga begitu meragukan kemampuannya. Jelas – jelas separuh wajah itu telah dibaluri krim cukur. Hanya perlu melakukan gerakan ringan, yang karena kecurigaan sang hakim terlalu besar, sedikitnya membuat Harger mendadak ragu.Setengah jengkel Harger menangkap wajah sang hakin lurus – lurus menatap ke arahnya. Alat cukur sudah di tangan. Dia melihat ke dalam mata gelap sang hakim sebentar. Sekali lagi; dengan pasrah menjatuhkan wajah di garis bahu itu; persis tak mempedulikan bagaimana dia duduk westafel kamar mandi.“Jadi kau mau aku mencukurmu atau tidak?”“Mau.”Jawaban singkat menjabarkan bagaimana seharusnya Harger segera mengangkat wajah. Dia memilih tak mengatakan apa pun; dan mulai menolak bersitatap bersama pria yang ntah – ntah, mungkin sedang melihat ke arahnya. Harger harus mengambil jalan pintas. Kalau tidak, dia yakin t
Harger menatap sang hakim ragu ketika mereka telah melewati perjalanan dengan bis dan mobil sewa, lalu berhenti untuk berjalan kaki beberapa meter ke rumah Daisy. Rasanya Harger tak terlalu lama meninggalkan tempat ini, sekarang; kali kedua dia ada di sini atas satu tujuan. Sang hakim akan menitipkannya, sementara pria itu akan pergi demi sebuah urusan penting. Dan tanpa memberitahu kepada pasangan Thamlin, mereka sudah tiba; untuk waktunya mengetuk pintu rumah.Satu ketukan pertama diliputi suara gemerisik dari dalam. Langkah kaki terburu – buru secara tidak langsung menuntut Harger dan sang hakim saling melirik setelah mereka hanya fokus mengamati sesuatu di depan.Ketukan berikutnya, kemudian diliputi wajah Daisy yang melonggok keluar dari pintu. Wanita itu baru saja terkejut ketika sorot mata-nya terpaku kepada sang hakim, lalu ke arah Harger secara bergiliran.“Kalian ....”Wajah Daisy hilang sesaat, demikian pintu segera terbuka lebar. Betapa wanita itu disergap perasaan membunc
“Ya, Tuhan. Anak itu memang kadang – kadang terlalu nekat. Tapi aku senang akhirnya kalian menikah.”Setelah Harger bercerita runtut dari bagaimana Direktur Oscar memaksanya menikahi Matthew. Itu adalah saat – saat Daisy bersuara setengah takjub dan nyaris tak habis pikir. Tanpa sadar wanita itu membekap bibir sendiri seraya mengenyakkan bahu ke sandaran sofa. Sementara Harger hanya bisa mengamati Daisy dengan perasaan ambigu. Butuh waktu cukup lama membiarkan sudut – sudut paling hening akhirnya pecah. Tiba – tiba Daisy melanjutkan pertanyaan lain.“Jadi sekarang Deu berencana ke mana?”Harger meringis, sambil mencoba memikirkan jawaban yang tepat. Dia melirik ke arah kamar sebentar. “Ada urusan penting, Daisy. Aku tidak terlalu mengerti. Tapi Deu akan pulang dengan cepat. Apa kau tidak keberatan sementara aku di sini?” Harger merasa mengajukan pertanyaan menjadi prospek bagus. Masih menunggu Daisy memberinya jawaban.“Tentu saja. Kenapa aku harus keberatan? Kau bagian dari keluarga
Setelah makan malam selesai, di sini, di kamar dengan foto – foto Rubby ada di dinding. Harger masih mengamati apa yang sedang sang hakim lakukan. Pemeriksaan berulang. Pria itu seperti tak ingin satu pun dari keperluannya tertinggal. Begitu cekatan, merogoh beberapa kantong – kantong tambahan di bagian terkecil dalam tas. Gerakan pasti itu terhenti. Harger yakin Deu telah memeriksa dengan benar, sehingga tarikan pada resleting terlihat lebih siap dari apa pun. Lalu tubuh liat sang hakim segera dibalut oleh jaket kulit tebal.Harger menelan ludah kasar menunggu saat – saat ini akan tiba. Semuanya. Penampilan sang hakim terlihat utuh dan sempurna ketika pria itu bergerak; berniat untuk beranjak keluar kamar.“Jangan tidur terlalu malam, mengerti, Harger?”Harger menatap setiap langkah sang hakim. Konyolnya, dia masih terpaku lamat. Sesuatu bagai jeram yang menjerat. Menahan Harger sekadar mengangkat kaki. Dia tak berdaya selain mencoba meraih kewarasan. Mencoba membiarkan sang hakim b
Belum ada informasi serupa pesan singkat atau barangkali panggilan telepon yang akan memberi Harger petunjuk. Dia berulang kali menatap ke arah layar hitam di ponselnya. Menunggu saat – saat benda pipih itu akan menyala. Memberitahukan sebuah notifikasi berarti. Tetapi keadaannya masih sama. Masih tidak ada apa pun. Suram, disertai satu keinginan yang membuat Harger menyerah. Dia akhirnya berpikir bahwa seharusnya memang lebih baik menatap kembali ke arah Daisy.Memperhatikan wanita itu seperti keputusannya terdahulu.“Tadi bagaimana katamu, Daisy? Pegang benang seperti ini?” tanya Harger untuk memastikan kembali dia tak meninggalkan cara yang wanita itu jabarkan. Segera memulai ketika Daisy mengangguk samar. Ujung benang pendek ada di sisi kiri, kontras terhadap ujung benang lainnya yang terhubungan dengan gulungan panjang. Harger mencoba melingkarkan benang di telunjuk kiri. Menahan menggunakan jempol supaya posisi tidak berubah. Dia melakukan hal yang sama hingga benang membentuk
Harger mendengkus. Setengah enggan masuk ke dalam kamar; menutup pintu nyaris tanpa suara setelah larut malam. Sesaat dia menatap dengan alasan klasik ke arah ranjang. Ponsel menyala; bergetar; terlihat ganjil di antara yang lain. Dua jam lalu benda itu memang sengaja diletakkan di sana. Harger memutuskan untuk tak tahu apa pun; sudah menunggu tanpa kepastian, akhirnya mengambil keputusan supaya dia yang menghubungi sang hakim, tetapi saat – saat itu adalah waktu yang sulit ditemukan. Sambungan ke ponsel sang hakim tak bisa dilakukan. Harger menyerah dan memilih meletakkan benda pipih miliknya, yang baru diberikan pria itu sepekan lalu, sementara dia keluar kamar. Melanjutkan kegiatan merajut; makan malam; nonton di televisi di ruang tamu bersama Mr. Thamlin dan Daisy hingga sekarang—akhirnya mereka memutuskan kembali ke kamar masing – masing.Langkah Harger terburu saat tahu layar ponselnya kembali menghitam. Dia tak berharap, tetapi sedang menduga – duga.Tebakan yang benar. Dua p
Sejauh mana Harger berusaha terlelap, dia tetap mendapati matanya terbuka di tengah situasi remang. Menatap setengah kosong ke arah dinding tanpa berniat kembali memejam. Pengkhianatan besar dalam diri Harger memang mengambil peran terlalu jauh. Dia tak ingin terlalu khawatir. Namun, butuh sedikit amunisi untuk mengisi pemikirannya yang terlalu liar.Napas Harger berembus kasar ketika dia membiarkan lengannya menjadi bahan sanggahan. Sungguh tak menduga bahwa ponsel di atas nakas tiba – tiba akan menyala; bergetar; membuat responsnya terlalu cepat. Dia bangkit. Nyaris tak percaya bahwa Deu secara ajaib terduga sedang menunggu jawaban darinya.Harger tak akan menyia – nyiakan kesempatan seperti keputusan terdahulu. Segera menjawab, kemudian wajah datar dengan kernyitan dalam di kening itu muncul di depan layar. Sepertinya Harger mengerti apa yang membuat sang hakim terlihat ingin protes. Dia menyembunyikan wajah untuk membuat pria itu tak melihat apa pun.“Bukankah aku sudah bilang unt
Lamat sekali Deu mengamati layar ponsel menyala. Sudut bibirnya melekuk menelusuri wajah Harger yang terlihat tenang. Gadis itu sudah terlelap dalam, dan mungkin sudah waktunya melanjutkan kegiatan tertunda. Panggilan video dihentikan. Benda pipih segera terselip di saku celana. Deu mulai beranjak bangun dari ranjang. Membuka pintu kamar sekadar memastikan Alice atau siapa pun tak akan membuntutinya. Paling tidak, sekarang, sudut lorong terduga sangat sepi. Langkah Deu lantas meninggalkan kamar hotel. Berjalan sebegitu tenang melewati beberapa tikungan jalan. Sebuah gedung kosong telah begitu dekat. Setiap derap yang dia lakukan menggema di tengah remang – remang cahaya. Aroma debu berterbangan, tetapi Deu perlu mencapai demi puncak melakukan pertemuan di hari ini.Pak Sekretaris akan tiba dengan helikopter. Hanya butuh waktu tidak terlalu lama sampai bunyi mesin itu menyeruak di langit malam. Baling yang berputar menciptakan udara besar. Beberapa daun – daun kering, sampah tak bergun
Tidak. Harger tidak ingin mengambil risiko tersebut dengan mengabaikan kebutuhan sekarang. Langsung menerobos masuk hingga sebuah pemandangan tak terduga, sungguh, seolah ingin menyeretnya melangkah mundur. Dia menyaksikan sendiri sebentuk tubuh sang hakim sedang menduduki tubuh seseorang. Tangan pria itu membentuk kepala mantap, yang berulang kali dilayangkan ke wajah pria malang—terkapar—dengan keseluruhan dilimuri darah. “Deu.” Harger tidak mungkin membiarkan suaminya terlarut lama ke dalam angkara murka yang mengerikan. Berlari secepatnya hanya untuk menghentikan pria itu lewat tindakan membabi buka. Deu tidak bisa mengambil tindakan tersebut di saat – saat seperti ini, meskipun bukan hal mudah memisahkan pria yang sungguh telah meledakkan seluruh hal terpendam dalam emosi yang selama ini tertunda. “Sudah, Deu, hentikan.” Napas Harger tak kalah menggebu saat dia harus benar – benar menarik tubuh sang hakim. Untunglah setelah melewati pelbagai kesulitan, dia perlahan men
Harger mungkin menikmati masakan dari suaminya yang telah bersedia meluangkan waktu berkutat lama di dapur, tetapi dia tetap merasa ganjil ketika pria itu menolak ajakan makan bersama. Alih – alih setuju, justru Harger mendapati sang hakim berpamitan pergi—ntah akan ke mana. Dia mencoba menemukan petunjuk. Tanpa sepengetahuan sang hakim, Harger telah melakukan sesuatu tepat saat di mana pria itu beranjak ke kamar. Dia tidak bisa membiarkan rasa ingin tahu yang membludak, terus membara seperti benar – benar ingin membakarnya. Tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Itu benar. Secara naluriah tangan Harger meletakkan garpu untuk bersinggungan di atas piring. Bisa menikmati lasagna belakangan waktu. Sekarang dia harus melakukan satu hal pas. Merogoh ponsel di saku celana. Howard. Ya, saat – saat seperti ini Harger akan sangat membutuhkan kemampuan Howard. [Ada apa menghubungiku, Lil’H?] Suara pria itu mencu
“Apa yang kau lihat, Deu?” Mereka sedang berbelanja, tetapi baru saja sang hakim membuatnya seperti bicara kepada patung. Harger tidak mengerti apa terjadi dan mengapa dia harus mendapati Deu terlihat berbeda dari mula – mula mereka memasuki pusat pembelanjaan. Ditambah kenyataan harus menatap cengkeraman tangan yang mengetat di troli bayi, itu makin meninggalkan perasaan ganjil tak tertahan. Nyaris lima bulan setelah masa – masa indah menjadi orang tua, Harger tidak pernah menyaksikan sang hakim menunjukkan sikap tak terbantahkan. Mata gelap itu mendelik tajam. Seperti sembunyi – sembunyi menyimpan sesuatu. Namun, dia sama sekali tak sanggup menggapai satu pun terhadap apa yang sedang suaminya pikirkan. Hanya sekelebat menatap ke mana arah pandang pria itu. Pun ... Harger tidak menemukan sesuatu secara spesifik, selain bahu seseorang yang telah meninggalkan tempat di mana beberapa orang berjalan keluar masuk. Tak tahan. Dia memutuskan untuk menyentuh lengan sang hakim. Pria itu
Harger meletakkan bayi kecil yang baru saja dimandikan ke keranjang. Di rumah sedang kedatangan banyak tamu. Pak Sekretaris bersama seluruh keluarga. Ada Daisy dan Mr. Thamlin. Benar – benar ramai mengagumkan. Harger tidak tahu harus berkata seperti apa bahwa dia sungguh diterima dengan sangat baik. Ada ibu mertua, saudari ipar, dan hal – hal yang sering sekali mereka perhatikan. Rasanya dia nyaris tidak diperbolehkan melakukan apa pun, bahkan meski hanya mengerjakan sesuatu di dapur, yang lagipula sang hakim akan mengajukan diri—menyelesaikan semua, kemudian mereka akan berbincang – bincang, hampir seperti berbisik agar bayi tidak terbangun. Satu hal yang tidak Harger lupakan. Charlene dan Deminti juga sudah mendatanginya, mereka tiba di Italia tanpa sepengetahuan Harger, kecuali sang hakim. Ajaibnya pria itu setuju untuk merahasiakan kenyataan tersebut sesuai permintaan Charlene, bahkan menyiapkan kejutan untuknya. Harger bahagia bahwa semua orang yang dia kenal sangat dekat,
Hari ini .... Tiba pada momen yang menegangkan. Harger tidak tahu bagaimana dia akan menghadapi proses melahirkan yang sudah berada di depan mata. Dimintai untuk berjalan – jalan lebih sering dan melakukan apa pun supaya menghadapi persalinan dengan mudah. Tetapi Harger merasa beruntung memiliki suami seperti sang hakim. Pria itu dengan sabar menemani dia berjalan ke mana pun di taman rumah sakit. Mengerjakan apa saja yang Harger sudah tak bisa lakukan setelah menghadapi perutnya yang membesar. Seperti sekarang terjadi. Harger menahan napas ketika tanpa sengaja menjatuhkan sapu tangan, kemudian sang hakim segera membungkuk, meraih benda tersebut dan menyerahkannya kembali. “Terima kasih, Yang Mulia. Aku mencintaimu.” Saat – saat seperti ini memang dibutuhkan keromantisan. Harger berpengangan erat di lengan suaminya. Mereka berjalan sangat pelan menyusuri jalan yang dibeton, tetapi Harger sedang bertelanjang kaki. Pada beberapa momen tertentu sang hakim
Senyum Harger lagi – lagi melebar saat mengamati sesuatu yang terasa indah.Garis dua ....Tadi pagi hampir tanpa sadar dia melompat girang. Melakukan tes, lalu mendapati bahwa dirinya positif hamil, itu merupakan momen tak terlupakan setelah harus menghadapi pelbagai desakan tidak nyaman belakangan ini. Keinginan untuk muntah, golakan mual, dan semua yang menghantam Harger sebagai satu kesatuan paling mengerikan—sebuah alasan serius mengapa kebutuhan – kebutuhan tersebut akhirnya meninggalkan perasaan curiga. Dia telah mengambil keputusan yang tepat dengan mengetahui kebenaran terlalu dini.Langkah Harger tentatif mendekat ke lemari pakaian. Ada sesuatu yang perlu dia lakukan sebelum memberitahu informasi ini kepada suaminya. Ya, meletakkan benda pipih di tanganya ke dalam kotak persegi panjang, lalu pelan – pelan membongkar lipatan kain di dalam rak demi mengambil sesuatu di sana. Pakaian rajut bayi buatan tangan Daisy, yang masih tersimpan utuh di sana, untuk kemudian
“Jika kau tidak pernah siap, kita tidak akan turun, Harger.”Harger mengerjap setelah beberapa saat jatuh ke dalam pemikiran usang di benaknya. Semua sudah saling memaafkan. Sesuatu yang mengikuti di belakang bahunya kan selalu mengingatkan bahwa Laea sudah tenang di mana pun wanita itu berada. Tidak ada yang akan Harger katakan. Dia menatap sang hakim dengan sudut bibir melekuk tipis. Mereka memang memutuskan untuk berziarah ke makam Laea. Banyak yang ingin Harger curahkan, meski dia mungkin tak mengeluarkan suara ke permukaan sementara sang hakim ada di sampingnya. Hanya menatap setengah kosong pada undakan tanah yang indah—terawat begitu baik, dengan rumput – rumput terpotong begitu rapi merata.Ujung tangan Harger terulur meletakkan buket mawar, kemudian menyentuh nisan atas nama saudari perempuannya. Sedikit rasa sesak seperti berusaha menumbuk jantung Harger. Berulang kali dia berusaha menarik napas pelan, dan mengembuskan ke udara, tetapi kadang – kadang matanya
“Apa yang kau pikirkan, Deu?” Harger bertanya sarat nada lambat. Hati – hati dia menyentuh punggung tangan sang hakim. Perlahan menautkan jari – jari tangan mereka, lalu meremasnya lembut. “Kau kepikiran soal adikmu? Apa yang benar – benar sudah kalian bicarakan? Aku hanya dengar beberapa, tapi yakin kau tidak akan seperti ini jika bukan karena sesuatu. Sekarang ceritakan padaku?'" Tadinya, Harger memang tak berniat mencampuri lebih banyak. Merasa tidak berhak. Namun, jika pada akhirnya Deu akan terus – terusan terpengaruh, dia tidak akan bisa menahan diri. Tidak tahu kapan sang hakim akan selesai dengan perselisihan batin yang terlihat luar biasa mencolok. Harger akan menunggu. Semenit, dua menit, hingga waktu yang berjalan seperkian saat. Cukup lama ... lalu embusan napas sang hakim terdengar kasar. “Astoria menolak perintahku untuk meninggalkan bajingan itu.” “Dengan mengakui bahwa Orion tidak pernah tahu dia hamil, aku rasa bukan
“Aku bingung bagaimana alat peledak bisa berada di kepala Orion. Memangnya seberapa kecil ukuran alat peledak itu?”Harger bicara sayup – sayup di dapur sambil memegangi senter untuk menerangi pemandangan di sekitar suaminya. Sang hakim sibuk menyiapkan lasagna menjadi potongan sama rata setelah tadi ... menyalakan kembali ke api oven, dan mereka menunggu beberapa saat.Wajah tampan itu benar – benar begitu serius. Harger mengembuskan napas cukup kasar ... ntah kapan sang hakim akan menjawab pertanyaannya.“Deu.”Harger tidak akan tahan ketika sang hakim hanya diam. Masing – masing potongan lasagna diletakkan di atas piring, yang kemudian disusun di atas nampan—akan siap dibawa ke ruang tamu. Tetapi sebelum itu, iris gelap sang hakim mendadak fokus menatap lurus ke depan, seolah sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin telah berniat memberi Harger tanggapan.“Ukurannya sebesar kapsul obat, yang dimasukkan melalui rongga hidung dengan cara ditembak.”Seharusnya