Setelah pulang. Mengganti pakaian dengan kain lebih bebas, terbuka; tanpa lengan, dan celana pendek separuh paha. Akhirnya Harger melangkahkan kaki tanpa suara untuk mengetahui sudah sejauh mana pekerjaan sang hakim. Harger berhenti di depan pintu. Terpaku sekaligus terpesona dengan tubuh liat suaminya. Sang hakim bertelanjang dada sedang serius mengecat langit – langit kamar yang sudah diamplas terdahulu. Pria itu memilih abu muda di bagian atas, sementara nanti, dinding – dinding kamar akan diberlakukan warna abu tua. Dua paduan warna bertingkat yang terkesan misterius.“Butuh bantuan, Yang Mulia?”Mula – mula sang hakim tidak menanggapi. Harger masih menunggu. Sabar sekali berdiri jauh di bawah Deu mengingat pria itu menjulang tinggi di atas meja.Harger mengembuskan napas pelan. Ketika wajah sang hakim menunduk. Keterdiaman lama membuat keningnya mengernyit. Sesuatu yang salah. Tidak benar. Persis dengan kebutuhan yang tumpul melawan satu golakan serius.Harger mulai menyadari ha
Suara air memercik deras. Sudah berulang kali ujung jemari Harger, terbungkus dengan kain lembut, menggosok bagian wajah yang tercoreng. Harusnya dia tak lupa kalau sang hakim bukan tipikal pria yang akan meledak – ledak, tetapi lebih sering membalas dengan tindakan nyata.Ntah cat seperti apa yang Deu gunakan. Kesalahan pasti membuat Harger menyayangkan kebutuhan untuk menghilang bekas noda di wajah nyaris mendekati sulit. Dia sudah memerah. Namun, warna keabuan itu masih, setidaknya meninggalkan bekas samar – samar yang tak akan segera hilang dengan usaha keras sekalipun.Harger mengembuskan napas kasar memikirkan dia telah menyerah. Iris cokelat kekuningan itu mematut diri di depan cermin. Tidak terlalu buruk jika harus mengingat cat yang melebur di tubuh sang hakim. Barangkali pria itu bisa coba – coba menjadi manusia berwarna dengan menyelam ke dalam limpasan cat. Harger mendengkus. Seandainya itu bisa dia lakukan. Tetapi dia tahu tidak akan ada kemenangan untuk itu.Satu lengan
Akhirnya kebutuhan merenovasi kamar selesai. Sementara Deu pergi membereskan perangkat mengecat yang mereka gunakan. Harger lebih memilih mengamati setiap detil bagian – bagian dari keputusan untuk berbagi ide antara dia dan sang hakim yang kemudian, sekarang, memberi kesan memuaskan di satu kamar ini. Harger akui, beberapa hal memiliki nilai kontras. Beberapa lainnya nyaris begitu sepakat menunjukkan keindahan mereka. Dia sedang memeluk boneka pemberian sang hakim; keroppi yang empuk ketika didekap erat – erat. Lalu segera melangkahkan kaki ke arah ranjang, meletakkan satu boneka itu di tengah – tengah, terapit oleh dua bantal.Rasanya cukup melelahkan. Harger menjatuhkan tubuh sesaat dengan kedua kaki menjuntai di atas lantai. Warna abu gelap di langit – langit kamar menciptakan sesuatu di benaknya. Dia menatap lamat, tetapi tidak memikirkan sesuatu yang terlalu buruk. Pemikiran Harger hanya terompak kalau – kalau ini terlalu misterius. Mungkin memang itu yang disuka
“Ada yang ingin kau katakan?”Harger menghentikan kegiatan menggosok sesaat. Air di bath-up telah terisi seperempat penuh. Sang hakim duduk, menuruti setiap kata – kata-nya. Busa – busa sabun perlahan merambat turun. Harger tahu sikap yang mendadak diam; salah satu bagian yang membuat sang hakim bertanya.“Sebenarnya aku sedang memikirkan sesuatu.”Akhirnya Harger memutuskan untuk bicara. Dia tidak peduli akan basah. Segera mengambil tindakan masuk ke dalam bak yang sama dengan masih berpakaian utuh. Kaki Harger terlipat, bersimpuh menyesuaikan porsi tubuh mereka. Dia memeluk leher sang hakim dari belakang, membiarkan wajahnya menembus di garis bahu pria itu. Ini akan disebut percapaian bagus apabila Harger bisa membujuk sang hakim tanpa mengatakan kebenaran kepada suaminya.Napas pria itu begitu tenang.“Aku ingin ....” Sementara Harger dapat merasakan debaran di dada berdebur begitu keras.“Apa?” Suara berat sang hakim sarat rasa ingin tahu. Harger menipiskan bibir, berusaha mengat
Pengiriman selesai. Harger menatap ponselnya lamat. Sebagai ganti, dia harus memesan produk perawatan wajah untuk menghindari kecurigaan sang hakim yang pekat. Harger menduga kalau – kalau pria itu akan bertanya nanti. Dia hanya mencoba membuat semua terlihat baik – baik saja. Kirimannya akan segera sampai setelah beberapa hari ke depan. Harger akan menunggu di depan, di gerbang pembatas hutan. Semalam dia sudah bertanya apakah sang hakim akan keberatan, tetapi pria itu telah memberi Harger sebuah jawaban pasti.Sekarang adalah waktu untuk mencari keberadaan Deu. Paling mungkin adalah halaman belakang. Bunyi tembakan menggelegar sudah memberitahu. Langkah Harger tentatif melewati beberapa ruangan. Masuk ke dapur dan menembus ke taman.Bahu sang hakim terlihat sang liat. Harger menutup kedua kupingnya ketika dia mengambil langkah mendekat. Harusnya satu keinginan yang disepakati di Paris tidak terlupakan; berlatih bela diri. Sekarang Harger tidak akan meninggalkan niat untuk mendesak s
Bugh!Hantaman renyah membuat Harger meringis dengan mata terpejam. Dia baru saja ingin mengunci gerakan sang hakim, tetapi pria itu lebih dulu membanting tubuhnya ke atas matras. Sulur – sulur di hadapan Harger, langit terlihat begitu buram. Panas. Dia diliputi keringat deras. Mencoba mengerahkan tenaga yang telah terkuras. Rasanya otot kaki Harger bergetar ketika dia mengambil kuda – kuda. Setidaknya sedikit, Harger memahami cara perlawanan diri. Sekarang dia mungkin bisa menendang bagian dada sang hakim, atau lewat niat yang buruk melumpuhkan kaki dengan mematahkan tungkai. Itu terdengar seperti bisikan jahat. Harger ingin sekali menertawakan pemikirannya yang konyol. Satu kakinya berjuang menekan posisi sang hakim. Namun, itulah bagian yang menggelikan. Harger bahkan tidak ada apa – apanya dibanding sang hakim yang sedang berkeringat seksi.“Lakukan lebih keras, Pemula!”Kata – kata sang hakim sarat nada persuasif. Harger memutar mata malas. “Jangan panggil aku pemula!” protesnya
“Pelan – pelan, Deu.”Harger merasa geli mendapati rambut di rahang sang hakim bergesek di kulit lehernya. Gerakan pria itu tentatif menyesap titik yang berdenyut di sana. “Deu ....”Harger mendengar suaranya nyaris mendesah ketika kedua tangan sang hakim menggenggam lembut gumpalan dada yang menantang. Kain – kain di tubuh Harger telah dilucuti. Bra putih berenda miliknya telah teronggok di atas mamer dingin. Semua karena perbuatan sang hakim. Dan pria itu tidak akan berhenti. Mulai menjatuhkan mulut mengecup inci demi inci tubuh Harger.Rasanya menyenangkan. Harger menggeliat saat bibir sang hakim terbuka untuk melilitkan lidah di puncak dadanya. Sementara satu tangan pria itu memberi remasan ringan, dan yang lainnya menekan pergelangan Harger bertaut di puncak kepala. Kaki Harger bergerak gelisah. Sensasi ingin meledak nyaris tak bisa dia cegah saat menghadapi penghakiman Deu di atas ranjang. Sang hakim begitu tahu bagian – bagian paling sensitif di tubuhnya, membuat Harger bergo
“Deu, kau di mana? Paket perawatan-ku sudah sampai. Aku akan mengambilnya sebentar.”Harger berteriak lantang. Suaranya menggelegar memenuhi seisi rumah. Dia tidak melihat Deu sejak sesi latihan berakhir tiga jam sebelumnya. Perlu digarisbawahi bahwa waktu berjalan nyaris tidak terasa. Sudah tiga hari berlalu dan Harger baru saja mendapat notifikasi pesan.Kurir akan mengantar sampai di depan gerbang. Dia perlu menunggu, tetapi ingin memastikan keberadaan sang hakim sebentar.“Deu ....”Sekali lagi Harger bersuara. Samar – samar dia mendengar langkah kaki seseorang berusaha mendekat. Tiba – tiba pintu di samping kamar mereka terbuka. Wajah sang hakim melonggok keluar. Beberapa saat akhirnya pintu terbuka lebar. Harger bisa melihat jelas bagaimana pria itu bertelanjang dada dengan satu tangan memegang buku tebal. Rupanya sedang membaca. Mungkin buku mengenai hukum. Harger tak begitu tahu.“Kurir sudah sampai?” tanya sang hakim ringan. Secara tidak langsung Harger melirik ke layar ponse