Kelopak mata Harger terbuka. Dia terperanjat. Tidak bermaksud, tetapi semua itu tidak dalam kendalinya. Harger tidak pernah membayangkan rasa bersalah akan segera menyergap. Membekap bibir saat melihat sang hakim telah berdarah.
“Deu ....”Harger bergumam dengan keterpakuan lama ketika dia dan sang hakim saling menatap. Hanya ada dua pilihan di sana. Antara mengakhiri dan melanjutkan. Tetapi bahkan terhadap luka di lengan, nyaris mendekati bahu. Itu tidak menghentikan Deu dari kemampuan menghindar yang tepat.Serangan Arron begitu brutal. Sejak memiliki kesempatan, pria itu merenggut kapak yang menancap, lalu berusaha melukai sang hakim—ntah bagaimanapun caranya.Ambisi Arron besar. Seperti tidak ada kata menyerah, tidak peduli walau pria itu sedang tidak beruntung dalam upaya menghadapi Deu. Mantan seorang agen yang terlatih. Beberapa kali dengan keadaan darah merembes sanggup melumpuhkan lawan.Suara benturan luar biasa keras terja“Jadi ini rumah Daisy?”Hal – hal yang diterima tidak pernah luput sejak awal permasalahan yang harus mereka hadapi membesar. Harger seharusnya sudah terbiasa kalau – kalau sang hakim akan membawanya pada lingkungan baru. Bertemu, berkenalan, lalu menandainya sebagai sesuatu yang familiar. Semacam sebuah pola berulang. Namun dia harus bisa mengendalikan keadaan, dan bersikap baik – baik saja selama belum ada jawaban terucap dari bibir Deu.Ketukan pintu terdengar sabar—begitu pelan. Sang hakim seperti tidak akan memaksa siapa pun—barangkali Daisy untuk segera mempersilakan mereka masuk ke dalam rumah yang menjulang dengan perhitungan sempurna. Tidak ada kesenjangan yang bisa dikomentari. Semua tampak sempurna dalam balutan kayu yang kokoh. Persis sebuah bangunan cerdas disertai pelbagai paduan yang pas. Harger menduga rumah yang ditinggali seseorang adalah orang yang dihormati sang hakim.Dugaannya sangat tepat saat wanita berusia menanjak puluhan angka menuju satu abad dengan hiasan
Pertanyaan menyelidik, seolah menuntut Harger untuk segera bicara. Tidak ada yang lebih baik dari sebuah penghayatan, bahwa dia baru saja bersentuhan dengan tubuh seksi dan liat—tanpa sehelai kain menutup bagian dada yang mengelincirkan setetes air.Ketika perhatian Harger menanjak ke atas ... rambut membasah tak ruput dari tangkapan iris ambernya. Rambut hitam itu agak menjuntai di depan kening menambah kesan membekukan. Dia belum sempat menanggapi rasa ingin tahu sang hakim. Tetapi ujung jemari kasar yang mendarat di wajah Harger, benar – benar mengendalikan situasi.Seperti halnya; Deu hanya bermaksud menyingkirkan helaian rambut Harger yang sedikit termakan setelah gerakan spontan terjadi karena hal tak terduga. Sebaliknya malah menyentuh sesuatu yang terasa begitu ... begitu wanita.Deu tak menganggap Harger seorang gadis ingusan. Harger berbahaya, itu sangat jelas dari segi mana pun. Dan kecerobohan sering kali terjadi. Dia tak harus membiarkan mereka berada di garis tak terbata
“Mau kau apakan kue pesanan klien-ku, Deu?”Harger secara spontan memalingkan wajah ke sumber suara. Dia merasakan sang hakim melakukan hal yang sama, dan tatapan keduanya berakhir memerangkap keberadaan Daisy yang mendadak mendatangi dapur.“Kue-mu sudah seharusnya diantar, Daisy.”“Ya. tapi bukankah kau baru sampai. Tidak lelah langsung bersinggah?”Nada kekhawatiran kentara jelas berbaur dengan bagaimana cara Daisy mengusap lengan Deu. Saat itu, Harger segera mengernyit ngeri membayangkan luka tembakan darinya mungkin masih memberi efek rasa sakit yang tajam.Sikap tenang Deu muncul ke permukaan menawarkan Harger sesuatu yang baru. Dia harus ingat betapa sang hakim luar biasa kompeten dalam mengendalikan beberapa situasi tertentu. Daisy tidak akan pernah lihat seperti apa bentuk dari robekan luka yang mendekati bahu ketika pria itu bersikap benar – benar tidak terbaca.“Aku hanya akan duduk, menyetir, dan menyerahkan kue-mu, Daisy. Tidak akan lelah.”Sedikit bantahan sang hakim dan
“Terima kasih sudah membantuku membersihkan dapur, Harger. Kau boleh ke kamarmu jika ingin beristirahat.”Harger mengangguk dengan senyum tipis tertahan. Setidaknya, dia tak lagi dihadapkan pada kecanggungan sejak nama Rubby tersemat di antara percakapan mengenai ‘ambisi skeptis’ besama sang hakim.Setelah makan malam selesai, Deu menerima tawaran bermain catur oleh Mr. Thamlin, suami Daisy, sekaligus seorang kakek yang baru—beberapa jam lalu pulang dari kegiatan berburu santai. Mr. Thamlin seorang pensiunan veteran, masih aktif dan bugar dengan usianya yang tak lagi muda.Rasanya Harger tak ingin mengingat saat kali pertama melakukan kontak mata secara langsung. Dia menemukan ketegasan serta kelembutan berada dalam satu tingkat yang sama kala Mr. Thamlin menyapanya.“Sama – sama, Daisy. Aku pamit dulu.”Usai meninggalkan Daisy di dapur sendirian. Harger menunjukkan ketertarikkan saat secara tidak sen
Daisy berdecak khawatir sejak raungan keras Harger sampai ke lantai dasar. Sering kali dia melonggokkan kepala mengamati undakan tangga—barharap cucunya menginjakkan kaki turun ke bawah. Daisy sedikit berdiskusi bersama Mr. Thamlin, tetapi suaminya hanya menertawakan apa yang sedang memerangkap isi pikirannya. “Biarkan saja. Apa kau tak ingin lihat cucumu, yang berstatus tidak jelas itu kembali menemukan tambatan hati?” Itu hal yang paling ingin bisa Daisy lihat selama dia masih mengembuskan napas dengan baik. Justru kekhawatiran di benaknya dia tujukan kepada Harger. Suara keras seolah nyaris menyaingi apa saja yang bisa serupa benturan. Dia tidak biasa mendapati Deu akan melakukan sesuatu di luar kendali. Mengenal betul cucu-nya yang begitu penuh perhitungan. Sebelumnya Daisy sempat menanyakan asal usul Harger. Membiarkan gadis muda itu menjawab dengan gugup, ntah baginya secara kebetulan Deu muncul—melanjutkan semua yang barangkali sulit Harger katakan. Daisy mengakui lekuk tubuh
Setelah malam pembahasan kelam berakhir. Harger menemukan alasan paling masuk akal dari caranya mengamati, mempelajari beberapa tekstur dan garis wajah pria yang sama sekali tidak mengubah posisi tidur. Harger yakin sang hakim hanya mentoleransi kelancangannya. Selebih itu, mungkin, jika dia kembali mengajukan sesuatu—mengungkit—membakar halaman masa lalu yang bertatakan abu di setiap lembar demi lembar dalam diri pria itu. Semua tidak akan sama seperti yang baru saja dia lihat. Harger merasa dia telah menjelma seperti badai angin. Sekali berembus, tumpukkan abu dalam perasaan sang hakim segera bertaburan, hilang, menyeret ingatan yang telah lama dilumasi dengan kotoran. Barangkali Harger berjanji takkan berusaha ingin tahu, meskipun setidaknya ada kenyataan aneh ketika Deu tidak sekali – kali terpancing untuk membahas tentang ibu Rubby—istrinya ... sedikit perbaikan—mantan istri. Itu yang dia tahu dari ungkapan Howard berupa; kandas. Harger menarik napas dalam –
Dengan puas, Harger mendapati bahwa kotak kue berisi cupcake telah disusun sempurna di bagasi mobil. Dia menepuk tangan sebentar, seolah itu tanda selesai, lalu menjulurkan lengan membantu mobil menutup secara utuh. Dia tersenyum ragu pada wanita yang menatap ke arahnya setengah takjub dan penasaran.“Ini cucu perempuanmu, Daisy?”Wanita itu bertanya.Mrs. Pattison. Seorang seniman paruh baya yang sedang menjajalkan niat mempersiapkan pesta di kediamannya. Beranggapan cupcake Daisy sebagai ‘dessert’ perlengkap yang cocok.Wanita itu tidak salah menaruh pilihan. Harger pikir seperti demikian, persis ketika dia mencicipi satu gigitan cupcake yang ditawarkan Deu kepadanya. Atau semacam satu suapan saat dia harus berjinjit sekaligus mencondongkan tubuh lebih dekat untuk mendapat potongan kue dengan mantap.Pengakuan tentang sensasi rasa dan teksur lembut yang menjamah lidahnya takkan pernah bohong. Cupcake Daisy sangat lezat. Harger bahkan luput memehatikan sudut bibir sendiri waktu itu.
Harger merasakan tubuhnya terguncang ketika kaki – kaki kuda menderap di atas rerumputan. Dia menganggap ini sesuatu yang menyenangkan, menantang. Sedikit bertanya – tanya apakah keahlian berkuda sang hakim didapat dari kehidupan damai yang ditawarkan Daisy dan Mr. Thamlin. Mereka seperti hidup tanpa masalah. Tertawa, berseloroh hingga saling berbagi lewat puncak pembicaraan ringan, seakan – akan itu sudah menjadi satu kebiasaan yang begitu lumrah.Kalau Harger bisa melucuti isi pikirannya, dia akan merasa sangat beruntung, andai, memiliki separuh dari keutuhan keluarga. Tetapi menjadi sebatang kara adalah keputusan takdir yang tak bisa dia tolak. Harger meyakini sudah cukup beruntung ketika dipertemukan dengan pria seperti Deu.Keberuntungan yang menjalar semacam ledakan besar saat dia bisa menyentuh suatu percikan; menerima bentuk kehangatan seperti apa rasanya memiliki kakek – nenek.Sikap Daisy dan Mr. Thamlin menunjukkan semua kewenangan, karena itu Harger tidak berusaha mengetah